Daftar Isi
Kisah Dirga Dari Kursi Roda Menuju Kesuksesan
Langkah Tanpa Kaki
Di sebuah desa kecil bernama Ranujati, suara ayam berkokok bersahutan dengan embusan angin pagi yang menerpa dedaunan. Matahari baru saja muncul dari balik bukit, mewarnai langit dengan semburat jingga. Dari sebuah rumah kayu sederhana, seorang anak laki-laki bernama Dirga Wisesa duduk di atas dipannya, menatap keluar jendela.
Seperti hari-hari sebelumnya, ia mengawali pagi dengan menarik tubuhnya turun dari ranjang, menggunakan tangannya yang sudah terbiasa menopang beban tubuhnya. Kakinya yang lumpuh sejak lahir memang tak bisa digerakkan, tetapi semangatnya jauh lebih kuat dari siapa pun.
Di dapur, ibunya, Sari, sedang menyiapkan sarapan. Wanita itu sudah terbiasa mendengar suara benda jatuh saat Dirga mencoba bergerak sendiri.
“Kamu nggak usah buru-buru, Nak. Sarapannya sebentar lagi siap,” kata Sari sambil menuangkan bubur ke dalam mangkuk.
“Aku nggak mau telat, Bu. Hari ini ada ulangan,” jawab Dirga sambil merangkak ke meja makan.
Ibunya tersenyum tipis. Ia tahu anaknya keras kepala. Di usia sembilan tahun, Dirga sudah tak mau selalu dibantu. Dulu, ia sering menangis karena tak bisa berlari seperti teman-temannya. Tapi sekarang, ia lebih sering tertawa meski harus berjuang lebih keras dari anak lain.
Beberapa menit kemudian, langkah kaki berat terdengar memasuki rumah. Itu ayahnya, Rahmat, yang baru pulang dari sawah. Wajahnya penuh peluh, tetapi ada cahaya kebanggaan dalam sorot matanya saat melihat Dirga sudah siap berangkat sekolah.
“Kamu siap, Nak?” tanyanya sambil menyandarkan cangkul di dekat pintu.
Dirga mengangguk. “Iya, Yah. Tapi seperti biasa, aku butuh bantuan ibu.”
Sari sudah mengambil selendang panjang yang biasa ia gunakan untuk menggendong Dirga ke sekolah. Di desa yang penuh tanjakan dan jalanan berbatu, kursi roda bukanlah solusi. Satu-satunya cara agar Dirga bisa sekolah adalah dengan digendong.
Saat ibunya mengangkat tubuhnya ke punggungnya, Dirga menahan rasa bersalah. Ia ingin bisa berjalan sendiri. Ia ingin tak merepotkan siapa pun.
“Bu, kapan aku bisa ke sekolah sendiri?” tanyanya lirih.
Sari mengeratkan genggaman di punggung anaknya. “Nanti, Nak. Akan ada waktunya.”
Perjalanan menuju sekolah bukanlah hal yang mudah. Mereka harus melewati jalan setapak berbatu, menyeberangi jembatan kecil, dan menanjak ke bukit di mana sekolah dasar itu berdiri. Keringat membasahi punggung Sari, tetapi ia tak pernah mengeluh.
Di gerbang sekolah, teman-teman Dirga sudah berlarian ke dalam kelas. Beberapa anak memandangnya dengan tatapan iba, sementara sebagian lain hanya menganggapnya ‘beda’.
Dirga menatap ke bawah, menghindari tatapan mereka. Ia benci dikasihani.
“Ibu pulang dulu ya, Nak. Nanti jemput lagi pas pulang sekolah.”
Dirga mengangguk. “Iya, Bu. Makasih.”
Setelah ibunya pergi, ia menghela napas dan menarik tubuhnya ke dalam kelas dengan bantuan tangannya. Bangkunya berada di dekat jendela. Ia menyukai tempat itu karena dari sana, ia bisa melihat langit luas.
