Daftar Isi
Hei, kamu pernah ngerasain perpisahan yang bikin hati kamu remuk? Nah, ceritanya tentang dua sahabat, Ravindra dan Selenia, yang terpisah jauh tapi tetap berusaha mempertahankan ikatan mereka. Siapa sangka, rindu itu bisa jadi kekuatan yang bikin mereka lebih dekat lagi? Kuy, ikutin kisah seru dan mengharukan mereka yang penuh tawa, air mata, dan janji manis!
Perjalanan Ravindra dan Selenia
Jejak di Tepi Sungai
Sore itu, matahari mulai condong ke barat, meninggalkan warna jingga yang merambat di langit. Angin sepoi-sepoi bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan di sepanjang tepi sungai yang mengalir tenang. Di pinggir sungai, terdapat dua sosok yang berdiri diam, seolah membeku dalam waktu. Mereka adalah Ravindra dan Selenia, dua sahabat yang selalu datang ke tempat ini sejak kecil.
Ravindra menatap air sungai yang mengalir pelan, seolah-olah ingin membuang semua beban yang ada di kepalanya. Ada sesuatu yang menyesak di dadanya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di sebelahnya, Selenia duduk di atas batu besar yang biasa mereka jadikan tempat duduk, menggoyangkan kakinya pelan sambil menatap lurus ke depan. Biasanya, Selenia selalu penuh cerita—tentang apapun. Tapi hari ini, dia lebih banyak diam.
“Len, kenapa kita nggak pernah ngebayangin hal ini bakal kejadian?” tanya Ravindra dengan suara pelan, seolah takut memecahkan keheningan.
Selenia menghela napas, matanya masih terpaku pada aliran sungai di depannya. “Apa? Soal gue pergi?”
Ravindra mengangguk, meski tahu Selenia tidak sedang melihatnya. “Iya, tentang lo pergi. Tentang gue yang bakal ditinggal sendiri di sini.”
Selenia tersenyum tipis, tapi ada kesedihan di balik senyumnya. “Gue juga nggak pernah nyangka. Kayak, dulu rasanya kita bakal terus di sini, terus bareng, nggak pernah ada yang berubah.”
Ravindra terdiam sejenak, mencoba mencerna perasaannya sendiri. “Tapi ternyata, hidup nggak selalu kayak yang kita bayangin, ya?”
Selenia mengangguk pelan. “Nggak selalu, Vin. Nggak selamanya apa yang kita inginkan itu yang kita dapat.”
Ravindra mengusap rambutnya yang berantakan. “Lo bener-bener bakal ninggalin tempat ini? Ninggalin gue?”
Selenia menatap Ravindra, matanya berusaha menahan perasaan yang tak terucapkan. “Gue nggak ninggalin lo, Vin. Gue cuma—cuma harus ngejar mimpi gue aja. Lo ngerti, kan?”
“Gue ngerti. Gue ngerti lo punya mimpi, tapi kenapa rasanya kayak ada yang hilang? Kayak, nggak lengkap lagi,” Ravindra tertawa kecil, tapi terdengar getir. “Kita kan selalu bareng, Len. Dari kecil sampai sekarang. Gimana bisa gue bayangin hidup tanpa lo ada di sini?”
Selenia terdiam, memainkan ujung rambutnya yang terkena angin. “Gue juga ngerasa berat, Vin. Lo tahu gue sebenarnya nggak gampang buat ninggalin semua ini, apalagi harus ninggalin lo. Tapi kalau gue nggak pergi, gue takut bakal nyesel. Ini kesempatan gue.”
Suasana jadi hening. Hanya suara aliran sungai dan angin yang menemani mereka. Selenia menunduk, memandangi batu-batu kecil di bawah kakinya. Di dalam hatinya, dia juga tidak ingin pergi. Ada rasa takut yang merayap, rasa takut akan perubahan. Namun, dia tahu ini bukan pilihan yang bisa dia abaikan.
