Kisah Persahabatan yang Hancur Karena Cinta: Sebuah Cerpen Penuh Emosi

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasain gimana rasanya kehilangan sahabat cuma gara-gara cinta? Cerpen ini bakal ngulik gimana persahabatan yang udah terjalin lama bisa hancur lebur karena perasaan yang nggak terkontrol. Siapin tisu, karena ceritanya bakal bikin kamu baper abis!

 

Sebuah Cerpen Penuh Emosi

Tak Terpisahkan

Suara tawa menggema di lorong sekolah yang mulai lengang. Hanya tersisa beberapa siswa yang masih berkeliaran, sebagian besar sibuk merapikan barang atau bercanda dengan teman-teman mereka sebelum pulang. Di sudut dekat taman belakang, di bawah pohon besar yang rindang, dua sosok duduk bersebelahan di bangku kayu tua yang sudah mulai lapuk.

“Jadi… tadi kamu nyaris kepergok Bu Rina gara-gara nyontek pas ulangan?” Sienna menatap Raka dengan ekspresi geli, menahan tawa yang hampir meledak.

Raka mendesah sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. “Bukan nyaris lagi, aku beneran kepergok. Untungnya dia cuma ngasih tatapan maut terus jalan lagi. Kayaknya sih karena aku selama ini nggak pernah macem-macem, jadi dia masih ngasih kesempatan.”

Sienna terkekeh, menyikut lengan sahabatnya itu. “Dasar sok polos! Kamu tuh pinter, kenapa masih aja nyontek?”

“Aku pinter, bukan jenius. Itu beda,” sahut Raka, memasukkan tangan ke saku celana dan menatap langit yang mulai berubah warna keemasan. “Lagian, matematika tuh musuh bebuyutan aku dari dulu. Kayaknya, aku lebih milih dihukum nyapu lapangan daripada harus ngerjain soal limit sama integral.”

Sienna menggeleng-geleng. “Makanya, sering-sering belajar bareng aku. Aku kan jenius,” katanya dengan nada penuh percaya diri.

Raka hanya menatapnya dengan tatapan skeptis. “Jenius dari mana? Kamu sendiri aja kemarin salah ngerjain nomor lima, padahal itu soal gampang.”

Sienna langsung mendengus, lalu dengan secepat kilat menepuk kepala Raka dengan bukunya. “Udah lah, nggak usah bahas masa lalu!”

Mereka berdua tertawa lagi, tanpa beban, tanpa khawatir. Seolah dunia hanya milik mereka berdua, seolah tidak ada satu hal pun yang bisa memisahkan mereka.

Mereka memang seperti ini sejak dulu—Sienna dan Raka. Sienna si ambisius yang selalu merasa harus jadi yang terbaik, dan Raka si santai yang lebih suka mengalir tanpa beban. Berbeda dalam banyak hal, tapi entah bagaimana, selalu menemukan jalan untuk tetap bersama.

Setiap pagi, mereka akan bertemu di gerbang sekolah, saling berbagi camilan atau mengeluh soal PR yang belum selesai. Saat istirahat, mereka akan duduk di bangku yang sama, di bawah pohon yang sama, membicarakan apa saja—mulai dari film terbaru sampai gosip tentang guru yang diam-diam pacaran.

Dan saat pulang? Mereka selalu berjalan bersama.

Hari ini pun sama.

“Kamu masih mau beli es krim dulu?” tanya Raka saat mereka sudah sampai di trotoar depan sekolah.

Sienna mengangguk cepat. “Ya jelas! Aku nggak bisa pulang tanpa es krim.”

Raka hanya menghela napas, tapi bibirnya tetap tersenyum. “Kamu tuh udah kayak anak kecil.”

“Terserah,” sahut Sienna, tangannya sudah menggandeng lengan Raka dan menariknya menuju kedai es krim langganan mereka.

Mereka memesan es krim favorit—coklat untuk Raka, dan stroberi untuk Sienna.

Saat mereka duduk di bangku kayu kecil di depan kedai, matahari mulai turun perlahan, menciptakan warna oranye kemerahan yang membalut langit sore. Angin sore berhembus pelan, menerpa rambut Sienna yang tergerai. Ia menatap es krimnya sebentar sebelum berkata pelan, “Eh, kamu pernah kepikiran nggak? Gimana kalau suatu hari kita nggak sedekat ini lagi?”

Raka menoleh, menatapnya heran. “Kenapa tiba-tiba mikirin yang nggak-nggak?”

Sienna hanya mengangkat bahu. “Nggak tahu. Kadang aku kepikiran aja. Apa mungkin kita akan tetap kayak gini selamanya?”

