Kisah Cinta Seorang Santri: Jarak, Doa, dan Harapan yang Tak Pernah Padam

Posted on

Pernah nggak sih, ngerasain perasaan suka sama seseorang yang nggak bisa langsung dikejar? Entah karena jarak, waktu, atau mungkin karena hati yang nggak siap. Cerita ini tentang Rayyan, seorang santri yang ngerasain banget gimana rasanya cinta yang harus dipendam.

Tapi, cinta itu bukan cuma soal bersama, kan? Kadang, jarak dan doa malah jadi pengikat yang lebih kuat dari segalanya. Yuk, baca kisah tentang cinta, harapan, dan doa yang nggak pernah berhenti meski terpisah ribuan kilometer.

 

Kisah Cinta Seorang Santri

Pesantren Tanjung Madu

Pesantren Tanjung Madu, tempat di mana langkah kaki setiap santri diiringi oleh doa, dan setiap desah napas penuh harapan akan masa depan yang lebih baik. Di balik tembok yang kokoh, banyak cerita yang disembunyikan, termasuk kisah cinta yang terkadang lebih mendalam dari sekadar perasaan. Salah satunya adalah kisah Rayyan, seorang santri yang tumbuh besar di pesantren ini.

Rayyan adalah tipe santri yang lebih sering terlihat dengan kitab di tangannya daripada terlibat dalam obrolan ringan. Rambutnya yang hitam pekat selalu rapi, bahkan dalam kesederhanaan pakaian putih-hitam yang menjadi seragam santri. Tidak banyak yang tahu tentang dirinya, kecuali bahwa ia adalah seorang yang sangat tekun, selalu hadir dalam setiap pelajaran, dan tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menambah ilmu.

Namun, ada satu hal yang tidak banyak orang tahu. Di balik tatapan matanya yang sering kali serius, ada perasaan yang selama ini terpendam. Perasaan itu berpusat pada satu nama—Zahra.

Zahra adalah santriwati yang selalu menjadi pusat perhatian, tidak hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena ketekunannya dalam belajar. Ia selalu terlihat dengan kitabnya yang tebal, dan dengan sabar mengikuti setiap pengajian. Dalam setiap langkahnya, ada aura kelembutan yang memikat, namun tetap menunjukkan keteguhan dalam menjaga adab dan prinsip hidupnya.

Di awal tahun ajaran baru, pesantren mengadakan acara pengenalan bagi santri baru. Setiap santri lama diberikan tugas untuk membantu pengajaran dan memperkenalkan lingkungan pesantren kepada para santri baru. Rayyan yang biasa lebih memilih untuk menyendiri, kali ini merasa tergerak untuk membantu—mungkin, karena Zahra juga termasuk dalam kelompok yang baru bergabung.

Acara pengenalan berjalan lancar. Para santri baru diberi pengarahan tentang kegiatan pesantren, kegiatan belajar, hingga tata tertib yang harus diikuti. Rayyan, yang duduk di barisan depan, tak bisa mengalihkan pandangannya dari Zahra yang duduk di barisan belakang. Ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa berhenti memikirkan Zahra. Mungkin, karena Zahra memiliki cara yang berbeda dalam menyerap ilmu, dan cara dia bertanya, penuh rasa ingin tahu dan keinginan kuat untuk belajar.

Selesai acara, para santri baru diberi waktu untuk berkeliling pesantren. Rayyan berjalan menyusuri lorong panjang menuju perpustakaan, tempat yang selalu menjadi pelariannya saat membutuhkan ketenangan. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti. Di ujung lorong, Zahra sedang berbicara dengan beberapa teman barunya. Suaranya lembut, namun kata-katanya penuh dengan kebijaksanaan yang membuat siapa pun yang mendengarnya merasa terinspirasi.

“Zahra, kamu baru di sini kan? Pasti banyak yang ingin kamu pelajari, ya,” ujar salah satu temannya.

Zahra tersenyum dengan ramah. “Ya, aku memang baru. Tapi aku percaya, setiap tempat memiliki pelajaran yang berharga.”

