Kisah Persahabatan Konyol Dua Sahabat Sekolah yang Bikin Legenda

Posted on

Kamu pernah nggak sih, punya sahabat yang saking konyolnya, tiap hari tuh jadi kayak acara komedi? Nah, cerpen ini tentang dua sahabat yang nggak cuma bikin kekacauan di sekolah, tapi juga berhasil bikin semua orang terngakak.

Jadi, siap-siap buat ngakak bareng Edo dan Zayn, dua bocah chaos yang malah jadi legenda karena kehebohan mereka yang nggak ada habisnya. Siap-siap deh, di sini bukan cuma tugas sekolah yang dibahas, tapi juga kekonyolan!

 

Kisah Persahabatan Konyol

Persiapan Kue Cokelat Gagal

Suasana kelas 12-B pada hari itu sedikit berbeda. Biasanya, kelas ini dipenuhi dengan bisikan yang mengeluh soal ujian atau percakapan penuh teka-teki tentang guru yang aneh, tapi sekarang ada dua sosok yang bisa dibilang ‘istimewa’ di antara kerumunan. Edo dan Zayn, dua sahabat yang sudah dikenal sebagai sumber kegaduhan di sekolah. Mereka duduk di belakang, berusaha keras untuk menyembunyikan keceriaan mereka di balik wajah yang seolah-olah serius—meskipun jelas mereka sedang merencanakan sesuatu yang bodoh.

“Zayn, gue rasa kita udah kena ujian sejarah minggu depan, deh. Kalau kita nggak mikirkan sesuatu sekarang, kita bisa habis. Gue beneran nggak ngerti soal-soal itu,” ujar Edo, sambil menggelengkan kepala dan menatap lembar ujian yang ada di depannya. Tangannya yang satunya sibuk menggambar sesuatu di pinggir bukunya. “Gue rasa kita butuh ‘keajaiban’ buat bisa lulus kali ini.”

Zayn yang sedang mengunyah permen karet dengan suara yang agak keras, menatap lembar soal ujian itu sejenak. “Keajaiban, ya? Bisa juga sih… tapi menurut gue, yang kita butuhin itu bukan keajaiban, Edo. Kita butuh aksi yang lebih gila—sesuatu yang bisa bikin kita terkenal.”

Edo menatap sahabatnya dengan alis terangkat. “Terkenal? Apa maksud lo, Zayn?”

Zayn melepas permen karet dari mulutnya, lalu memegangnya di tangan dan melirik dengan tatapan yang serius. “Jadi gini, gue denger ada lomba Kue Cokelat Festival minggu depan. Lo tahu kan, itu acara besar buat sekolah? Banyak orang ikutan, dan juara bisa dapet hadiah menarik.”

Edo masih belum paham. “Jadi, apa hubungannya kue cokelat sama ujian sejarah kita? Bukannya kita harus belajar?”

“Justru itu! Kita nggak cuma butuh nilai bagus, Edo. Kita butuh hiburan! Kita butuh cara buat bikin semua orang terkesan—termasuk guru sejarah yang suka bikin ujian susah itu. Kalau kita menang lomba kue cokelat, orang-orang pasti bakal menghormati kita. Dan gue jamin, nilai sejarah kita pasti lebih aman.” Zayn mengedipkan mata nakal.

Edo melirik sahabatnya yang selalu punya ide-ide absurd. “Kue cokelat, ya? Lo serius, Zayn? Kita kan nggak pernah baking—atau apa namanya, nyusun resep kayak gitu.”

“Ya makanya, kita bikin kue cokelat yang nggak biasa!” Zayn berkata dengan penuh semangat. “Kita bakal jadi duo yang bikin kehebohan. Kita buktikan ke semua orang, kalau kita bisa jadi lebih dari sekadar anak nakal di sekolah ini!”

