Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu ngerasa berada di antara dua pilihan yang sama-sama bikin bingung? Gitu deh, kayak cerita ini. Ada dia, yang selalu ada dan bikin nyaman, dan ada dia lagi, yang buat hati kamu jadi berdebar-debar tanpa bisa dijelasin.
Lyra nggak tahu, semuanya terasa kayak jebakan batman, tapi yang pasti, perasaan ini nggak bisa diabaikan begitu aja. Jadi, buat kamu yang pernah ngerasain cinta segitiga—atau lagi ada di posisi Lyra sekarang—ini ceritanya. Cinta itu nggak pernah gampang, apalagi kalau ada lebih dari satu orang yang bikin lo nggak bisa milih.
Kisah Cinta Tiga Segi
Jejak Rasa di Antara Kita
Lyra menatap langit yang mulai memudar, berubah dari biru terang menjadi ungu kemerahan, di balik jendela ruang kelas. Keheningan itu sudah biasa. Semua orang sibuk dengan dunia mereka masing-masing, sementara Lyra hanya duduk di pojok, mengamati. Di meja depannya, Aiden sedang asyik dengan buku catatan dan pulpen biru yang tidak pernah lepas dari tangannya.
Bukan pertama kali ini Lyra memperhatikan Aiden. Pria itu selalu tenang, bahkan lebih tenang daripada apa pun yang ada di sekitarnya. Mungkin itu yang membuatnya menarik—atau justru membuatnya merasa seperti sesuatu yang tak terjangkau. Aiden tidak pernah terburu-buru, tidak pernah memberi kesan bahwa dunia berputar lebih cepat dari biasanya. Dia hidup dalam ritme yang berbeda.
“Lyra,” suara Aiden menginterupsi lamunannya, halus tapi jelas.
Lyra tersentak, menyadari dia sudah memandangi Aiden cukup lama. “Hmm?”
“Aku dengar kamu suka puisi-puisi Emily Dickinson. Apa itu benar?” Aiden menutup bukunya dan menatapnya dengan mata yang tak bisa dijelaskan, seolah menyelami sesuatu yang lebih dalam.
“Kenapa tanya?” Lyra tersenyum tipis. Ini bukan pertama kalinya Aiden berbicara padanya, tetapi selalu ada sesuatu yang membuat percakapan mereka terasa berbeda. Seperti ada sebuah kedalaman yang mengalir tanpa terlihat.
“Gak ada,” jawab Aiden sambil tersenyum kecil, lalu kembali membuka bukunya. “Cuma penasaran.”
Lyra mengangguk pelan, kemudian kembali terbenam dalam pikirannya. Pertanyaan itu terasa seperti pertanda, sesuatu yang menyentuh, meski begitu sederhana. Mengapa Aiden bertanya hal seperti itu? Apakah dia benar-benar ingin tahu? Atau, apakah ini hanya cara untuk membuka percakapan?
Di sisi lain ruang kelas, Kaelyn, sahabat Aiden yang selalu ceria, tertawa riang bersama teman-temannya. Kaelyn adalah orang yang berbeda, dan Lyra bisa merasakannya setiap kali berada di dekatnya. Gadis itu selalu penuh energi, seperti matahari yang selalu bersinar terang di antara awan-awan. Berbeda dengan Lyra, yang cenderung memilih untuk mengamati ketimbang berinteraksi.
“Aiden!” Kaelyn melambaikan tangan ke arah mereka, tersenyum lebar. “Jangan terlalu serius, itu bisa bikin pusing kepala!” Kaelyn kemudian berjalan ke arah mereka dan duduk di samping Aiden, menjatuhkan tas ranselnya dengan suara keras.
Lyra hanya tersenyum canggung, mencoba menutupi perasaan aneh yang timbul di dadanya. Kaelyn memang sahabat Aiden, tapi ada sesuatu tentang gadis itu yang membuatnya merasa seolah tak cukup baik. Kaelyn selalu tampak lebih terang, lebih hidup, lebih punya segalanya. Sedangkan Lyra? Dia hanya seorang gadis pendiam dengan banyak pertanyaan tentang hidup, yang terkadang merasa tak sepenuhnya ada di tempat yang tepat.
