Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasain persahabatan yang udah kayak keluarga sendiri? Nah, cerpen “Langit Pesantren, Tawa yang Tertinggal” ini ngangkat kisah persahabatan dua santri yang udah bareng dari kecil, pisah, lalu dipertemukan lagi di pesantren dengan kisah yang seru, haru, dan bikin baper!
Bukan cuma soal dunia pesantren yang disiplin dan religius, tapi juga soal perjuangan, tawa, dan luka yang ditemani sahabat setia. Cerita ini cocok banget buat kamu yang kangen masa-masa sekolah, persahabatan tulus, dan suka cerita yang dalem tapi tetep asik dibaca. Yuk, simak kisahnya dan siap-siap jatuh hati sama Tegar dan Jati!
Kisah Persahabatan Anak Pesantren
Pertemuan yang Tak Terduga
Langit pagi itu menggantungkan awan-awan tipis di atas halaman luas Pesantren Darul Ma’arif. Udara masih sejuk, daun-daun trembesi bergetar pelan, disapu angin yang membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Gerbang utama pesantren mulai ramai oleh mobil dan sepeda motor yang mengantar santri baru. Suara sandal yang bergesek di tanah, koper yang diseret, dan percakapan orang tua dengan anak-anaknya menyatu jadi harmoni yang khas—sebuah awal dari kehidupan yang akan berubah.
Di antara rombongan santri baru, seorang anak lelaki berperawakan ramping turun dari mobil berwarna abu-abu tua. Wajahnya teduh namun ragu, dengan ransel besar di punggung dan koper kecil di tangan kanannya. Namanya Tegar. Ia menatap bangunan bata merah berlantai dua yang akan menjadi rumah barunya. Matanya menyapu asrama, aula utama, dan lapangan luas yang membentang di sisi kanan gerbang.
Langkah Tegar sedikit lambat, seperti menimbang-nimbang apakah semua ini nyata. Sudah lama sejak terakhir kali ia menginjak tanah sehening ini. Lima tahun lalu, saat ayahnya dipindah tugaskan ke luar kota, ia harus meninggalkan desa kecil tempat segala kenangan masa kecilnya tumbuh—termasuk sahabat lamanya, Jati. Sejak saat itu, semua jadi kenangan kabur. Tapi takdir punya cara unik untuk bermain-main.
“Assalamu’alaikum, nak, ke asrama putra langsung, ya. Nanti ada kakak pembimbing yang bantu,” ujar seorang ustadz yang menyambut di pintu gerbang, tersenyum ramah.
Tegar mengangguk, membalas salam itu lirih. Ia mengikuti arah yang ditunjukkan, melintasi lorong berubin kasar dan aroma kayu jati dari bangunan tua yang khas. Langkahnya berhenti ketika sampai di depan asrama putra. Suasananya belum ramai. Hanya ada satu anak yang berdiri di depan pintu, tangan menyelip di saku celana panjang warna coklat, rambutnya sedikit acak dan matanya tampak memperhatikan sekitar.
Anak itu seperti menyadari kehadiran Tegar dan menoleh. Hanya butuh beberapa detik sebelum keduanya saling memperhatikan lebih lama dari seharusnya.
“…Tegar?”
Tegar nyaris menjatuhkan kopernya. Suara itu. Tatapan itu. Ada sesuatu yang meninju dadanya—bukan keras, tapi pelan dan hangat, seperti pelukan masa lalu yang datang tanpa permisi.
“Jati?”
Anak itu langsung tertawa. Bukan tawa mengejek, tapi tawa kaget yang jujur, yang keluar karena rasa bahagia yang nggak bisa ditahan. Ia melangkah cepat dan menepuk bahu Tegar dengan antusias.
“Gila! Kamu beneran Tegar? Astaga, aku kira kita nggak bakal ketemu lagi!” katanya sambil nyengir lebar.
Tegar masih terdiam, masih menatap sahabat lamanya itu. Rambut Jati memang sekarang lebih panjang, kulitnya sedikit lebih gelap, tapi mata itu… masih sama. Mata penuh semangat yang dulu suka mengajaknya manjat pohon rambutan di belakang sekolah.
“Aku juga nggak nyangka… Kamu beneran Jati?” tanya Tegar, pelan, seolah memastikan ini bukan mimpi.
