Daftar Isi
Jadi, kamu pernah ngerasain nggak sih, cinta yang bikin kamu pengen nangis sekaligus tersenyum? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia Liora, yang harus berjuang menghadapi kenyataan pahit tentang ibunya.
Siap-siap baper, karena di sini, kita bakal ngobrolin kasih sayang yang tulus dan kenangan-kenangan indah yang bikin hati kamu bergetar. Yuk, simak cerita ini, dan siap-siap buat merasakan semua emosi yang ada!
Pelukan Terakhir Liora
Sayap Tak Terlihat
Rumah tua di ujung gang sempit itu selalu terasa dingin, terutama di pagi hari. Jendela-jendela berderit setiap kali angin bertiup, membawa debu-debu kecil yang berserakan di lantai kayu. Aku, Liora, duduk di kursi rodaku sambil menatap keluar jendela. Setiap hari aku melihat anak-anak berlarian, tertawa, dan bermain bola di jalanan. Terkadang, aku berandai-andai, bagaimana rasanya bisa berjalan dan berlari seperti mereka.
Pagi ini, seperti biasanya, ibuku, Astrella, sudah bangun lebih awal. Ibu selalu sibuk di dapur, menyiapkan sarapan. Suara peralatan dapur berdenting di kejauhan, tapi aku hanya bisa duduk di sini, memandangi langit yang perlahan berubah dari kelabu menjadi biru terang.
“Ibu, kamu sudah bangun dari jam berapa?” tanyaku saat ibu masuk ke kamarku membawa semangkuk bubur panas.
Ibu tersenyum, senyuman yang selalu bisa menghangatkan hatiku. “Sejak ayam jantan berkokok. Kamu tahu, kan, ibu selalu bangun pagi buat anak cantik ibu?”
Aku tersenyum kecil. Aku tahu ibu selalu berusaha membuatku merasa lebih baik, walaupun aku sendiri sering merasa hampa. Rasanya seperti terjebak dalam tubuh yang nggak mau diajak kompromi. Setiap kali melihat kaki-kaki yang tak bisa kugerakkan, aku merasa marah, frustasi, dan… entah, seperti semua ini nggak adil.
“Liora, ayo makan dulu,” ajak ibu lembut sambil menaruh semangkuk bubur di meja kecil di samping kursi rodaku. Ia duduk di tepi tempat tidurku, memandangiku dengan tatapan penuh kasih.
Aku menyendok bubur tanpa semangat. “Ibu, kenapa sih aku nggak bisa kayak anak-anak lain? Aku capek jadi kayak gini…”
Ibu terdiam sejenak. Wajahnya masih tersenyum, tapi aku bisa lihat ada sesuatu di balik matanya—rasa sakit yang selalu ia sembunyikan dari aku.
“Kamu tahu, Liora…,” ibu mulai bicara dengan suara lembut, “Kamu mungkin nggak bisa berjalan, tapi kamu punya sesuatu yang lebih berharga dari itu.”
Aku menatap ibu dengan bingung. “Apa maksudnya?”
Ibu mengelus rambutku perlahan. “Kamu punya sayap yang nggak bisa dilihat oleh orang lain.”
Aku tertegun. “Sayap? Ibu bicara apa sih?”
Ibu tersenyum, kali ini lebih hangat. “Sayapmu adalah kekuatanmu, Liora. Bukan kekuatan fisik, tapi kekuatan untuk terus bertahan. Untuk nggak menyerah walaupun keadaanmu seperti ini. Kamu selalu punya cara untuk menghadapi setiap hari dengan senyum, dengan tawa. Itulah sayapmu.”
Aku terdiam mendengarnya. Dalam hati, aku merasa ucapan ibu itu hanya kata-kata penghibur. Aku ingin bilang bahwa aku nggak butuh sayap imajiner. Aku butuh kaki yang bisa kugerakkan. Aku butuh kebebasan. Tapi aku tahu, ibu hanya berusaha membuatku kuat. Dan aku nggak mau membuatnya sedih.
“Ibu, apa nggak capek ngurus aku setiap hari?” tanyaku pelan, ragu-ragu.
Ibu tertawa kecil, seperti aku baru saja melontarkan lelucon. “Capek? Nggak sama sekali. Justru ibu bersyukur setiap hari bisa ada buat kamu. Nggak ada yang lebih berharga buat ibu selain melihat kamu di sini, sehat.”
