Kisah Cinta Rania dan Arga: Dari Teman Menjadi Kekasih

Posted on

Jadi, kamu pasti pernah merasakan gimana rasanya jatuh cinta, kan? Nah, bayangin deh, ada dua teman yang udah kenal dari lama, tapi saling peka itu kayaknya nggak ada dalam kamus mereka.

Rania dan Arga, dua orang yang awalnya cuma suka bercanda, eh, malah terjebak dalam labirin perasaan yang bikin hati berdebar. Di pameran kecil yang mereka rencanakan, ada banyak rahasia yang akan terungkap. Yuk, ikuti perjalanan seru mereka menuju cinta yang manis dan penuh kejutan!

 

Dari Teman Menjadi Kekasih

Pertemuan Tak Terduga

Sore itu, langit di atas Kota Taman terlihat cerah. Rania duduk di bangku kayu yang terletak di bawah pohon besar di tengah taman kecil yang jarang dikunjungi. Di sekelilingnya, bunga-bunga berwarna-warni sedang mekar, mengeluarkan aroma harum yang membuat suasana semakin segar. Ia membuka buku sketsanya, mengambil pensil, dan mulai menggambar. Namun, pikirannya terus melayang, entah ke mana.

Hari-hari belakangan ini, Rania merasa butuh inspirasi baru. Mungkin itu sebabnya ia datang ke taman ini, tempat yang biasanya sepi dan tenang. Ia berharap bisa menemukan ide-ide segar untuk ilustrasi buku anak yang sedang ia kerjakan. Di saat seperti ini, suara bising kota seolah menghilang, digantikan oleh gemerisik dedaunan dan nyanyian burung.

Tiba-tiba, sosok seorang pemuda menarik perhatiannya. Rania menatap dengan penasaran. Pemuda itu tampak terfokus pada buku catatan yang ada di pangkuannya. Rambutnya yang sedikit berantakan dan kacamata bulat yang ia kenakan membuatnya terlihat seperti karakter dalam buku komik. Rania tersenyum sendiri, teringat dengan sketsa-sketsa lucu yang ia buat.

Tanpa ragu, Rania mendekat. “Hei, apakah kamu bisa menanam pohon di hatiku?” ujarnya dengan nada menggoda, mengangkat alisnya.

Pemuda itu terkejut dan hampir menjatuhkan pensilnya. Ia menatap Rania dengan ekspresi bingung yang lucu. “Apa?” hanya itu yang bisa ia katakan.

Rania tertawa, merasakan kebisingan di sekitar seolah lenyap hanya karena senyumnya. “Aku cuma bercanda. Nama aku Rania,” ia memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. “Dan kamu?”

“Arga,” jawabnya pelan sambil meraih tangan Rania, sedikit kikuk. Rania merasakan kehangatan dari genggaman tangan Arga, meski ia masih tampak canggung.

“Jadi, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Rania, mengubah suasana menjadi lebih santai.

“Ah, aku… hanya menggambar beberapa tanaman yang aku temukan,” Arga menjawab sambil menunjukkan buku catatannya yang penuh sketsa. “Kamu juga menggambar?”

“Iya! Aku ilustrator buku anak,” kata Rania dengan bangga. “Tapi aku butuh inspirasi baru. Dan mungkin, kamu bisa membantuku,” ia menggoda, matanya berkilau penuh semangat.

Arga menatapnya dengan ragu, tapi senyumnya mulai mengembang. “Tentu saja. Aku selalu senang berbagi tentang tanaman. Taman ini juga punya banyak hal menarik,” ujarnya sambil menepuk bangku di sebelahnya, mengajak Rania duduk.

Rania duduk di sebelahnya, menatap penuh rasa ingin tahu. “Jadi, kamu suka menanam pohon? Apa ada pohon favoritmu?”

“Hmm… aku suka pohon cherry. Mereka berbunga indah di musim semi,” Arga menjawab, wajahnya berseri-seri saat berbicara tentang pohon itu.

“Pohon cherry? Keren!” Rania tersenyum lebar. “Tapi aku lebih suka sakura. Bunganya seperti awan merah muda di langit.”

Keduanya mulai berbicara tentang berbagai jenis tanaman, dan Rania terkejut dengan pengetahuan Arga yang dalam. Setiap kali Arga menjelaskan sesuatu, Rania tidak bisa menahan tawa, terutama ketika ia melukiskan pohon-pohon dengan cara yang lucu. “Bayangkan saja, jika pohon bisa bicara, mereka pasti akan mengeluh karena kita tidak memberi mereka cukup perhatian!” Rania menggelengkan kepala, menghibur dirinya sendiri.

Sejak saat itu, Rania dan Arga semakin akrab. Mereka sering bertemu di taman itu, menjelajahi dunia tanaman dan menggambar bersama. Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Rania merasakan sesuatu yang berbeda setiap kali berada di dekat Arga. Dia menemukan kenyamanan dan kebahagiaan dalam kehadiran pemuda itu, yang terlihat sederhana namun menyimpan banyak pesona.

Suatu sore, saat matahari mulai terbenam dan cahaya oranye menerangi taman, Rania mengusulkan sesuatu. “Arga, bagaimana kalau kita pergi ke kebun botani akhir pekan ini? Aku ingin melihat lebih banyak jenis tanaman!”

Arga terkejut, tetapi senyumnya yang lebar menunjukkan betapa senangnya ia mendengar ajakan itu. “Itu ide yang bagus! Aku pasti bisa menunjukkan padamu banyak hal menarik di sana,” katanya dengan penuh semangat.