Rayyan yang mendengar itu merasa seperti ada yang menggugah hatinya. Ia ingin sekali bergabung, namun rasa malu menghalanginya untuk menghampiri. Ia memilih untuk tetap diam, menyembunyikan perasaannya di balik raut wajahnya yang tak terbaca.

Saat mata mereka bertemu sejenak, Zahra memberikan senyuman singkat, yang entah kenapa terasa sangat dalam. Rayyan merasa seolah-olah ada ikatan yang tidak terlihat antara mereka, meskipun hanya dalam sekejap mata. Hatinya berdebar, namun ia tahu, tidak ada tempat bagi perasaan semacam itu di pesantren. Di sini, semuanya harus diprioritaskan pada ilmu dan ibadah.

Zahra kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruang belajar. Rayyan menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu, perasaannya mungkin tidak akan pernah terungkapkan. Namun, dalam setiap doa yang ia panjatkan, ia selalu menyebut nama Zahra dalam hati—bukan untuk meminta cinta, tapi untuk mendoakan kebaikan dan keberkahan untuknya.

Malam hari di pesantren selalu menjadi waktu yang penuh kedamaian. Setelah tarawih berjamaah di masjid, para santri kembali ke kamar mereka masing-masing untuk melanjutkan kegiatan pribadi. Rayyan duduk bersila di sudut kamarnya, membuka kitab yang ada di depannya. Namun, hatinya tidak bisa sepenuhnya fokus. Ia teringat lagi pada Zahra, pada senyumannya yang seolah membawa kedamaian.

Dalam diam, ia berdoa, “Ya Allah, jika dia adalah bagian dari takdir-Mu, dekatkanlah kami dalam kebaikan. Tapi, jika dia bukanlah jodohku, kuatkanlah hatiku untuk menerima dengan lapang dada.”

Doa itu ia ulangi setiap malam, meski tak pernah ia ungkapkan pada siapa pun. Rayyan tahu, cinta bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang menjaga niat untuk selalu mencari ridha Allah dalam setiap langkah hidup.

Esok pagi, Zahra kembali lewat di depan kamarnya. Senyuman kecil itu kembali ia berikan, seolah memberi kekuatan baru bagi Rayyan untuk terus belajar dan berdoa. Namun, ia tetap tahu, cinta ini akan tetap terjaga dalam diam—di dalam hati yang hanya bisa berdoa dan berharap, bahwa takdir akan membawa mereka pada jalan yang benar.

 

Perlombaan dan Rasa yang Terpendam

Setelah beberapa bulan, kehidupan di pesantren kembali berjalan dengan ritme yang sama. Setiap hari dipenuhi dengan kegiatan belajar, mengaji, dan berdiskusi tentang berbagai kitab. Rayyan semakin terbiasa dengan rutinitas ini, meski perasaan yang tertinggal sejak pertemuannya dengan Zahra belum juga hilang. Ia berusaha fokus, tetapi saat melihat Zahra, hatinya tetap berdebar, meski ia berusaha menutupi semuanya dengan kesederhanaan.

Puncak acara tahun ini adalah perlombaan baca kitab kuning yang sudah menjadi tradisi pesantren. Para santri berlomba untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam memahami teks-teks agama yang kadang terbilang sulit. Setiap tahun, perayaan ini selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu, karena selain mendapatkan penghargaan, para pemenang juga dihormati di mata santri lainnya.

Rayyan, seperti tahun-tahun sebelumnya, merasa bahwa perlombaan ini adalah kesempatan untuk lebih mendalami ilmu, tanpa niat untuk menang. Namun, pada tahun ini, ia merasa sesuatu yang berbeda ketika mendengar nama Zahra disebut sebagai salah satu peserta perlombaan. Zahra, yang selalu menjadi santriwati cerdas dan tekun, tentu saja akan menjadi lawan berat. Tapi bukan itu yang membuat Rayyan merasa tertekan. Melihat Zahra berkompetisi di ajang ini, ia tahu bahwa rasa yang ia pendam semakin kuat, seiring dengan semakin dekatnya waktu untuk berbicara, walau hanya dalam bentuk kompetisi.