Edo tertawa kecil. “Lo bener-bener gila, Zayn. Tapi, kalau lo bilang begitu, gue rasa kita bisa coba. Nggak ada salahnya kalau kita coba jadi gila sejenak. Lagian, kalau gagal, ya nggak ada yang rugi kan?”

Zayn melambaikan tangan, seakan menyetujui keputusan itu. “Yaudah, kita jadiin ini proyek besar kita, bro. Gue bakal beli bahan-bahan, lo siapin semua yang dibutuhkan. Pokoknya, kita berdua harus kompak!”

Setelah jam sekolah selesai, Edo dan Zayn langsung meluncur ke toko bahan kue terdekat. Dengan wajah penuh semangat dan mata yang bersinar seperti anak-anak yang pertama kali masuk toko permen, mereka mulai mencomot bahan-bahan yang mereka rasa penting. Tepung, cokelat, telur—meski semuanya tampak sederhana, keduanya berusaha keras menunjukkan keseriusan mereka dalam memilih bahan.

Edo memegang sebotol cokelat serbuk dan menatapnya dengan ekspresi bingung. “Jadi, kita mau bikin apa? Kue cokelat yang berlapis-lapis, atau yang kayak gimana?”

Zayn mengambil beberapa bungkus cokelat batangan dan meliriknya dengan serius. “Gue rasa kita harus bikin sesuatu yang beda, Edo. Yang bikin orang terkesima, tapi juga bikin mereka penasaran. Pokoknya, kita harus jadi yang pertama di lomba itu. Lupa soal sejarah! Kue ini yang bakal jadi penyelamat kita!”

Edo mengangguk. “Oke, kue cokelat beda, ya? Kita bikin kue yang nggak pernah orang lain pikirin. Kalau perlu, kita bikin kue yang berasap! Hahaha!”

Zayn tersenyum nakal. “Nggak, jangan yang berasap. Tapi, kita harus siapin semuanya. Kalau perlu, kita kasih sesuatu yang bisa bikin orang lupa soal ujian.”

Di rumah Edo, kekacauan langsung dimulai. Mereka bekerja dengan sepenuh hati, meskipun tak ada pengalaman sama sekali. Zayn mulai mencampurkan bahan-bahan dengan cara yang kelihatannya lebih asal-asalan daripada profesional. Tepung berhamburan ke mana-mana, cokelat meleleh di tempat yang salah, dan oven justru mengeluarkan suara seperti kapal perang yang sedang berlayar.

“Bro, ini beneran kayak eksperimen yang gagal!” Edo mengangkat tangan, menunjukkan adonan yang terhampar di meja. “Gue rasa kita harus mulai dari awal, atau kita bakal jadi bahan tertawaan.”

Zayn memiringkan kepala, menatap adonan itu dengan ketidaksukaan. “Ya ampun, ini beneran buruk. Tapi lo tahu nggak, Edo? Kalau kita nggak berhasil, setidaknya kita udah jadi legenda gagal yang paling ikonik di sekolah ini.”

Edo tertawa, meskipun rasa frustrasi semakin terasa di dalam hatinya. “Ya, Zayn, kita memang selalu berhasil jadi legenda dalam kegagalan.”

Mereka berdua memandang ke oven yang mulai mengeluarkan bau aneh, sementara kekacauan semakin menjadi-jadi. Tapi meskipun kue mereka hancur, setidaknya satu hal yang pasti—hari itu adalah petualangan mereka, dan tidak ada yang bisa merebut kenangan itu.

Akhirnya, dengan penuh kegagalan yang terlihat nyata, mereka menatap hasil karya mereka. Kue cokelat yang lebih mirip batu bata daripada makanan enak.

“Tapi, bro, kita nggak nyerah, kan?” tanya Zayn, sambil mengambil sepotong kue yang sudah hampir terbakarnya dan mencobanya.

Edo menatap Zayn, lalu tertawa keras. “Nyerah? Enggak, bro. Kita nggak nyerah. Ini baru permulaan!”