“Ayo, kita pergi ke kafe setelah ini,” kata Kaelyn dengan nada ceria, mengarahkan pandangannya pada Lyra. “Lyra, kamu ikut, kan?”
Lyra terdiam sebentar, ragu. Dia lebih suka menghabiskan waktu sendirian, merenung, atau membaca. Namun, dia tidak bisa menolak ajakan Kaelyn begitu saja, terutama karena Aiden ada di sana. Dengan sedikit usaha, dia akhirnya tersenyum. “Tentu.”
Kafe di dekat kampus itu sederhana, tapi terasa nyaman. Suasananya tenang, cocok untuk sekadar duduk dan menikmati secangkir kopi panas. Lyra duduk di ujung meja, sambil melihat Aiden dan Kaelyn berbincang dengan akrab. Mereka terlihat seperti dua orang yang sudah saling mengenal lama, seperti dunia mereka hanya terdiri dari keduanya.
Tapi entah mengapa, perasaan itu mulai menghantui Lyra. Dia merasa seperti orang luar—selalu ada, namun tidak benar-benar ada.
“Aiden,” Lyra memutuskan untuk berbicara setelah beberapa lama diam, menarik perhatian pria itu yang tampaknya asyik dengan ponselnya.
“Ada apa?” Aiden mengangkat wajahnya dan menatapnya. Kali ini, matanya lebih lembut, penuh perhatian. Lyra merasa sedikit terkejut dengan cara Aiden memandangnya, seolah dia benar-benar ingin mendengarkan.
“Apa kamu… pernah merasa seperti… terjebak?” Tanyakan Lyra, kata-kata itu keluar begitu saja dari bibirnya. “Seperti kamu ada di tempat yang tidak kamu pahami?”
Aiden memiringkan kepala, berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Kadang-kadang. Tapi bukankah kita selalu punya pilihan untuk keluar dari perasaan itu?”
Lyra terdiam. Dia menatap Aiden yang berbicara dengan tenang, seolah tidak ada kekhawatiran dalam hidupnya. “Aku rasa itu mudah untuk kamu katakan,” gumamnya. “Kamu selalu tahu apa yang harus dilakukan.”
“Belum tentu,” jawab Aiden, suaranya rendah. “Kadang, kita hanya butuh waktu untuk menemukan jawabannya.”
Keheningan kecil menyelimuti mereka, tapi tidak canggung. Sesuatu di antara mereka terasa begitu dalam, seperti ada aliran yang tak terlihat menghubungkan dua jiwa yang berbeda.
Kaelyn, yang sejak tadi duduk diam, akhirnya berbicara dengan nada nakal. “Kalian berdua kelihatan serius banget. Ayo, ceritakan hal-hal lucu, biar suasananya lebih hidup!”
Lyra tertawa kecil, mencoba mengalihkan perhatian, meski hatinya masih penuh dengan perasaan yang sulit dia pahami. Ada sesuatu yang mulai berkembang, sesuatu yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu yang melibatkan Aiden—dan mungkin, Kaelyn.
Pagi itu dimulai dengan banyak pertanyaan yang menggantung di pikiran Lyra. Tentang Aiden, tentang Kaelyn, dan tentang dirinya sendiri. Perasaan itu—sesuatu yang bergejolak tanpa jawaban yang jelas—terus menyertainya sepanjang hari. Tapi yang pasti, satu hal yang tak bisa dia lupakan: hubungan mereka bertiga, entah bagaimana, sudah berubah selamanya.
Tentu saja, ini baru permulaan.
