Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih, punya teman yang sekecil semut, tapi bikin hidup kamu jadi lebih berarti? Gajah yang biasanya dikenal dengan tubuh besar dan kuat, ternyata bisa punya sahabat sekecil itu.
Cerita kali ini tentang dua makhluk yang beda dunia, tapi punya ikatan yang nggak terputus. Satu yang besar, satu yang kecil, tapi keduanya saling menguatkan. Yuk, baca cerita persahabatan mereka yang penuh tawa, air mata, dan kenangan yang nggak akan pernah terlupakan!
Kisah Persahabatan Gajah dan Semut
Pertemuan di Tepi Sungai
Pagi itu, langit hutan masih diselimuti kabut tipis. Suara burung dan gemericik air sungai menjadi musik alami yang mengiringi langkah Awan. Gajah muda itu berjalan pelan, menyusuri tepi sungai yang berkelok. Kakinya yang besar menginjak tanah lembap dengan hati-hati, menghindari bebatuan licin yang tersembunyi. Suasana hutan pagi memang tenang, sepi, dan menenangkan.
Namun, Awan merasa sedikit canggung. Tak ada teman untuk berbincang atau berjalan bersamanya. Semua hewan lain sepertinya sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Gajah besar seperti Awan jarang mendapat teman. Hutan ini terlalu ramai untuknya, dan tubuhnya terlalu besar untuk bisa merasa nyaman dalam keramaian. Awan lebih suka menyendiri, menikmati kesejukan udara pagi.
Tapi, tak jauh dari tempat Awan berdiri, sebuah suara kecil terdengar, menghentikan langkahnya.
“Heh! Jangan lewat sini!” suara itu terdengar penuh perintah, meskipun sangat kecil.
Awan menunduk, terkejut. Di bawahnya, hanya ada rumput dan batu kecil. Ia melangkah mundur sedikit, lalu menunduk lebih dalam. Di antara rerumputan, dia melihat sesuatu yang bergerak cepat. Sebuah titik hitam bergerak dengan gesit, seperti semut yang sedang sibuk bekerja. Namun, ini bukan semut biasa. Semut itu tampak sangat berani, bahkan berani menghadapinya yang jauh lebih besar.
Awan terkejut, matanya melebar. “Eh, maaf… aku nggak sengaja hampir menginjakmu,” kata Awan pelan, takut semut itu merasa terancam.
Semut kecil itu berdiri tegak dengan percaya diri. Meskipun tubuhnya kecil, dia tidak tampak gentar sedikit pun. “Kamu nggak bisa begitu aja jalan lewat sini!” semut itu balas dengan suara sedikit terengah-engah, seperti baru saja berlari sejauh mungkin.
Awan merasa canggung. “Maaf, aku cuma jalan-jalan aja. Kamu… apa kamu baik-baik saja?” tanya Awan, bingung bagaimana caranya berbicara dengan semut kecil yang sangat berbeda darinya.
Semut itu melipat kaki depannya dan menatap Awan dengan tatapan tajam. “Nama aku Tari, dan aku nggak pernah takut sama siapa pun, bahkan gajah sebesar kamu,” jawab Tari, sedikit mengejek dengan suara yang penuh keyakinan.
Awan tertawa kecil mendengar jawaban Tari yang begitu berani, meskipun dia tahu semut kecil itu tak seharusnya begitu gegabah. “Kamu emang kecil banget, tapi keberanianmu… nggak ada yang bisa ngalahin,” kata Awan, tersenyum.
Tari mendengus, seolah bangga dengan dirinya sendiri. “Tentu saja! Aku ini semut paling tangguh di hutan ini. Semua yang ada di sini harus tahu kalau semut juga punya kekuatan!” ujarnya sambil berjalan mondar-mandir, seperti memberi peringatan pada seluruh hutan.
Awan, yang biasanya canggung dan tidak tahu bagaimana berinteraksi dengan makhluk kecil seperti ini, malah merasa geli melihat Tari yang begitu penuh percaya diri. “Kamu… kok bisa sih seberani itu?” tanya Awan, mencoba mengajaknya berbicara lebih banyak.
“Karena kalau aku nggak berani, aku bisa dihancurkan sama hewan lain yang lebih besar dari aku! Jadi, ya aku harus punya hati yang besar untuk bisa bertahan!” jawab Tari dengan semangat, sambil mengambil daun besar yang tergeletak di tanah. Dia tampak kesulitan membawa daun itu, tubuhnya yang kecil tak cukup kuat untuk membawa beban sebesar itu.