Keduanya menatap kue mereka dengan tatapan penuh tekad, walaupun jelas tidak ada yang bisa menyelamatkan rasa atau bentuk kue tersebut.

“Yaudah, kita buat sejarah baru aja, Zayn. Kalau gagal, setidaknya kita bisa bilang kita pernah coba.”

 

Tugas Kelompok dan Kebetulan yang Konyol

Hari berikutnya, Edo dan Zayn datang ke sekolah dengan semangat yang tampaknya nggak terhentikan. Di sepanjang jalan menuju sekolah, mereka bahkan sudah mulai menyusun strategi baru—strategi untuk bertahan hidup di tengah tumpukan tugas yang mulai menggunung. Seolah-olah mereka merasa ‘terhidupkan’ oleh kegagalan kue cokelat yang hampir merusak reputasi mereka. Kali ini, mereka bersumpah bakal membuat yang lebih besar dan lebih parah—sebuah aksi yang jauh lebih konyol.

“Dengar, Zayn, kita mesti selesaikan ini dengan cara yang bener-bener gila. Mungkin nggak kue kita yang gagal, tapi kita masih punya cara buat jadi legenda,” kata Edo dengan nada berapi-api, meskipun dalam hati dia agak ragu.

Zayn mengangguk sambil menepuk-nepuk tasnya, penuh percaya diri. “Semuanya butuh waktu, bro. Ini kan baru permulaan. Kita masih punya rencana untuk ke depannya.”

Di kelas, ada pengumuman baru: tugas kelompok untuk mata pelajaran Sejarah yang ternyata harus diserahkan dalam dua hari. Semua siswa langsung menjadi cemas. Tapi tidak untuk Edo dan Zayn. Mereka justru merasa ini adalah kesempatan mereka untuk melakukan sesuatu yang lebih konyol, lebih seru, lebih… Edo dan Zayn.

“Kelompoknya siapa, sih?” Edo memutar bola matanya, berusaha menahan tawa.

“Kelompok kita, Edo! Gimana bisa nggak?” Zayn berseru dengan nada bercanda. “Kita kan sahabat satu-satunya yang selalu ‘kreatif’ dalam segala hal.”

Edo tertawa, tetapi tetap saja merasa ada sesuatu yang salah. “Tugas sejarah, ya? Jadi, apa yang bakal kita buat?”

Zayn terdiam sejenak, menatap papan tulis dengan pandangan kosong. “Hmm, kita akan bikin presentasi sejarah yang… nggak biasa.”

“Gimana maksudnya?” Edo semakin bingung.

“Kita bakal bikin sejarah kita sendiri! Bukan sejarah zaman dulu, tapi sejarah versi kita! Bukannya itu yang sebenarnya paling asyik, Edo?” jawab Zayn sambil tersenyum nakal.

Edo merutuk pelan, menatap Zayn dengan ekspresi tidak percaya. “Gila, lo emang punya otak yang beda dari yang lain. Tapi yaudah, yang penting nggak ngulangin kesalahan kemarin. Kalau kue cokelat gagal, jangan sampai presentasi sejarah kita juga kacau.”

Tugas mereka ternyata melibatkan pembuatan video presentasi sejarah. Dan sebagai sahabat yang nggak pernah serius, Edo dan Zayn langsung memutuskan untuk membuat sebuah ‘sejarah alternatif’—dimana mereka berdua menjadi pahlawan-pahlawan yang mengubah jalannya sejarah dunia.

Proyek dimulai dengan sketsa cerita mereka. Zayn langsung mengambil alih peran penulis skrip, sedangkan Edo berfungsi sebagai sutradara sekaligus aktor utama. Dalam pikiran mereka, ini bakal jadi proyek yang sempurna.

“Jadi, lo jadi Raja Edo, penguasa dunia yang nggak bisa dikalahkan,” ujar Zayn sambil memegang papan tulis besar dan mulai menggambar dengan markernya. “Dan gue jadi penyihir Zayn yang punya kekuatan luar biasa, bisa mengubah zaman dan sejarah.”