Pelajaran dimulai, dan seperti biasa, Dirga mencatat dengan tekun. Ia tahu satu-satunya cara agar ia bisa lepas dari keterbatasan ini adalah dengan belajar lebih keras. Jika teman-temannya hanya perlu memahami pelajaran, ia harus berjuang dua kali lipat.
Saat jam istirahat tiba, seorang anak bernama Jaya duduk di sebelahnya. “Dirga, kamu nggak ikut main di lapangan?” tanyanya polos.
Dirga tersenyum tipis. “Kamu tahu aku nggak bisa lari, kan?”
Jaya terdiam sejenak. “Tapi kamu bisa jadi wasit. Aku yakin kamu lebih jago ngeliat pelanggaran daripada Pak Guru.”
Tawa kecil keluar dari mulut Dirga. Ini pertama kalinya seseorang mengajaknya ‘ikut bermain’ tanpa melihat kekurangannya.
“Aku mau,” katanya akhirnya.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Dirga merasa seperti anak-anak lain. Ia mungkin tak bisa berlari di lapangan, tetapi ia bisa menjadi bagian dari permainan.
Dan itu adalah langkah pertama dalam perjalanannya menuju mimpi yang lebih besar.
Jendela Kesempatan
Matahari siang bersinar terik di langit Ranujati. Dirga baru saja pulang dari sekolah, masih duduk di dipannya sambil menatap ke luar jendela. Di kejauhan, teman-temannya berlarian di sawah, tertawa riang mengejar layang-layang yang melayang tinggi di langit biru.
Ia menarik napas panjang.
“Aku juga mau bisa lari,” gumamnya pelan.
Namun, ia tahu kenyataannya berbeda. Tidak peduli seberapa keras ia berharap, kakinya tetap tak bisa digerakkan. Tapi ia juga tahu ada hal lain yang bisa ia lakukan—hal yang bisa membawanya lebih jauh daripada sekadar berlari.
Sore itu, ayahnya pulang lebih awal dari sawah. Ada sesuatu di tangannya—sebuah kotak besar yang tampak berat.
“Dirga, ayo keluar sebentar,” kata Rahmat.
Dengan bantuan ibunya, Dirga berpindah ke kursi roda buatan ayahnya yang terbuat dari kayu dan roda bekas gerobak. Bukan kursi roda mewah, tapi cukup untuk membantunya bergerak lebih bebas di halaman rumah.
Begitu sampai di luar, Rahmat membuka kotak itu, mengeluarkan benda yang membuat mata Dirga berbinar. Sebuah komputer tua. Layarnya agak buram, keyboard-nya beberapa tombolnya hilang, tapi itu tetaplah komputer.
“Ayah dapat ini dari Pak Surya, guru di SMP. Katanya masih bisa dipakai. Kamu mau coba?”
Dirga menatap komputer itu seperti harta karun yang baru ditemukan. Ia memang pernah melihatnya di sekolah, tetapi belum pernah menyentuhnya.
“Iya! Aku mau!” katanya bersemangat.
Mereka mengangkat komputer itu ke dalam rumah, meletakkannya di meja kecil dekat jendela. Dirga langsung menekan tombol-tombolnya, merasakan sensasi baru saat jari-jarinya menyentuh keyboard. Layarnya berkedip, lalu menyala dengan tampilan sederhana.
“Aku bisa pakai ini buat ngetik?” tanyanya.
Rahmat mengangguk. “Iya, dan kalau kamu mau belajar lebih banyak, Pak Surya bilang bisa ajarin kamu.”
Hari-hari berikutnya, Dirga tenggelam dalam dunia baru yang tak pernah ia bayangkan. Pak Surya, guru yang dermawan itu, datang sesekali untuk mengajarinya cara mengetik, mengoperasikan program sederhana, bahkan dasar-dasar pemrograman.