Melihat itu, Awan merasa sedikit kasihan. “Mau aku bantu?” tanya Awan, menawarkan diri.
Tari berhenti sejenak dan menatap Awan. “Tentu nggak! Aku bisa kok. Kamu gajah besar, pasti bisa bantu banyak hal yang lebih besar daripada ini. Jadi, biarkan aku yang lakukan!” kata Tari, tampak sedikit gengsi.
Awan hanya bisa tersenyum, meski sedikit bingung dengan semut yang begitu keras kepala ini. “Kalau kamu bilang begitu, ya sudah, tapi kalau ada masalah, panggil aku ya,” katanya, mencoba memberi semangat.
Hari itu, mereka berdua mulai menghabiskan waktu bersama. Awan berjalan pelan, menghindari batu-batu besar di sungai, sementara Tari sibuk berlari-lari kecil di antara rerumputan, memunguti daun dan serangga kecil yang bisa dibawanya. Meski mereka tidak bisa berkomunikasi dengan cara yang sama, ada perasaan nyaman yang mulai tumbuh. Awan merasa sedikit lebih ringan, dan Tari merasa seperti punya sahabat yang bisa dia andalkan.
Di sepanjang perjalanan, mereka saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Awan bercerita tentang bagaimana sulitnya hidup di dunia yang begitu besar dan penuh ancaman bagi gajah sepertinya. Sementara Tari bercerita tentang betapa rumitnya kehidupan semut yang selalu harus bekerja keras, dan bagaimana dia harus selalu berhati-hati agar tidak menjadi makanan bagi hewan lain yang lebih besar.
Mereka tertawa bersama. Awan, dengan tubuh besar dan suara beratnya, tertawa pelan, sementara Tari, dengan suara kecilnya yang ceria, terkekeh. Terkadang, Tari menceritakan lelucon konyol tentang semut lainnya yang terlalu serius, membuat Awan tertawa geli, meskipun dia merasa tidak paham betul tentang apa yang dimaksud.
Hari semakin sore. Matahari mulai turun ke balik pepohonan, memancarkan cahaya kuning kemerahan yang indah di seluruh hutan. Awan berhenti di pinggir sungai, menunduk ke arah Tari yang sudah duduk di atas batu kecil, tampak lelah tetapi senang.
“Tari,” kata Awan, suara beratnya sedikit gemetar. “Aku senang bisa ketemu sama kamu. Aku nggak pernah punya teman yang… kayak kamu.”
Tari menoleh dan tersenyum, meskipun matanya tampak lelah. “Aku juga senang punya teman yang sebesar kamu. Tapi ingat, aku nggak bakal mengandalkan tubuh besar kamu buat semuanya, ya! Aku semut tangguh!”
Awan tertawa lagi. “Iya, aku tahu itu. Tapi kalau kamu butuh bantuan, aku pasti ada.”
Malam semakin gelap, dan mereka berdua berpisah. Awan kembali ke pohon besar tempat ia biasa tidur, dan Tari melanjutkan perjalanan kecilnya menuju sarangnya. Namun, meskipun mereka terpisah, sebuah perasaan hangat masih menyelimuti hati mereka.
Persahabatan antara gajah besar dan semut kecil itu baru dimulai. Tanpa mereka sadari, tak lama lagi mereka akan menghadapi ujian besar yang akan menguji ikatan di antara mereka.
Hutan yang Penuh Tawa
Pagi berikutnya datang tanpa permisi, menyapanya dengan cahaya yang memancar lewat celah-celah pepohonan. Hutan itu masih terasa segar, meski ada perasaan sedikit berbeda yang menggelayuti udara. Awan merasakan ada yang berubah sejak semalam. Ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah. Mungkin karena sudah beberapa kali ia bertemu dengan Tari, semut kecil yang tiba-tiba menjadi teman sejatinya.
Hari ini, Awan berjalan lebih cepat dari biasanya. Kakinya yang besar menghentakkan tanah dengan kekuatan yang hampir tak terkendali. Sesekali dia berhenti, menunggu Tari yang tertinggal jauh di belakang. Tidak mudah bagi semut kecil seperti Tari untuk mengikuti langkah besar Awan.
“Hei, nungguin aku ya?” suara Tari tiba-tiba terdengar dari belakang. Awan menoleh dan melihat Tari berlari secepat mungkin. Wajah semut itu tampak cerah meskipun nafasnya agak terengah.
