Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu ngerasain gimana rasanya kerja bareng seseorang yang awalnya cuma teman biasa, terus tiba-tiba berasa ada yang lebih? Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ngerasain gimana cinta itu tumbuh di tengah-tengah proyek SMK yang seru dan penuh tantangan.
Siapa sangka, di balik tugas kelompok dan kerja tim yang nggak ada habisnya, ternyata ada kisah kasih yang bikin hati deg-degan! Jadi, siap-siap deh buat nyaksiin gimana dua orang ini, yang awalnya cuma berurusan soal tugas, akhirnya saling menemukan perasaan.
Kisah Cinta Romantis di SMK
Proyek di Balik Ruang Karya
Pagi itu, suasana di SMK Negeri Mandala terasa sedikit lebih sibuk dari biasanya. Siswa-siswa berlarian, menuju kelas masing-masing, sementara di sudut ruang kelas, Ibu Siska, guru produktif kami, baru saja mengumumkan tugas besar semester ini. Proyek desain ruang karya.
“Kalian akan bekerja dalam kelompok. Setiap kelompok akan bertanggung jawab untuk merancang ulang ruang karya yang ada di belakang gedung,” kata Ibu Siska, sambil membagikan daftar kelompok. Suara bel berbunyi, menandakan awal kelas dimulai.
Aku duduk di meja belakang, menatap kertas daftar kelompok yang baru saja dibagikan. Mata ini tertuju pada nama yang ada di kolom kelompokku. Hanan, Alea, Faiz, dan Yani. Aku sudah bisa menebak, grup ini pasti akan penuh tantangan. Hanan, yang sangat terstruktur dan serius, Alea yang penuh energi, Faiz yang sering dianggap santai, dan Yani yang suka dengan desain minimalis. Semua punya cara pandang yang berbeda tentang desain, dan entah kenapa aku merasa ini bakal jadi perjalanan panjang.
“Kelompok kita pasti ribet deh,” bisikku pada Yani, yang duduk di sampingku.
“Ya, lihat saja nanti. Kalau mereka nggak setuju, kita harus jadi penengah,” jawab Yani dengan tenang.
Begitu tugas dibagikan, Ibu Siska memintaku untuk berdiskusi dengan anggota kelompok lain di luar kelas. Kami pun menuju ruang kosong di bagian belakang sekolah. Hanan sudah duduk dengan laptop terbuka, memulai ide-idenya.
“Aku usul, kita pakai konsep modern dan futuristik. Banyak lampu neon, rak-rak futuristik, dan warna metalik,” ucap Alea, yang duduk di sebelahnya.
Hanan mengangkat alis, menatapnya tanpa tersenyum. “Lampu neon? Itu boros listrik. Kenapa nggak pakai konsep yang lebih ramah lingkungan? Misalnya, bahan alami seperti kayu dan tanaman hias.”
Alea langsung mencibir. “Kayu? Itu tua banget, Han. Kita kan ingin sesuatu yang baru, yang bisa buat orang terpana. Kalau pakai kayu, nanti kesannya kayak rumah tua.”
“Minimalis dan ramah lingkungan lebih punya nilai jangka panjang,” Hanan tetap berpendirian.
Perdebatan itu berlangsung cukup lama. Setiap ide dari Alea dan Hanan saling bertubrukan, sementara Faiz dan Yani hanya diam, sesekali mengangguk, atau ikut memberi pendapat. Aku merasa, mereka berdua ini lebih fokus pada prinsip masing-masing ketimbang pada hasil akhir yang ingin dicapai.
“Alea, coba deh dengerin dulu penjelasan Hanan. Aku rasa konsep eco-friendly itu juga keren. Kayu bisa dipadukan dengan desain modern kok, nggak mesti semuanya berat,” Yani akhirnya angkat bicara.
Aku mengangguk setuju. “Iya, mungkin kita bisa coba kombinasi. Kayu dengan elemen logam, dan beberapa tanaman dalam pot kecil di sudut. Gimana?”
Hanan menatap kami, sepertinya masih ragu. “Oke, kita coba konsep yang lebih seimbang. Kayu dan logam, dengan elemen hijau.”
Alea menoleh ke arahku, senyumnya tak terlalu lebar, tapi setidaknya dia tampak lebih menerima. “Oke deh, kalau begitu. Tapi nanti kalian harus lihat juga konsep futuristik yang kubawa, biar nggak monoton.”
