Kisah Mertua dan Menantu: Dari Rindu Menjadi Akhir yang Indah

Posted on

Hai, kamu pernah ngerasain enggak sih, gimana rasanya merasakan jarak yang aneh antara mertua dan menantu? Kayak ada dinding yang tebal banget di antara kalian.

Nah, di cerpen ini, kita bakal ngebahas perjalanan seru antara Madani dan Alaya yang berusaha menghapus semua kesalahpahaman dan menemukan kembali ikatan keluarga yang terputus. Siap-siap baper, ya!

 

Kisah Mertua dan Menantu

Teh Jahe di Pagi yang Aneh

Pagi itu datang seperti biasa. Matahari menyelinap masuk melalui celah-celah jendela ruang makan, membentuk garis-garis cahaya di atas meja kayu tua. Aroma khas rumah yang biasanya hanya berisi bau kopi dan minyak kayu putih kini bercampur dengan sesuatu yang lain—wangi jahe yang hangat.

Madani melangkah turun dari kamar dengan raut wajah yang masih kusut. Kepalanya terasa sedikit berat, mungkin efek dari tidur yang tak nyenyak semalaman. Ia tak langsung menuju dapur seperti biasanya, melainkan berhenti sejenak di ambang pintu, menatap ke dalam ruangan dengan kening berkerut.

Di sana, di dapur yang selama ini dianggapnya sebagai wilayah kekuasaannya, menantunya, Alaya, sedang berdiri dengan ekspresi serius. Tangan perempuan itu sibuk menuang cairan ke dalam cangkir bening, uap tipis mengepul di udara.

Madani mengerutkan alis. Sejak kapan menantu itu bangun lebih pagi darinya? Dan lebih aneh lagi, sejak kapan Alaya berkeliaran di dapur tanpa ada alasan mendesak?

“Apa yang kamu lakuin?” suara Madani akhirnya terdengar, sedikit serak karena baru bangun.

Alaya menoleh dengan gerakan kaku. Sepertinya ia tak mengira akan kedapatan sedang berada di dapur sepagi ini. Dengan sedikit ragu, ia mengangkat cangkir yang ada di tangannya dan mengulurkannya ke arah Madani.

“Ini teh jahe, Bu,” ucapnya, berusaha terdengar santai meski ada kegugupan samar dalam suaranya. “Aku iseng bikin, katanya bagus buat kepala yang agak pusing.”

Madani menatap cangkir itu dengan ekspresi tak terbaca. Ada banyak pertanyaan di kepalanya, tapi yang paling mengganggu adalah satu hal: sejak kapan menantunya tahu kalau ia sering pusing di pagi hari?

“Jahe dari mana?” tanyanya, alih-alih langsung menerima tawaran itu.

“Dari kebun belakang,” jawab Alaya cepat. “Aku lihat Ibu sering ambil dari sana, jadi aku pikir pasti jahe yang itu yang paling enak.”

Madani tak langsung menanggapi. Ada sesuatu yang janggal dalam situasi ini. Tiga tahun mereka tinggal satu atap, dan selama itu pula hubungan mereka lebih banyak diisi dengan diam dan tatapan tajam. Tak ada momen sarapan yang menyenangkan, tak ada obrolan ringan di sore hari. Hanya ada batas yang tak pernah mereka lewati.

Namun, pagi ini menantunya menyodorkan teh. Seolah-olah hubungan mereka tak pernah dingin sebelumnya.

“Kamu gak masuk kerja?” tanya Madani akhirnya, masih enggan menerima cangkir itu.

“Masuk. Masih ada waktu sebelum berangkat,” jawab Alaya.

Madani mengamati wajah menantunya dengan tatapan menyelidik. Ia tak menemukan kesan memaksa di sana. Tidak ada senyum manis yang dibuat-buat, tidak ada sorot mata yang meminta pengakuan. Hanya seseorang yang berdiri di depannya dengan cangkir teh di tangan, menunggu apakah ia akan menerimanya atau tidak.

Dengan gerakan lambat, Madani akhirnya mengulurkan tangan. Uap teh jahe itu menyentuh hidungnya saat ia mendekatkan cangkir ke bibir. Rasanya hangat, sedikit pedas, tapi justru itu yang membuatnya terasa nyaman.