Hari perlombaan pun tiba. Ruangan di pesantren dipenuhi dengan para santri yang siap menyaksikan. Rayyan berdiri di barisan peserta pria, sementara Zahra duduk di sisi lain, di antara barisan perempuan. Saat suara pengumuman dimulai, ia mendengar namanya disebutkan terlebih dahulu untuk membaca bagian dari kitab al-Hikam, sebuah karya besar yang penuh dengan makna mendalam.

Rayyan berjalan dengan tenang ke podium, dengan hati yang sebenarnya sedikit berdebar. Saat tangannya memegang kitab, ia mengingat setiap kalimat yang harus dibaca. Ia mulai melafalkan dengan lancar, suara lantang namun penuh rasa, seakan setiap kata mengalir dari dalam hatinya. Di antara kerumunan, ia bisa merasakan tatapan yang tak bisa ia pahami. Ternyata Zahra juga memperhatikannya, dengan tatapan yang penuh kekaguman.

Setelah Rayyan selesai, giliran Zahra yang maju. Ia duduk dengan tenang, mempersiapkan dirinya. Dalam diam, Rayyan memperhatikan gerak-gerik Zahra. Ada sesuatu yang sangat memikat tentang cara Zahra membaca, begitu penuh penghayatan dan ketulusan. Bahkan, meski suasana hening, suaranya tetap terdengar lembut namun jelas, seperti air yang mengalir dengan tenang. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa penuh dengan makna, dan Rayyan tak bisa mengalihkan pandangannya.

Perlombaan berlanjut hingga akhir, dengan setiap peserta menunjukkan kemampuan terbaik mereka. Namun, dalam hati Rayyan, perasaan itu semakin dalam. Bagaimana mungkin ia bisa mengungkapkan semua yang ada dalam hatinya? Dalam setiap doa, ia hanya bisa berharap agar Allah memberinya ketenangan dan kekuatan untuk menjalani kehidupan pesantren yang penuh dengan ilmu ini. Meskipun di hadapan Zahra, ia tidak mampu berkata banyak.

Akhirnya, pengumuman pemenang tiba. Nama Zahra disebut sebagai juara pertama untuk kategori perempuan, sementara Rayyan meraih posisi kedua dalam kategori laki-laki. Semua santri bertepuk tangan, memberi penghormatan kepada mereka berdua.

Saat acara selesai, Rayyan tidak langsung pergi. Ia merasa ada yang mengganjal, sebuah perasaan yang sudah lama dipendam namun semakin kuat. Ketika Zahra keluar dari ruang pengumuman, ia berpapasan dengan Rayyan di koridor. Mereka saling bertemu pandang, dan sejenak waktu seperti berhenti. Zahra memberi senyuman tipis, yang terasa penuh arti. “Selamat, Rayyan,” ujarnya lembut, dengan nada yang penuh hormat.

Rayyan menunduk sedikit, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. “Terima kasih, Zahra. Kamu juga luar biasa,” jawabnya, suara terdengar lebih rendah dari biasanya.

Zahra mengangguk, senyum itu masih menghiasi wajahnya. “Aku hanya berusaha. Kita semua belajar di sini, kan?”

Rayyan tersenyum kaku, meski di dalam hatinya, ada perasaan yang sulit untuk dijelaskan. “Iya, benar… semoga kita terus bisa belajar bersama,” jawabnya dengan pelan.

Zahra mengangguk, dan sebelum melanjutkan langkahnya, ia berkata, “Aku berharap kita semua bisa terus tumbuh di jalan ini, dengan ilmu dan keikhlasan. Semoga Allah memberi kita petunjuk.”

Rayyan hanya mengangguk, mengiyakan dengan hati yang berdebar. Zahra melanjutkan langkahnya, meninggalkan Rayyan dengan sejuta pertanyaan dalam hatinya. Perasaan ini—perasaan yang ia coba pendam—semakin terasa nyata. Namun, ia tahu, bukan saatnya untuk berbicara tentang cinta. Di pesantren, ada banyak hal yang lebih penting untuk diperjuangkan. Cinta itu sendiri, ia tahu, harus datang dengan cara yang benar.