Kami sepakat, walau aku tahu bahwa ada ketegangan yang belum sepenuhnya hilang. Namun, proyek ini harus selesai, dan mungkin inilah saatnya untuk saling memahami.
Beberapa hari berlalu, dan semakin banyak waktu yang kami habiskan bersama untuk merancang dan menentukan elemen-elemen ruang karya. Kami menghabiskan banyak waktu di ruang prakarya, mengukur, berdiskusi, mencari bahan-bahan yang diperlukan. Semua terlihat seperti biasa, sampai suatu saat ketika aku bekerja sendirian, Hanan datang dan duduk di meja dekatku.
“Jadi, menurut kamu, warna cat ruang ini bakal lebih baik dengan warna apa?” tanya Hanan tiba-tiba, memecah kesunyian.
Aku menoleh, agak terkejut. Biasanya dia lebih memilih berkomunikasi lewat email atau catatan daripada berbicara langsung. “Mungkin warna abu-abu muda dengan aksen hijau. Itu bisa nyatuin tema eco-friendly kita,” jawabku, berusaha menyesuaikan diri dengan pembicaraan.
Dia mengangguk pelan. “Tapi, kalau aku pikir-pikir, abu-abu bisa terlalu gelap untuk ruang yang harusnya penuh dengan energi positif. Bagaimana kalau putih, dengan aksen kayu?”
Aku tersenyum, merasa ada titik temu. “Tentu. Itu bisa jadi pilihan yang bagus.”
Kami melanjutkan pembicaraan, dan entah kenapa suasana yang tadinya terasa berat kini mulai lebih ringan. Mungkin, hanya mungkin, kami mulai mengerti bagaimana bekerja sama.
Setelah beberapa hari yang melelahkan, kami akhirnya memutuskan untuk mengadakan pertemuan malam untuk menyelesaikan detil-detil akhir. Beberapa barang sudah dibeli, dan ruang karya semakin tampak seperti sesuatu yang bisa dikerjakan dengan bangga.
“Han, kamu yakin ini sudah cukup?” tanyaku, sambil menunjukkan desain akhir.
“Ini sudah cukup bagus. Aku rasa kita bisa berhasil,” jawabnya, meski ada keraguan kecil yang masih tersirat di matanya.
Di sinilah aku mulai menyadari sesuatu. Kami berdua, meski berasal dari dunia yang berbeda, ternyata bisa saling melengkapi. Tidak ada lagi argumen yang terlalu keras, dan ada sedikit tawa yang tak sengaja terlepas di tengah diskusi serius.
Aku berharap, proyek ini bukan hanya mengubah ruang karya, tetapi juga mengubah cara kami memandang satu sama lain. Tapi, untuk itu, kami masih harus berjuang menyelesaikan semua tugas.
Pekerjaan kami belum selesai. Ada banyak detil yang harus diselesaikan, banyak lagi kesulitan yang harus dihadapi. Dan meski aku merasa sedikit lebih dekat dengan Hanan, aku tahu bahwa perjalanan kami masih panjang. Proyek ini bukan hanya tentang desain, tapi juga tentang menemukan keseimbangan di antara dua dunia yang berbeda.
Aku tahu, saat proyek ini berakhir, ada sesuatu yang akan berubah—antara kami. Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati prosesnya.
Ketegangan dan Kompromi
Malam semakin larut, dan ruang prakarya yang biasanya riuh kini hanya ditemani suara detik jam dan bunyi pensil yang menyentuh kertas. Meja kami penuh dengan bahan, kertas, cat, dan sketsa desain yang semakin berkembang. Faiz dan Yani sibuk dengan cat dan detail-detail kecil, sementara aku, Hanan, dan Alea masih berusaha menyelesaikan elemen terakhir dari desain ruang karya.
“Jadi, ini harus selesai besok? Semua elemen desain harus terpasang?” Alea bertanya, suaranya terdengar agak lelah meskipun matanya masih penuh semangat.
“Iya,” jawab Hanan, tak mengangkat pandangannya dari laptop. “Kita tinggal menambahkan beberapa aksen dan finising. Semua detil sudah ada.”
Alea mengerutkan kening, tak puas dengan jawaban itu. “Kayaknya masih ada yang kurang deh. Aku nggak merasa desainnya hidup.”