Raka tertawa kecil. “Ya jelas lah. Kamu tuh aneh, tahu nggak? Kita udah temenan sejak bocah, dan sampai sekarang kita masih nggak bisa lepas. Masa tiba-tiba bisa berubah?”

Sienna menggigit bibirnya, menatap langit yang mulai gelap. “Tapi orang bisa berubah, Rak.”

Raka terdiam sebentar, lalu menghela napas. “Ya… mungkin. Tapi aku yakin satu hal—aku nggak akan ninggalin kamu. Sesimpel itu.”

Sienna tersenyum kecil, seolah jawaban itu cukup untuk menenangkan hatinya.

Mereka kembali menikmati es krim masing-masing dalam diam, membiarkan waktu berjalan seperti biasa.

Mereka tidak tahu.

Mereka tidak sadar.

Bahwa perubahan itu sudah ada di depan mata, siap menghancurkan segalanya.

 

Retakan yang Tak Terlihat

Hari-hari berlalu seperti biasa, atau setidaknya itulah yang Raka pikirkan. Ia dan Sienna masih melakukan semua hal bersama—berangkat sekolah bareng, nongkrong di kantin, berbagi playlist lagu, bahkan bertengkar karena hal-hal sepele seperti Sienna yang selalu lupa bawa pulpen.

Sampai suatu hari, seseorang datang dan tanpa disadari mulai menggeser segalanya.

Adam.

Ia bukan tipe anak baru yang pemalu atau canggung. Sebaliknya, Adam punya cara berbicara yang santai dan penuh percaya diri, wajahnya menawan, dan otaknya pun cemerlang. Dalam waktu singkat, hampir semua orang di sekolah mengenalnya. Ia cepat akrab dengan siapa saja, termasuk Sienna.

Awalnya, Raka tidak peduli. Buatnya, Adam hanya sekadar teman baru yang kebetulan dekat dengan mereka. Tapi lama-kelamaan, ada hal-hal kecil yang terasa berubah.

Sienna mulai sering menyebut nama Adam dalam obrolan mereka.

“Adam tadi cerita kalau dia dulu pernah tinggal di luar negeri.”

“Adam tuh jago banget main basket, Rak. Serius, aku sampe kagum.”

“Eh, Adam ngajakin kita makan bareng nanti. Ikut, ya?”

Mungkin Raka tidak akan terlalu mempermasalahkan jika semuanya tetap sama. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Mereka tidak lagi selalu berdua. Sienna mulai sering menghabiskan waktu dengan Adam—di perpustakaan, di kantin, bahkan di taman belakang tempat mereka biasa duduk. Kadang, Raka melihat mereka dari kejauhan, tertawa bersama, berbicara dengan cara yang dulu hanya mereka berdua lakukan.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raka merasa seperti orang luar.

Suatu sore, saat mereka berjalan pulang, Sienna tiba-tiba berkata, “Aku suka Adam.”

Raka hampir berhenti melangkah.

“Eh?” Itu satu-satunya respon yang bisa keluar dari mulutnya.

Sienna menghela napas, lalu tersenyum. “Aku suka dia. Maksudku, bukan cuma sebagai teman. Aku beneran suka.”

Ada jeda yang canggung sebelum Raka akhirnya menjawab, “Oh.”

Sienna menatapnya, mengernyit. “Oh? Cuma itu?”

“Apa lagi yang harus aku bilang?” Raka berusaha terdengar setenang mungkin.

Sienna memutar matanya. “Ya, aku kira kamu bakal bilang sesuatu yang lebih seru. Atau setidaknya ngasih reaksi yang lebih dari sekadar ‘oh’.”

“Ya, aku… nggak tahu. Bagus kalau kamu suka dia.”

Sienna menepuk bahunya dengan antusias. “Aku tau kamu bakal dukung aku! Tapi, Rak, aku serius. Aku mau deketin dia.”

Raka tidak menjawab.

Sienna tidak sadar bahwa ada sesuatu yang perlahan retak dalam dirinya.

Hari-hari berikutnya terasa lebih aneh bagi Raka.

Sienna yang dulu selalu menghabiskan waktunya bersamanya, sekarang sering sibuk dengan Adam. Kadang ia datang terlambat ke kantin, kadang ia lupa bahwa mereka punya janji nonton film. Bahkan suatu kali, ia membatalkan rencana mendadak karena Adam mengajaknya ke acara ulang tahun temannya.

“Sorry banget, Rak! Aku baru inget. Lain kali aku yang traktir, ya?”