“Kamu bikin sendiri?” tanyanya setelah meneguk sedikit.

Alaya mengangguk. “Aku lihat di internet, katanya jahe bagus buat tubuh. Aku coba aja.”

Madani menggumam pelan, tanda bahwa ia mendengar, meski tak mengatakan apa-apa lagi. Sambil memegang cangkir itu, ia berjalan ke meja makan dan duduk di kursi biasa. Alaya masih berdiri di dekat dapur, seakan tak yakin apakah harus ikut duduk atau pergi saja.

Akhirnya, setelah beberapa detik hening, Alaya menarik napas pelan dan membuka suara.

“Bu, aku ada tanya sesuatu, boleh?”

Madani melirik ke arahnya.

“Apaan?”

“Kenapa Ibu gak suka aku?”

Madani terdiam. Cangkir di tangannya berhenti setengah jalan sebelum mencapai bibirnya lagi. Pertanyaan itu datang begitu saja, tanpa peringatan, seperti lemparan bola yang langsung mengenai dadanya.

Alaya masih berdiri di tempatnya, menatap Madani dengan ekspresi serius. Tak ada nada menyalahkan dalam suaranya, juga tak ada tanda-tanda ingin bertengkar. Ia hanya bertanya, seolah-olah ingin tahu jawabannya dengan jujur.

Madani menghela napas perlahan.

“Kamu ini aneh,” gumamnya. “Tiba-tiba bikin teh, tiba-tiba nanya gitu. Kenapa?”

Alaya tersenyum kecil, meski ada ketegangan di wajahnya. “Karena aku pengen tahu. Aku ngerasa udah coba sebaik mungkin, tapi rasanya tetap salah di mata Ibu. Aku gak mau nebak-nebak lagi.”

Madani menatapnya lama, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke luar jendela.

“Kamu gak salah,” katanya pelan. “Cuma… aku gak terbiasa sama kamu.”

Jawaban itu menggantung di udara.

Alaya menelan ludah, lalu mengangguk kecil. Ia tak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu.

Madani menghela napas dan meletakkan cangkirnya. “Kamu terlalu beda dari apa yang aku harapkan buat Bram. Aku pikir, istri buat anakku harusnya kayak…” Ia berhenti, seolah mencari kata-kata yang tepat.

“Kayak Ibu?” tebak Alaya.

Madani menoleh cepat, matanya sedikit melebar. Ia tak menjawab, tapi ekspresinya sudah cukup sebagai konfirmasi.

Alaya tertawa kecil, lebih ke arah tawa tanpa kebahagiaan. “Aku udah nebak sih,” katanya. “Tapi, Bu… Aku gak bisa jadi Ibu. Aku cuma bisa jadi aku sendiri.”

Madani diam.

Lalu, sesuatu dalam dirinya berbisik bahwa ini pertama kalinya ia benar-benar berbicara dengan Alaya—bukan sekadar berbasa-basi atau saling menghindar.

Ia memandang cangkir teh yang hampir kosong di hadapannya, lalu melirik Alaya yang masih berdiri dengan wajah tegang.

Untuk pertama kalinya, ia berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, menantu ini tidak seburuk yang selama ini ia bayangkan.

 

Rahasia Dapur dan Resep yang Terlupakan

Dapur rumah itu seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi Madani, ruang kecil di mana ia bisa menyibukkan diri dengan sesuatu yang konkret—memasak, mengiris, menumis—tanpa harus berurusan dengan hal-hal yang lebih abstrak seperti perasaan. Namun, pagi ini, dapur terasa berbeda. Ada sesuatu yang menggelitik pikirannya, sesuatu yang membuatnya terus melirik ke arah menantunya yang masih berdiri di dekat rak bumbu.

Sejak kapan ia membiarkan orang lain berada di dapurnya tanpa merasa terganggu?

“Bu, aku boleh pinjem ulekan?” tanya Alaya tiba-tiba, memecah keheningan.

Madani, yang sedang menyusun beberapa piring di rak, menoleh dengan kening berkerut. “Buat apa?”

“Aku mau coba bikin sambal,” jawab Alaya santai.

Jawaban itu membuat Madani hampir tertawa. Alaya—perempuan yang selama ini lebih sering memesan makanan lewat aplikasi daripada turun ke dapur—sekarang mau bikin sambal?