“Dunia ini nggak cuma tentang bisa berlari, Dirga,” kata Pak Surya suatu hari. “Kalau kamu bisa menguasai ini, kamu bisa pergi jauh tanpa harus melangkah.”
Kata-kata itu melekat dalam pikirannya.
Setiap malam, setelah ayah dan ibunya tertidur, Dirga tetap terjaga di depan layar komputer. Ia belajar mengetik lebih cepat, mencoba memahami kode-kode yang tampak rumit, dan menyalin program sederhana dari buku-buku yang ia pinjam dari Pak Surya.
Namun, perjuangannya tak selalu mulus.
Satu sore, saat Dirga sedang mengetik, listrik di rumah tiba-tiba mati. Layarnya meredup seketika.
“Ya ampun… aku lupa nyimpen file-nya,” keluhnya frustasi.
Rahmat masuk ke dalam rumah dengan obor kecil. “Di desa kita, listrik memang sering mati, Nak. Kamu harus sabar.”
“Tapi gimana aku bisa belajar kalau kayak gini terus?”
Rahmat terdiam sejenak, lalu duduk di samping anaknya. “Dulu, waktu ayah kecil, kami juga belajar pakai pelita. Bukan soal gimana caranya, tapi gimana caranya nggak nyerah.”
Keesokan harinya, Dirga menemukan cara untuk terus belajar. Ia mulai mencatat semua yang ia pelajari di buku tulis, sehingga saat listrik padam, ia tetap bisa membaca ulang.
Bulan demi bulan berlalu, dan ia semakin mahir mengoperasikan komputer. Suatu hari, Pak Surya memberikan tantangan baru.
“Dirga, coba buat sesuatu yang bisa berguna buat banyak orang,” katanya.
Dirga berpikir keras. Ia mengingat bagaimana ibunya harus menggendongnya setiap hari ke sekolah. Ia mengingat bagaimana sulitnya menemukan informasi yang bisa membantunya bergerak lebih mandiri.
Lalu, sebuah ide muncul.
“Aku mau bikin program buat bantu orang yang punya keterbatasan gerak sepertiku,” katanya mantap.
Pak Surya tersenyum. “Itu baru ide yang hebat.”
Malam itu, Dirga memulai proyek pertamanya. Ia tak tahu apakah idenya akan berhasil, tapi satu hal yang pasti: ia tak akan berhenti mencoba.
Di luar, angin malam berhembus lembut. Langit penuh bintang, seperti memberi harapan bahwa jalannya baru saja dimulai.
Hujan di Kota Besar
Belasan tahun berlalu sejak Dirga pertama kali menyentuh komputer tuanya. Kini, ia duduk di dalam bus yang melaju menuju ibu kota. Jendela di sampingnya basah oleh gerimis yang turun perlahan, menciptakan garis-garis air yang meluncur di kaca.
Tangannya mencengkeram erat lengan kursi roda yang ia bawa. Napasnya dalam, matanya menatap lurus ke depan. Hari ini adalah awal dari perjalanan yang lebih besar.
Dirga mendapatkan beasiswa ke universitas ternama di kota. Ia masih sulit percaya bahwa ia benar-benar ada di titik ini—seorang anak desa yang dulu tak bisa berjalan, kini melangkah ke dunia yang lebih luas, meski dengan caranya sendiri.
Namun, kota tak sehangat desanya.
Begitu bus berhenti di terminal, Dirga menyadari sesuatu. Tidak ada akses kursi roda yang memadai. Ia menatap anak tangga tinggi yang harus ia turuni. Tak ada pegangan, tak ada jalur yang ramah untuknya.
Ia mencoba meminta bantuan.
“Permisi, Pak… bisa bantu saya turunin kursi roda?” tanyanya pada seorang petugas berseragam.
Petugas itu melirik sekilas, lalu menghela napas seolah enggan. “Lagi sibuk, Dek. Coba minta tolong yang lain aja.”