“Seratus persen. Nggak berubah, kan? Walau sekarang aku lebih keren, sih,” jawab Jati sambil terkekeh.
Tegar ikut tertawa. Tawa yang awalnya ragu, tapi kemudian meledak jadi lega. Mereka akhirnya duduk di tepi teras asrama, berbagi cerita cepat, saling lempar pertanyaan dan candaan. Semuanya mengalir, seperti keran yang dibuka setelah bertahun-tahun tersumbat.
“Kamu pindah kapan dari kampung dulu?” tanya Jati sambil melipat lututnya, duduk santai.
“Kelas lima SD. Bapak dipindah tugas ke Palembang. Waktu itu aku sempet nyari kamu, tapi rumahmu udah kosong.”
“Duh iya, waktu itu aku juga pindah, tapi ke tempat nenek. Aku pikir kita nggak bakal ketemu lagi, serius.”
“Aku juga.”
Diam sejenak. Angin sore berhembus lembut. Halaman pesantren masih ramai, tapi buat mereka berdua, dunia seperti menyempit. Hanya ada mereka, dua anak yang tersambung oleh kenangan dan dipertemukan kembali oleh sesuatu yang lebih besar dari rencana manusia.
“Eh, kamar kamu di mana?” tanya Jati tiba-tiba.
“Nggak tau, belum dicek. Kamu?”
“Nomor tiga. Kalau bisa, kamu bareng aku, ya. Aku udah males banget kenalan sama orang baru,” ucapnya setengah bercanda.
Tegar tertawa kecil. “Kalau bisa sih, aku juga maunya gitu.”
Dan seolah semesta mendengar permintaan mereka, beberapa menit kemudian, seorang pengurus asrama muncul dan membacakan daftar kamar. Nama Tegar dan Jati disebutkan di urutan yang sama. Kamar tiga.
Jati langsung menepuk bahu Tegar sambil tertawa. “Udah, fix. Semesta memang sayang sama kita.”
Malam pertama mereka di asrama terasa seperti perpanjangan masa kecil yang sempat terputus. Mereka saling cerita soal kota tempat tinggal masing-masing, sekolah yang berbeda, guru yang menyebalkan, dan mimpi-mimpi yang nggak sempat mereka bagi saat terpisah.
Di balik tembok asrama yang sunyi, di bawah lampu temaram dan suara jangkrik yang mengisi malam, dua sahabat itu menyambung kembali benang cerita mereka yang sempat putus. Tidak ada yang berubah terlalu banyak—hanya waktu yang berputar, tapi hati mereka masih sama. Masih seperti dua anak kecil yang berlari tanpa alas kaki di pematang sawah, kini duduk bersebelahan, berbagi malam dan harapan baru.
Cerita mereka baru dimulai. Masih ada hari-hari panjang di bawah langit pesantren yang menunggu untuk diisi dengan tawa, perjuangan, dan pelajaran yang akan mereka kenang seumur hidup.
Hari-Hari di Bawah Langit Pesantren
Hari-hari di pesantren berjalan dengan ritme yang cepat dan disiplin. Dentang lonceng tua di menara kecil setiap pukul empat pagi jadi alarm alami yang membangunkan para santri dari tidur mereka. Satu per satu bangkit, ada yang dengan wajah bantal masih menempel di pipi, ada juga yang sudah siap dengan sajadah di tangan. Tegar dan Jati pun tak terkecuali. Sejak hari pertama mereka resmi tinggal di kamar tiga, mereka punya kebiasaan saling bangunin—kadang dengan cara yang sopan, kadang juga dengan melempar bantal.
“Hei, bangun… udah adzan subuh tuh. Jangan tidur kayak mayat,” bisik Jati sambil menggoyang bahu Tegar.
“Ya ampun, Jat… baru juga merem lima menit,” keluh Tegar setengah sadar.
Mereka pun bersiap, berjalan beriringan ke masjid kecil di tengah kompleks pesantren. Di sana, semua santri berkumpul dalam balutan sarung dan mukena, dalam diam yang tenang namun penuh semangat. Setelah subuh, ada kultum bergantian, lalu pelajaran diniyah. Pagi-pagi begitu, biasanya hawa ngantuk masih menempel, tapi Tegar selalu duduk tegak, tak ingin memberi kesan malas, apalagi kalau ada Jati di sebelahnya yang diam-diam memperhatikan dengan senyum geli setiap kali Tegar hampir mengangguk karena kantuk.