“Kamu bisa?” tanyanya, masih setengah tidak percaya.

Alaya mengangkat bahu. “Aku lihat di YouTube sih. Lagian, kata Bram, sambal buatan Ibu enak banget. Jadi aku mau coba bikin yang mirip-mirip.”

Madani terdiam sejenak. Ada sesuatu di dalam hatinya yang sedikit bergetar mendengar itu. Bukan karena pujian, tapi karena ada satu fakta kecil yang baru saja ia sadari—menantunya memperhatikan.

Ia tak berkata apa-apa saat akhirnya mengambil ulekan dari lemari bawah dan meletakkannya di meja. Alaya menerima benda itu dengan ekspresi puas, lalu mulai memasukkan cabai dan bawang ke dalamnya. Tangannya bergerak kikuk, jelas menunjukkan bahwa ini bukan sesuatu yang biasa ia lakukan.

Madani mendengus pelan. “Salah. Gitu gak bakal halus.”

Alaya menatapnya bingung. “Terus, gimana?”

Madani berjalan mendekat dan tanpa sadar berdiri di sampingnya. “Pakai tenaga di pergelangan tangan, jangan di bahu. Gini.” Tangannya bergerak lincah, menghancurkan cabai dengan tekanan yang tepat. “Kalau terlalu ditekan, nanti sambalnya jadi pahit.”

Alaya mengangguk, berusaha meniru gerakan itu. Namun, saat ia mencoba menekan lebih keras, ulekan malah terpeleset dari tangannya, hampir saja membuat sambal berhamburan ke lantai.

Madani menghela napas panjang. “Astaga, kamu tuh…”

Tapi ia tidak menyelesaikan kalimatnya.

Tangan Alaya tiba-tiba berhenti, matanya menatap ulekan itu dengan ekspresi aneh. Ada sesuatu dalam gerakannya yang berubah, seakan pikirannya melayang ke tempat lain.

Madani memperhatikan itu dengan seksama. “Kenapa?”

Alaya menggigit bibirnya ragu, lalu akhirnya berkata, “Aku kayak pernah ngelakuin ini sebelumnya.”

Madani mengangkat alis. “Ya jelas, kan kamu baru aja ngelakuin.”

“Bukan,” Alaya menggeleng. “Maksudku, dulu… Aku gak ingat kapan, tapi rasanya ini bukan pertama kalinya aku ngulek sambal di dapur ini.”

Madani memandangnya lebih dalam. Ada sesuatu dalam suara menantunya yang terdengar terlalu serius untuk dianggap sebagai candaan.

Alaya mengangkat ulekan lagi, mencobanya sekali lagi dengan lebih hati-hati. Kali ini, tangannya terasa lebih luwes, seakan-akan ia memang pernah melakukan ini sebelumnya.

Madani menelan ludah. Ada sesuatu yang tidak beres di sini.

“Bu,” suara Alaya kembali terdengar pelan. “Dulu waktu aku kecil… aku pernah ke rumah ini gak, ya?”

Pertanyaan itu membuat Madani merinding tanpa alasan yang jelas.

“Tentu aja enggak,” jawabnya cepat.

“Tapi aku ngerasa aneh,” lanjut Alaya. “Ada beberapa sudut di rumah ini yang terasa familiar. Kayak—”

“Terkadang otak bisa mempermainkan kita,” potong Madani. “Mungkin kamu cuma sering lihat rumah model begini di film atau foto lama.”

Alaya terdiam, seakan mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu benar.

Madani merasa napasnya sedikit berat. Ia tak mau mengakui bahwa ia juga merasakan hal yang sama—bahwa ada sesuatu dalam cara Alaya menggenggam ulekan, cara ia mengendus bau sambal, cara ia berdiri di dapur itu—yang terasa… akrab.

Seolah-olah ini bukan pertama kalinya mereka berbagi ruangan ini.

Seolah-olah mereka sudah pernah melewati momen ini sebelumnya.

Tapi kapan? Dan bagaimana?

Madani tidak tahu. Yang ia tahu, pagi itu, sambal buatan Alaya lebih enak dari yang seharusnya.

Dan itu membuatnya semakin bingung.