Kata-kata ibu selalu sederhana, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang selalu membuat hatiku bergetar. Aku tahu, ibu selalu mencintaiku tanpa syarat, tapi terkadang aku bertanya-tanya, apakah aku terlalu membebani hidupnya? Apakah aku terlalu egois dengan terus bergantung padanya? Namun ibu tidak pernah memperlihatkan sedikit pun keluhan.
Hari itu, setelah sarapan, ibu membawaku keluar rumah untuk duduk di halaman belakang. Halaman itu memang kecil, tapi bagi kami, itu adalah tempat pelarian dari dunia. Ada beberapa pohon tua yang daunnya mulai berguguran, dan kursi kayu di bawahnya, tempat kami biasa duduk bersama.
“Ibu, aku pengen tahu gimana rasanya lari,” kataku tiba-tiba. Pandanganku menatap kosong ke depan.
Ibu memutar tubuhku dengan kursi roda agar menghadap langsung padanya. Ia jongkok di depanku, menggenggam tanganku erat. “Liora, kamu nggak perlu lari untuk merasa bebas. Kadang, kebebasan itu ada di sini.” Ia mengetuk dadaku perlahan.
“Di dalam hati? Gimana bisa, Bu?” tanyaku skeptis.
“Karena kebahagiaan dan kebebasan itu sebenarnya ada di cara kita melihat dunia, bukan di fisik kita. Liora, kamu harus tahu, meskipun kamu nggak bisa berjalan, kamu punya kekuatan besar yang banyak orang lain nggak punya. Kamu punya hati yang penuh kasih, kamu kuat, lebih kuat dari yang kamu kira.”
Aku menatap ibu dengan rasa campur aduk. Sebagian diriku ingin percaya pada kata-kata ibu. Tapi bagian lain merasa itu hanya harapan kosong. Aku ingin hidup seperti anak-anak lain, menikmati dunia tanpa batasan.
“Ibu, apa aku akan bisa jalan suatu hari nanti?” tanyaku pelan, hampir berbisik.
Ibu terdiam. Tatapannya tetap lembut, tapi kali ini ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan. Ia menggeleng perlahan, lalu berkata dengan suara yang nyaris pecah, “Mungkin nggak, sayang. Tapi itu bukan akhir dari segalanya.”
Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan air mata yang tiba-tiba menggenang. Rasanya seperti dunia runtuh, meski aku sudah tahu jawabannya. Tapi mendengar ibu mengatakannya langsung… rasanya tetap perih.
“Ibu akan selalu ada buat kamu, Liora. Selalu,” bisik ibu, memelukku erat.
Dan di sana, di bawah pohon tua dengan daun-daun yang berjatuhan di sekeliling kami, aku hanya bisa menangis dalam pelukan ibu. Aku sadar, mungkin aku nggak akan pernah bisa merasakan bagaimana rasanya berlari. Tapi, dalam pelukan ibu, aku merasa sedikit lebih ringan, seolah ada sayap tak terlihat yang menopangku.
Hari itu terasa panjang. Setelah tangisanku reda, ibu mengajak aku masuk kembali ke dalam rumah. Meski kata-kata ibu tentang “sayap tak terlihat” masih terasa asing bagiku, aku mulai memahami bahwa mungkin, hanya mungkin, kekuatan yang dimaksud ibu bukanlah sesuatu yang bisa dilihat orang lain.
Di hari-hari berikutnya, aku terus menjalani kehidupanku seperti biasa. Bangun pagi, makan bersama ibu, dan duduk di dekat jendela, menatap dunia luar. Tapi kali ini, setiap kali melihat anak-anak berlari di jalanan, aku mulai berpikir tentang kata-kata ibu.
Apakah benar, aku punya sayap? Apakah benar, aku bisa terbang dengan cara yang berbeda? Aku masih belum tahu jawabannya, tapi yang jelas, di setiap senyum dan sentuhan lembut ibu, aku mulai merasakan sesuatu yang hangat mengisi ruang kosong dalam hatiku.
Mungkin, ibu benar. Mungkin, aku punya sayapku sendiri.