Seiring hari berganti, mereka mulai terbiasa dengan rutinitas pesantren. Dari bangun pagi, shalat berjamaah, sekolah umum di siang hari, hingga menghafal ayat-ayat di malam hari. Tapi di tengah kesibukan itu, mereka selalu menyempatkan waktu untuk mengobrol, bercanda, atau sekadar duduk diam bareng di bawah pohon sawo belakang asrama sambil ngemil kerupuk warung santri.
Ada satu waktu favorit mereka: sore hari setelah pelajaran selesai. Saat itu, lapangan pesantren berubah jadi ruang terbuka penuh kehidupan. Anak-anak bermain bola, beberapa membaca buku di pinggir lapangan, dan sebagian duduk bergerombol membicarakan hal-hal remeh seperti makanan favorit di kantin atau ustadz yang paling lucu.
Tegar dan Jati punya kebiasaan sendiri. Mereka sering duduk di atas lantai semen di belakang aula, tempat yang agak tersembunyi tapi cukup nyaman untuk ngobrol bebas.
“Kamu sadar nggak, kita kayak balik lagi ke masa kecil?” ucap Jati suatu sore, sambil menyandarkan punggung ke tembok aula.
“Hm?” sahut Tegar, memalingkan pandangannya dari langit jingga.
“Kayak dulu waktu di kampung. Kita suka duduk kayak gini juga. Bedanya sekarang nggak ada kambing lewat.”
Tegar tertawa. “Iya, tapi suasananya mirip. Tenang, adem… dan kamu masih suka ngomong hal aneh.”
Mereka pun tertawa bersama, suara mereka tenggelam dalam semilir angin yang membawa wangi tanah dan rumput. Hari-hari seperti itu jadi semacam jeda dari rutinitas padat. Momen kecil tapi penuh makna.
Suatu malam, saat semua santri sudah masuk kamar masing-masing, Jati tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari bawah tempat tidurnya—sebuah buku gambar lusuh dengan kertas-kertas yang sudah agak menguning.
“Kamu masih suka gambar?” tanya Tegar, agak kaget.
“Masih, tapi jarang. Sekarang susah nemu waktu yang pas. Tapi… aku tetep simpen ini,” jawab Jati sambil membuka halaman demi halaman yang dipenuhi sketsa-sketsa kecil: masjid, pepohonan, wajah-wajah yang digambar seadanya.
Tegar menyentuh salah satu halaman. “Ini… kayak rumahku dulu.”
“Iya. Aku gambar waktu kamu pindah. Biar nggak lupa.”
Ada hening singkat yang hangat. Bukan karena nggak ada yang mau bicara, tapi karena nggak perlu kata-kata. Semuanya sudah terwakilkan dalam garis-garis pensil di atas kertas.
Hari-hari selanjutnya, kedekatan mereka makin kuat. Banyak santri lain yang memperhatikan, dan beberapa bahkan mulai menjuluki mereka “kembar beda wajah.” Kamar tiga pun jadi salah satu kamar paling ramai, bukan karena banyak orang, tapi karena tawa mereka yang nyaris selalu terdengar.
Tapi tentu saja, tidak semua hari berjalan semulus itu. Ada hari-hari saat tugas menumpuk, hafalan terasa berat, atau bahkan saat salah satu dari mereka kesal tanpa alasan. Tapi mereka tahu, marah pun tak pernah lama. Biasanya cukup dengan sebungkus keripik dari kantin atau candaan receh, semua kembali seperti semula.
Hidup di pesantren memang penuh dengan batas, aturan, dan rutinitas. Tapi buat Tegar dan Jati, tempat itu justru jadi ruang luas untuk memperkuat ikatan yang sudah mereka punya sejak kecil. Di antara lantunan ayat-ayat suci, deru angin sore, dan suara canda para santri lain, mereka tumbuh bersama. Mungkin tubuh mereka bertambah tinggi, mungkin suara mereka mulai berubah, tapi jiwa anak-anak yang saling menjaga itu tetap ada.