 

Mimpi di Balik Laci Tertutup

Pagi itu, setelah menghabiskan waktu di dapur, suasana di rumah Madani terasa lebih hangat. Meski hubungan antara dirinya dan Alaya masih diwarnai ketegangan yang samar, kehadiran menantunya membuatnya merasa ada sesuatu yang mulai berubah. Seperti aroma sambal yang baru saja mereka buat, terasa lebih kuat, lebih berani.

Madani beranjak dari meja makan dan memutuskan untuk merapikan laci-laci di ruang tamu. Laci itu sudah lama tidak dibuka, penuh dengan barang-barang yang terabaikan, mulai dari dokumen lama hingga barang-barang kecil yang tidak jelas asal-usulnya. Saat ia menarik laci paling bawah, sebuah buku kecil jatuh ke lantai.

Buku itu terjatuh dengan halus, seperti mendesak untuk dibaca. Madani mengangkatnya dan melihat bahwa sampulnya sudah pudar, tapi judulnya masih terbaca: “Kenangan Masa Kecil.”

Penasaran, ia membuka buku itu dan menemukan banyak gambar, tulisan tangan anak kecil yang lucu, serta beberapa foto yang tampak sudah kuno. Di antara halaman-halamannya, ada satu foto yang sangat menarik perhatian Madani.

Dalam foto itu, tampak seorang gadis kecil tersenyum lebar, dikelilingi oleh bunga-bunga dan pepohonan. Namun, ada sesuatu yang membuat Madani tertegun.

Gadis kecil dalam foto itu memiliki wajah yang sangat mirip dengan Alaya.

“Bu, kamu nemuin apa?” suara Alaya mengejutkan Madani, membuatnya hampir terjatuh.

Madani menutup buku itu dengan cepat, namun tidak cukup cepat untuk menghindari tatapan Alaya yang penuh rasa ingin tahu. “Ah, enggak, ini cuma buku tua,” jawabnya, berusaha bersikap santai.

Alaya melangkah mendekat, matanya berkilau penasaran. “Buku apa? Kok kayaknya menarik?”

Madani merasa sedikit terjepit, namun melihat semangat Alaya, ia menghela napas dan membuka buku itu lagi. “Coba lihat sendiri.”

Alaya mengambil buku itu, duduk di sofa dengan antusias, dan mulai membolak-balik halaman. Saat melihat foto gadis kecil itu, ekspresi Alaya berubah.

“Ini… aku!” Alaya terkejut, suaranya melengking. “Itu aku waktu kecil, kan?”

Madani mengangguk perlahan, hatinya berdebar. “Iya, mungkin… aku enggak tahu. Buku ini sudah lama ada di sini.”

Alaya melanjutkan melihat-lihat halaman demi halaman, lalu tiba-tiba terdiam. “Ada sesuatu yang aku ingat,” ucapnya pelan. “Aku ingat pernah berkunjung ke sini waktu kecil.”

Madani terkejut. “Kapan?”

Alaya menggelengkan kepala, tampaknya berusaha keras mengingat. “Aku enggak ingat detailnya, tapi… rasanya ada kenangan indah yang tersimpan di sini.”

“Kenangan indah?” Madani meragu. Selama ini, hubungan mereka tidak pernah bisa dibilang baik, dan kini mendengar Alaya berbicara tentang kenangan indah di rumah ini membuatnya ragu.

“Ya,” Alaya menatap Madani dengan serius. “Mungkin itu yang bikin aku merasa akrab di sini, Bu. Ada yang lebih dari sekadar mertua dan menantu.”

Madani terdiam. Benar juga. Ada ikatan yang tak terdefinisikan, sesuatu yang mengikat mereka.

Alaya melanjutkan, “Aku rasa, kita bisa menjalin hubungan yang lebih baik. Kita bisa mulai dari sini, kan?”

Madani mengerutkan dahi. “Dari mana kamu dapat pemikiran itu?”

“Dari sambal yang kita buat. Dan dari buku ini,” jawab Alaya, mengangkat buku itu lagi. “Kadang, yang terlupakan bisa jadi jembatan untuk mengenal satu sama lain.”