Edo menggigit bibirnya, mencoba menahan tawa. “Ini sih udah kayak cerita fiksi, Zayn. Lo yakin kita nggak bakal dikeluarin dari sekolah karena bikin cerita nggak masuk akal?”

“Tunggu dulu!” Zayn teriak dengan penuh semangat, “Ini kan sejarah alternatif! Kalau mereka bilang cerita kita nggak realistis, kita bisa jawab, ‘Oh, iya, sejarah itu selalu berubah, kok!’”

Edo menyandarkan punggungnya ke kursi sambil memandangi sahabatnya yang kini mulai bersemangat. “Dengerin lo, Zayn. Kita nggak cuma bikin sejarah palsu, tapi kita bikin… sejarah bohong? Hahaha!”

Zayn tertawa keras, tak peduli kalau ada beberapa orang yang menatap mereka aneh. “Gitu dong, bro! Ini justru yang bakal bikin kita jadi terkenal. Kalau semua orang cuma pakai fakta sejarah biasa, kita malah bikin sejarah versi kita sendiri!”

Saat itu, mereka berdua mulai merancang berbagai adegan video mereka. Zayn jadi penyihir yang mampu mengendalikan waktu, sementara Edo menjadi raja yang menaklukkan dunia dengan cara yang… cukup konyol. Mereka menciptakan segala macam konflik dan aksi, mulai dari pertarungan antara dua kerajaan fiktif yang dihuni oleh manusia dan monster, sampai rencana untuk menyelamatkan dunia dengan sebuah kue cokelat (ya, mereka tidak bisa melepaskan kue itu begitu saja).

Di hari pengambilan gambar, semuanya berjalan dengan cara yang sangat tidak terduga. Zayn mengajak Edo untuk memakai kostum—yang jelas bukan kostum pahlawan seperti yang mereka bayangkan, melainkan lebih seperti kostum seorang penyihir di pasar loak.

“Lo pikir ini bakal berhasil, Zayn? Lo ngeliat nggak kita berdua kayak orang gila pake kostum kayak gini?” Edo melihat dirinya di cermin, merasa hampir malu. Tapi Zayn justru semakin semangat.

“Yah, sedikit konyol itu malah bikin lucu, bro. Lagian, kita nggak bakal pernah bisa serius, kan?” Zayn tertawa sambil menambahkan aksesoris konyol ke kostum penyihirnya.

“Lo bener banget. Kalau kita nggak lucu, ya kita bakal jadi yang paling aneh,” Edo pun tertawa, merasa konyol sekaligus bebas.

Saat pengambilan gambar dimulai, semuanya berjalan lebih buruk dari yang mereka bayangkan. Ada adegan yang harus menggunakan efek ‘magis’, yang mana hasilnya lebih mirip warna cat tumpah daripada kekuatan sihir. Ditambah lagi, kamera yang mereka pinjam dari guru malah sering ngelag dan membuat mereka bolak-balik mengulang adegan. Meskipun begitu, keduanya justru makin terhibur.

“Eh, bro, ini bakal jadi presentasi yang paling kacau dan lucu dalam sejarah sekolah ini, gue jamin!” Zayn berseru sambil tertawa terbahak-bahak.

Edo hanya bisa mengangguk sambil tersenyum lebar. “Betul, bro. Kita emang bikin sejarah versi kita sendiri, kan?”

Di akhir hari, mereka merasa puas dengan hasilnya—meskipun tidak bisa dibilang ‘sukses’ dalam artian yang biasa. Tapi Edo dan Zayn nggak peduli. Mereka tahu, apapun yang terjadi, inilah cara mereka membuat kenangan dan—seperti biasa—sedikit kekacauan yang membuat semuanya jadi lebih hidup.