Ravindra berdiri dan berjalan ke arah sungai, memungut sebuah batu kecil, kemudian melemparkannya ke air. “Dulu kita sering banget ke sini, ya? Lo inget nggak, Len, waktu kita nyari-nyari batu yang katanya bisa buat ‘ngilangin masalah’? Katanya sih, kalau dilempar ke sungai, semua masalah lo bakal hilang.”
Selenia tertawa kecil, meski suaranya sedikit serak. “Iya, dan lo yang percaya banget waktu itu. Sampai bawa sekantong batu terus dilempar satu-satu sambil ngomongin apa yang bikin lo kesel.”
“Gue inget banget waktu itu. Yang ada bukan masalah gue yang hilang, tapi tangan gue lecet semua gara-gara kebanyakan lempar batu,” kata Ravindra sambil tertawa, mencoba mencairkan suasana.
Namun, tawa mereka hanya sebentar. Keheningan kembali menyelimuti.
“Gue bakal ke sini lagi nggak, ya? Setelah ini?” Selenia berkata tiba-tiba, suaranya terdengar hampa.
Ravindra menoleh. “Kenapa nggak? Kalau lo balik ke sini, lo pasti bakal ke sini. Tempat ini udah kayak bagian dari kita.”
“Tapi kalau gue udah di sana, bakal beda,” Selenia melanjutkan dengan suara pelan. “Semua bakal beda. Lo, gue, dan tempat ini.”
“Beda gimana?” tanya Ravindra, keningnya berkerut.
“Ya… mungkin gue nggak bakal jadi gue yang sekarang. Tempat baru, lingkungan baru, orang-orang baru. gue mungkin berubah, Vin.”
Ravindra mendekat, berdiri di sampingnya. “Lo nggak bakal berubah, Len. Lo tetep Selenia yang gue kenal, sahabat gue yang nggak pernah berubah meski kita udah lewatin banyak hal.”
Selenia tersenyum, meski ada air mata yang menggantung di sudut matanya. “Lo selalu tau cara bikin gue ngerasa lebih baik, ya.”
“Gue cuma ngomong yang sebenernya. Gue kenal lo lebih lama daripada orang lain. Nggak mungkin lo berubah sejauh itu.”
Matahari mulai tenggelam, menyisakan langit merah yang membentang di cakrawala. Suara serangga malam mulai terdengar, menggantikan keheningan sore yang damai. Selenia berdiri, membersihkan celana jeans-nya dari debu.
“Kayaknya udah sore banget. Gue harus pulang,” ucapnya, meski tak ada nada antusias dalam suaranya.
“Lo nggak bisa ninggalin gue di sini sendirian, Len,” ujar Ravindra setengah bercanda.
Selenia tertawa kecil. “Lo nggak bakal sendirian, Vin. Ada sungai ini. Ada tempat-tempat kita dulu. Mungkin gue nggak di sini lagi, tapi… lo masih punya kenangan tentang kita.”
Ravindra menunduk, merasakan hatinya semakin berat. “Kenangan nggak akan sama tanpa lo di sini.”
Selenia berjalan pelan, meninggalkan batu besar tempat mereka duduk tadi. Ravindra menyusul, meski langkahnya terasa lebih berat dari sebelumnya.
Di sepanjang jalan, tidak banyak kata-kata yang terucap. Mereka lebih banyak terdiam, membiarkan suasana senja berbicara untuk mereka. Namun, setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti membawa mereka semakin dekat pada perpisahan yang tak terhindarkan. Perpisahan yang mungkin akan mengubah segalanya.
Sampai di persimpangan jalan, Selenia berhenti. “Gue bener-bener harus pulang sekarang.”
Ravindra menatapnya, berharap waktu bisa berhenti sejenak. “Ya, gue tau. Lo hati-hati, ya.”
Selenia tersenyum lagi, kali ini lebih tulus. “Lo juga. Jangan lupa, kita masih punya satu sore lagi sebelum gue pergi.”
“Besok, kan?” tanya Ravindra, seolah memastikan.
Selenia mengangguk pelan. “Iya, besok. Kita ketemu lagi di tempat biasa?”