“Hei, kamu kok lama banget sih?” tanya Awan dengan nada menggoda.
Tari melirik Awan dengan senyum penuh tantangan. “Aku kan semut, bukan gajah besar seperti kamu. Jangan buru-buru, aku butuh waktu buat mengikuti jejak langkah besar kamu!”
Awan tertawa geli, melihat semut kecil yang berlari kesana-kemari mencoba menyesuaikan kecepatan dengan dirinya. “Ayo, jangan lama-lama. Aku tunggu di sini,” kata Awan sambil menurunkan tubuhnya, menyentuh tanah agar Tari bisa naik ke punggungnya.
Tari menggeleng. “Aku nggak mau naik ke punggung kamu. Gimana kalau aku jatuh? Aku lebih suka jalan sendiri,” jawab Tari dengan suara mantap.
Awan cuma bisa mengangguk. “Yaudah, kalau gitu, aku tunggu di sini. Hati-hati ya.”
Perjalanan mereka terasa menyenangkan meski penuh keceriaan konyol yang sering kali membuat Awan tertawa sendiri. Awan yang biasanya serius dan suka menyendiri, kini merasa ada sesuatu yang ringan, bahkan dalam setiap langkah yang diambil bersama Tari. Semut kecil itu selalu punya cara untuk membuat Awan tertawa, entah dengan lelucon konyolnya atau cara dia yang berlebihan dalam menjelaskan hal-hal kecil.
Saat mereka melintas melalui pepohonan yang lebih rapat, Tari tiba-tiba berhenti di tengah jalan dan menatap Awan dengan tatapan serius. “Awan, kita harus hati-hati. Di depan sana, ada burung elang yang sering lewat.”
Awan mengernyitkan dahi. “Burung elang? Kenapa? Kita kan nggak dekat dengan mereka.”
Tari mendekat dan dengan suara pelan, menjelaskan. “Burung elang itu bisa menangkap apapun yang bergerak dengan cepat. Kamu besar banget, Awan, tapi mereka bisa menyerang dengan sangat cepat. Kamu harus hati-hati.”
Awan merendahkan tubuhnya sedikit, mencoba memahami kekhawatiran Tari. Dia tahu burung elang memang sangat kuat, tapi selama ini dia merasa tak ada yang bisa mengancamnya. Namun, melihat semut kecil yang begitu khawatir membuat Awan merasa sedikit tergerak.
“Baiklah, aku akan lebih hati-hati,” jawab Awan pelan. “Kita harus lebih berhati-hati, ya. Kalau ada yang mencurigakan, kita cari tempat aman.”
Perjalanan pun dilanjutkan dengan lebih hati-hati. Mereka saling menjaga jarak, dengan Awan yang melangkah pelan dan Tari yang berjalan dengan gesit, selalu siap melompat ke sela-sela batu atau pepohonan untuk bersembunyi jika dibutuhkan. Namun, tak ada tanda-tanda bahaya. Hutan pagi itu terasa damai, meski ada ketegangan yang tak bisa dihindari.
Sampai akhirnya, mereka tiba di sebuah clearing besar, sebuah padang rumput yang luas, tempat dimana banyak hewan biasa berkumpul. Awan merasa lega. Di tempat ini, mereka bisa berhenti dan istirahat sejenak.
“Ayo, kita istirahat dulu!” kata Awan, berbaring di tanah dengan hati-hati, agar tidak menginjak apapun yang ada di bawah tubuh besar dan beratnya.
Tari duduk di dekat kaki Awan, merasa lelah meskipun tubuhnya jauh lebih kecil. “Aku nggak ngerti kenapa kamu selalu bisa duduk santai begitu. Aku capek banget!”
Awan tersenyum lebar. “Gajah besar itu memang punya banyak energi, jadi bisa bertahan lama. Kalau kamu, semut kecil yang hebat, pasti bisa bertahan lebih lama dari aku!” ujar Awan, memberi semangat.
Tari melirik Awan dengan geli. “Iya, sih. Tapi aku punya kelebihan juga. Aku bisa berlari lebih cepat dari kamu. Kalau ada bahaya, aku bisa langsung nyelonong ke tempat yang aman, jauh sebelum kamu bisa berlari.”
Awan tertawa lebar. “Pasti! Kamu yang paling hebat, Tari. Tapi jangan lupakan gajah besar yang selalu siap melindungi kamu, ya?”