Aku menatapnya, berusaha memahami keresahan di matanya. “Kenapa kamu merasa begitu? Bukannya kamu juga setuju sama konsep gabungan ini?”
Alea memutar kursinya, menatap kami dengan tatapan serius. “Setuju sih, cuma… rasanya desainnya terlalu biasa. Kayaknya ruang ini harus punya sesuatu yang beda. Sesuatu yang bikin orang yang masuk ke sini langsung terkesan.”
Aku menarik napas panjang. “Alea, kita nggak bisa cuma ngikutin apa yang keren. Kita juga harus mikirin kenyamanan dan fungsionalitas. Ini ruang karya, bukan ruang pamer.”
Alea melipat tangan di depan dada, bibirnya sedikit cemberut. “Aku ngerti itu, tapi… nggak bisa dong, ruang yang nggak punya ‘wow factor’. Kalian tahu kan, ruang ini harus jadi inspirasi bagi yang pakai. Harus ada kesan pertama yang nggak terlupakan.”
Perdebatan ini makin memanas, dan aku merasa suasana jadi makin canggung. Yani yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Mungkin kita bisa cari titik tengah. Kalau aku lihat, kita masih bisa menambahkan elemen yang lebih berani di beberapa sudut ruang tanpa mengorbankan konsep utama.”
Hanan mengangguk, setuju dengan ide Yani. “Betul. Mungkin menambahkan beberapa elemen yang sedikit berani, tapi tetap dalam batas yang bisa mendukung kesan ruang yang nyaman.”
Alea menatap mereka semua, akhirnya mengalah. “Oke, kalau begitu. Tapi aku tetap mau ada elemen yang ‘memukau’. Mungkin beberapa lampu LED yang tersembunyi di bawah rak, atau aksesori kaca?”
Kami semua terdiam sejenak, memikirkan saran itu. Setelah beberapa saat, aku membuka suara. “Kita bisa coba itu. LED tersembunyi di bawah rak kayu itu pasti bisa memberi kesan futuristik, dan kalau ditambah aksesori kaca, bisa ada refleksi yang menarik. Tapi harus pas dan nggak berlebihan.”
Alea tersenyum kecil, merasa ada sedikit kemenangan di sana. “Setuju. Itu baru sesuai harapanku.”
Kami melanjutkan pekerjaan, dan malam itu terasa seperti berputar lebih cepat. Saat jam menunjukkan hampir tengah malam, akhirnya kami memutuskan untuk menunda pekerjaan dan kembali keesokan harinya.
Di luar kelas, aku menyadari bahwa Hanan tampak lebih tenang malam itu. Tak ada lagi raut kesal yang biasanya ia tunjukkan. Mungkin kami memang sudah mulai saling menemukan ritme dalam bekerja bersama.
“Besok tinggal finishing saja,” Hanan berkata, menghentikan langkahku ketika kami berjalan keluar kelas. “Kamu nggak merasa proyek ini malah bikin kita lebih… dekat?”
Aku terkejut mendengar pertanyaannya. “Maksud kamu?”
Hanan tersenyum kecil, lebih lembut dari sebelumnya. “Ya, maksudku… kita kan sering ngobrol sekarang, padahal sebelumnya kita jarang saling bicara.”
Aku mengangguk pelan. “Iya, mungkin ini cara kita saling mengenal tanpa banyak basa-basi.”
“Tapi,” Hanan melanjutkan, “masih banyak hal yang kita perlu bicarakan. Kadang, kamu juga bisa lebih terbuka, loh.”
Aku menatapnya dengan bingung. “Aku nggak terlalu tertutup kok.”
“Kadang aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu. Seperti… kamu nggak mau terlalu serius sama apa yang sedang terjadi,” katanya, tatapannya kali ini lebih serius, lebih dalam.
Aku menahan napas, lalu mengangguk, merasa sedikit canggung. “Mungkin. Tapi aku juga nggak bisa langsung terbuka begitu saja.”
Hanan hanya mengangguk pelan, memberi ruang untuk percakapan yang tak terucap. Kami berdua terdiam sesaat, masing-masing berpikir tentang apa yang baru saja dikatakan.