Tangan yang Melemah
Seminggu setelah obrolan kami tentang “sayap tak terlihat,” ada sesuatu yang berubah di rumah kecil kami. Bukan karena hal besar, tapi lebih ke hal-hal kecil yang hanya aku, sebagai anak yang selalu mengamati gerak-gerik ibu, bisa rasakan.
Ibu mulai terlihat lelah. Bukan seperti lelah yang biasanya bisa disembuhkan dengan tidur semalam, tapi lebih ke lelah yang dalam. Tangannya mulai gemetar saat menuangkan teh pagi. Langkahnya juga lebih pelan, dan napasnya terdengar sedikit lebih berat. Aku bisa melihat guratan di wajahnya semakin dalam, meski ibu tetap tersenyum setiap kali aku menatapnya.
Pagi itu, saat ibu duduk di kursi tua di sampingku, aku memberanikan diri bertanya. “Ibu… kenapa sih belakangan ini? Ibu kelihatan capek.”
Ibu tersenyum, kali ini senyumnya agak pudar. “Ibu cuma butuh istirahat, Liora. Nggak usah khawatir. Kamu tahu, kan, ibu kuat?”
Kuat. Kata itu selalu ibu ucapkan, tapi aku mulai ragu. Selama ini, aku yang sering merasa lemah, merasa hanya bisa bergantung pada ibu. Tapi sekarang, melihat ibu yang mulai kehilangan energinya, aku merasa seperti dunia mulai retak sedikit demi sedikit.
Hari itu berjalan seperti biasa. Aku tetap duduk di kursi rodaku, melihat keluar jendela, sementara ibu membersihkan rumah seperti biasanya. Tapi ada yang beda, gerakannya lebih lambat, seakan-akan tubuhnya menarik rem yang tak terlihat. Aku bisa mendengar derit di lantai kayu setiap kali ibu melangkah. Rasanya setiap langkahnya membawa beban yang lebih berat daripada sebelumnya.
Malamnya, saat aku sudah di tempat tidur, aku mendengar suara batuk ibu dari kamar sebelah. Batuknya terdengar dalam, berat, dan membuatku cemas. Aku ingin bangun, ingin memastikan ibu baik-baik saja, tapi aku hanya bisa berbaring diam. Aku benci rasanya tidak bisa melakukan apa-apa.
Keesokan harinya, ibu berusaha tetap seperti biasa. Ia masih membuatkan sarapan, masih tersenyum, dan masih memelukku seperti hari-hari sebelumnya. Tapi aku tahu ada sesuatu yang berbeda. Matanya tidak seterang biasanya, dan tangannya sedikit lebih gemetar saat menyuapiku bubur.
“Ibu, kalau ibu sakit, ibu harus istirahat, dong,” kataku pelan, mencoba terdengar tegas meski hatiku cemas.
Ibu tersenyum tipis. “Ibu nggak sakit, sayang. Ibu baik-baik aja. Kamu tahu, ibu ini punya kekuatan lebih dari yang kamu kira.”
Kata-kata itu lagi. “Kekuatan.” Tapi kali ini, aku bisa lihat bahwa ibu sebenarnya sedang menyembunyikan rasa sakitnya di balik senyum itu. Aku mulai merasa ada sesuatu yang nggak beres.
Hari-hari berlalu, dan ibu semakin jarang keluar rumah. Biasanya, setiap sore, ibu akan mengajakku duduk di halaman belakang, membicarakan hal-hal sederhana seperti cuaca, bunga-bunga yang mulai layu, atau cerita masa kecilnya yang lucu. Tapi sekarang, ia lebih sering berada di dalam kamar, dengan alasan “sedikit pusing.”
Aku mulai merasa ada yang disembunyikan ibu dariku. Aku tahu ibu terlalu kuat untuk mengeluh, tapi aku juga tahu, ada batas dari kekuatan yang bisa seseorang pertahankan.
Suatu malam, saat aku sudah hampir tertidur, aku mendengar suara langkah kaki berat dari kamarnya. Suara itu terdengar lebih pelan dari biasanya, tapi jelas. Seolah ibu berusaha menahan sesuatu. Aku mencoba menajamkan pendengaranku, dan tiba-tiba, terdengar bunyi keras dari kamar ibu, seperti sesuatu jatuh ke lantai.
“Ibu?!” aku langsung berteriak panik.
Nggak ada jawaban.