Bayang-Bayang yang Tak Terlihat
Hari-hari berlalu dengan cara yang sama, tapi ada yang berbeda. Entah kenapa, perasaan Lyra semakin kuat, semakin menghantui. Meskipun ia berusaha fokus pada pelajaran, di setiap sudut kampus, di setiap detik yang terlewat, ia selalu teringat pada Aiden dan Kaelyn. Mereka berdua seperti dua sisi dunia yang selalu bersama, tak bisa dipisahkan. Lyra tahu, dia bukan bagian dari mereka—meskipun kadang dia ingin sekali merasa begitu.
Suatu sore, ketika kelas selesai lebih awal, Lyra memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian. Terkadang, waktu seperti ini memberi kesempatan untuk menenangkan pikiran. Namun, tak disangka, matanya menangkap sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak di tengah trotoar yang sepi. Aiden dan Kaelyn sedang berdiri di luar perpustakaan, tertawa bersama, berbagi momen seperti yang hanya bisa dimiliki oleh dua orang yang sangat dekat.
Lyra menelan ludah. Sungguh, ia sudah terbiasa melihat mereka berdua bersama, namun kali ini—entah mengapa—ada sesuatu yang membuatnya merasa semakin jauh. Sesuatu yang menekan dadanya, yang membuatnya merasakan ketidakberdayaan yang sulit dijelaskan.
Tanpa sadar, ia melangkah maju, berusaha tidak mengganggu mereka, meski hatinya bergejolak. Namun langkah itu terhenti ketika suara Aiden memanggilnya.
“Lyra!” teriaknya, membuat Lyra tersentak.
Ia menoleh, berusaha tidak memperlihatkan kegugupan. “Oh, kamu di sini juga,” jawabnya dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
Kaelyn tersenyum cerah, menatap Lyra dengan semangat yang hampir selalu ada di wajahnya. “Ayo ikut kami ke kafe! Kita nggak jadi pergi tadi pagi, kan? Aku janji kali ini lebih seru,” ajaknya dengan suara ceria yang selalu membuatnya sulit untuk menolak.
Lyra tidak bisa menolak, meskipun hatinya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia mengangguk pelan. “Baiklah,” katanya, mencoba berusaha tidak menunjukkan apa yang sebenarnya sedang dirasakannya.
Mereka bertiga berjalan menuju kafe favorit mereka, yang terletak di pinggir jalan yang tidak terlalu ramai. Tempat itu memang tak terlalu besar, tapi selalu ramai dengan orang-orang yang mencari tempat yang tenang untuk berbicara atau sekadar duduk.
Setibanya di sana, mereka memesan minuman favorit masing-masing. Aiden memilih kopi hitam tanpa gula, Kaelyn memesan teh hijau dengan lemon, dan Lyra memilih cokelat panas. Ketiganya duduk di sudut meja yang sama, namun, seiring berjalannya waktu, Lyra merasa semakin tidak nyaman. Ada ketidakcocokan yang mulai terasa di udara, sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya apakah semuanya benar-benar baik-baik saja.
“Aiden,” kata Kaelyn tiba-tiba, memecah keheningan yang perlahan menyelimuti mereka. “Kamu sudah memikirkan tentang proyek akhir itu? Kita harus mulai berbicara lebih serius soal itu. Aku rasa ini proyek yang penting.”
Aiden mengangguk, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Lyra merasa aneh. Seperti ada pembicaraan yang tidak diungkapkan, seolah kata-kata yang terlontar hanyalah permukaan dari apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kaelyn terus berbicara tentang proyek itu, membahas banyak hal dengan antusias, tetapi Lyra merasakan dia semakin terasingkan.
“Aku…,” Lyra mulai membuka suara, tapi kemudian berhenti, tidak tahu harus berkata apa.
Aiden menatapnya, seolah mendengar gelisah yang tak terucapkan. “Kamu baik-baik saja, Lyra?” tanyanya dengan nada yang terdengar penuh perhatian, meskipun ada kesan bahwa dia benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi.
“Ya, aku hanya… hanya merasa sedikit bingung,” jawab Lyra, mencoba tersenyum meski hatinya mulai sesak. “Bingung tentang banyak hal.”