“Selalu.”
Selenia melambaikan tangan sebelum berjalan pergi, sementara Ravindra tetap berdiri di persimpangan itu, menatap punggung sahabatnya yang semakin menjauh. Besok, dia berpikir. Besok adalah kesempatan terakhir mereka sebelum segalanya berubah.
Dan entah kenapa, meski dia mencoba untuk tidak memikirkan perpisahan itu, hatinya tahu bahwa besok tidak akan pernah sama seperti hari-hari sebelumnya.
Saat Senja Terakhir
Langit sore ini terlihat lebih cerah, namun ada perasaan muram yang menggantung di hati Ravindra. Dia melangkah pelan di jalan setapak menuju tepi sungai, tempat yang sudah tak terhitung berapa kali dia kunjungi bersama Selenia. Tapi sore ini berbeda. Ini adalah sore terakhir mereka sebelum Selenia benar-benar pergi.
Saat Ravindra tiba, dia melihat Selenia sudah lebih dulu duduk di batu besar, dengan kaki yang digoyangkan pelan seperti biasanya. Dia membawa sebuah buku catatan di tangannya, menggenggamnya erat-erat seperti benda yang sangat berarti.
“Datang juga akhirnya,” kata Selenia tanpa menoleh. Ada nada lelah di suaranya, meski dia tersenyum tipis.
“Lo udah nunggu lama, ya?” Ravindra duduk di sampingnya, melihat ke arah sungai yang berkilauan di bawah cahaya senja.
“Nggak juga. Gue cuma… ngerasain suasana di sini untuk terakhir kalinya.” Selenia membuka buku catatannya, melihat sekilas beberapa halaman yang berisi tulisan tangan yang rapi.
Ravindra menoleh, penasaran. “Itu apa?”
Selenia menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum menjawab. “Ini catatan gue. Semacam… kenangan kita. Gue nulis semua momen yang pernah kita lewatin di sini.”
Ravindra tertegun. “Lo serius? Gue nggak pernah tau kalo lo se-sentimental itu.”
Selenia terkekeh, meski matanya tak sepenuhnya cerah. “Yah, nggak keliatan aja, kali. Tapi gue emang selalu suka nyatet hal-hal penting yang terjadi di hidup gue. Lo bagian penting dari hidup gue, Vin.”
Ravindra menggaruk kepalanya, sedikit canggung. “Gue nggak tau harus bilang apa. Lo tau kan gue nggak jago ngomong soal perasaan.”
“Lo nggak perlu bilang apa-apa. Gue cuma pengen lo tau. Gue nggak bakal lupain semua ini.”
Suasana kembali hening, hanya diisi oleh suara aliran air dan angin yang menerpa dedaunan. Ravindra menendang-nendang kerikil kecil di depannya, merasa semakin sulit untuk mengucapkan kata-kata yang memenuhi benaknya. Dia tahu ini mungkin terakhir kalinya mereka bisa duduk di sini bersama-sama seperti ini, dan rasa berat itu terus menumpuk.
Selenia menutup buku catatannya, kemudian menatap Ravindra dengan mata yang lebih serius. “Vin, gue tau kita nggak pernah ngomong soal ini, tapi… apa lo nggak apa-apa gue ninggalin lo?”
Pertanyaan itu langsung membuat Ravindra terdiam. Dia tahu pertanyaan ini pasti akan muncul, namun dia tidak pernah benar-benar mempersiapkan jawabannya. Jauh di dalam hati, ada bagian dari dirinya yang ingin meminta Selenia untuk tinggal, untuk tidak pergi meninggalkannya di tempat yang penuh dengan kenangan mereka berdua. Namun, dia juga tahu bahwa itu egois. Selenia punya mimpinya sendiri, dan dia tidak berhak menahan sahabatnya untuk mengejar apa yang dia inginkan.
“Gue nggak bakal bohong, Len. Gue bener-bener nggak siap lo pergi,” ujar Ravindra akhirnya. “Tapi, gue juga nggak bisa egois. Lo harus ngejar mimpi lo, kan? Gue ngerti itu.”