Malam itu, mereka menonton video presentasi mereka bersama-sama, tertawa tanpa henti. Jika ada satu hal yang pasti, itu adalah: di dunia yang penuh aturan dan norma, Edo dan Zayn sudah menciptakan ‘sejarah’ mereka sendiri.

“Besok pasti kacau, bro,” kata Zayn dengan percaya diri. “Tapi kita bakal buat semua orang ingat nama kita.”

 

Kekacauan di Dapur Edo

Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Tugas sejarah yang mereka buat dengan penuh kekonyolan akan dipresentasikan di depan kelas. Tetapi, bukan cuma tugas itu yang membuat Edo dan Zayn sibuk. Ada satu lagi hal yang mengganggu pikiran mereka—Lomba Kue Cokelat Festival yang bakal digelar minggu ini. Mereka tahu, lomba itu adalah kesempatan mereka untuk kembali jadi pusat perhatian, meskipun setelah kegagalan kue cokelat mereka yang pertama, tak ada yang tahu apakah kali ini mereka akan sukses atau semakin terpuruk. Tapi, apa pun bisa terjadi, kan?

“Bro, siap-siap ya! Kali ini kue cokelat kita pasti bakal jadi legenda!” Zayn berteriak dengan semangat yang tak pernah surut, meskipun jelas dia masih teringat akan kekacauan sebelumnya.

Edo, yang lagi sibuk membaca petunjuk tugas sejarah yang sama sekali nggak membantu, mengalihkan perhatian. “Jangan cuma omong doang, Zayn. Kalau sampe kue cokelat kita gagal lagi, gue nggak tau deh, kita bakal dapet julukan apa di sekolah ini. Jangan sampe jadi bahan olokan, deh.”

Zayn menyeringai, sambil melemparkan bahan-bahan yang sudah mereka beli ke meja. Mereka memang belum sepenuhnya siap, tetapi mereka tetap nggak menyerah. Kali ini, mereka sudah punya ide yang lebih matang—dan mungkin lebih gila lagi.

“Sip, kita butuh trik baru. Kali ini kita nggak cuma bikin kue cokelat biasa. Gue punya ide!” Zayn tersenyum lebar. “Gue baca di internet, katanya, kue cokelat yang enak itu bukan cuma soal rasa, tapi juga penampilan. Jadi, kita bikin kue cokelat yang bisa bergerak!”

Edo menatapnya bingung. “Kue cokelat yang bisa bergerak? Lo nggak nyadar, ya, kita lagi bikin kue, bukan eksperimen robot? Itu kue, bukan teknologi masa depan!”

Zayn tertawa, malah makin terobsesi dengan ide gila itu. “Bro, kita bikin kue yang bukan cuma dipandang, tapi juga bisa ‘hidup’! Gue punya cara biar kue cokelat kita bisa bergerak—dengan bantuan… minuman soda dan sedikit trik ajaib!”

Edo menatap sahabatnya dengan wajah hampir menyerah, tapi dia tahu, kalau Zayn sudah mulai bicara begini, nggak akan ada habisnya. Mereka berdua pun melanjutkan persiapan di dapur rumah Edo yang tidak jauh berbeda dari medan pertempuran. Kalau ada yang bisa disebut sebagai dapur perang, itu adalah dapur Edo.

“Gue rasa kita butuh lebih banyak cokelat,” ujar Zayn sambil membuka beberapa bungkus cokelat batangan dan melemparkannya ke dalam mangkuk besar. “Kita bikin kue cokelat yang… beda.”

“Ya ya, lo terus aja pake bahan baku, gue yang nungguin oven meledak,” Edo bergumam sambil menuangkan tepung ke dalam wadah besar. “Kalau sampe ini gagal lagi, gue bener-bener nggak tahu harus bilang apa.”