Esok harinya, kami kembali ke ruang prakarya dengan semangat baru. Masing-masing dari kami bertugas menyelesaikan bagian yang sudah menjadi tanggung jawab. Meskipun ada sedikit ketegangan di antara kami, ada juga perasaan saling percaya yang tumbuh seiring berjalannya waktu.
Saat akhirnya ruang karya hampir selesai, aku berdiri di sudut ruangan, memandangi hasil kerja kami. Hanan berdiri di sebelahku, menatap desain itu dengan pandangan serius. “Bagaimana menurutmu? Sudah sesuai harapan?”
Aku tersenyum, meskipun masih ada beberapa detil yang ingin aku perbaiki. “Ini luar biasa, Han. Kita berhasil.”
Hanan mengangguk, lalu menatapku dengan tatapan yang lebih dalam. “Iya, kita berhasil. Dan aku rasa, ini bukan hanya tentang proyek, kan?”
Aku menatapnya, entah kenapa hatiku berdebar. Tapi kali ini, aku merasa lebih siap menghadapi apa yang akan datang. Kami telah melangkah lebih jauh, tak hanya dalam proyek ini, tapi dalam hubungan yang entah mengapa terasa lebih istimewa.
Bab berikutnya akan menguji kami, bukan hanya dalam hal desain, tetapi juga tentang bagaimana kami menghadapinya bersama.
Di Bawah Cahaya Kemenangan
Pagi itu, ruang prakarya kami dipenuhi dengan perasaan lega dan bangga. Proyek desain kami yang seharian semalam diselesaikan akhirnya tiba saatnya untuk dipresentasikan. Meskipun sudah larut malam saat kami menuntaskan pekerjaan, ada perasaan puas yang mengisi hati kami. Semua elemen yang kami rencanakan berhasil terwujud dengan baik. Ada lampu LED tersembunyi di bawah rak yang memberikan kesan futuristik, sementara elemen kaca yang dipilih dengan hati-hati menambah kesan elegan pada ruang karya. Rasanya, kami berhasil mewujudkan semua ide yang sebelumnya terasa mustahil.
Hari ini, kami hanya tinggal mempersiapkan presentasi untuk para guru dan teman-teman sekelas. Semua perasaan cemas yang menghantui sebelumnya mulai berkurang, tapi ada satu hal yang masih menggantung di udara—hubungan antara aku dan Hanan. Rasanya, ada sesuatu yang lebih dari sekedar kerja tim yang kami jalani selama ini.
“Kalau presentasi lancar, kita bakal jadi bintang di kelas, loh,” kata Alea sambil tersenyum lebar, meletakkan laptopnya di meja. “Aku merasa kita sudah ngelakuin hal yang besar banget, apalagi dengan desain yang berani ini.”
Aku tertawa kecil, mengangguk setuju. “Iya, aku juga ngerasa begitu. Tapi ingat, bukan cuma soal desain. Kerja tim kita selama ini juga nggak kalah penting.”
Yani yang biasanya ceria, hari ini tampak sedikit lebih pendiam dari biasanya. Ia sibuk dengan beberapa catatan di tangannya, seakan tidak terlalu terlibat dalam pembicaraan. Mungkin dia merasa ada yang belum selesai, seperti ada beban di pikirannya.
“Alea, Yani, kamu yakin siap buat presentasi? Kalian jangan sampai kelupaan sesuatu, ya,” aku bertanya dengan nada sedikit khawatir.
“Tenang aja,” jawab Yani, tersenyum tipis, “kita sudah siap, kok. Tinggal berbicara dengan percaya diri aja.”
Kami semua pun berkumpul untuk latihan presentasi sebelum akhirnya dipanggil ke depan kelas. Hanan berdiri di depan kami, mengatur alur presentasi yang akan kami sampaikan. Wajahnya serius, namun matanya tetap memancarkan semangat.
“Kita harus menyampaikan ini dengan baik. Jangan sampai ada kesalahan. Ini kesempatan kita untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya,” katanya dengan penuh keyakinan.
Aku hanya mengangguk dan mengikuti alur yang sudah disepakati. Meski ada sedikit kegugupan dalam hati, aku merasa Hanan benar—kami harus membuktikan bahwa kerja keras kami tidak sia-sia. Kami bekerja dengan sepenuh hati, dan sekarang saatnya untuk memperlihatkannya.