Kata-kata Alaya mengingatkan Madani pada sebuah kenangan. Dulu, ketika suaminya masih ada, mereka sering merayakan ulang tahun Alaya di rumah ini, di mana Madani mengajarkan Alaya untuk memasak sambal pertama kalinya.

Tapi kenangan itu terasa jauh dan samar, seperti bayangan di balik tirai.

“Tapi… kita sudah terlanjur banyak melewatkan waktu. Kamu tahu kan, hubungan kita yang penuh ketegangan?”

“Ya, aku tahu. Tapi, aku percaya, kita bisa memperbaikinya. Mungkin kita bisa belajar satu sama lain,” Alaya menjawab dengan percaya diri.

Madani merasa terharu, melihat ketulusan di mata menantunya. Di saat-saat itu, ia mulai merasakan benih harapan.

Mungkin, apa yang ia lihat bukan sekadar pengingat masa lalu, tetapi juga kesempatan untuk membangun sesuatu yang baru.

“Satu langkah kecil, ya?” Madani mengangguk, sedikit ragu, namun bersedia.

“Deal!” Alaya mengulurkan tangan, dan Madani dengan hati-hati menggenggamnya.

Saat mereka berdua duduk di sofa, buku di antara mereka terbuka pada halaman yang menunjukkan foto-foto kenangan masa kecil. Dan dengan begitu, mereka tidak hanya membuka lembaran baru, tetapi juga berusaha menguak misteri yang mungkin mengikat mereka lebih dari sekadar mertua dan menantu.

 

Kisah Tersembunyi di Balik Rindu

Hari-hari berlalu setelah momen di dapur yang penuh harapan. Madani dan Alaya mulai saling mengerti satu sama lain, melakukan hal-hal kecil yang membuat mereka semakin akrab. Namun, meski hubungan mereka mulai membaik, ada sesuatu yang mengganjal di hati Madani. Kenangan-kenangan masa lalu yang tersimpan dalam buku kecil itu masih terbayang jelas, dan ia merasa ada rahasia yang lebih dalam yang belum terungkap.

Suatu sore, saat hujan rintik-rintik menyelimuti rumah, Alaya mengajak Madani duduk di teras sambil menikmati secangkir teh. “Bu, kita harus bicara lagi tentang kenangan itu,” katanya, memecah keheningan.

Madani mengangguk. “Iya, aku juga merasa hal itu belum selesai.”

Alaya menyandarkan punggungnya pada kursi. “Aku ingat sedikit demi sedikit. Dulu, saat aku masih kecil, Ibu sering mengajakku ke sini. Tapi setelah itu, aku enggak pernah ke rumah ini lagi.”

Madani terdiam, otaknya berusaha memutar kembali memori itu. “Apa kamu ingat ada peristiwa tertentu yang membuatmu pergi?”

Alaya menggigit bibir, ragu. “Aku rasa… ada sesuatu yang terjadi. Entah apa, aku hanya ingat Ibu bilang kita tidak boleh lagi datang ke sini.”

Mendengar kalimat itu, Madani merasakan ada sesuatu yang mendesak di dalam dirinya. Kenapa ia tidak ingat hal ini? Kenapa suaminya tidak pernah membicarakan kejadian itu?

“Bisa jadi itu karena banyak yang terjadi di keluarga kita,” Madani berusaha menyemangati. “Kadang, kita lupa untuk menyimpan kenangan baik. Kita lebih banyak fokus pada yang buruk.”

“Tapi kita tidak bisa terus-terusan seperti ini, Bu. Kita harus mencari tahu.” Alaya menatap Madani dengan mata penuh harapan. “Mungkin kita bisa pergi ke tempat itu, tempat yang Ibu katakan tidak boleh kita kunjungi lagi.”

Madani terdiam. Dia tahu persis tempat yang dimaksud—sebuah rumah kecil di pinggiran desa, tempat mereka menghabiskan banyak waktu saat suaminya masih hidup. Rumah itu sudah lama ditinggalkan, namun kehadirannya selalu membekas di hati Madani.

“Kalau kita pergi ke sana, apa yang kamu harapkan?” Madani bertanya.

“Menemukan jawaban. Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa menjelaskan kenapa kita terputus,” jawab Alaya mantap.

Madani menatap menantunya, merasakan ketegasan di dalamnya. “Kalau kamu berani, kita bisa melakukannya.”