Jantungku berdegup kencang. Aku ingin lari ke kamar ibu, tapi jelas aku nggak bisa. Aku hanya bisa duduk di kursi roda, memanggil-manggilnya dari kejauhan. “Ibu! Ibu, ibu nggak apa-apa?”
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, akhirnya terdengar suara pelan dari kamar ibu. “Ibu… ibu di sini, Liora. Maaf, ibu nggak sengaja menjatuhkan sesuatu.”
Nada suaranya nggak seperti biasanya. Lelah, terdengar dipaksakan, seperti dia sedang berusaha keras menyembunyikan sesuatu. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi aku tahu ibu tidak akan jujur jika aku terus menekan.
Keesokan harinya, ibu tampak berusaha lebih keras untuk terlihat ceria. Ia menyapaku dengan senyuman lebar, tapi aku tahu ada sesuatu yang salah. Ia nggak bilang apa-apa tentang kejadian semalam, dan aku juga nggak bertanya. Tapi aku nggak bisa mengusir rasa cemas yang terus tumbuh di dalam diriku.
Seminggu kemudian, saat aku sedang duduk di ruang tamu, pintu depan diketuk. Itu suara yang jarang terdengar di rumah kami. Kami jarang kedatangan tamu. Ibu berjalan ke pintu dengan langkah yang pelan, lalu membukanya. Dari kursi rodaku, aku melihat seorang pria berseragam putih—seorang dokter.
“Ibu, kenapa ada dokter di sini?” tanyaku dengan nada penuh kecurigaan.
Ibu menoleh padaku, raut wajahnya tegang tapi berusaha tersenyum. “Nggak apa-apa, Liora. Ibu cuma butuh check-up biasa.”
Aku memandang ibu dengan tatapan yang penuh pertanyaan. “Check-up? Ibu bilang ibu baik-baik aja.”
Ibu mendekat, lalu mengelus kepalaku lembut. “Ibu memang baik-baik aja. Ini cuma untuk jaga-jaga.”
Tapi aku tahu, dari tatapannya yang mulai redup, ibu menyembunyikan sesuatu yang besar. Ibu membimbing dokter itu masuk ke kamar tidurnya, dan pintu ditutup dengan pelan. Suara berbisik mulai terdengar dari dalam, tapi aku nggak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. Aku hanya bisa duduk diam di ruang tamu, merasa terisolasi dari sesuatu yang seharusnya aku tahu.
Ketika dokter keluar dari kamar ibu, wajahnya datar, profesional, tapi ada sedikit kesan prihatin. Ia mengangguk singkat padaku sebelum keluar dari rumah tanpa berkata apa-apa.
Aku menatap ibu ketika ia keluar dari kamar, wajahnya pucat, tapi masih berusaha tersenyum. “Ibu baik-baik saja, Liora,” katanya lagi, mencoba meyakinkanku.
Tapi aku tahu. Aku tahu ada sesuatu yang salah. Aku tahu ibu sedang menutupi rasa sakit yang semakin besar, dan aku nggak bisa melakukan apa-apa untuk menghentikannya.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar takut kehilangan satu-satunya sayap yang selama ini melindungiku.
Rahasia di Balik Senyuman
Hari demi hari berlalu dengan lebih banyak kekhawatiran dalam hati yang terus bertambah. Ibu tetap mencoba menjalani rutinitasnya, namun aku bisa melihat bahwa dia mulai kehabisan energi. Semakin sering, ibu memilih untuk tidur lebih lama dan menghabiskan waktu di kamar. Raut wajahnya yang dulu selalu cerah kini terlihat lebih letih, meskipun ibu tetap memaksakan senyum di depan mataku.
Pagi itu, aku terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya naik, dan biasanya aku akan menunggu ibu datang membangunkanku, menyiapkan sarapan, lalu menyuapiku dengan penuh kasih sayang seperti biasa. Tapi, hari ini berbeda. Tidak ada suara langkah kaki ibu, tidak ada bau masakan dari dapur. Hanya ada keheningan yang membuat dadaku terasa berat.
“Ibu?” suaraku pelan, hampir seperti bisikan, tapi cukup untuk memenuhi ruangan yang sepi.