Kami masuk ke kelas dengan perasaan cemas, namun juga sedikit bangga. Semua mata tertuju pada kami ketika kami menyiapkan laptop dan menata proyektor. Di sudut ruangan, aku melihat Faiz yang sibuk dengan catatannya, sementara Yani dan Alea mulai berdiskusi kecil, mungkin mempersiapkan diri untuk berbicara.
“Apa kamu siap?” tanya Hanan, yang berdiri di sampingku.
Aku menatapnya, merasa ada ketegangan yang kembali muncul antara kami. “Aku siap,” jawabku, berusaha terdengar lebih tenang dari yang sebenarnya kurasakan.
“Baiklah,” katanya sambil memberi anggukan kecil. “Kita lakukan ini.”
Dengan langkah mantap, kami mulai presentasi. Hanan menjadi pembicara utama, memimpin jalannya acara dengan penuh percaya diri. Setiap kali dia berbicara, ada yang berbeda di mataku—rasanya semakin jelas bahwa hubungan kami berdua lebih dari sekedar teman dalam proyek ini. Namun, aku berusaha menekan perasaan itu, mengingat kami masih harus fokus pada presentasi.
“Desain ini kami buat dengan sangat hati-hati, memadukan berbagai elemen untuk menciptakan suasana yang nyaman dan inspiratif,” Hanan menjelaskan. “Kami menggabungkan bahan kayu, kaca, dan beberapa aksen yang dapat memberi kesan modern tanpa mengesampingkan kenyamanan.”
Aku melihat guru kami, Pak Rudi, mengangguk-angguk, memberikan tanda bahwa dia sangat mengapresiasi penjelasan kami.
“Bagian terbaik dari desain ini adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan berbagai kebutuhan yang ada,” Hanan melanjutkan. “Kami ingin menciptakan ruang yang bisa digunakan untuk berbagai kegiatan, namun tetap mempertahankan kesan hangat dan menyenangkan.”
Presentasi berjalan lancar, dan rasa cemas yang sebelumnya mencekam hati kini mulai menghilang. Kami semua tersenyum puas setelah menyelesaikan presentasi, mendapat tepuk tangan dari teman-teman dan beberapa pujian dari guru. Bahkan Pak Rudi memberi komentar positif tentang kreativitas dan keberanian kami dalam mengeksplorasi desain.
Namun, meskipun semuanya tampak sempurna, ada satu hal yang belum selesai—perasaan yang tersisa di antara aku dan Hanan. Selama presentasi, aku bisa merasakan tatapannya yang kadang tertuju padaku, tapi aku memilih untuk tetap fokus pada pekerjaan.
Setelah presentasi selesai, kami kembali ke ruang prakarya untuk merapikan barang-barang dan membersihkan sisa-sisa cat yang menempel di meja. Aku dan Hanan berjalan berdampingan, membiarkan yang lain lebih dulu pergi.
“Aku bangga sama kita, loh,” kata Hanan, suaranya ringan, namun penuh makna. “Kita bener-bener berhasil.”
Aku menatapnya, merasa perasaan yang sama. “Iya, aku juga. Tapi masih ada hal yang perlu kita bicarakan, kan?”
Hanan berhenti sejenak, menatapku dengan tatapan yang lebih lembut. “Aku rasa, kita berdua udah ngerti apa yang terjadi. Tapi, mungkin belum saatnya untuk ngomong banyak.”
Aku menunduk, merasakan kehangatan di wajahku. “Kamu benar. Terkadang, ada hal-hal yang lebih baik dibiarkan berjalan dulu.”
“Ya,” Hanan setuju. “Kita akan tahu kapan saatnya untuk itu.”
Kami melanjutkan langkah kami, tetap berdampingan, namun kali ini ada perasaan baru yang tak terucap—perasaan yang menunggu untuk disadari lebih dalam.
Di Titik Awal yang Baru
Hari-hari setelah presentasi berlalu dengan cepat. Proyek kami mendapatkan hasil yang memuaskan, dan meskipun semuanya sudah selesai, ada semacam keheningan yang menyelimuti hubungan kami. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami, namun perasaan itu tetap ada, menggantung di antara aku dan Hanan. Kami tahu bahwa segala sesuatu yang kami rasakan bukanlah kebetulan. Entah itu saat kami bekerja bersama, berbagi tawa, atau diam dalam keheningan, semuanya terasa seperti bagian dari sebuah cerita yang lebih besar.