Dan seperti orang bodoh, Raka hanya bisa menjawab, “Iya, nggak apa-apa.”

Tapi sebenarnya, itu bukan ‘nggak apa-apa’. Itu bukan hal kecil.

Itu adalah sesuatu yang perlahan membangun dinding di antara mereka.

Suatu siang, saat Raka sedang sendirian di bangku taman belakang—tempat yang dulu selalu mereka tempati berdua—Sienna datang sambil tersenyum lebar.

“Aku ada kabar bagus!” katanya penuh semangat.

Raka menatapnya malas. “Apa?”

“Adam ngajak aku pergi berdua.”

Entah kenapa, perut Raka terasa seperti diikat kencang.

“Kemana?” tanyanya datar.

“Ya nggak tahu sih, katanya sih nonton atau makan gitu.”

Raka mendengus, entah kenapa nada suaranya terdengar lebih sinis dari yang ia maksudkan. “Kok kayak kencan?”

Sienna tertawa kecil, lalu menepuk pundaknya. “Ya mungkin emang kencan. Kenapa? Kamu cemburu?” tanyanya bercanda.

Raka tersenyum kecil, meski ada sesuatu di dadanya yang mulai terasa lebih berat dari sebelumnya.

“Kenapa aku harus cemburu?” katanya sambil mencoba terdengar santai.

Sienna tidak menangkap ada sesuatu yang salah dalam kata-katanya. Ia hanya tertawa lagi sebelum akhirnya pergi.

Dan untuk pertama kalinya, Raka merasa ada sesuatu yang hilang.

Mungkin ia selalu menganggap bahwa persahabatan mereka akan tetap sama selamanya. Bahwa tidak peduli apa yang terjadi, mereka tetap akan jadi dua orang yang tidak terpisahkan.

Tapi kenyataannya?

Mereka sedang berjalan di jalur yang perlahan mulai menjauh satu sama lain.

Dan Raka benci kenyataan itu.

 

Kesalahan yang Terlalu Mahal

Raka tidak tahu kapan tepatnya semuanya berubah dari sekadar “Sienna sering bersama Adam” menjadi “Sienna hampir selalu bersama Adam.”

Yang ia tahu, suatu hari ia bangun dan menyadari bahwa ia bukan lagi prioritas dalam hidup sahabatnya.

Tidak ada lagi pesan pagi dari Sienna yang mengomel tentang betapa malasnya ia bangun pagi. Tidak ada lagi Sienna yang menunggunya di gerbang sekolah. Tidak ada lagi ajakan makan es krim sepulang sekolah.

Sebagai gantinya, ada Adam.

Dan entah sejak kapan, Raka mulai membenci Adam.

“Hari Minggu kamu kosong nggak?”

Sienna bertanya saat mereka berdua berjalan ke kantin. Itu pun bukan kebiasaan mereka lagi—mereka hanya berjalan berdua karena Adam ada kelas tambahan siang itu.

Raka menoleh sekilas, menahan harapan yang mulai tumbuh di dadanya. “Kenapa?”

Sienna tersenyum kecil, lalu dengan santai berkata, “Aku mau beli kado buat Adam. Aku nggak tahu harus beli apa, jadi aku butuh saran kamu.”

Dan seperti orang bodoh, harapan itu hancur sebelum sempat tumbuh.

Raka tertawa kecil, meski tidak ada kebahagiaan di dalamnya. “Kenapa harus aku?”

Sienna mengangkat bahu. “Karena kamu satu-satunya yang selalu bisa kasih saran bagus.”

Jawaban itu seharusnya cukup. Tapi kali ini, Raka tidak bisa mengabaikan kenyataan yang begitu jelas di depan matanya.

“Aku nggak bisa.”

Sienna mengernyit. “Loh? Kenapa?”

“Aku sibuk,” jawabnya cepat.

Sienna menatapnya dengan ekspresi bingung. “Sejak kapan kamu sibuk di hari Minggu?”

Raka tidak menjawab.

Ia hanya melangkah lebih cepat, meninggalkan Sienna yang masih berdiri di tempatnya dengan ekspresi tak mengerti.

Raka mencoba menghindari Sienna selama beberapa hari.

Bukan berarti Sienna menyadarinya.

Gadis itu terlalu sibuk dengan dunianya bersama Adam—menghabiskan waktu dengan pria itu, tertawa di kantin, berjalan pulang bersama, dan melakukan hal-hal yang dulu hanya miliknya.

Seharusnya Raka tidak peduli. Seharusnya ia tidak merasa kehilangan.

Tapi bagaimana bisa?