Tari tersenyum penuh arti. “Tentu aja, Awan. Kamu nggak akan pernah jauh dari aku, kan?” jawabnya dengan suara yang lebih serius. Ada kehangatan yang terasa berbeda di dalam hati Awan, perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin, hanya persahabatan yang bisa memberikan perasaan seperti itu.
Mereka beristirahat cukup lama. Awan menikmati udara segar dan merasakan ketenangan yang baru. Namun, saat mereka mulai melanjutkan perjalanan, sesuatu yang aneh terjadi. Tari terlihat sedikit lebih lelah dari biasanya. Langkahnya melambat, dan matanya terlihat sedikit sayu.
“Ada apa, Tari?” tanya Awan khawatir.
Tari menggeleng, mencoba tersenyum, tapi ada sesuatu yang tidak biasa. “Aku cuma… nggak enak badan,” jawab Tari perlahan, sambil mencoba menyembunyikan rasa sakit yang mulai ia rasakan.
Awan mengernyitkan dahi. “Kamu nggak apa-apa? Kalau kamu merasa nggak enak, kita bisa berhenti sejenak.”
Tari hanya mengangguk pelan, tapi senyumannya sudah mulai memudar. Meskipun Awan tidak tahu apa yang terjadi, ada firasat buruk yang mulai mengganggu pikirannya. Namun, Tari tidak ingin membebani Awan dengan masalahnya. Dia hanya berharap bisa terus berjalan, meskipun tubuhnya mulai merasa lelah.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, tapi Awan tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu yang buruk sedang menunggu mereka.
Langkah yang Lebih Berat
Langit mulai berubah warna, senja mulai merayap datang. Awan merasakan perubahan udara, terasa lebih berat. Di sekelilingnya, hutan yang dulu begitu riuh dengan suara kicauan burung dan hewan-hewan kecil kini terasa hening. Seolah seluruh hutan sedang menunggu sesuatu.
Awan menoleh ke arah Tari, yang kini berjalan dengan langkah semakin pelan. Semut kecil itu terlihat seperti terhuyung-huyung, meskipun ia berusaha menutupi rasa lelahnya dengan senyum tipis. Namun senyumnya tak lagi secerah biasanya. Awan bisa merasakannya, ada sesuatu yang tak beres.
“Tari,” suara Awan menggema di udara hutan yang semakin sepi. “Kamu kelihatan nggak enak banget. Kita harus berhenti. Kita cari tempat buat istirahat.”
Tari mengangkat kepala, sejenak bertemu pandang dengan Awan. Wajahnya agak pucat, tapi dia mencoba tersenyum, meskipun senyum itu terasa lelah, hampir paksa. “Aku nggak apa-apa, Awan. Jangan khawatir.”
Tapi Awan sudah bisa merasakan. Semut kecil yang selalu ceria ini, yang selalu berlari-lari kecil di sampingnya, kini tampak tak berdaya. Dia berhenti sejenak, merunduk, dan Awan melihatnya memegangi dadanya. Sebuah rasa cemas mulai menggelayuti hati Awan, sesuatu yang lebih buruk dari yang dia bayangkan.
“Jangan bohong sama aku, Tari,” kata Awan, suara terdengar lebih serius, bahkan sedikit tegas. “Kamu nggak bisa bohong. Kalau ada yang salah, bilang sama aku.”
Tari menunduk, tak sanggup melihat mata Awan yang penuh kekhawatiran. “Awan, aku…” suaranya tertahan, dan seolah ada beban yang berat di balik kata-katanya. “Aku nggak tahu berapa lama aku bisa bertahan. Kadang-kadang aku merasa… sakit, Awan. Aku merasa tubuh aku nggak sekuat dulu.”
Awan terdiam. Kalimat Tari membuat jantungnya serasa berhenti berdetak sejenak. Untuk pertama kalinya, dia merasa takut kehilangan teman sejatinya.
“Kamu sakit?” tanya Awan, suara terdengar sangat pelan, seolah takut kalau-kalau kata-katanya bisa menyakiti hati Tari lebih dalam.
Tari mengangguk lemah. “Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi tubuhku semakin lama semakin lemah, Awan. Kadang aku merasa… nggak bisa berjalan lagi.”
Awan menunduk, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tapi apa yang bisa dia katakan? Dia bukan dokter. Dia bahkan tak tahu cara mengobati semut kecil yang selalu ceria itu. Namun satu hal yang pasti—dia nggak akan membiarkan Tari menghadapinya sendirian.