Namun Zayn nggak mendengarkan Edo. Ia mulai meracik bahan-bahan dengan cara yang lebih aneh daripada biasanya. Sementara Edo menyiapkan adonan kue dengan ekspresi pesimis, Zayn diam-diam mengeluarkan botol soda dari tasnya. “Ini yang bakal bikin kue kita lebih hidup, bro! Kalau soda bisa bikin kue ini mengembang, kenapa nggak bisa bikin dia bergerak juga?”

Edo menatap Zayn dengan mata terbuka lebar. “Lo serius? Lo mau nyemprotin soda ke dalam adonan kue?”

Zayn mengangguk dengan penuh keyakinan. “Betul banget. Kita nggak bisa kalah, Edo! Kue ini harus beda dari yang lain, harus jadi pembicaraan di sekolah. Kue yang nggak cuma rasanya enak, tapi juga bisa bergerak—gila kan?”

Edo memegang kepalanya. “Bener-bener gila… Tapi, oke, lo menang. Kalau sampe kue ini bisa bergerak, gue bakal angkat topi buat lo.”

Dengan semangat yang meluap-luap, Zayn menuangkan soda ke dalam adonan kue cokelat yang sedang tercampur di mangkuk. “Kita lihat aja nanti, bro,” jawabnya tanpa ragu.

Saat adonan itu mulai mengembang, keduanya merasakan ada sesuatu yang… aneh. Kue cokelat yang mereka buat tidak hanya mulai mengembang—mereka bisa mendengar bunyi gemericik dan bahkan melihat gelembung soda yang mengembang di permukaan adonan. Tapi di sinilah masalahnya. Mereka terlalu bersemangat untuk berpikir jernih.

“Zayn… ini kenapa jadi kayak kue spongebob?” Edo hampir terjatuh dari kursinya saat melihat adonan itu melesat keluar dari mangkuk dengan kecepatan yang luar biasa.

Zayn yang juga terkejut malah tertawa. “Aduh, bro! Gue rasa kita udah nyaris menciptakan sesuatu yang bisa kita sebut monster cokelat!”

Tapi tak ada waktu untuk menunggu hasil sempurna. Zayn, yang masih bersemangat, terus mencetak adonan yang mulai membengkak—kue-kue yang melompat keluar dari loyang, lalu jatuh ke lantai dengan bunyi gemerincing.

“Bro! Gue rasa kita harus berhenti, ini udah ngaco!” Edo berteriak, tapi Zayn sudah hampir gila, mendorong kue yang bergerak-gerak itu ke oven dengan harapan bisa mengendalikannya.

Di saat itulah mereka berdua benar-benar kehilangan kendali. Oven yang seharusnya menghangatkan kue malah mengeluarkan asap tebal, membuat seluruh dapur berbau gosong. Kue-kue yang mereka buat justru menari-nari di lantai, menciptakan kegaduhan seperti di dapur yang dikuasai monster cokelat.

“Apa yang lo lakuin, Zayn?!” Edo berteriak sambil mencoba mengatur oven yang makin panas.

Zayn yang akhirnya mulai sadar, malah tertawa terbahak-bahak. “Ternyata kita harus belajar dulu sebelum bikin kue yang bisa bergerak, ya?” katanya sambil mengambil sepotong kecil kue yang mulai meleleh.

Edo menghela napas panjang, seolah-olah lelah dengan kekacauan yang tercipta. “Gue sih udah nggak peduli lagi, Zayn. Kalau ini gagal, kita coba ikut lomba di kategori kue terburuk.”

Zayn tersenyum, meskipun jelas mereka berdua sudah hampir menyerah. “Yaudah, bro, kita mungkin nggak menang, tapi paling nggak, kita bikin sejarah baru, kan?”

Dan di tengah kegagalan, keduanya tetap tak berhenti tertawa. Karena meskipun kue mereka hancur, impian mereka untuk jadi terkenal—dengan cara yang paling kacau—nyatanya mulai terwujud.