Langit pesantren tak pernah benar-benar sepi. Dan di bawah langit itu, dua sahabat lama mulai menulis ulang cerita mereka—halaman demi halaman—dengan tinta tawa, lelah, dan kebersamaan yang tak mudah dicari di tempat lain.
Dan kisah mereka… baru saja mulai berkembang.
Ujian di Antara Tawa
Pagi itu berbeda. Langit di atas Pesantren Darul Ma’arif mendung sejak subuh, seperti menyimpan sesuatu yang belum selesai. Angin tak lagi ramah, menerbangkan daun-daun kering dari halaman ke selasar kelas. Suasana lebih sunyi dari biasanya, bahkan burung-burung yang biasa berceloteh dari balik genting tampak enggan bersuara.
Tegar duduk di pojok kelas, diam, dengan buku catatan terbuka tapi tak dibaca. Matanya kosong, seolah jiwanya sedang bertamasya jauh ke tempat lain. Di sebelahnya, Jati memperhatikan dari balik lengan yang menyandari meja. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, tapi belum tahu harus mulai dari mana.
Biasanya, Tegar adalah yang paling cerewet saat pelajaran mulai membosankan. Bahkan kadang, tanpa niat buruk, Tegar suka nyeletuk hal-hal absurd yang bikin satu kelas tertawa diam-diam. Tapi hari itu, tidak ada celetukan. Tidak ada senyum. Hanya diam dan jeda panjang.
Setelah pelajaran selesai, Jati menyenggol bahu Tegar pelan.
“Aku nggak buta, Teg. Kamu kenapa sih? Sakit?”
“Enggak.”
“Kalau nggak sakit, ya ngomong. Jangan diam kayak tembok.”
Tegar hanya mendesah, lalu berdiri, membereskan bukunya tanpa menjawab.
Sore harinya, saat biasanya mereka duduk di belakang aula menikmati sore, hanya Jati yang datang. Ia menunggu, menengok kanan-kiri, berharap Tegar muncul dengan wajah lelah tapi ceria seperti biasanya. Tapi yang muncul hanya bayangan pepohonan bergoyang.
Hari-hari berikutnya, jarak mulai tumbuh. Tak ada pertengkaran, tak ada debat, tapi keheningan mereka terasa seperti dinding tak kasat mata. Jati masih mencoba mendekat—mengajak main bola, makan bareng, atau sekadar ngobrol receh—tapi Tegar selalu punya alasan. Sibuk. Capek. Banyak hafalan.
Sampai akhirnya, di malam Jumat ketika semua santri berkumpul untuk khataman bersama, Jati tak tahan lagi. Ia menyusul Tegar ke belakang masjid, tempat Tegar biasanya menyendiri setelah selesai mengaji.
“Udah cukup, Teg. Serius. Aku capek nebak-nebak. Kalau kamu ada masalah, bilang. Jangan sok kuat sendiri.”
Tegar menunduk, kedua tangannya mengusap wajah. Ada jeda panjang sebelum akhirnya ia berkata lirih, “Aku nggak mau nyusahin kamu, Jat.”
“Nyusahin? Lah, kamu pikir aku ini apa? Orang asing?”
Tegar akhirnya bicara. Pelan, berat, tapi jelas. Ia cerita soal kabar dari rumah—bahwa ibunya jatuh sakit, dan ayahnya mulai kesulitan membiayai pesantren. Ada kemungkinan Tegar harus pulang lebih awal. Pindah. Atau bahkan berhenti sekolah untuk sementara waktu.
“Aku bingung harus gimana. Aku takut. Tapi aku juga malu. Kita udah deket, tapi aku nggak bisa jaga persahabatan kita kayak dulu…”
Jati menghela napas dalam-dalam, lalu duduk di samping Tegar.
“Kamu tahu nggak? Aku juga pernah takut kehilangan kamu. Dulu, waktu kamu pindah, aku sempet nangis tiga hari. Tapi waktu kamu dateng lagi, aku mikir, mungkin Allah memang nyuruh kita buat bareng lagi.”
Tegar menoleh, pelan. Matanya berkaca-kaca.