Selenia tersenyum lembut. “Terima kasih udah ngerti. Gue juga nggak siap ninggalin lo. Tapi kalau gue nggak ambil kesempatan ini, gue bakal nyesel seumur hidup.”
Ravindra mengangguk pelan, meski hatinya masih terasa berat. “Gue cuma pengen lo tau satu hal, Len. Meskipun lo jauh, lo masih sahabat gue. Nggak ada yang bisa gantiin posisi lo.”
Mata Selenia berkaca-kaca, tapi dia mencoba menahan agar air matanya tidak jatuh. “Vin, gue juga bakal kangen semua ini. Lo lebih dari sekadar sahabat buat gue. Lo udah kayak keluarga.”
Ravindra tersenyum kecil. “Keluarga yang nggak pernah berhenti ngeledekin lo, ya?”
Selenia tertawa, meskipun air matanya akhirnya tumpah. “Iya, keluarga yang nyebelin. Tapi gue bakal kangen semua ledekan lo.”
Ravindra menatap langit yang mulai memerah lebih pekat, tanda senja akan segera berlalu. Dia merasa waktu begitu cepat berlalu hari ini. Seolah-olah setiap detik dihabiskan dengan semakin mendekatkan mereka pada perpisahan yang tidak bisa dihindari.
“Len,” ujar Ravindra tiba-tiba, membuat Selenia menoleh. “Gue janji gue bakal baik-baik aja di sini. Jadi lo jangan khawatir tentang gue.”
Selenia terdiam, kemudian tersenyum sedih. “Gue tau lo kuat, Vin. Tapi janji lo buat baik-baik aja nggak bakal ngebikin gue berhenti khawatir.”
“Kita bakal ketemu lagi, Len. Gue yakin itu,” lanjut Ravindra, suaranya lebih mantap. “Ini bukan akhir dari semuanya. Lo bakal pulang, dan kita bakal duduk di sini lagi suatu hari nanti.”
Selenia mengangguk pelan, meski ada keraguan yang tak bisa dia sembunyikan. “Gue harap gitu, Vin. Gue bener-bener harap.”
Mereka duduk dalam diam, menikmati detik-detik terakhir senja bersama. Kali ini tidak ada percakapan yang perlu diucapkan. Keheningan antara mereka sudah cukup bicara, seakan segala rasa, kenangan, dan harapan tersampaikan dalam kebisuan itu.
Saat langit mulai gelap, Selenia berdiri. “Gue harus pergi sekarang. Besok pagi keretanya berangkat.”
Ravindra menatapnya, hatinya berat namun penuh dengan tekad. “Gue bakal nganter lo besok.”
“Lo nggak perlu ngelakuin itu, Vin. Lo udah cukup nemenin gue hari ini.”
Ravindra menggeleng. “Gue nggak akan biarin lo pergi tanpa gue liat lo berangkat. Gue sahabat lo, Len. Gue harus ada di sana.”
Selenia tersenyum, kali ini lebih tulus meskipun air matanya masih mengalir. “Terima kasih, Vin. Lo sahabat terbaik yang pernah gue punya.”
Mereka berjalan pelan menuju jalan utama, meninggalkan tepi sungai yang kini gelap dan sunyi. Dalam hati Ravindra, dia tahu bahwa tempat ini tidak akan pernah sama tanpa Selenia. Tapi dia juga tahu bahwa kenangan mereka akan selalu ada di sini, tersimpan dalam setiap sudut sungai dan senja yang pernah mereka saksikan bersama.
Besok, Ravindra akan mengantar Selenia pergi. Dan meskipun dia berjanji untuk tidak menangis, dia tahu perpisahan ini tidak akan mudah.
Janji di Tengah Perpisahan
Suasana stasiun pagi itu begitu ramai. Hiruk-pikuk orang-orang yang terburu-buru mengejar jadwal kereta, suara roda koper yang bergesekan dengan lantai, dan panggilan dari pengeras suara, semuanya melebur menjadi satu. Namun, bagi Ravindra, semua itu terasa seperti latar belakang yang sunyi. Pandangannya hanya tertuju pada satu hal—Selenia, yang berdiri di depan pintu masuk peron dengan koper besar di sampingnya.