Sienna adalah satu-satunya orang yang selalu ada di sisinya sejak kecil. Dan sekarang, gadis itu menghilang, perlahan tapi pasti.

Dan yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa Sienna bahkan tidak sadar bahwa ia sedang kehilangannya.

Hari itu hujan turun deras saat Raka memutuskan untuk pulang lebih lama dari biasanya.

Ia tidak mau berjalan pulang bersama Sienna dan Adam. Tidak mau melihat bagaimana Sienna tersenyum lebih cerah ketika bersama Adam dibanding saat bersamanya.

Namun, saat ia keluar dari gerbang sekolah, ia melihat Sienna berdiri sendirian di bawah atap halte, memeluk tasnya erat sambil menggigit bibir.

Tidak ada Adam.

Raka mendekat dengan hati-hati. “Kok masih di sini?”

Sienna menoleh, terlihat kaget, lalu menghela napas. “Adam nggak bisa jemput aku.”

Ada jeda sebelum Raka bertanya, “Terus?”

Sienna mengalihkan pandangannya ke jalan yang basah. “Nggak apa-apa, aku nunggu hujan reda aja.”

Raka mendesah pelan sebelum akhirnya melepas jaketnya dan menyampirkannya ke bahu Sienna.

“Kamu tahu ini bakal lama, kan?” katanya sambil menarik lengan Sienna, menyeretnya pelan ke bawah payung yang ia bawa. “Ayo pulang.”

Dan seperti dulu, mereka berjalan berdampingan, meski terasa berbeda.

Beberapa hari setelahnya, Raka mendengar kabar yang seharusnya sudah ia duga sejak awal.

Sienna dan Adam resmi berpacaran.

Ia mendengarnya bukan dari Sienna, bukan dari Adam, tapi dari bisikan orang-orang di kelas.

“Lo udah tahu? Sienna dan Adam jadian.”

“Ih, mereka cocok banget sih.”

“Udah keliatan dari awal, sih. Kasian Raka, mereka dulu deket banget kan?”

Kasian.

Lucu. Kata itu terdengar begitu menyakitkan, tapi juga benar.

Mungkin memang kasihan. Karena sekarang, Sienna sudah bukan lagi miliknya.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Raka menghindari pesan dari Sienna.

Dan untuk pertama kalinya, Sienna menyadari ada sesuatu yang salah.

Ada apa?

Kapan terakhir kali gadis itu menanyakan perasaannya? Kapan terakhir kali Sienna menyadari bahwa ada sesuatu yang berubah di antara mereka?

Tapi sekarang, saat semuanya sudah terlambat, Sienna bertanya?

Raka hanya menatap ponselnya sebelum akhirnya meletakkannya di meja, tanpa membalas.

Karena ia tahu, tidak ada lagi yang bisa diperbaiki.

 

Dua Orang Asing

Waktu terus berjalan, dan Raka merasa dirinya semakin jauh dari Sienna.

Setiap kali ia melihatnya, ada rasa kosong yang mengisi dadanya. Ada saat-saat ketika ia ingin berteriak, mengatakan semua yang ia rasakan, tapi bibirnya tetap tertutup rapat. Seolah setiap kata yang ingin ia keluarkan hanya akan menghancurkan lebih banyak hal.

Sienna… gadis yang dulu selalu ada untuknya, yang dulu selalu tahu setiap hal tentangnya—sekarang menjadi orang yang hampir asing.

Mereka masih bertemu, tentu saja. Masih di sekolah yang sama, masih lewat lorong yang sama, tapi sekarang rasanya seperti mereka berjalan di jalur yang sangat jauh. Ada dinding tak kasat mata yang terbentang di antara mereka, yang tidak bisa dijebol dengan kata-kata.

Sienna masih mencoba menghubunginya. Kadang lewat pesan singkat, kadang lewat ajakan untuk bertemu setelah sekolah, tapi Raka selalu punya alasan untuk menolak. Ia terlalu lelah, terlalu sibuk.

Satu-satunya hal yang tidak bisa ia abaikan adalah kenyataan bahwa di setiap pesan yang Sienna kirim, ada ketulusan yang tidak bisa disembunyikan.

“Apa kamu bener-bener nggak mau ngomong?”

Itu pesan terakhir yang dikirim Sienna.

Raka menatap layar ponselnya, menahan rasa sakit yang mulai menjalar di tubuhnya. Ia ingin menjawab, ingin mengatakan sesuatu—tapi yang ia tahu, setiap kata yang keluar tidak akan bisa memperbaiki semuanya.

Suatu sore, setelah jam pelajaran berakhir, Raka melihat Sienna di taman belakang sekolah, duduk sendirian di bangku yang dulu biasa mereka duduki berdua.

