Daftar Isi
Siapa sih yang nggak kepengen punya keluarga yang adem ayem, serba cukup, bahagia, dan kelihatan kayak nggak ada masalah sama sekali? Dari luar, keluarga Maheswara ini keliatan kayak definisi sempurna yang bikin iri setengah mati.
Tapi hei, hidup kan nggak seindah feed Instagram, kan? Di balik senyum mereka, ada badai yang siap mengguncang. Yuk, siap-siap masuk ke dunia mereka, tapi hati-hati… jangan sampai baper!
Kisah Keluarga Sempurna yang Diam-Diam Menyimpan Luka
Hangatnya Dapur Kirana
Fajar baru saja menyingsing ketika aroma khas kayu bakar mulai menyebar dari dapur kecil di rumah kayu keluarga Maheswara. Kirana sudah lebih dulu terjaga, seperti biasanya. Tangannya lincah menumbuk rempah-rempah di dalam cobek, mencampurkan bawang putih, ketumbar, dan sedikit garam untuk bumbu tempe goreng favorit anak-anaknya. Sesekali, ia meniup rambut yang jatuh ke wajahnya, lalu melirik ke arah pintu dapur yang terbuka. Udara pagi yang masih sejuk membelai kulitnya.
Tak lama kemudian, suara langkah kecil terdengar di lantai kayu rumah itu. Gana, si bungsu yang selalu bangun lebih awal, menyeret kakinya menuju dapur sambil mengucek mata.
“Ibu masak apa?” tanyanya dengan suara serak khas anak yang baru bangun tidur.
Kirana tersenyum dan mengusap rambut anak laki-lakinya yang masih acak-acakan. “Tempe goreng sama sayur lodeh. Kamu mau bantu?”
Gana mengangguk cepat, matanya yang semula mengantuk langsung berbinar. Ia berjinjit ke atas bangku kayu kecil dan mulai mengambil beberapa potong tempe, mencelupkannya ke dalam adonan bumbu yang telah disiapkan Kirana.
“Tangan kamu harus hati-hati, ya,” Kirana mengingatkan lembut.
Sementara itu, suara derit pintu kamar terdengar. Arka, si sulung, keluar dengan rambut yang masih berantakan dan ekspresi malas. Ia meregangkan badan sebelum berjalan ke dapur, lalu bersandar di pintu dengan tangan terlipat.
“Pagi-pagi udah ribut,” gumamnya, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat melihat adiknya yang sibuk dengan tempe goreng.
Kirana terkekeh. “Kalau mau ngomel, sambil bantuin ibu aja. Mau iris cabai?”
Arka mendesah panjang, tapi tetap mengambil pisau dan mulai mengiris cabai merah. Sementara itu, Lara menyusul keluar dari kamarnya, mengikat rambut panjangnya ke belakang dengan asal, lalu duduk di kursi dapur sambil menguap lebar.
“Kak Arka aja yang iris cabai. Aku nanti yang cobain masakannya,” katanya dengan nada malas.
Arka mendelik. “Coba dulu masak sendiri, baru boleh sok-sokan jadi juri.”
Lara mengangkat bahu dengan senyum jahil.
Saat wajan mulai mendesis dan aroma tempe goreng semakin menguar, Bhanu muncul di pintu dapur. Ia baru saja selesai mencuci muka dan menyisir rambutnya dengan jari.
“Bau enak,” komentarnya sambil menghirup dalam-dalam.
Kirana menoleh ke suaminya. “Kalau enak, berarti harus makan yang banyak.”
Bhanu tertawa kecil dan duduk di bangku panjang dekat meja makan. Ia memperhatikan ketiga anaknya yang sibuk membantu. Pemandangan seperti ini bukan hal baru di rumah mereka, tapi tetap saja terasa istimewa setiap pagi.
Setelah semua masakan siap, mereka berkumpul di meja makan. Kirana menyendokkan nasi ke piring anak-anaknya, sementara Bhanu menuangkan teh hangat. Gana mengambil potongan tempe yang ia bantu goreng tadi dan menggigitnya dengan bangga.