Ravindra tahu ini bukan perpisahan yang sederhana. Ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar berpisah kota. Ada kekosongan yang perlahan-lahan mulai menguasai hatinya. Dan meski dia sudah mencoba mempersiapkan diri selama beberapa hari terakhir, rasanya tidak ada yang bisa benar-benar membuatnya siap.
Selenia menatapnya, memberikan senyum tipis yang seolah menahan berbagai emosi. “Kamu beneran datang. Gue pikir lo bakalan mundur.”
Ravindra menghela napas panjang, berusaha tampak santai meskipun dadanya terasa sesak. “Janji kan janji, Len. Lo udah tau itu. Gue nggak bakal ninggalin lo gitu aja.”
Selenia mengangguk, meski ekspresi wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran. “Gue… gue nggak tau harus bilang apa sekarang.”
“Lo nggak perlu bilang apa-apa,” balas Ravindra cepat. “Cukup di sini, cukup lo di sini hari ini.”
Keduanya terdiam, menyadari bahwa momen ini semakin nyata. Waktu yang mereka habiskan bersama selama bertahun-tahun terasa memadat dalam satu titik, seolah semua memori mereka kini ada di ambang perpisahan ini. Di antara tawa, canda, dan ledekan yang sudah mereka bagikan, ada perasaan dalam hati yang sulit diucapkan.
Akhirnya, Selenia berbicara. “Gue selalu ngerasa lo lebih kuat dari yang lo tunjukin, Vin. Lo nggak pernah biarin orang tau apa yang sebenernya lo rasain.”
“Ya, mungkin karena lo nggak pernah nanya,” jawab Ravindra sambil menyunggingkan senyum tipis, meski ada kegetiran yang dia rasakan dalam ucapannya.
Selenia tertawa kecil, tapi jelas terlihat kalau dia sedang menahan perasaan. Dia melirik jam di dinding stasiun yang menunjuk hampir pukul delapan. Waktu keberangkatannya semakin dekat.
“Gue… gue mau ninggalin sesuatu buat lo,” ucap Selenia tiba-tiba, seraya merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan buku catatan yang sudah sering dilihat Ravindra.
“Buku itu?” tanya Ravindra, sedikit terkejut.
“Iya. Ini buku yang gue ceritain waktu itu, Vin. Semua kenangan kita ada di sini. Gue nulis semuanya karena gue nggak pengen lupa.” Selenia menyerahkan buku itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Lo jagain ini buat gue, ya? Sampai gue balik nanti.”
Ravindra menatap buku itu dalam diam. Dia tahu betapa berharganya buku ini bagi Selenia. Menjaga buku itu bukan sekadar menjaga benda fisik—itu seperti menjaga semua kenangan mereka. Perlahan, dia mengambil buku itu dan menggenggamnya dengan erat.
“Lo beneran yakin mau ninggalin ini sama gue?”
Selenia tersenyum kecil. “Yakin. Soalnya lo yang paling gue percaya.”
Ravindra tidak bisa menahan senyum meski ada rasa pahit yang ikut menyelinap di hatinya. “Gue bakal jaga baik-baik.”
Seketika, pengeras suara stasiun mengumumkan keberangkatan kereta menuju kota tujuan Selenia. Suara itu terasa seperti lonceng yang menggema, menyadarkan mereka bahwa waktu benar-benar telah habis.
Selenia menatap Ravindra dalam-dalam, seakan-akan ingin mengingat wajahnya untuk terakhir kali. “Gue harus masuk sekarang.”
Ravindra mengangguk, meski mulutnya seperti lumpuh, tidak bisa mengucapkan kata-kata yang ada di pikirannya. Dia hanya bisa mengangguk, meskipun dadanya semakin terasa berat. Saat Selenia menarik kopernya dan mulai melangkah, Ravindra tiba-tiba merasa ada dorongan yang kuat dalam hatinya. Sesuatu yang selama ini dia tahan, sesuatu yang tidak pernah dia ucapkan.