“Aku akan cari bantuan, Tari,” kata Awan akhirnya, dengan tekad yang kuat. “Kita harus ke kampung gajah. Mereka pasti tahu cara mengobati kamu. Kita nggak bisa terus begini.”
Tari menggoyangkan kepala lemah. “Aku nggak mau merepotkan kamu, Awan. Kamu sudah cukup baik buat aku.”
“Tidak ada yang lebih penting selain kamu, Tari. Aku nggak akan pergi kemana-mana tanpa kamu.”
Tari diam. Kata-kata Awan meresap ke dalam hatinya, memberi kehangatan yang menyentuh. Tapi perasaan sakit itu tak bisa disembunyikan. Dia tahu waktunya semakin terbatas.
Setelah beberapa saat, mereka melanjutkan perjalanan, meskipun langkah Tari semakin terhambat. Awan berjalan lebih pelan, mengatur langkahnya agar tidak meninggalkan Tari terlalu jauh. Setiap kali Tari tampak lelah, Awan akan menunggu, membiarkan semut itu pulih sejenak sebelum melanjutkan langkah mereka.
Namun, saat malam datang dengan kabut tebal yang perlahan turun dari langit, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebuah suara berat terdengar di antara pepohonan, membelah keheningan malam.
“Awan… Awan!” suara Tari terdengar semakin lemah. Awan berbalik, melihat Tari terjatuh, tubuh kecilnya tertatih-tatih di tanah. Awan bergegas mendekat, jantungnya berdetak lebih cepat.
“Tari! Kamu nggak apa-apa?!” suara Awan hampir seperti teriakan.
Tari membuka matanya, wajahnya sudah sangat pucat, dan napasnya tampak sangat berat. “Awan, aku nggak bisa lagi… aku nggak bisa…”
Awan menunduk, mendekatkan wajahnya pada Tari. “Jangan bilang begitu, Tari. Kamu masih bisa bertahan. Aku nggak akan biarkan kamu pergi.”
Tari mencoba tersenyum, meski senyumnya hanya sekilas. “Aku tahu kamu baik banget, Awan… tapi aku sudah nggak kuat lagi.”
Awan merasakan seakan ada pisau yang menusuk jantungnya. Kenapa? Kenapa semut kecil yang begitu penuh energi ini harus merasakan semua ini? Semua kenangan indah yang mereka buat bersama terputar dalam ingatannya. Semua tawa, semua kebodohan mereka yang membuat hutan ini terasa hidup. Semua itu terasa semakin jauh, semakin tak bisa dijangkau.
“Tari, kita pergi ke kampung gajah sekarang juga!” Awan berkata dengan suara penuh tekad, namun dalam hatinya, ada perasaan yang tak bisa dijelaskan. Perasaan kehilangan yang semakin nyata.
Tari menggeleng pelan. “Awan… aku ingin bilang sesuatu.”
Awan menunduk, mendekatkan tubuhnya. “Apa, Tari?”
Tari memejamkan matanya. “Aku… aku sangat senang bisa punya teman seperti kamu. Kamu teman terbaik yang pernah aku miliki. Terima kasih sudah mau jadi teman aku, Awan.”
Awan tak bisa menahan air matanya. Suara Tari yang begitu lembut dan penuh rasa itu seperti dentuman keras yang membuatnya sadar—perjalanan mereka sudah hampir selesai.
“Aku nggak mau kehilangan kamu, Tari. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti… tapi aku janji, aku akan terus ingat semuanya,” ujar Awan dengan suara bergetar.
Tari tersenyum lagi. Senyum itu sangat manis, penuh kedamaian, meskipun sangat lemah. “Aku akan selalu ingat kamu, Awan. Jangan lupa… kamu adalah teman terbaik aku.”
Malam itu, di tengah hutan yang sunyi, mereka tetap duduk bersama. Awan menunggu, berharap waktu bisa berhenti, berharap semut kecil yang menjadi sahabat sejatinya bisa bertahan lebih lama. Tapi di dalam hatinya, Awan tahu—tak ada yang bisa menghentikan waktu.
Jejak yang Tertinggal
Hutan terasa semakin hening. Malam yang sebelumnya penuh dengan suara angin yang berdesir di antara daun-daun kini terasa lebih berat, lebih sunyi. Awan duduk di samping Tari, memegang tubuh kecil teman sejatinya yang sudah mulai dingin. Dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Tari, yang meskipun pucat, masih tampak tenang. Awan merasa ada kekuatan aneh yang merasuki dirinya—kekuatan untuk bertahan, meski hatinya hampir hancur.