Dirga menelan ludah. Orang-orang berlalu-lalang di sekitarnya, sibuk dengan urusan masing-masing. Tak ada yang peduli.
Ia mencoba sendiri, menarik kursi rodanya turun pelan-pelan. Namun, begitu roda pertama melewati tepi anak tangga, tubuhnya kehilangan keseimbangan.
Brak!
Dirga jatuh bersama kursi rodanya. Beberapa orang menoleh, tapi tak ada yang menghampiri. Hanya seorang pengemudi ojek online yang akhirnya berlari mendekat.
“Mas nggak apa-apa?” tanyanya sambil membantu Dirga duduk kembali.
Dirga menahan sakit di sikunya yang terbentur. “Aku nggak apa-apa… makasih ya.”
Pengemudi itu, yang namanya ternyata Arman, membantunya hingga ke trotoar. “Kota ini emang keras, Mas. Tapi bukan berarti Mas nggak bisa bertahan.”
Kata-kata itu mengingatkan Dirga pada ayahnya.
Dengan sisa tenaga, ia berusaha menenangkan diri dan mulai mencari alamat kos yang sudah ia sewa sebelumnya. Namun, masalah tak berhenti di sana. Begitu tiba, ia mendapati bahwa bangunan kosnya tidak memiliki akses kursi roda sama sekali.
“Lho, Mas Dirga ya?” tanya pemilik kos, seorang ibu paruh baya. “Wah, saya nggak tahu kalau Mas pakai kursi roda. Soalnya di aplikasi nggak ada keterangan…”
Dirga menatap tangga curam menuju lantai dua, tempat kamarnya berada.
“Kamar di bawah udah penuh ya, Bu?” tanyanya.
“Iya, Mas. Aduh, maaf banget, gimana ya…”
Dirga menghela napas. Ia tak bisa menyerah begitu saja.
Setelah bernegosiasi, akhirnya ia diperbolehkan tidur di ruang tamu sementara, sampai ada kamar bawah yang kosong. Meski sempit, setidaknya ia punya tempat untuk beristirahat.
Di malam pertamanya di kota, Dirga menatap langit dari jendela kecil. Hujan turun semakin deras, mengalirkan kenangan tentang desanya—tentang ayah, ibu, dan guru-gurunya yang selalu memberinya semangat.
“Kota ini emang keras,” gumamnya. “Tapi aku lebih keras.”
Hari-hari berikutnya, tantangan terus berdatangan. Kampusnya besar, tetapi aksesibilitas bagi penyandang disabilitas masih minim. Beberapa dosen memahami kondisinya, tetapi banyak juga yang tidak peduli.
Namun, Dirga tak pernah mengeluh. Ia bertekad membuktikan bahwa ia bisa bersaing. Ia mulai bergaul dengan mahasiswa lain yang memiliki ketertarikan di bidang teknologi, ikut proyek-proyek kecil, dan mendalami pemrograman lebih jauh.
Sampai akhirnya, sebuah kesempatan besar datang.
Suatu hari, kampusnya mengadakan kompetisi inovasi teknologi. Dirga tahu ini adalah momen yang tepat. Ia mengembangkan aplikasi yang telah lama ia rancang sejak di desa—sebuah aplikasi yang bisa membantu penyandang disabilitas menemukan tempat-tempat yang ramah bagi mereka.
“Bayangin kalau ada aplikasi yang bisa kasih tahu mana aja tempat yang punya akses kursi roda, kamar mandi khusus, atau jalur yang aman buat kita,” kata Dirga pada timnya.
Ide itu disambut dengan antusias. Bersama beberapa teman, ia menghabiskan waktu berhari-hari merancang aplikasi itu.
Namun, dua hari sebelum presentasi, bencana terjadi.
Laptopnya rusak. Semua data hilang.
Dirga menatap layar hitam itu dengan napas tersengal. Tangannya gemetar, otaknya kacau. Semua kerja kerasnya, semua harapannya, nyaris lenyap dalam sekejap.