Dia tidak pernah datang ke sana lagi setelah mereka mulai menjauh. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Sienna terlihat termenung, matanya kosong, dan rambutnya yang terurai tertiup angin.

Raka mendekat, tidak yakin apa yang harus ia lakukan.

Sienna mendongak begitu ia mendengar langkah kaki. “Kamu ke sini buat ngelihat aku ya?” suaranya terdengar lelah, seolah kehabisan energi untuk berdebat atau bertanya lebih banyak.

“Aku nggak tahu harus ke mana,” Raka menjawab dengan jujur.

Sienna mengangguk pelan, seolah menerima jawaban itu. “Kamu tahu, aku nggak pernah nyangka kalau kita bakal jadi kayak gini.”

“Emang gini, Si. Kita berubah, semuanya berubah,” jawab Raka, mencoba berbicara seolah itu bukan masalah besar. Tapi ia tahu, itu lebih dari sekadar perubahan. Itu adalah sebuah kehancuran.

Sienna menunduk, kemudian menggigit bibir bawahnya. “Aku nggak tahu kenapa. Aku… cuma merasa kita kehilangan sesuatu yang dulu kita punya.”

Raka diam, tidak bisa menjawab. Apa yang bisa ia katakan? Mereka sudah terlalu jauh untuk kembali.

“Maaf, Rak,” Sienna akhirnya berkata pelan, suaranya serak. “Aku… aku terlalu fokus sama Adam, sampai nggak sadar kalau aku udah nyakitin kamu. Aku nggak… nggak nyangka kalau kamu bakal ngerasa kayak gini. Aku nggak tahu gimana cara balikin semuanya.”

Kata-kata itu memukul Raka. Bukan karena ia merasa Sienna harus meminta maaf, tapi karena itu adalah satu-satunya kata yang ia tunggu-tunggu, meski sudah terlambat.

Sienna mengangkat kepala dan menatapnya, berharap Raka akan mengatakan sesuatu. Tapi yang ia lihat hanya keheningan yang lebih dalam, yang tidak bisa dijawab dengan kata-kata.

“Kita nggak bisa balik, kan?” Sienna akhirnya bertanya dengan suara gemetar.

Raka menatapnya untuk beberapa detik, mencoba mencari jawaban yang benar. Tapi kenyataannya, jawaban yang benar adalah tidak. Mereka tidak bisa kembali.

“Dulu kita memang dekat, tapi sekarang… kita udah beda. Dan itu nggak bisa diubah, Sien.”

Sienna menarik napas panjang, seolah melepaskan beban yang selama ini dipikulnya. “Aku ngerti.”

Keduanya terdiam dalam keheningan yang begitu tebal, seperti dunia mereka benar-benar runtuh begitu saja.

Pada akhirnya, mereka berdua tahu. Ada hal-hal yang tidak bisa dipertahankan. Ada persahabatan yang, meskipun penuh kenangan indah, harus berakhir.

Dan di saat itu, mereka tidak lagi menjadi dua orang yang saling mengenal. Mereka bukan lagi sahabat. Mereka adalah dua orang asing yang pernah berbagi cerita, tawa, dan air mata—tapi sekarang hanya bisa berjalan di jalur yang berbeda, membawa kenangan yang tak bisa diperbaiki.

“Aku harap kamu bahagia, Rak,” Sienna akhirnya berkata, sebelum ia berbalik dan berjalan menjauh.

Raka hanya menatapnya, perasaan campur aduk di dalam hatinya.

“Semoga kamu juga,” jawabnya pelan, meskipun ia tahu, kata-kata itu tidak akan pernah bisa mengembalikan apa yang telah hilang.

Mereka berpisah tanpa ada kata pamit yang lebih besar. Hanya dua orang yang kini melangkah menuju kehidupan mereka masing-masing, tanpa lagi bisa meraih kembali apa yang dulu pernah mereka miliki.

Dan itu adalah kesalahan terbesar yang pernah mereka buat—mereka membiarkan cinta datang terlalu cepat, sementara persahabatan mereka hancur begitu saja tanpa bisa ditahan.

 

Jadi, guys, cerita ini nunjukkin betapa pentingnya ngejaga batas antara persahabatan dan cinta. Kadang, perasaan bisa jadi senjata makan tuan kalo nggak hati-hati. Semoga kamu semua bisa ambil pelajaran dari kisah ini, dan jangan sampe deh kejadian kayak gini menimpa kamu. Tetep jaga hubungan baik sama temen-temen, ya!

Leave a Reply