Aiden terdiam sejenak, seperti menimbang-nimbang kata-kata yang ingin diucapkan. “Terkadang, kita memang butuh waktu untuk menemukan jawaban, kan? Semua orang punya cara masing-masing untuk menghadapinya,” katanya, suara itu terdengar seperti sebuah penghiburan, meskipun tidak ada janji yang jelas di baliknya.
Lyra mengangguk, merasa sedikit lega, meskipun kata-kata itu tak mampu menghilangkan kegelisahannya. Ada begitu banyak yang tak terucapkan di antara mereka. Begitu banyak hal yang belum jelas.
Namun, saat mereka berbicara lebih jauh tentang topik yang tidak terlalu penting, Lyra merasakan sebuah perasaan yang lebih kuat. Ini bukan hanya tentang Aiden atau Kaelyn—ini adalah tentang dirinya sendiri. Tentang bagaimana dia merasa seperti bayangan yang selalu mengikutinya. Bayangan yang tak pernah benar-benar bisa menjadi bagian dari cerita mereka.
Malam itu, setelah mereka berpisah, Lyra berjalan pulang sendirian, memikirkan setiap kata yang terucap, setiap tatapan yang ditukar, setiap tawa yang terdengar. Semua itu seolah berputar-putar dalam pikirannya. Dan meskipun dia berusaha untuk mengabaikannya, kenyataan tetap tak bisa ditutupi: Kaelyn ada di sana, selalu ada, dan Lyra hanya seorang penonton dalam kisah yang seharusnya melibatkan lebih dari satu hati.
Pada akhirnya, mungkin inilah yang disebut cinta yang tak terbalas—bukan karena tidak ada perasaan, tetapi karena ada orang lain yang lebih dulu menemukannya.
Persimpangan Tak Terduga
Malam itu, ketika Lyra duduk di meja belajarnya, pandangannya kosong menatap halaman buku yang sepertinya tak pernah berubah meskipun dia sudah memandangnya berjam-jam. Semua yang dia pikirkan hanyalah satu hal: Aiden. Kaelyn. Dirinya. Suatu hubungan yang tidak pernah benar-benar ada, tetapi juga sulit untuk diabaikan.
Tapi ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya, semakin lama semakin menekan. Hari-hari yang penuh dengan percakapan ringan dan tawa di antara mereka berdua, yang semula tampak seperti hal biasa, kini terasa semakin penuh dengan ruang kosong yang tak terisi. Lyra tahu bahwa Aiden tampaknya menyimpan sesuatu yang tak pernah ia katakan, dan Kaelyn… Kaelyn selalu tampak begitu dekat dengannya.
Di tengah kebingungannya, ponsel di meja belajar bergetar, menarik perhatian Lyra. Dia meraih ponselnya, melihat siapa yang menghubunginya. Sebuah pesan singkat dari Aiden. Hanya sebuah kalimat yang singkat, namun cukup untuk membuat hatinya berdegup lebih cepat.
“Lyra, bisa kita bicara sebentar?”
Hatinya terhenti sejenak. Apa ini? Kenapa tiba-tiba Aiden ingin bicara dengannya? Tanpa pikir panjang, jari-jarinya bergerak cepat mengetikkan balasan.
“Tentu. Ada apa?”
Tak lama kemudian, balasan itu datang.
“Aku ingin menjelaskan beberapa hal yang mungkin belum kamu mengerti.”
Penjelasan? Lyra merasa dada nya sesak. Sebuah perasaan yang campur aduk antara penasaran dan ketakutan. Apa yang Aiden ingin katakan? Apakah ini berarti ada sesuatu yang akan mengubah segalanya?
Lyra bergegas keluar dari kamarnya, mengenakan jaket favoritnya yang sudah sedikit pudar warnanya. Saat dia sampai di luar, udara malam yang dingin menyambutnya, tetapi tidak cukup untuk meredakan rasa panas yang semakin membakar di dalam dadanya. Langkahnya cepat, mengikuti jalur yang biasa ia lewati menuju taman kecil di belakang kampus. Di sana, di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, Aiden sudah menunggunya.