Aku memutuskan untuk menunggu beberapa menit. Mungkin ibu sedang istirahat lebih lama. Tapi, perasaan cemas itu tidak kunjung hilang, malah semakin kuat, seperti sebuah dorongan tak terhindarkan untuk memeriksa apa yang sedang terjadi. Dengan susah payah, aku berusaha memutar kursi rodaku menuju kamar ibu.
Saat tiba di depan pintu kamarnya, aku mendengar suara lembut. Itu ibu. Tapi dia tidak sendirian. Ada suara lain, suara yang sudah tidak asing lagi bagiku—dokter yang datang minggu lalu.
Aku menahan napas, mencoba mendengarkan percakapan mereka dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup.
“Kamu harus mulai mempertimbangkan pengobatan intensif,” kata suara dokter itu. “Kondisi ini sudah berjalan cukup lama, dan jika ibu terus memaksakan diri, ini akan semakin memperburuk keadaan.”
Aku menelan ludah. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
“Dokter, aku tidak bisa,” jawab ibu pelan, hampir seperti berbisik. “Aku harus ada di sini untuk Liora. Dia butuh aku. Siapa yang akan merawatnya kalau aku berhenti?”
Dokter terdiam sejenak sebelum menjawab dengan hati-hati, “Kamu tidak bisa terus seperti ini. Kondisi kamu sudah melemah cukup parah, dan kalau kamu tidak mendapatkan perawatan yang tepat, kamu mungkin tidak akan bisa mendampingi Liora lebih lama lagi.”
Kata-kata itu menghantamku keras seperti palu besar yang memecahkan sesuatu dalam diriku. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi hatiku sudah berantakan, kacau oleh ketakutan yang selama ini ibu sembunyikan dariku.
Tanpa sadar, aku memukul pintu kamarnya sedikit keras. Suara itu membuat ibu dan dokter terdiam.
Pintu terbuka perlahan, dan ibu berdiri di sana, dengan senyuman lemah di wajahnya. “Liora, kamu bangun pagi sekali.”
Aku menatapnya, air mata mulai menggenang di sudut mataku. “Kenapa ibu nggak bilang apa-apa, Bu? Kenapa ibu sembunyiin ini semua dari aku?”
Ibu terdiam, senyumannya memudar sejenak sebelum akhirnya duduk di kursi di depanku. Dia menggenggam tanganku dengan tangan yang terasa lebih dingin dari biasanya.
“Ibu nggak mau kamu khawatir, sayang. Ibu masih kuat. Masih ada buat kamu,” katanya, suaranya lembut tapi terdengar rapuh, seperti tali yang hampir putus.
“Tapi, ibu…” Air mataku jatuh tanpa bisa aku tahan lagi. “Ibu sakit, kan? Kenapa nggak bilang apa-apa ke aku? Aku… aku nggak mau ibu kenapa-kenapa.”
Ibu menghela napas panjang, lalu mengusap pipiku. “Liora, kamu ingat kan apa yang selalu ibu bilang? Ibu ini punya kekuatan lebih dari yang kamu kira.”
Aku menggeleng, hatiku penuh dengan perasaan tak berdaya. “Kekuatan? Ini bukan soal kekuatan lagi, Bu. Ibu sakit, dan aku nggak bisa ngapa-ngapain. Aku cuma bisa duduk di sini, sementara ibu terus bekerja keras untuk aku.”
Dokter berdiri di dekat pintu, menyaksikan percakapan kami dengan wajah penuh simpati, tapi ia tidak menginterupsi.
“Ibu sudah biasa, sayang. Ibu… ibu cuma nggak mau kamu merasa terbebani sama apa yang ibu alami. Kamu sudah punya cukup banyak beban di hidup kamu.”
Aku menggeleng lagi, kali ini lebih keras. “Nggak ada beban, Bu. Ibu adalah satu-satunya hal terpenting buat aku. Aku nggak peduli kalau aku nggak bisa jalan atau apapun. Yang penting, ibu ada di sini.”
Ibu tersenyum lagi, meskipun air mata mulai membasahi matanya juga. “Ibu tahu. Dan itu alasan kenapa ibu terus berjuang. Untuk kamu.”
Keheningan mengisi ruangan selama beberapa saat, hanya ada suara napas kami yang terdengar. Lalu dokter perlahan mendekat, menatap ibu dengan penuh empati. “Bu, kita bisa diskusikan ini lebih lanjut nanti. Saya akan memberikan beberapa opsi pengobatan. Tapi yang penting sekarang, kamu harus fokus pada kesehatan kamu sendiri.”