Rayyan melangkah kembali ke kamarnya, berdoa dalam hati agar segala sesuatunya bisa berjalan sesuai dengan takdir Allah. Namun, di dalam hatinya, ia juga berharap bahwa satu hari nanti, takdir itu akan mengarah pada sebuah jalan yang lebih terang. Untuk saat ini, ia hanya bisa berharap dan berdoa.

 

Jarak yang Menguji

Beberapa bulan berlalu sejak perlombaan itu, dan kehidupan di pesantren kembali berjalan seperti biasa. Namun, meski segala sesuatunya tampak normal, ada sesuatu yang berubah dalam hati Rayyan. Perasaan yang semula ia simpan dalam diam, kini mulai mengganggu ketenangannya. Ia merasa seperti ada yang mengikatnya dalam keraguan—sebuah perasaan yang tak bisa disalurkan. Dalam setiap doa yang ia panjatkan, ia selalu berharap agar Allah memberinya petunjuk, apakah perasaan ini bisa menjadi bagian dari takdir-Nya, atau justru ujian untuk menguatkan hatinya dalam kesabaran.

Hari-hari di pesantren terasa semakin penuh tantangan. Rayyan semakin sibuk dengan kegiatan belajar dan mengajar di kelas, sementara Zahra—seperti biasa—terus menunjukkan dedikasi yang luar biasa dalam setiap pelajaran. Namun, pada suatu hari, sebuah pengumuman datang yang mengguncang segalanya.

Seiring berjalannya waktu, para santri senior yang sudah hampir lulus mulai menempuh ujian akhir pesantren, sementara yang lainnya harus menjalani ujian-ujian lain, yang semakin berat. Namun, ada satu pengumuman yang membuat hati Rayyan sedikit cemas—Zahra akan melanjutkan pendidikannya ke luar kota, di sebuah pesantren besar di Jawa.

Pengumuman itu datang dari Ustaz Fauzan, pimpinan pesantren, yang mengumumkan bahwa Zahra terpilih untuk menjadi salah satu santri yang melanjutkan pendidikan di pesantren lain yang lebih besar, lebih terkenal. “Zahra, kamu diberi kesempatan untuk menimba ilmu lebih jauh lagi. Ini adalah penghargaan untuk dedikasimu selama ini,” kata Ustaz Fauzan dengan suara penuh kebanggaan.

Berita itu menyebar dengan cepat. Semua santri merasa bangga, namun bagi Rayyan, berita itu datang seperti petir yang menyambar hatinya. Zahra, yang selama ini menjadi sosok yang begitu dekat dalam jangkauannya, kini akan menjauh. Jarak yang akan terbentang antara mereka membuat hatinya terasa kosong.

Zahra sendiri tampaknya menerima keputusan itu dengan lapang dada. Ia tidak menunjukkan kesedihan atau kekhawatiran yang berarti, meskipun Rayyan bisa melihat ada kedalaman dalam pandangannya, seolah-olah ada sesuatu yang tak terucapkan. Beberapa kali, Rayyan menangkap tatapan Zahra yang seolah mencari-cari sesuatu, mungkin mencari ketenangan dalam keramaian.

Pada malam hari, Rayyan duduk di sudut kamarnya, memikirkan semua yang telah terjadi. Zahra, yang telah menjadi bagian dari kehidupannya di pesantren, kini harus pergi. Jarak yang akan memisahkan mereka bukan hanya secara fisik, tapi juga dalam hal waktu dan kesempatan untuk saling mengenal lebih jauh. Rayyan tahu, inilah ujian yang sesungguhnya. Bagaimana ia bisa menerima kenyataan bahwa cinta yang ia rasakan tidak bisa langsung diwujudkan? Bagaimana ia bisa belajar sabar dalam keadaan yang penuh keraguan ini?

Zahra pun mulai sibuk mempersiapkan keberangkatannya. Ia terlihat lebih sering berbicara dengan Ustaz Fauzan dan beberapa senior lainnya. Namun, di tengah kesibukannya, Zahra selalu menyempatkan diri untuk berbicara dengan para santri, memberikan semangat dan doa untuk mereka yang masih berada di pesantren. Pada suatu sore, saat Rayyan sedang menunaikan salat sunnah di masjid, Zahra datang mendekat.