“Selenia!” panggil Ravindra.
Selenia berhenti, menoleh dengan tatapan penuh tanya.
Ravindra menarik napas dalam, menatap Selenia dengan intens. “Lo jangan lupa, ya. Apapun yang terjadi, gue bakal nunggu lo balik.”
Selenia tersenyum lembut, namun ada air mata yang mulai mengalir di pipinya. “Gue nggak bakal lupa, Vin. Lo juga jangan lupa janji lo.”
“Janji itu udah ada di hati gue, Len. Selalu,” jawab Ravindra dengan suara pelan namun mantap.
Selenia kemudian berbalik, melangkah masuk ke dalam peron dengan langkah yang lebih berat. Ravindra berdiri di tempatnya, memandang sosok sahabatnya yang perlahan-lahan semakin menjauh, tertelan oleh keramaian orang-orang yang sibuk. Dan saat pintu kereta tertutup, Ravindra tahu bahwa perpisahan itu bukanlah akhir dari segalanya, tapi sebuah awal yang baru. Namun, rasa kehilangan itu tidak bisa dihindari.
Kereta mulai bergerak, perlahan menjauh dari stasiun. Ravindra tetap berdiri di tempatnya, memandang sampai kereta itu menghilang dari pandangannya. Dalam genggamannya, buku catatan Selenia terasa lebih berat dari yang dia bayangkan.
“Sampai jumpa lagi, Len,” gumam Ravindra pelan.
Dia tahu bahwa suatu hari nanti, mereka akan bertemu lagi. Tapi sampai saat itu tiba, Ravindra harus menjalani hari-harinya tanpa kehadiran Selenia di sisinya. Meski berat, dia tahu dia bisa melewati ini. Mereka sudah berjanji untuk tidak melupakan satu sama lain.
Dan janji itu akan terus hidup, bersama kenangan-kenangan yang tersimpan dalam buku catatan Selenia, yang kini menjadi tanggung jawab Ravindra untuk menjaganya.
Kembali ke Rumah
Waktu berlalu tanpa terasa. Bulan demi bulan, Ravindra menjalani hari-harinya dengan rutinitas yang monoton. Setiap hari, ia kembali ke tempat yang sama—kafe kecil tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Meja di sudut dekat jendela, dengan dua cangkir kopi dan secarik kue, masih mengingatkan pada kenangan-kenangan yang indah. Namun, kini, rasa pahit yang menyertainya terasa semakin menyengat.
Setiap kali ia membuka buku catatan Selenia, ia menemukan potongan-potongan cerita yang membuatnya tertawa dan terharu. Setiap halaman dipenuhi dengan goresan tangan Selenia, mencerminkan betapa dalamnya hubungan mereka. Namun, ada bagian yang belum terisi—halaman-halaman kosong yang seharusnya dipenuhi dengan kenangan baru mereka. Ravindra tahu, menunggu bukanlah hal yang mudah, tetapi ia bersikeras untuk melakukannya.
Suatu sore, ketika hujan mulai turun, Ravindra memutuskan untuk pergi ke kafe. Dengan buku catatan Selenia yang selalu dibawanya, ia berharap bisa merasakan sedikit kehadirannya di sana. Saat ia duduk di meja mereka, teringat akan candaan dan tawanya, tiba-tiba sebuah suara familiar memecah keheningan.
“Ravindra!”
Dia menoleh, dan jantungnya berdegup kencang saat melihat Selenia muncul di ambang pintu kafe, basah kuyup dengan senyum lebar di wajahnya. Tanpa berpikir panjang, Ravindra segera bangkit dan berlari ke arahnya.
“Kamu beneran kembali!” teriak Ravindra, tak dapat menyembunyikan kegembiraannya.
Selenia tertawa, suaranya melawan suara hujan yang menderu. “Gue udah janji, kan? Gue bakal kembali.”