Ibu mengangguk pelan, tapi aku bisa melihat keraguan di matanya. Dia tidak ingin meninggalkanku, tidak ingin menyerahkan tanggung jawab merawatku pada orang lain, tapi di saat yang sama, aku tahu tubuhnya semakin melemah.
Ketika dokter pergi, aku dan ibu duduk dalam keheningan. Matahari mulai naik, sinarnya masuk melalui jendela, menerangi ruangan dengan hangat. Aku menatap ibu, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa takut kehilangan dirinya. Takut kehilangan satu-satunya orang yang selalu ada untukku, yang selama ini menjadi pelindungku.
“Ibu,” aku memecah keheningan. “Aku nggak akan marah kalau ibu butuh bantuan. Kita bisa cari cara bareng-bareng. Aku cuma pengen ibu sembuh, pengen ibu tetap di sini, sama aku.”
Ibu terdiam sejenak, sebelum akhirnya menunduk dan mengangguk pelan. “Ibu janji, sayang. Ibu janji akan coba yang terbaik. Tapi kamu juga harus janji, jangan khawatirkan ibu terlalu banyak, ya?”
Aku mengangguk, meskipun aku tahu janji itu sulit dipenuhi. Bagaimana aku bisa tidak khawatir? Bagaimana aku bisa tenang sementara ibu, satu-satunya orang yang aku miliki, sedang berjuang melawan sesuatu yang tidak bisa aku pahami sepenuhnya?
Hari itu, aku merasa ada sesuatu yang berubah di antara kami. Ibu, yang selalu tampak kuat dan tak terkalahkan, kini terlihat rapuh di mataku. Aku mulai menyadari bahwa selama ini, kasih sayang yang ibu berikan padaku bukan hanya tentang fisik atau tenaga yang ia keluarkan, tapi juga pengorbanan yang diam-diam ia sembunyikan.
Dan sekarang, aku yang harus kuat untuknya.
Pelukan Terakhir
Sejak perbincangan itu, semuanya terasa berbeda. Ibu tidak lagi berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. Dia lebih terbuka, berbagi cerita tentang masa-masa sulit yang dia alami. Setiap pagi, aku terbangun dengan rasa cemas yang melanda, tetapi aku juga mulai melihat sisi lain dari perjuangan kami—sisi yang membuat kami lebih dekat satu sama lain.
Ibu mulai menjalani pengobatan, meskipun dia tampak lebih lemah daripada sebelumnya. Hari-hari kami diisi dengan kunjungan dokter, pengobatan yang membuatnya merasa tidak nyaman, dan obrolan kecil yang kadang hanya berisi tawa tipis. Tetapi ada saat-saat di mana aku bisa melihat cahaya kembali ke matanya, seolah-olah dia berjuang keras untuk menemukan harapan dalam kegelapan.
Suatu sore, saat kami berdua duduk di taman kecil di belakang rumah, ibu menatap langit yang mulai memerah oleh sinar matahari yang tenggelam. “Liora,” dia memulai, suaranya lembut dan penuh makna. “Kamu tahu, setiap bintang di langit itu adalah harapan. Setiap kali kita melihat ke atas, kita bisa merasakan bahwa kita tidak sendirian.”
Aku tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa takut yang terus melilit hatiku. “Tapi Bu, bintang-bintang itu kadang terlihat jauh banget. Gimana kalau kita tidak bisa mencapainya?”
Ibu memegang tanganku, menghangatkan hatiku dengan sentuhannya. “Justru karena kita tidak bisa meraihnya, kita harus belajar untuk menghargai mereka. Seperti kita menghargai setiap momen yang kita miliki sekarang.”
Seperti biasa, kata-kata ibu menyentuh hatiku. Meskipun banyak yang terjadi, aku tidak ingin menganggap semuanya akan berakhir dengan buruk. Kami masih memiliki satu sama lain, dan itu yang terpenting.
Namun, seiring berjalannya waktu, keadaan ibu semakin memburuk. Hari-hari terasa berat baginya. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu di ranjangnya, dan meski aku berusaha tersenyum, hatiku hancur melihatnya berjuang melawan rasa sakit. Keberaniannya membuatku semakin merasa kecil, tetapi aku tahu aku tidak bisa menunjukkan rasa putus asaku padanya.