“Rayyan,” kata Zahra, suaranya lembut, namun terasa berat. “Aku ingin berterima kasih. Selama ini, kamu banyak membantu aku dalam belajar. Aku akan merindukan semuanya, termasuk kalian semua.”

Rayyan menatapnya dengan sedikit terkejut. Tentu saja, ia ingin mengatakan banyak hal, tetapi mulutnya terasa kering. “Jangan terlalu cepat pergi, Zahra. Kamu… kamu akan pergi jauh,” jawabnya, mencoba menyembunyikan perasaan yang sebenarnya telah meluap.

Zahra tersenyum kecil. “Itulah jalan yang Allah berikan. Aku percaya bahwa apa pun yang terjadi, kita semua harus mengikuti jalan yang telah ditentukan-Nya.”

Rayyan merasa seolah kata-kata itu sedikit menenangkan hatinya, namun pada saat yang sama, ia merasakan kehilangan yang sangat besar. “Aku… aku berharap kita bisa terus belajar bersama, meski nanti kita terpisah,” ujar Rayyan, suara sedikit bergetar.

Zahra mengangguk pelan. “Insya Allah, kita akan selalu terhubung dengan doa. Apa pun yang terjadi, kita akan saling mendoakan. Jarak tidak akan pernah bisa memisahkan kita jika hati kita tetap bersatu dalam kebaikan.”

Mendengar kata-kata itu, hati Rayyan terasa lebih ringan. Namun, ia tahu, perasaan ini tidak akan bisa terungkap dengan mudah. “Semoga Allah memberkahi setiap langkahmu, Zahra. Semoga ilmu yang kamu dapatkan bisa bermanfaat untuk banyak orang.”

Zahra menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya dengan senyuman. “Terima kasih, Rayyan. Doakan aku, ya.”

Rayyan hanya bisa mengangguk, merasa kata-katanya tidak cukup untuk menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Ia tahu, meskipun jarak akan memisahkan mereka, doa dan harapan tetap akan mengikat mereka. Namun, rasa rindu yang akan datang, rasa cemas akan masa depan, adalah ujian yang harus ia jalani dengan ikhlas.

Malam itu, Rayyan kembali ke kamarnya dengan perasaan yang campur aduk. Zahra akan pergi, dan ia harus menerima kenyataan itu. Tetapi di dalam hati, ia bertekad untuk tetap berusaha menjadi lebih baik, menjadi lebih fokus pada tujuan hidupnya—belajar dan mendekatkan diri pada Allah.

Jarak yang memisahkan mereka bukanlah akhir dari segalanya. Bagi Rayyan, ini adalah permulaan dari perjalanan yang lebih panjang. Sebuah perjalanan di mana ia belajar bahwa cinta tidak hanya tentang kebersamaan, tetapi juga tentang kesabaran, doa, dan menjaga hati.

 

Cahaya yang Tak Pernah Padam

Waktu berlalu begitu cepat, dan musim pun berganti. Zahra sudah berada di pesantren besar di Jawa, sementara Rayyan tetap berada di pesantrennya, menjalani hari-hari dengan lebih fokus pada ilmu dan ibadah. Namun, meskipun dunia sekitar seakan berjalan seperti biasa, perasaan Rayyan tidak bisa bohong. Ada kerinduan yang tumbuh di dalam dirinya—kerinduan yang tak terucapkan, namun selalu hadir dalam setiap doa yang ia panjatkan.

Hari demi hari, Rayyan lebih sering merenung, mencoba memahami makna hidup yang lebih besar. Ada banyak hal yang harus dipelajari dan diperjuangkan, tetapi satu hal yang ia sadari: bahwa meskipun mereka terpisah oleh jarak, Zahra masih menjadi bagian dari perjalanannya. Cinta itu bukan hanya tentang dekatnya fisik, tapi tentang bagaimana hati ini terus berdoa untuk kebaikan orang yang kita sayangi. Dan Rayyan tahu, itulah yang telah terjadi antara dirinya dan Zahra.

Suatu pagi yang cerah, saat Rayyan sedang duduk di halaman pesantren setelah shalat dhuha, ia menerima sebuah surat dari Zahra. Surat yang sudah ditulis beberapa minggu sebelumnya, namun baru sekarang sampai padanya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka surat itu, membacanya dengan hati-hati.