Namun, kehidupan tidak pernah berhenti berjalan, dan tugas-tugas baru datang dengan cepat. Kami kembali berfokus pada kegiatan sekolah, dengan ujian yang semakin mendekat. Meskipun begitu, ada perasaan berbeda yang mulai tumbuh di dalam diriku—perasaan bahwa aku ingin lebih dari sekedar rekan satu tim di sekolah ini.
Suatu hari, aku mendapati Hanan sedang duduk di pojok kelas, memeriksa buku-buku yang menumpuk di meja. Sejak presentasi itu, kami lebih sering berada dalam keheningan, seolah-olah ada ketegangan yang tak terucapkan antara kami. Aku berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.
“Ngapain, Han?” tanyaku sambil membuka buku yang ada di hadapanku, mencoba mencairkan suasana.
Hanan menoleh sejenak, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, dia tersenyum. “Lagi nyiapin materi untuk ujian. Masih banyak yang harus dipelajari.”
Aku mengangguk, kemudian terdiam sejenak. “Kita belum selesai, ya?”
“Belum,” jawab Hanan singkat, tatapannya kembali ke buku di depannya. “Tapi mungkin belum waktunya untuk berbicara tentang itu.”
Aku tahu apa yang dia maksud. Mungkin memang ada hal-hal yang harus diselesaikan, hal-hal yang lebih dari sekedar tugas sekolah dan proyek yang telah kami selesaikan bersama. “Kamu tahu, kan? Aku nggak nyesel kerja bareng sama kamu. Kita bisa ngerjain hal-hal luar biasa, Han.”
Hanan mendongak, menatapku dengan mata yang sedikit bingung, tapi ada kilau harapan di sana. “Kamu serius?”
Aku mengangguk, dengan senyum yang tak bisa kutahan. “Iya, serius. Aku rasa kita bisa jadi lebih dari sekedar teman satu tim. Kita bisa lebih.”
Ada hening sejenak. Waktu seolah berhenti saat itu. Hanan tampak berpikir sejenak, kemudian dia menghela napas panjang. “Aku juga merasa seperti itu. Tapi ada banyak hal yang harus dipikirkan, kita nggak bisa buru-buru, kan?”
Aku tertawa pelan, merasakan beban yang sedikit terangkat. “Aku nggak akan terburu-buru. Kita bisa berjalan pelan-pelan, kan?”
Hanan tersenyum, kali ini senyum yang lebih tulus. “Ya, kita berjalan bersama.”
Aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam cara kami berdua berinteraksi. Tidak lagi ada jarak yang tak terucapkan, tidak lagi ada ketegangan yang menghalangi komunikasi kami. Kami akhirnya menemukan titik kesepakatan dalam perasaan kami. Tidak ada lagi kebimbangan, hanya ada kenyataan bahwa kami berdua saling menghargai satu sama lain lebih dari yang kami kira.
Hari itu, kami berjalan keluar dari kelas bersama-sama, berdampingan. Tidak ada yang perlu diungkapkan lebih lanjut—kami tahu apa yang kami rasakan. Dan mungkin, inilah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Sementara teman-teman kami berlalu dengan tawa dan obrolan mereka, aku dan Hanan tetap berjalan berdampingan. Kami tahu bahwa perjalanan kami belum berakhir. Ini baru permulaan.
“Jadi, mulai sekarang… gimana?” tanyaku dengan senyum lebar.
Hanan menatapku, lalu tersenyum kembali, matanya berbinar. “Kita lihat saja nanti.”
Di bawah langit sore yang cerah, kami melangkah bersama. Tanpa kata-kata lebih, tanpa keraguan, hanya ada kebersamaan yang tak perlu dijelaskan. Karena kadang, langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar dimulai dari keheningan yang penuh makna.
Dan akhirnya, setelah segala tugas dan proyek selesai, yang mereka temukan bukan cuma nilai bagus atau hasil kerja keras. Tapi juga sesuatu yang lebih berharga—perasaan yang tumbuh diam-diam, tanpa mereka sadari.
Mungkin cinta itu nggak perlu dikejar, kadang datang begitu aja, di momen yang nggak terduga. Jadi, siapa tahu kan, mungkin kamu juga bisa punya kisah cinta yang dimulai dari hal-hal kecil, bahkan dari tugas SMK yang awalnya kelihatan sepele?