Keesokan harinya, mereka bersiap-siap untuk pergi ke rumah itu. Madani merasa berdebar-debar, seolah merasakan aura misteri yang menyelimuti tempat tersebut. Saat mereka tiba, suasana di sekitar rumah itu tampak suram. Pepohonan yang tinggi menjulang menutupi sinar matahari, seolah menginginkan tempat itu tetap dalam bayangan.

Mereka berjalan masuk, dan saat melangkah ke dalam, aroma lembab dan debu menyambut mereka. Madani melihat sekeliling, memerhatikan setiap sudut ruangan yang kini dipenuhi kenangan.

“Lihat!” Alaya menunjuk ke arah dinding. Di sana tergantung foto-foto lama, salah satunya adalah foto keluarga—termasuk foto Madani bersama suaminya dan Alaya yang masih kecil.

Madani menghampiri foto itu, dan seketika perasaan nostalgia menyerang hatinya. “Ini kita,” katanya pelan.

Alaya mendekat dan terdiam menatap foto itu. “Kita terlihat bahagia.”

“Ya, kita. Tapi ada yang hilang,” Madani menggerakkan telunjuknya ke foto lain, di mana suaminya tampak berdiri dengan serius di samping orang-orang yang tidak ia kenal. “Siapa mereka?”

Alaya mengamati dan tiba-tiba teringat. “Aku ingat! Mereka adalah teman-teman Ibu. Mereka pernah ke sini bersama kita, tapi aku enggak tahu kenapa aku tidak pernah melihat mereka lagi.”

Madani merasakan debaran di jantungnya. “Mungkin mereka tahu sesuatu. Kenapa kita tidak mencari tahu?”

Mereka melanjutkan pencarian di dalam rumah, membuka lemari, dan merobek-robek dokumen lama. Hingga akhirnya, mereka menemukan sebuah kotak kayu kecil tersembunyi di balik rak buku.

“Coba buka!” seru Alaya penuh semangat.

Madani membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat surat-surat lama dan beberapa barang kecil yang tampaknya memiliki arti. Ketika Alaya membaca salah satu surat, wajahnya langsung berubah.

“Bu, ini dari Ibu! Dia menuliskan tentang sebuah kejadian yang sangat penting, yang membuat kita tidak bisa datang lagi ke sini.”

Madani menatap Alaya, hatinya bergetar. “Apa yang tertulis?”

Alaya melanjutkan membaca dengan suara bergetar. “Ibu bercerita tentang sebuah peristiwa yang mengubah segalanya. Ternyata ada masalah besar di antara keluarga kita yang mengakibatkan jarak ini. Kita sempat terlibat dalam sebuah konflik yang menyakiti banyak orang. Dan Ibu berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan itu.”

Madani merasa seolah terhempas oleh gelombang emosi. Semua rasa sakit, semua pertanyaan yang mengganggu selama ini mulai terjawab. “Jadi, kita harus memperbaiki ini. Kita bisa mengakhiri semua ini, kan?”

Alaya menatap Madani dengan penuh harapan. “Ya, kita bisa memulai dari sini. Kita harus berbicara dengan mereka, Ibu. Kita bisa membuat segalanya lebih baik.”

Mereka berdua saling menatap, dan untuk pertama kalinya, Madani merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka dapat menjalin ikatan yang lebih kuat dari sekadar mertua dan menantu.

Dengan langkah pasti, mereka keluar dari rumah itu, bertekad untuk menemukan cara menghubungkan kembali semua benang yang terputus. Mereka tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi bersama-sama, mereka yakin bisa melewati semua rintangan.

Dan di balik semua itu, terhampar harapan baru—harapan yang mengingatkan mereka akan kenangan indah dan kesempatan untuk memulai yang baru.

 

Jadi, gitu deh! Dari ketegangan jadi kerinduan yang penuh harapan. Siapa sangka, hubungan mertua dan menantu bisa berubah jadi lebih akrab, bahkan setelah sekian lama terpisah? Semoga cerita ini bisa bikin kamu mikir tentang pentingnya keluarga dan bagaimana kita bisa mengatasi perbedaan. Yuk, kita jaga hubungan kita dengan orang-orang terkasih!

Leave a Reply