“Aiden,” suara Lyra terdengar lebih besar dari yang ia kira. Aiden menoleh dan tersenyum tipis, meskipun ada sesuatu di matanya yang Lyra tak bisa pahami. Ia mempersilakan Lyra duduk di bangku kayu di sebelahnya.
“Lyra,” Aiden memulai, suara pria itu dalam dan sedikit tegang. “Ada banyak hal yang terjadi, dan aku rasa aku tidak bisa lagi diam tentang ini.”
Lyra menatapnya, menunggu kata-kata berikutnya, tubuhnya terasa tegang, siap menerima apapun yang akan Aiden katakan. “Apa yang terjadi, Aiden?”
Pria itu menarik napas panjang. “Aku rasa aku sudah mulai jatuh cinta padamu, Lyra. Tapi… aku juga sadar, ada Kaelyn. Dan aku… aku tidak tahu harus bagaimana dengan perasaan ini.”
Lyra terdiam, kata-kata itu menggantung di udara seperti kabut yang menutupi semuanya. Hatinya berdebar hebat. Mungkin dia sudah lama merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan kepada Aiden. Tapi mendengarnya langsung dari mulut Aiden membuatnya merasa seperti terbangun dari mimpi.
“Aiden…” Lyra berusaha berkata, tapi suara itu tertahan di tenggorokannya. “Kamu dan Kaelyn… kalian sangat dekat. Aku tidak ingin ada yang berubah antara kita. Aku sudah cukup bingung dengan perasaan aku sendiri.”
Aiden mengangguk, seolah mengerti. “Aku tahu. Dan aku tidak ingin memaksakan apapun. Tapi aku juga tidak bisa membohongi diri sendiri lagi. Aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar merasa seperti ini.”
Lyra menunduk, berusaha mengatur pikirannya. Semua yang ia rasakan selama ini—keraguan, kebingungan, dan ketakutan—kini terasa begitu jelas. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal, dan dia tahu itu berasal dari sesuatu yang lebih besar daripada perasaannya terhadap Aiden.
“Lalu, Kaelyn?” Lyra akhirnya bertanya, walaupun suara itu keluar dengan agak terbata. “Bagaimana dengan Kaelyn?”
Aiden memandangnya dalam diam, matanya menunjukkan bahwa dia benar-benar paham apa yang sedang dimaksudkan oleh Lyra. “Kaelyn adalah sahabatku, Lyra. Aku tahu dia selalu ada untukku. Tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini padamu. Aku juga tahu, ini bukan sesuatu yang bisa aku sembunyikan lebih lama lagi.”
Lyra merasakan dada nya sesak. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Di satu sisi, dia ingin sekali mengatakan bahwa dia juga merasakan hal yang sama, tetapi di sisi lain, ada banyak hal yang menghalangi. Kaelyn, sahabat dekat Aiden yang selalu ada, selalu ceria, selalu menjadi pusat perhatian. Lyra merasa seperti bayangan di belakang mereka, hanya bisa mengamati tanpa bisa masuk ke dalam dunia mereka.
“Jadi… apa yang kamu ingin aku lakukan, Aiden?” Lyra bertanya dengan nada pelan, hampir seperti berbisik. “Aku tidak ingin menghancurkan apa pun di antara kalian.”
Aiden memandangnya, dan ada sesuatu di matanya yang mengingatkan Lyra pada saat-saat ketika mereka berdua saling berbicara tanpa kata-kata, hanya dengan tatapan. “Aku tidak ingin kita terjebak dalam ketidakjelasan ini. Aku ingin tahu apakah ada kemungkinan kita bisa bersama. Tapi jika itu membuat segalanya menjadi lebih rumit, aku tidak akan memaksakan kehendak.”
Lyra menghela napas, merasa seolah dunia ini berputar terlalu cepat. Ada banyak yang harus dipertimbangkan, banyak yang harus dipikirkan. Tetapi satu hal yang jelas—keputusan ini akan mengubah segala sesuatunya.