Pada suatu malam, saat bulan bersinar cerah, aku mendengar suara gemerincing dari kamar ibu. Aku melangkah pelan ke arahnya, dan mendapati ibu duduk di tepi ranjang, menatap foto-foto di meja sampingnya. Gambar-gambar kami dari tahun-tahun lalu, di mana senyuman ibu selalu membuatku merasa aman.
“Ibu,” aku panggil pelan, tidak ingin mengganggu kesendiriannya. “Ada apa?”
Ibu tersenyum, meskipun senyumnya terlihat lebih lemah. “Ibu cuma mengingat masa-masa indah, sayang. Kamu ingat ketika kita pergi ke pantai? Kamu berlari di pasir, dan ibu hanya duduk sambil tertawa melihat kamu.”
Aku mengangguk, teringat dengan jelas momen itu. “Iya, Bu. Ibu bilang pantai itu seperti rumah kita, dan kita bisa membuat kenangan di sana selamanya.”
“Dan itu yang ingin ibu ajarkan padamu,” kata ibu. “Bahwa setiap momen berharga, meskipun kadang kita harus melewatinya dengan cara yang sulit.”
Hatiku bergetar mendengar kalimat itu. Aku tahu apa yang akan datang. Namun, aku tetap berusaha untuk tidak merasakannya.
Malam itu, saat aku berbaring di samping ibu, kami saling berbagi cerita tentang masa depan—meskipun aku tahu masa depan itu mungkin tidak seperti yang kami harapkan. Kami berpelukan dalam keheningan, dan untuk pertama kalinya, aku merasakan betapa beratnya semua ini.
Ketika pagi tiba, ibu tidak dapat bangun. Aku merasa cemas dan segera memanggil dokter. Saat dokter tiba, dia menilai keadaan ibu dan mengajakku ke samping. “Liora,” katanya dengan lembut, “ibu kamu sangat lemah. Dia berjuang, tapi kita harus siap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi.”
Air mata tidak bisa kutahan lagi. “Tapi, Dok… Dia tidak boleh pergi.”
Dokter merengkuh bahuku, menatapku penuh empati. “Terkadang, kita tidak bisa memilih, Liora. Cinta ibu tidak akan hilang. Dia akan selalu bersamamu, di setiap langkah yang kamu ambil.”
Kembali ke kamar ibu, aku duduk di sampingnya, menggenggam tangannya yang dingin. “Ibu, aku di sini. Aku mencintaimu,” bisikku, berusaha menahan rasa sakit yang merobek hatiku.
Beberapa jam kemudian, saat cahaya matahari mulai merembes masuk ke jendela, aku merasakan tarikan lembut pada tanganku. Ibu membuka matanya sedikit, menatapku dengan sorot penuh kasih.
“Liora,” suaranya hampir tidak terdengar, tetapi aku bisa merasakannya. “Ibu selalu ada untukmu. Ingat, bintang-bintang akan selalu bersinar, dan kau tidak akan pernah sendirian.”
Saat ibu mengucapkan kata-kata itu, aku tahu saat itu juga, dia sedang melawan rasa sakitnya. Air mata mengalir di pipiku, tetapi aku tersenyum, mencoba memberikan keberanian untuknya.
Dalam beberapa detik, aku melihat senyum ibu dan merasakan pelukannya, meski dalam hati aku tahu itu mungkin pelukan terakhir. Saat nafasnya terhenti, aku merasakan hatiku terbang. Bintang-bintang di langit, seperti yang dia katakan, akan selalu menjadi saksi kasih sayangnya.
Aku tidak sendirian. Momen-momen kami akan selalu ada, dan meskipun dia telah pergi, kasih sayang ibu akan hidup selamanya di hatiku.
Jadi, gimana? Cerita ini bikin lo ngerasa semua cinta dan kehilangan, kan? Ingat, kasih sayang orang tua itu enggak pernah pudar, meskipun kadang kita harus menghadapi hal-hal yang bikin hati nyeri.
Semoga Liora dan ibunya bisa jadi inspirasi buat kita semua untuk selalu menghargai setiap momen bareng orang yang kita cintai. Jadi, jangan ragu untuk bilang aku sayang kamu setiap waktu. Sampai jumpa di cerita selanjutnya, ya!