 

Legenda yang Tercipta

Keesokan harinya, seluruh kelas berkumpul dengan antusias di ruang 204. Pengumuman tentang lomba tugas sejarah dan lomba kue cokelat Festival Sekolah sudah menjadi pembicaraan panas sepanjang minggu. Edo dan Zayn tahu, hari ini akan menentukan apakah semua kekacauan yang mereka buat akan menjadi bumerang atau malah membuat mereka jadi legenda—dalam artian yang benar-benar berbeda.

Di ruang kelas, tugas sejarah mereka yang ‘unik’ sudah dipasang di proyektor, siap diputar. Edo dan Zayn duduk di bangku paling belakang, mempersiapkan diri dengan segala kecanggungan yang bisa mereka dapatkan. Mereka sudah siap mental untuk mendapatkan tatapan bingung dari teman-teman mereka, atau bahkan ejekan dari guru mereka.

“Jadi, kita benar-benar ngelakuin ini, ya?” Edo berbisik, merasa ada sesuatu yang aneh di dalam dadanya. Mungkin karena ini adalah kali pertama mereka benar-benar membuat sejarah, meskipun itu sejarah yang nggak masuk akal.

Zayn hanya menyeringai. “Kita bukan cuma ngelakuin ini, bro. Kita bakal jadi legendaris. Gimana bisa nggak, coba?”

Tepat saat video dimulai, semuanya tampak normal. Sejarah ‘alternatif’ yang mereka buat tentang Raja Edo dan Penyihir Zayn mulai diputar di layar proyektor. Begitu layar menampilkan dua karakter utama yang menggelikan—Edo dengan jubah panjang yang lebih mirip selimut, dan Zayn yang mengenakan topi penyihir yang terlihat jelas belinya di pasar loak—seluruh kelas langsung tertawa terbahak-bahak.

Guru mereka, Bu Nina, yang dikenal cukup serius dan tegas, menatap layar dengan ekspresi campuran antara terkejut dan bingung. Sementara para siswa tertawa begitu kerasnya sampai beberapa orang mulai menahan perut. Ada yang mengeluh, “Gila, ini gila banget!” Ada juga yang berteriak, “Raja Edo! Penyihir Zayn! Hahaha!”

Zayn malah tampak menikmati kekacauan itu. “Lihat, bro! Kita kan jadi terkenal!” katanya sambil menunjuk ke layar yang penuh dengan ekspresi konyol mereka berdua.

Edo menatap ke depan, merasa campuran antara malu dan bangga. “Nggak nyangka, video kita bisa bikin kelas semeriah ini,” gumamnya. “Tapi kalau sampai ini jadi bumerang dan kita dipanggil ke ruang guru, gue nggak tahu lagi.”

Namun bukannya marah, Bu Nina malah tersenyum—ya, senyum yang hampir nggak pernah mereka lihat sebelumnya. “Oke, oke, ini memang agak… tidak biasa. Tapi ada satu hal yang saya apresiasi. Kalian berani berbeda. Berani menunjukkan sisi kreatif yang… yah, unik,” ujar Bu Nina sambil menahan tawa. “Tugas ini memang bukan sejarah yang biasa, tapi kalian berhasil bikin sejarah baru—setidaknya, di dalam kelas ini.”

Rasa canggung langsung menghilang dari wajah Edo dan Zayn. Mereka menahan tawa sambil saling bertukar pandang, seakan-akan mereka berhasil melewati ujian terberat yang pernah ada.

Begitu video mereka berakhir, kelas langsung bergemuruh dengan tepuk tangan. Beberapa siswa bahkan berdiri untuk memberikan penghormatan—yang lebih mirip dengan ejekan, tapi tetap saja, mereka berhasil menarik perhatian. Edo dan Zayn saling tatap, kemudian tertawa terbahak-bahak. Seperti yang mereka harapkan, kekacauan mereka bukan hanya diterima, tetapi juga dihargai dengan cara yang sangat ‘Edo-Zayn’.

“Bro, kita emang paling gila,” kata Zayn sambil mengusap wajahnya yang hampir lelah karena tertawa.