Di bawah cahaya temaram itu, mereka berdua duduk dalam diam, membiarkan kata-kata yang belum terucapkan memenuhi ruang di antara mereka. Keheningan itu terasa begitu panjang, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberi ruang bagi perasaan yang belum sepenuhnya dipahami.
Lyra tahu bahwa apapun yang akan terjadi setelah ini, tidak ada yang bisa kembali seperti semula. Tetapi, entah bagaimana, ia merasa siap menghadapi persimpangan yang baru saja terbuka di hadapannya.
Keputusan yang Tertunda
Pagi itu, Lyra terbangun dengan rasa bingung yang lebih kuat daripada sebelumnya. Walaupun hujan turun deras di luar, ia bisa merasakan keheningan yang menggelayuti dirinya. Hujan selalu membuatnya merenung, tetapi hari ini rasanya lebih berat. Perasaan yang mengambang setelah pertemuannya dengan Aiden semalam terus mengusik pikirannya.
Ia melangkah ke jendela kamar dan menatap ke luar. Jalan yang biasanya dipenuhi oleh mahasiswa yang berjalan cepat menuju kelas kini tampak kosong. Hujan membuat segalanya seolah melambat, memberi waktu untuk merenung, namun justru membuatnya semakin cemas.
“Apa yang harus aku lakukan?” pikir Lyra dalam hati. Kata-kata Aiden semalam terus terngiang di telinganya, namun semakin ia berpikir, semakin ia merasa ragu. Ia ingin membuka hati untuk Aiden, tetapi di satu sisi, ia tidak ingin menghancurkan persahabatan mereka—dan yang lebih penting, ia tidak ingin menyakiti Kaelyn. Ada sesuatu tentang hubungan mereka yang sudah terjalin lama, yang tidak bisa begitu saja diubah.
Lyra meraih ponselnya dan membuka pesan dari Aiden yang masih belum dibalasnya sejak semalam. Pesan singkat itu membuatnya terhenti sejenak. Ternyata, Aiden mengirimkan pesan lagi pagi ini, seperti menunggu jawabannya.
“Aku tidak akan memaksa, Lyra. Aku hanya ingin tahu jika ada harapan untuk kita. Jika kamu tidak siap, aku mengerti. Aku hanya ingin jujur padamu.”
Lyra terdiam. Kata-kata itu, sejujurnya, membuat hatinya terasa sakit. Ia tidak ingin menambah kebingungannya. Namun, juga tak bisa lagi mengabaikan perasaan yang menggelora dalam dirinya.
Pikirannya beralih ke Kaelyn, sahabat yang telah lama ia kenal. Kaelyn yang selalu ceria, yang selalu mendukungnya, yang selama ini menemani setiap langkahnya tanpa pernah bertanya lebih. Kaelyn yang selalu hadir dalam setiap momen hidupnya, baik saat bahagia maupun saat terluka. Bagaimana jika Aiden benar-benar jatuh cinta padanya? Apa yang akan terjadi jika ia mengungkapkan perasaannya?
Setelah berpikir panjang, Lyra memutuskan untuk bertemu dengan Kaelyn. Mereka berdua tidak hanya berbicara tentang hal-hal biasa, tetapi juga tentang hal-hal yang lebih dalam, seperti masa depan, mimpi, dan perasaan yang terkadang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Lyra duduk di kafe kecil favorit mereka, menunggu Kaelyn datang. Hujan masih turun deras, menciptakan suara yang menenangkan namun juga membawa perasaan hampa. Ia tahu bahwa pertemuan ini akan menjadi momen yang sangat penting. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Kaelyn.
Tak lama, Kaelyn datang dengan senyum lebar yang khas, seperti biasa. “Lyra!” sapanya, meskipun ada sedikit keheranan dalam suaranya ketika melihat Lyra duduk diam tanpa senyum seperti biasanya.
“Hey, Kaelyn,” jawab Lyra dengan suara pelan. Ia tersenyum tipis, tapi hatinya terasa berat.