“Enak, kan?” tanyanya dengan mata berbinar.
Bhanu mengangguk. “Jagoan ayah makin pintar masaknya.”
Gana tersenyum lebar, sementara Lara menyambar sendoknya dan ikut mencicipi.
“Lara, jangan makan cabainya banyak-banyak,” Kirana memperingatkan saat melihat putrinya mengambil irisan cabai merah.
“Tapi aku suka pedas,” bantah Lara sambil tetap memasukkan cabai ke dalam mulutnya.
Tak sampai lima detik kemudian, wajahnya berubah tegang. Ia buru-buru meneguk teh hangatnya dengan ekspresi panik.
Arka tertawa puas. “Tuh kan, sok-sokan.”
Suasana meja makan pagi itu dipenuhi tawa dan obrolan ringan. Mereka bukan keluarga yang mewah, tidak memiliki rumah besar dengan perabot mahal, tapi mereka punya sesuatu yang lebih berharga—kebersamaan yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Di luar, mentari pagi mulai naik, menerangi rumah kayu sederhana itu dengan sinarnya yang hangat. Dan di dalamnya, keluarga Maheswara menikmati pagi dengan hati yang penuh.
Bengkel Kayu di Samping Rumah
Selesai sarapan, Arka berjalan keluar rumah dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana pendeknya. Udara pagi masih sejuk, dan aroma tanah basah tersisa dari embun semalam. Di samping rumah, berdiri sebuah bengkel kecil dengan pintu kayu setengah terbuka. Dari dalam, terdengar suara gergaji yang bergerak pelan, disertai aroma khas serbuk kayu yang memenuhi udara.
Bhanu sudah lebih dulu ada di sana, duduk di bangku kayu panjang sambil menghaluskan papan dengan amplas. Tangannya yang kekar bergerak terampil, sesekali meniup serbuk kayu yang menempel.
“Baru mulai?” tanya Arka, menyandarkan bahu ke pintu bengkel.
Bhanu menoleh sebentar, lalu tersenyum. “Baru sedikit. Kamu mau bantu?”
Arka menghela napas, tapi tetap berjalan masuk dan mengambil sepotong papan yang sudah dipotong rapi. “Lagi bikin apa kali ini?”
“Rak kecil buat dapur. Ibu minta yang bisa buat naro bumbu.”
Arka mengangguk, lalu meraih kuas kecil dan mulai mengoleskan lapisan pelitur pada papan kayu. Ia memang tidak sehebat ayahnya dalam hal pertukangan, tapi sejak kecil sudah terbiasa melihat Bhanu bekerja, jadi setidaknya ia tahu caranya.
Tak lama kemudian, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari luar. Gana berlari-lari kecil masuk ke dalam bengkel sambil membawa sepotong roti di tangannya.
“Aku juga mau bantu!” serunya dengan semangat.
Bhanu terkekeh dan menepuk kepala anak bungsunya itu. “Kamu bisa pegang ini?” Ia menyerahkan sepotong kayu kecil yang belum dihaluskan.
Gana menerima dengan ekspresi penuh keseriusan. “Aku harus ngapain?”
Arka melirik ke arah adiknya dan menahan senyum. “Gosok pake amplas ini sampai halus, jangan sampai ada yang kasar.”
Gana mengangguk mantap dan mulai menggosok kayunya dengan penuh konsentrasi. Tentu saja, tangannya yang kecil belum cukup kuat untuk menghaluskan kayu dengan sempurna, tapi Bhanu membiarkannya. Bukan hasil akhirnya yang penting, tapi rasa tanggung jawab dan kebanggaan dalam melakukan sesuatu dengan tangannya sendiri.
Dari pintu bengkel, Lara muncul sambil menyender dengan wajah bosan. “Aku nggak paham kenapa kalian suka banget main kayu-kayuan kayak gini.”
Arka menoleh dengan tatapan malas. “Bukan main, ini bikin sesuatu. Beda.”
Lara mendengus. “Ya, ya, terserah.”
Bhanu hanya tersenyum kecil. “Kamu mau coba? Mungkin nanti kamu suka.”