“Iya, tapi gue nggak nyangka kalau ternyata kita bisa bikin orang terhibur, ya. Mungkin kita harus terus jadi seperti ini,” jawab Edo, merasa puas meskipun ada sedikit kegelisahan yang tersisa. Tapi dia tahu, jika mereka tetap menjadi diri mereka sendiri, hasilnya bakal selalu luar biasa—meskipun terkadang kacau.

Setelah presentasi selesai, semua orang kembali duduk dengan wajah senang, seolah-olah mereka baru saja menyaksikan sebuah pertunjukan komedi. Semua orang berbicara tentang Raja Edo dan Penyihir Zayn—dan itu cukup untuk membuat mereka merasa berhasil.

Tiba saatnya untuk pengumuman pemenang lomba kue cokelat. Edo dan Zayn duduk lebih tegang dari yang mereka kira. Kue cokelat ‘bergerak’ mereka mungkin akan menjadi legenda, tetapi untuk lomba ini—mereka hanya berharap tak terpuruk terlalu dalam.

Dengan rasa khawatir, Zayn memegangi tangan Edo. “Apa lo pikir kita bakal menang?” tanyanya, mata penuh harap.

Edo menoleh dengan senyum yang lebar. “Lo tau kan, kita nggak pernah menang lomba serius. Tapi kalau sampai ini ada yang bilang gagal… yaudah, kita bilang aja ini kue yang terlalu canggih buat zaman sekarang!”

Tiba-tiba, suara juri mengalihkan perhatian mereka. “Dan pemenang lomba kue cokelat tahun ini adalah… Edo dan Zayn!”

Seketika, seluruh ruangan hening sejenak, lalu meledak dalam sorakan dan tawa. Mereka berdua berdiri dengan ekspresi tercengang, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.

“Gue nggak percaya! Ini kayak mimpi!” Zayn hampir melompat dari kursinya.

Edo menatap Zayn dengan mulut terbuka. “Kita… menang?!”

Beberapa teman mereka berteriak, “Kalian emang gila! Tapi itu kue paling beda yang pernah ada!”

Saat mereka menerima hadiah mereka—tumpukan cokelat dan sertifikat—Edo dan Zayn saling memandang dengan rasa bangga yang sulit digambarkan. Mereka tahu, hari ini mereka tidak hanya memenangkan lomba kue cokelat, tetapi mereka telah membuat sejarah—sejarah yang hanya mereka yang bisa buat.

Ketika mereka berjalan keluar dari aula, masih penuh tepuk tangan, Zayn menatap Edo dengan senyum lebar. “Bro, ini baru permulaan. Kalo kita bisa bikin sejarah yang gila kayak gini, apa lagi yang nggak bisa kita lakuin?”

Edo hanya tersenyum sambil mengangguk. “Apa pun yang kita lakuin, pasti akan jadi legendaris, Zayn. Kita emang paling beda.”

Dan memang begitu—Edo dan Zayn, dua sahabat yang selalu membuat dunia mereka lebih berwarna, lebih konyol, lebih hidup. Sebuah legenda persahabatan yang nggak akan pernah dilupakan, tidak hanya karena kekacauan mereka, tapi juga karena cara mereka membuat segala hal jadi lebih seru dan penuh tawa.

 

Jadi, gimana? Seru kan ngeliat kekacauan Edo dan Zayn yang nggak ada habisnya? Persahabatan mereka mungkin nggak sempurna, tapi siapa bilang harus selalu serius buat jadi keren?

Kadang, yang paling bikin hidup seru tuh justru saat kita bisa jadi diri sendiri—konyol, beda, dan penuh tawa. Kalau kamu juga punya sahabat yang selalu bikin hari-hari kamu jadi lebih berwarna, share cerita kamu! Siapa tahu, kalian juga bisa jadi legenda… dalam versi kalian sendiri.

Leave a Reply