Kaelyn duduk di hadapannya, membuka tas dan mengeluarkan secangkir kopi hangat. “Ada apa? Kamu kelihatan tidak seperti biasanya. Pikiranku langsung melayang. Ada yang terjadi?”
Lyra menatap Kaelyn sejenak, berusaha memilih kata-kata yang tepat. Kaelyn, yang selalu bisa membaca dirinya, pasti sudah merasakan bahwa ada sesuatu yang mengganjal. “Kaelyn, ada hal yang perlu aku bicarakan,” kata Lyra dengan suara yang lebih tegas. “Tentang Aiden.”
Mata Kaelyn berubah sedikit serius, meskipun senyum di bibirnya tidak hilang. “Aiden? Kamu berdua ada masalah?” tanyanya, menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil meminum kopi.
Lyra menggeleng, merasa tidak mudah untuk menjelaskan semuanya. “Bukan masalah. Tapi lebih ke arah… perasaan.” Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kata-kata. “Aiden mengungkapkan perasaannya padaku, Kaelyn. Dia bilang dia jatuh cinta padaku.”
Kaelyn terdiam sejenak. Ekspresinya tidak menunjukkan rasa marah atau kecewa, hanya penuh dengan pemikiran yang dalam. “Aku tidak tahu harus berkata apa, Lyra. Tapi jika kamu merasa ada yang istimewa dengan perasaan Aiden, maka aku ingin kamu ikuti itu. Jangan biarkan apapun menghentikanmu.”
Lyra menatap Kaelyn, merasa terkejut dengan reaksi sahabatnya. “Tapi, Kaelyn, kita sudah lama berteman. Kita selalu seperti ini. Aku… aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak ingin melukai perasaanmu.”
Kaelyn tersenyum, senyum yang tampaknya penuh pemahaman. “Kamu tidak akan melukaiku, Lyra. Aku tahu betapa berartinya Aiden bagimu, dan aku juga tahu betapa kamu menghargai persahabatan kita. Tetapi jika ini adalah waktunya untuk berubah, maka kita harus siap menerima perubahan itu.”
Lyra terdiam. Hatinya terasa semakin ringan dengan kata-kata Kaelyn. Ia tahu bahwa Kaelyn selalu mendukungnya, selalu ada di belakangnya, bahkan ketika keadaan menjadi rumit. Tetapi ini adalah langkah besar, bukan hanya untuknya, tetapi juga untuk hubungan mereka bertiga.
“Aku tidak tahu bagaimana aku bisa memutuskan, Kaelyn. Tapi aku akan mencoba,” akhirnya Lyra berkata pelan. “Aku ingin memikirkan ini dengan matang.”
Kaelyn mengangguk, kemudian menatap Lyra dengan penuh pengertian. “Kamu berhak memilih, Lyra. Tidak ada yang bisa mengatur hatimu. Apa pun yang kamu pilih, aku akan selalu ada untukmu.”
Lyra tersenyum, merasa sedikit lega. Dalam hati, dia tahu bahwa keputusan ini tidak akan mudah, tetapi satu hal yang pasti—dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk memilih apa yang benar-benar membuatnya bahagia.
Keputusan itu akhirnya berada di tangan Lyra. Hujan yang turun semakin reda, dan saat ia melihat langit yang mulai cerah, ia merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Jadi, ya, cerita ini emang belum selesai di sini. Lyra masih belum tahu apa yang bakal terjadi ke depan, apakah akhirnya Lyra bisa memilih, atau malah terjebak di antara dua hati. Tapi satu hal yang pasti—cinta itu nggak pernah sesederhana yang orang bilang.
Ada kalanya kamu harus berani ngambil keputusan, meski hati kamu nggak siap. Buat kamu yang lagi di posisi Lyra, ingat, gak ada salahnya buat ngikutin kata hati, meskipun kadang itu bikin kamu bingung banget. Tapi ya, itu yang bikin hidup kita berwarna, kan? Jadi, apapun yang kamu pilih, pastikan itu pilihan yang bikin hati kamu damai.