Ia hampir menyerah. Hampir berpikir bahwa mungkin ini memang bukan jalannya.
Tapi lalu, ia mengingat sesuatu.
“Kalau hidup keras padamu, jadilah lebih keras dari hidup.”
Ia tak punya waktu untuk bersedih. Dengan bantuan teman-temannya, ia bekerja tanpa tidur selama dua malam, membangun kembali semuanya dari nol.
Pada hari presentasi, Dirga maju ke panggung dengan kursi rodanya, membawa sesuatu yang lebih dari sekadar proyek. Ia membawa harapan—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua orang yang pernah merasa terpinggirkan.
Dan saat tepuk tangan menggema di ruangan itu, ia tahu satu hal:
Ia tak hanya berhasil bertahan di kota besar. Ia mulai menaklukkannya.
Terbang Lebih Tinggi
Sejak hari itu, hidup Dirga berubah. Aplikasi yang ia buat bukan hanya memenangkan kompetisi kampus, tetapi juga menarik perhatian perusahaan besar di bidang teknologi. Tawaran investasi berdatangan, dan namanya mulai dikenal sebagai inovator muda yang menciptakan solusi nyata bagi penyandang disabilitas.
Namun, di balik semua kesuksesan itu, perjuangannya belum selesai.
“Aku pengen aplikasi ini lebih besar lagi,” kata Dirga pada timnya suatu malam. Mereka berkumpul di sebuah kafe kecil, membahas masa depan proyek mereka. “Bukan cuma buat cari tempat ramah disabilitas, tapi juga bantu mereka dapet pekerjaan, pendidikan, dan akses yang lebih luas.”
Teman-temannya mengangguk penuh semangat. Mereka tahu ini bukan sekadar aplikasi—ini adalah gerakan.
Tapi di balik layar, ada tantangan yang lebih besar.
Beberapa investor ragu karena mereka menganggap pasar bagi penyandang disabilitas terlalu kecil.
“Dirga, aku ngerti visi kamu, tapi ini bisnis. Kamu yakin bakal banyak yang pakai?” tanya salah satu calon investor dalam sebuah pertemuan.
Dirga menatap lurus ke matanya.
“Bapak salah kalau mikir ini cuma buat orang seperti aku. Aplikasi ini bukan cuma soal disabilitas—ini soal inklusivitas. Dunia harus lebih ramah buat semua orang.”
Keberaniannya berbicara membuahkan hasil. Seorang investor yang melihat potensinya akhirnya setuju memberikan dana untuk mengembangkan aplikasi lebih lanjut.
Dari situ, segalanya berkembang lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia mendirikan startup sendiri, menggandeng berbagai komunitas penyandang disabilitas, dan bekerja sama dengan pemerintah untuk meningkatkan aksesibilitas di berbagai tempat.
Di balik semua kesibukan itu, Dirga tak pernah lupa pada keluarganya.
Suatu hari, setelah bertahun-tahun merantau, ia kembali ke Ranujati. Rumah kayu kecilnya masih berdiri kokoh. Ibunya, yang kini lebih tua, menyambutnya dengan pelukan erat.
“Kamu udah jauh melangkah, Nak,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
“Aku nggak bakal sampai di sini tanpa Ibu dan Ayah,” jawab Dirga dengan senyum penuh arti.
Ia menatap ke sekeliling desa, mengingat semua perjuangan yang telah ia lalui. Dulu, ia hanya seorang anak kecil yang digendong ke sekolah. Kini, ia telah menciptakan sesuatu yang bisa mengubah dunia.
Sore itu, di bawah langit yang mulai jingga, ia duduk di teras rumah sambil menatap hamparan sawah yang dulu hanya bisa ia pandangi dari kejauhan.
“Aku memang nggak bisa berlari,” gumamnya, “tapi aku bisa terbang lebih tinggi.”
Dan ia tahu, perjalanannya belum berakhir. Ia baru saja memulainya.