Tari membuka matanya, yang tampak lelah dan sayu. “Awan,” suaranya hampir seperti bisikan, begitu pelan, tapi begitu jelas di telinga Awan. “Aku minta maaf.”
Awan menatapnya, menggeleng pelan. “Jangan ngomong kayak gitu, Tari. Kamu nggak salah apa-apa. Kamu nggak perlu minta maaf.”
Tari tersenyum tipis, senyuman yang begitu tulus, meskipun lemah. “Aku cuma… nggak mau kamu merasa sendiri. Kamu teman terbaik yang pernah aku punya, Awan. Aku nggak pernah menyesal kenal sama kamu.”
Awan merasakan dadanya sesak, ada perasaan hampa yang menyelubungi dirinya. Dia tak bisa berkata-kata lagi. Semua kata-kata yang ingin dia sampaikan terasa seperti pecahan kaca yang tajam, yang bisa melukai siapa pun yang mendengarnya.
Tari menarik napas berat, mencoba bertahan. “Aku… aku nggak ingin meninggalkanmu, Awan. Tapi aku tahu aku harus pergi.”
Awan memejamkan mata, menahan air mata yang ingin jatuh. Dia tidak bisa melihat sahabatnya, teman yang selama ini selalu ada untuknya, dalam keadaan seperti ini. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah pemahaman yang dalam. Kehilangan itu adalah bagian dari hidup, meskipun begitu sulit untuk diterima.
“Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan tanpa kamu, Tari,” kata Awan, suaranya pecah. “Tapi aku akan ingat semua yang kita lewati. Semua petualangan konyol, semua hal bodoh yang kita lakukan bareng.”
Tari mengangguk lemah, matanya mulai menutup perlahan. “Awan… kamu… kamu harus tetap hidup. Jangan berhenti… jangan menyerah.”
Awan menghapus air mata yang menetes tanpa bisa dia cegah. “Aku janji, Tari. Aku nggak akan berhenti. Aku nggak akan lupa semuanya.”
Tari tersenyum sekali lagi. Kali ini, senyum itu begitu damai, begitu tenang. “Aku bahagia bisa punya teman seperti kamu.”
Dengan satu napas terakhir, Tari akhirnya memejamkan matanya. Dan Awan tahu, saat itu, sahabatnya yang kecil dan penuh semangat telah pergi. Namun, di dalam hatinya, Awan merasa seperti ada sesuatu yang tetap tinggal—sesuatu yang tak bisa hilang, meskipun Tari sudah tak ada lagi di dunia ini.
Awan duduk diam, membiarkan waktu berlalu. Dia tak ingin pergi dulu, tak ingin meninggalkan sahabatnya sendirian. Dia memejamkan mata, merasa angin malam yang sejuk menyapa kulitnya, seakan memberikan kenyamanan yang hanya bisa datang dari kenangan indah bersama seorang teman.
Hutan yang semula ramai dengan kehidupan kini terasa sunyi, namun Awan tahu bahwa di setiap langkahnya ke depan, Tari akan selalu ada. Jejak kaki semut kecil itu tetap terukir dalam hatinya. Dan meski mereka tak lagi berjalan bersama, persahabatan mereka akan tetap hidup, mengalir dalam setiap nafas Awan.
Di tengah hutan yang sepi, Awan berdiri, menatap langit yang penuh bintang. Dia mengangkat kepala, seolah-olah berbicara pada Tari yang sudah pergi.
“Tari, aku janji. Aku akan terus berjalan.”
Dengan langkah yang lebih ringan, meski hati terasa begitu berat, Awan meninggalkan tempat itu, membawa jejak sahabat kecilnya yang tidak akan pernah hilang dari hatinya.
Jadi, setelah baca cerita ini, kamu bakal sadar kalau kadang persahabatan itu nggak dilihat dari seberapa besar atau kecilnya seseorang, tapi dari seberapa tulusnya mereka ada buat kamu.
Meskipun kadang harus menghadapi kehilangan, kenangan indah bareng teman yang setia akan selalu ada di hati. Jadi, jangan lupa, hargai teman-teman kamu yang selalu ada, sekecil apapun mereka, karena mereka bisa jadi bagian terbaik dari hidup kamu. Sampai jumpa di cerita selanjutnya, jangan lupa senyum!