Ravindra menatap Selenia dalam-dalam. Begitu banyak emosi menyelimuti hatinya—rindu, bahagia, bahkan sedikit takut. “Gue nggak percaya lo beneran ada di sini. Ini semua kayak mimpi.”
Selenia menggeleng, masih tersenyum. “Bukan mimpi, Vin. Ini kenyataan. Dan gue bawa sesuatu buat lo.”
Dia mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya dan menyerahkannya kepada Ravindra. Dengan penuh rasa ingin tahu, Ravindra membuka amplop itu dan menemukan beberapa foto dan surat di dalamnya. Foto-foto itu diambil selama Selenia di tempat barunya—potret dirinya dengan teman-teman baru, pemandangan indah dari kota baru, dan satu foto yang sangat spesial: mereka berdua saat menikmati hari terakhir bersama di stasiun.
“Lo inget ini?” tanya Selenia, menunjuk pada foto terakhir.
“Tentu saja. Itu hari yang bikin gue ngerasa kehilangan,” balas Ravindra, suaranya bergetar. “Tapi lo kelihatan bahagia.”
Selenia mengangguk, namun tatapannya sedikit redup. “Gue memang bahagia, tapi… kadang gue kangen sama semua ini, Vin. Kangen sama lo, sama semua yang kita lakukan.”
“Maksud lo, kita bisa mulai lagi?” tanya Ravindra, hati yang penuh harap.
Selenia mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Ravindra erat. “Kita udah buat janji, kan? Kita nggak akan pernah melupakan satu sama lain. Dan ini adalah langkah baru kita. Gue mau kita tetap bersahabat, meskipun kita jauh.”
Ravindra merasa lega. Semua keraguan dan ketakutannya sirna seketika. “Selama kita saling ingat, kita bisa menghadapi apa pun, kan?”
Selenia mengangguk dengan semangat. “Betul! Dan jangan khawatir, gue bakal terus nulis. Gue pengen setiap petualangan kita tercatat di buku ini.”
Mereka pun tertawa, seolah semua beban yang mereka rasakan selama berpisah kini lenyap. Dengan menyesap kopi hangat dan berbagi cerita tentang pengalaman baru, keduanya mulai mengisi kembali halaman-halaman kosong yang sebelumnya menyimpan kerinduan.
Sejak hari itu, hubungan mereka berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Mereka menyadari bahwa meski jarak bisa memisahkan fisik, tidak ada yang bisa memisahkan ikatan hati mereka. Setiap bulan, mereka terhubung melalui surat dan foto, saling berbagi pengalaman dan harapan.
Satu tahun kemudian, di hari yang sama ketika mereka berpisah, Selenia kembali ke kafe itu. Saat pintu terbuka, Ravindra berdiri di sana menunggunya dengan senyum lebar, memegang sebuah bingkai yang berisi foto mereka berdua di stasiun.
“Selamat datang kembali, sahabat,” sapa Ravindra.
Selenia menghampirinya, mata mereka saling bertemu dengan penuh rasa syukur. “Gue kembali, dan kali ini untuk selamanya.”
Dengan penuh harapan di hati mereka, Ravindra dan Selenia tahu bahwa ini adalah awal dari bab baru dalam persahabatan mereka. Janji yang mereka buat takkan pernah pudar, dan kisah mereka akan terus berlanjut—selamanya terukir dalam setiap kenangan yang mereka bagi.
Jadi, ketika kamu merasa jarak memisahkan kamu dari orang-orang yang kamu sayangi, ingatlah bahwa ikatan sejati bisa mengatasi segalanya. Persahabatan itu bukan hanya tentang kebersamaan fisik, tapi juga tentang hati yang saling terhubung.
Seperti Ravindra dan Selenia, kita semua punya cerita yang menunggu untuk diceritakan. Jadi, jangan pernah ragu untuk menjaga hubungan itu, karena siapa tahu, petualangan berikutnya bisa jadi lebih seru dan mengharukan dari yang lo bayangkan!