Lara menatap serbuk kayu yang berserakan di lantai, lalu melirik pakaiannya yang masih bersih. “Aku suka hal yang lebih rapi.”
Gana mendongak dengan mata berbinar. “Lara bisa ngecat!”
Bhanu mengangguk setuju. “Benar juga. Kita butuh seseorang buat kasih warna di rak dapur nanti.”
Lara mengerutkan kening, tampak berpikir. “Hmmm… kalau aku yang ngecat, ibu pasti bakal lebih suka hasil akhirnya.”
Arka memutar matanya. “Ya ampun, baru ditawarin aja udah belagu.”
Lara tersenyum lebar. “Ya iyalah. Aku kan perfeksionis.”
Bhanu menyerahkan kuas lain padanya. “Coba aja dulu.”
Lara akhirnya duduk di bangku panjang dan mulai mengoleskan cat kayu dengan hati-hati. Meskipun awalnya ragu, lama-lama ia menikmati juga, terutama saat melihat hasil pekerjaannya perlahan berubah menjadi sesuatu yang indah.
Selama beberapa jam, bengkel kecil itu dipenuhi suara kayu yang dipotong, serbuk yang beterbangan, serta obrolan ringan antara ayah dan anak-anaknya. Di luar, matahari mulai meninggi, dan angin bertiup lembut membawa aroma kayu segar keluar dari bengkel.
Saat akhirnya rak dapur selesai dan diletakkan di luar untuk dikeringkan, Bhanu menepuk pundak Arka. “Kamu makin rapi kalau kerja sekarang.”
Arka mengangkat bahu, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit. “Biasa aja.”
Lara melipat tangannya. “Rak ini lebih bagus gara-gara aku yang ngecat, kan?”
Arka langsung menoleh dengan tatapan tajam. “Hah?! Kayunya kan aku yang rapiin dulu!”
Gana ikut nimbrung, “Aku juga bantu amplas! Itu juga penting!”
Bhanu tertawa melihat ketiga anaknya berdebat soal kontribusi mereka dalam membuat rak kecil itu. Di matanya, mereka semua punya peran masing-masing, sekecil apa pun itu. Yang penting, mereka belajar sesuatu hari ini.
Di teras rumah, Kirana yang sejak tadi memperhatikan hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Hatinya menghangat melihat anak-anaknya bekerja sama dengan suaminya, menikmati proses sederhana yang penuh makna.
Bagi keluarga Maheswara, bengkel kayu kecil ini bukan sekadar tempat membuat perabot, tapi juga tempat mereka membangun sesuatu yang lebih besar—kebersamaan.
Saat Rezeki Tak Berpihak
Hari itu, langit begitu cerah. Matahari bersinar dengan hangat, angin bertiup lembut menggoyangkan dedaunan di halaman rumah keluarga Maheswara. Pagi yang tampak biasa saja, hingga telepon rumah berdering nyaring, memecah keheningan.
Kirana yang sedang mengelap meja segera bergegas mengangkatnya. “Halo?”
Di ujung sana, suara laki-laki terdengar tegas, namun ada nada ragu yang membuat Kirana merasakan firasat tak enak. “Bu Kirana, saya Pak Suryo dari pengelola pasar. Saya mau bicara soal lapak Pak Bhanu di sana…”
Kirana langsung menegakkan tubuhnya. “Iya, ada apa, Pak?”
Suara di seberang terdengar semakin berat. “Jadi begini, pasar akan mengalami renovasi besar-besaran, dan kami harus merapikan penataan lapak. Beberapa pemilik yang tidak memiliki surat kepemilikan resmi harus merelakan tempatnya dialihkan…”
Jantung Kirana mencelos. “Maksud Bapak, lapak suami saya termasuk yang harus digusur?”
Pak Suryo terdengar ragu. “Kami sebenarnya ingin mencari solusi, Bu. Tapi kalau tidak ada surat kepemilikan resmi, kemungkinan besar tempatnya akan dipakai untuk proyek lain.”