“Rayyan yang aku hormati,

Alhamdulillah, aku sampai dengan selamat di pesantren baru ini. Semua berjalan dengan baik, meski banyak tantangan yang harus kuhadapi. Namun, aku merasa begitu diberkahi bisa berada di sini, menimba ilmu yang lebih dalam. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas semua doa dan dukunganmu. Aku tahu, kita tidak selalu bisa berada di tempat yang sama, namun aku percaya bahwa kita selalu bisa menghubungkan hati kita lewat doa dan niat baik.

Rayyan, aku ingin kamu tahu bahwa meskipun kita terpisah oleh jarak, aku selalu mendoakanmu. Semoga Allah selalu memberikan petunjuk-Nya untukmu dalam setiap langkah. Jangan pernah ragu untuk terus berusaha, karena Allah pasti akan menunjukkan jalan yang terbaik. Aku percaya, suatu saat nanti, kita akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik, insya Allah.

Dengan penuh harap, Zahra”

Surat itu membuat hati Rayyan bergetar. Di dalamnya ada doa, ada harapan, dan yang paling penting—ada ikatan yang tak terputuskan meskipun mereka terpisah oleh jarak dan waktu. Rayyan merasakan kebahagiaan yang sulit diungkapkan. Ada kedamaian dalam dirinya yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa, meskipun tidak ada kata-kata yang langsung mengungkapkan perasaan, tetapi Zahra mengerti apa yang ada dalam hatinya. Ia tahu, bahwa segala sesuatu harus berjalan dengan cara yang terbaik menurut Allah.

Sejak saat itu, Rayyan semakin giat belajar. Ia tidak lagi terbebani oleh perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan. Ia tahu bahwa cinta itu adalah jalan yang penuh dengan ujian dan ketulusan. Ia belajar untuk menerima, untuk berdoa, dan untuk terus menjaga niatnya dalam segala hal.

Sementara Zahra, di pesantren besar itu, terus menuntut ilmu dengan semangat yang tak kenal lelah. Meskipun mereka terpisah jauh, tetapi keduanya saling menyadari bahwa perjalanan mereka masing-masing adalah bagian dari takdir yang indah. Cinta mereka, meskipun tak terucapkan dengan kata-kata, tetap tumbuh dalam doa yang tulus, dalam harapan yang ikhlas.

Suatu malam, saat Rayyan duduk sendiri di atas kasurnya, menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang, ia tersenyum. Meski Zahra jauh di sana, ia merasa bahwa Allah selalu menyatukan hati mereka dalam doa. Tidak ada jarak yang bisa memisahkan hubungan mereka yang terjalin dalam kebaikan. Tidak ada waktu yang bisa menghentikan perasaan tulus mereka satu sama lain.

Dan saat itu juga, Rayyan berdoa. Doa yang panjang, penuh harapan, dan keyakinan. Doa untuk Zahra, doa untuk dirinya sendiri, dan doa untuk masa depan yang akan datang. Ia tahu, bahwa pada akhirnya, Allah akan menunjukkan jalan terbaik bagi mereka berdua—jalannya mungkin belum jelas sekarang, tapi ia yakin, dalam waktu yang tepat, segala sesuatunya akan terungkap.

“Cinta itu adalah perjalanan, bukan tujuan,” pikir Rayyan sambil mengangkat tangannya, berdoa penuh pengharapan.

Di luar, langit malam tetap begitu tenang, seperti cinta yang tidak pernah padam—sebuah cinta yang akan selalu ada, meskipun jarak dan waktu mencoba memisahkannya.

 

Jadi, cinta itu nggak selalu harus berakhir dengan pertemuan, kan? Kadang, yang terpenting adalah doa, ketulusan hati, dan keyakinan kalau Allah punya rencana terbaik.

Rayyan dan Zahra mungkin terpisah oleh jarak, tapi keduanya tahu, cinta yang sejati nggak akan pernah pudar. Semoga cerita ini bisa bikin kita semua lebih paham, kalau dalam setiap perjalanan, cinta itu selalu ada, meski kadang nggak terlihat.

Leave a Reply