“Dan sekarang,” lanjut Jati, “kalau emang kamu harus balik, kita bakal cari cara. Kita bisa bicara ke ustadz, cari bantuan, apapun. Tapi jangan jauhin aku cuma karena kamu takut nyusahin. Sahabat itu nggak buat seneng-seneng doang, Teg. Kita juga harus ada pas susah.”
Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari, Tegar tersenyum. Bukan senyum lebar seperti biasanya, tapi senyum yang menggambarkan beban di pundaknya sedikit terangkat.
Malam itu mereka duduk lama, membicarakan segalanya. Tentang keluarga, tentang rasa takut, tentang masa depan yang belum jelas. Tapi satu hal yang pasti, mereka sepakat untuk hadapi semuanya bareng-bareng.
Keesokan harinya, Jati benar-benar menepati ucapannya. Ia mengajak Tegar menghadap Ustadz Rahman, salah satu pengurus pesantren yang dikenal sabar dan bijak. Dengan suara bergetar, Tegar menjelaskan keadaannya. Dan tanpa diduga, ustadz justru tersenyum hangat.
“Kalau niat belajarnya kuat, insyaAllah selalu ada jalan, Nak. Kita akan bantu. Yang penting kamu jangan mundur duluan.”
Tegar menunduk, mengusap matanya cepat-cepat. Kali ini bukan karena sedih, tapi karena lega. Untuk pertama kalinya sejak mendengar kabar dari rumah, ia merasa punya sandaran yang tak akan membiarkannya jatuh sendirian.
Hari-hari setelah itu tetap berat. Tapi Tegar tak lagi memikul semuanya sendiri. Jati ada di sampingnya, kadang menyemangati, kadang hanya duduk diam tapi penuh arti. Mereka kembali seperti semula, mungkin lebih kuat dari sebelumnya. Persahabatan mereka kini bukan cuma soal tawa dan waktu luang, tapi tentang saling menopang di saat kaki hampir tak kuat berdiri.
Dan meski langit pesantren masih sering mendung, dua anak laki-laki di kamar tiga tahu satu hal pasti: seburuk apapun cuaca, asal mereka jalan berdua, mereka akan tetap sampai di tujuan.
Langkah Terakhir, Janji yang Tak Terucap
Waktu berjalan cepat, seperti detik-detik yang berlari di atas jam dinding aula. Tak terasa, semester di Pesantren Darul Ma’arif hampir usai. Hawa libur mulai terasa, sekaligus ketegangan karena jadwal ujian akhir sudah terpampang di papan pengumuman. Semua santri mendadak jadi kutu buku, termasuk Jati—yang biasanya lebih sering menggambar di buku tulis ketimbang mencatat isi pelajaran.
Tegar juga berubah. Ia jadi lebih tenang, lebih fokus. Mungkin karena setelah semua yang terjadi, ia belajar untuk berdamai dengan keadaan. Bantuan dari pesantren memang belum bisa menghapus seluruh masalah di rumahnya, tapi cukup membuatnya bertahan. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Mereka berdua kini punya kebiasaan baru—belajar bareng tiap malam di beranda kamar, ditemani lampu redup dan serangga malam. Kadang-kadang obrolan mereka nyasar ke topik-topik yang nggak nyambung, seperti kenapa teh manis kantin selalu lebih enak pas hujan, atau kenapa Ustadz Haris selalu ngomong sambil merem.
Tapi malam itu, obrolan mereka lebih dari sekadar candaan.
“Nanti kalo libur, kamu balik ke kampung, kan?” tanya Jati sambil menggambar sesuatu di sudut bukunya.
Tegar mengangguk pelan. “Iya. Mau jenguk Ibu juga. Kangen banget.”
“Kalau aku nggak sempet main ke rumah kamu, jangan marah ya.”
“Kamu kan selalu bilang gitu, tapi akhirnya nongol juga.”
Jati tertawa kecil. “Iya sih. Tapi… entah kenapa aku ngerasa liburan kali ini bakal beda.”
Tegar menatapnya sebentar. “Beda gimana?”
“Enggak tahu. Kayak… kita nggak bakal balik ke sini dalam keadaan yang sama lagi.”
Ada hening. Tapi bukan hening yang canggung. Justru hening yang dipenuhi pemahaman. Mereka tahu waktu di pesantren ini—seberapapun berisiknya hari-hari mereka—tak akan selamanya seperti ini. Hidup akan terus bergulir, membawa mereka ke arah yang tak selalu bisa ditebak.