Kirana menggenggam gagang telepon lebih erat. “Tapi suami saya sudah berdagang kayu di sana bertahun-tahun, Pak. Tidak bisakah ada cara lain?”
Hening sejenak. Kemudian suara itu terdengar pelan, seolah merasa bersalah. “Saya mengerti, Bu. Tapi kebijakan ini sudah dari atasan. Saya hanya bisa menyampaikan.”
Telepon berakhir dengan Kirana yang masih berdiri terpaku. Wajahnya terlihat pucat. Ia memandang ke luar jendela, melihat Bhanu dan anak-anaknya masih sibuk di bengkel kayu kecil di samping rumah. Hatinya terasa berat.
Namun Kirana bukan tipe wanita yang mudah panik. Ia menarik napas panjang, mengatur pikirannya. Ini bukan pertama kali mereka menghadapi ujian. Dan seperti sebelumnya, mereka pasti bisa melewatinya bersama.
Siang itu, saat makan siang di meja panjang, Kirana akhirnya menceritakan semuanya.
“Jadi, pasar bakal direnovasi dan kita kehilangan lapak?” Arka mengulang dengan dahi berkerut.
Bhanu mengangguk, wajahnya tetap tenang. “Kurang lebih begitu.”
Gana yang sedang menyendok nasi ke mulutnya langsung berhenti. “Terus… Ayah bakal kerja di mana?”
Bhanu meletakkan sendoknya. Ia menatap anak-anaknya satu per satu, lalu tersenyum kecil. “Belum tahu. Tapi kita masih punya bengkel kecil ini. Masih ada pelanggan tetap yang kadang pesan dari rumah.”
Lara yang biasanya paling riuh justru diam. Matanya menatap piring kosong di depannya, lalu berbisik pelan, “Kalau uangnya nggak cukup, kita bakal kekurangan, ya?”
Bhanu tertawa ringan, membuat anak-anaknya sedikit bingung. “Kamu kira kita bakal jadi orang miskin dalam semalam?”
Arka menghela napas, mengusap wajahnya. “Tapi ini tetap masalah besar, Yah.”
“Ya, aku tahu,” jawab Bhanu. “Tapi kita nggak perlu panik. Kita hadapi satu per satu. Aku sudah bicara dengan beberapa pelanggan tetap, mereka setuju buat tetap pesan dari sini.”
Kirana ikut menambahkan, “Ibu juga bisa mulai menjual makanan kecil lagi. Waktu dulu sebelum ada Gana, ibu sempat jualan, kan?”
Gana mengangkat tangan kecilnya. “Aku bisa bantu, Bu! Aku bisa antar pesanan!”
Lara meliriknya dan mendengus. “Kamu bakal lupa jalan, terus malah main di lapangan.”
“Enggak kok!” Gana memprotes dengan pipi menggembung.
Bhanu kembali tertawa, lalu menepuk pundak Arka. “Aku juga mau coba cari tempat lain buat jualan. Mungkin butuh waktu, tapi pasti ada jalan.”
Arka yang sejak tadi terlihat paling gelisah akhirnya mengangguk pelan. “Kalau aku bisa bantu, bilang aja, Yah.”
Bhanu menatap anak sulungnya itu dengan bangga. “Kamu udah banyak bantu. Tapi kalau ada waktu, mungkin kita bisa cari cara buat lebih banyak promosiin bengkel ini.”
Percakapan makan siang itu yang awalnya terasa berat, perlahan berubah menjadi diskusi penuh ide dan semangat. Kirana bisa melihat bagaimana keluarganya tetap solid meski dihadapkan dengan masalah sebesar ini.
Saat makan siang selesai dan semua kembali ke aktivitas masing-masing, Kirana dan Bhanu duduk berdua di teras, menikmati teh hangat.
Kirana menoleh ke suaminya. “Kamu yakin kita bisa melewati ini?”
Bhanu tersenyum, menatap ke langit biru yang terbentang di atas mereka. “Kita udah melewati banyak hal, Kirana. Dan kita selalu baik-baik saja. Kali ini pun, aku yakin kita bisa.”
Kirana menghela napas lega. Ia menggenggam tangan suaminya erat. Tak peduli seberapa besar badai yang datang, ia tahu satu hal pasti—keluarganya akan selalu menjadi tempat yang paling kuat dan hangat.
Cahaya di Ujung Jalan
Beberapa minggu telah berlalu sejak kabar buruk itu datang. Kehidupan di rumah keluarga Maheswara berjalan seperti biasa, meski ada satu hal yang tak bisa dipungkiri—keuangan mereka kini lebih ketat dari sebelumnya. Bhanu masih belum menemukan tempat baru untuk berjualan, dan meskipun bengkel kayunya tetap berjalan, pesanan tak selalu datang setiap hari.
Namun, seperti yang selalu mereka lakukan, mereka tidak menyerah.
Kirana mulai sibuk kembali di dapur, membuat kue-kue kecil untuk dijual. Arka membantu mempromosikan bengkel kayu mereka secara online, sesuatu yang dulu tak pernah mereka pikirkan. Gana, meski masih anak-anak, dengan senang hati mengantar pesanan ke tetangga-tetangga sekitar. Bahkan Lara, yang biasanya lebih sibuk dengan dunia kecilnya sendiri, ikut membantu dengan menyiapkan kemasan untuk jualan ibunya.
Mereka tidak memiliki banyak, tapi mereka punya satu sama lain.
Sore itu, Bhanu baru saja selesai membuat kursi pesanan seorang pelanggan lama ketika Arka datang dengan ekspresi penuh semangat.
“Ayah! Ada yang mau ketemu sama Ayah!”
Bhanu mengerutkan dahi. “Siapa?”
“Aku nggak tahu, tapi dia bawa mobil bagus dan katanya dia pengusaha furnitur!”
Bhanu terkejut, tapi tak punya waktu untuk bertanya lebih jauh. Dengan tangan masih berdebu, ia berjalan ke depan rumah, di mana seorang pria berjas rapi berdiri menunggu.
Pria itu tersenyum saat Bhanu mendekat. “Pak Bhanu, saya Reza, pemilik Galeri Kayu Indah. Saya dengar tentang karya-karya kayu buatan Bapak dari salah satu pelanggan lama saya.”
Bhanu menatapnya penuh tanya. “Oh… Terima kasih. Tapi, kalau boleh tahu, Bapak ke sini untuk apa?”
Reza tersenyum lebih lebar. “Saya tertarik bekerja sama dengan Bapak. Saya punya toko yang butuh pemasok produk kayu berkualitas. Saya lihat hasil kerja Bapak sangat bagus. Bagaimana kalau kita buat kesepakatan?”
Bhanu terdiam. Ia menoleh ke arah bengkelnya yang sederhana, lalu kembali menatap pria itu. “Bapak serius?”
“Serius sekali, Pak Bhanu,” jawab Reza. “Saya butuh pengrajin jujur dan teliti. Kalau Bapak bersedia, saya bisa mulai dengan pesanan pertama minggu depan.”
Bhanu tak langsung menjawab. Matanya terasa panas, tapi bukan karena debu—melainkan karena haru yang begitu dalam. Setelah semua yang mereka lalui, kini ada secercah harapan yang nyata.
Dari teras rumah, Kirana memperhatikan dengan senyum penuh arti. Lara dan Gana saling melirik dengan mata berbinar, sementara Arka tampak puas karena ide promosinya membuahkan hasil.
Bhanu akhirnya tersenyum. Senyum yang penuh rasa syukur.
“Mari kita coba, Pak Reza,” ucapnya mantap.
Dan dengan itu, babak baru bagi keluarga Maheswara pun dimulai.
Dan begitulah, hidup emang selalu punya cara buat ngelempar kejutan. Kadang dikasih cobaan, kadang dikasih harapan. Keluarga Maheswara? Mereka jatuh, tapi nggak hancur. Mereka kepleset, tapi nggak nyerah. Karena pada akhirnya, keluarga bukan tentang seberapa banyak yang dipunya, tapi seberapa kuat mereka saling genggam di saat semuanya nyaris lepas. Jadi… masih iri sama mereka?