Hari ujian tiba dengan segala keribetan khasnya. Alarm pagi lebih keras, doa-doa lebih panjang, wajah-wajah lebih tegang. Tapi anehnya, Tegar dan Jati justru kelihatan santai. Bukan karena mereka yakin nilai mereka bakal sempurna, tapi karena mereka sadar, apa pun hasilnya, mereka sudah menang dalam hal yang lebih besar.
Persahabatan mereka.
Hari terakhir sebelum libur datang seperti mimpi. Para santri sibuk membereskan koper, mencuci baju terakhir, dan berpamitan satu sama lain. Di tengah keramaian, Tegar berdiri di depan pintu kamar tiga, memandangi ruangan kecil yang penuh kenangan.
“Banyak banget yang terjadi di kamar ini, ya,” ucapnya sambil tersenyum.
Jati, yang sedang menggulung sarung, mengangguk. “Kamar ini saksi semua hal. Dari pertama kali kamu naruh sandal sembarangan sampe malam-malam kamu curhat pake nangis.”
“Eh, siapa juga yang nangis?”
“Kamu. Dua kali malah.”
Tegar memukul pelan bahu Jati, dan mereka tertawa. Tapi di balik tawa itu, ada rasa perih yang perlahan datang. Bukan karena sedih, tapi karena perpisahan selalu menyisakan ruang kosong—seberapapun kecilnya.
Saat truk pengangkut santri mulai datang menjemput satu per satu, Tegar dan Jati duduk di tangga depan asrama. Koper mereka sudah rapi, baju mereka bersih, tapi mata mereka sibuk merekam semua yang tak bisa dibawa pulang: bau tanah pagi hari, suara serangga dari balik jendela, dan detak waktu yang pernah mereka lalui bersama.
Sebelum truk Tegar datang, Jati menyodorkan buku gambarnya. Kali ini bukan halaman kosong. Di sana ada gambar dua anak duduk di bawah pohon sawo, dengan langit pesantren di atas mereka.
“Aku mau kamu bawa ini. Buat pengingat… kalo aku pernah jadi orang pertama yang lemparin bantal ke kamu subuh-subuh.”
Tegar menerimanya, senyum di wajahnya nyaris pecah jadi tangis. “Kamu tahu kan, aku bakal balik lagi ke sini?”
“Iya,” jawab Jati pelan. “Tapi… kalaupun kamu nggak balik, persahabatan kita tetep tinggal di sini. Di langit Darul Ma’arif, di kamar tiga, dan di semua tawa yang pernah kita bagi.”
Tegar memeluk sahabatnya erat. Tak banyak kata. Hanya dada yang berguncang pelan menahan haru. Mereka tidak janji akan tetap bersama, tidak berikrar akan jadi sahabat selamanya. Karena mereka tahu, persahabatan sejati tak butuh kata-kata itu.
Ia hanya perlu waktu. Dan kenangan. Dan keyakinan bahwa, suatu hari nanti, saat dunia sudah berubah bentuk, hati mereka tetap saling mengenali.
Truk melaju pelan, membawa Tegar pergi, meninggalkan debu dan sisa-sisa kenangan. Jati berdiri lama di tempatnya, memandangi truk itu sampai hilang di tikungan.
Lalu ia tersenyum.
Langit pesantren masih mendung. Tapi di matanya, hari itu adalah hari paling terang sepanjang hidupnya.
Itulah sekelumit kisah dari “Langit Pesantren, Tawa yang Tertinggal”—sebuah cerpen yang nggak cuma menyentuh, tapi juga ninggalin kesan hangat tentang arti sahabat sejati. Di balik seragam santri dan jadwal yang padat, ada cerita-cerita sederhana yang justru paling berharga: ketawa bareng, nangis diam-diam, dan saling dukung saat dunia terasa berat.
Buat kamu yang pernah punya sahabat satu perjuangan, atau lagi butuh cerita yang bikin hati adem, cerpen ini wajib banget kamu baca. Dan jangan lupa, kadang kenangan terbaik justru lahir dari tempat paling sederhana—kayak langit di atas pesantren itu sendiri.