Rania merasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu tentang Arga yang membuatnya merasa hidup. Ia menyukai cara pemuda itu berbicara dengan penuh rasa antusiasme, seolah-olah setiap kata yang keluar darinya adalah harta berharga.

Saat mereka berbicara, Rania merasa senyum di wajahnya tak bisa pudar. “Aku sudah tidak sabar untuk akhir pekan! Kita bisa menggambar bersama setelah itu,” ujarnya dengan semangat.

Arga mengangguk setuju. “Aku juga tidak sabar. Kita akan buat hari itu jadi spesial!”

Saat hari beranjak malam, Rania mengucapkan selamat tinggal kepada Arga dengan rasa haru. Ketika ia melangkah menjauh, ia berbalik sebentar, melihat Arga masih duduk di bangku, menggambar. Ia tersenyum, merasakan kehangatan dalam hatinya.

Hari itu bukanlah sekadar pertemuan biasa. Rania merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih dalam yang telah mulai tumbuh di antara mereka. Sebuah benih cinta yang belum sepenuhnya terlihat, tetapi Rania sudah bisa merasakannya, menggeliat lembut di sudut hatinya.

Dan dengan harapan yang menggebu, Rania melangkah pulang, berpikir tentang petualangan yang akan mereka lakukan di kebun botani. Apakah itu hanya akan menjadi sekadar teman, atau mungkin akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih? Dalam benaknya, hanya ada satu keyakinan: pertemuan mereka adalah awal dari sebuah kisah yang tak terduga.

 

Kebersamaan yang Manis

Akhir pekan pun tiba, dan Rania tidak bisa menahan rasa antusiasme yang membara dalam dirinya. Sejak pagi, ia sudah memilih pakaian yang paling nyaman, sebuah dress floral cerah yang membuatnya merasa segar dan bersemangat. Dengan hati-hati, ia menyisipkan pensil dan sketsanya ke dalam tas ranselnya, tak ingin melewatkan momen berharga di kebun botani bersama Arga.

Saat tiba di kebun botani, aroma tanah yang lembab dan berbagai bunga menyambutnya. Rania melangkah dengan gembira, matanya berbinar melihat keindahan yang terbentang di depannya. Di sudut jalan setapak, Arga sudah menunggunya dengan senyuman yang tak bisa ditahan. Ia mengenakan kaus hijau muda yang serasi dengan lingkungan sekitar.

“Rania! Kamu datang tepat waktu!” seru Arga, melambai dengan semangat. “Aku sudah tidak sabar menunjukkan semua tanaman di sini.”

“Lihat, aku bahkan sudah siap menggambar!” Rania menunjukkan sketsanya dengan bangga, sementara Arga menatapnya dengan penuh kekaguman.

Keduanya mulai menjelajahi kebun botani, melintasi jalan setapak yang dikelilingi oleh tanaman eksotis. Arga menjelaskan satu per satu tanaman yang mereka lihat, memberi tahu Rania tentang asal-usul dan manfaatnya. Rania mendengarkan dengan seksama, merasakan betapa bersemangatnya Arga saat berbicara.

“Ini dia, pohon mangga. Mereka biasanya berbuah saat musim panas,” Arga berkata, mengarahkan tangannya ke arah pohon yang besar dan rindang. “Kalau kamu beruntung, mungkin kita bisa mencicipi mangga yang matang.”

“Wah, aku suka mangga!” Rania menjawab, matanya bersinar cerah. “Mungkin kita bisa menggambar pohon ini sebagai latar belakang? Dengan saya yang sedang memanjat untuk mendapatkan mangga!” Ia mengangkat tangan, berpose seperti sedang memanjat.

Arga tertawa, suaranya yang ceria membuat Rania merasa lebih dekat. “Kamu pasti akan jatuh! Lebih baik kita menggambar dari jauh saja.”

Rania tersenyum, senangnya meresap dalam setiap momen yang mereka lalui. Mereka berjalan dari satu tanaman ke tanaman lainnya, berhenti di beberapa spot untuk menggambar dan mengobrol. Setiap kali mereka berhenti, Rania tidak bisa tidak memperhatikan betapa seriusnya Arga saat menggambar. Dengan kacamata yang melorot di hidungnya, ia sangat fokus, seolah dunia di sekitarnya menghilang.

“Eh, Arga! Apa kamu punya trik khusus untuk menggambar?” Rania bertanya, sambil memperhatikan garis-garis yang diukir oleh pensil di atas kertas.

“Hmm… tidak ada sih, aku hanya berusaha menangkap apa yang aku lihat,” jawab Arga sambil tersenyum. “Tapi kalau kamu mau, aku bisa ajarkan beberapa teknik menggambar sederhana.”

Mendengar tawarannya, Rania merasa bersemangat. “Serius? Ayo, ajari aku!” Ia duduk di samping Arga, memperhatikan setiap goresan pensil yang ia buat.

Saat Arga mulai menjelaskan cara menggambar dengan bayangan dan perspektif, Rania merasa terpesona. Ketika tangan Arga bergerak di atas kertas, Rania merasa seolah-olah ia tidak hanya belajar menggambar, tetapi juga merasakan sesuatu yang lebih dalam—keterhubungan yang tidak terduga.

Waktu berlalu tanpa terasa. Mereka terus menggambar dan bercanda, tertawa hingga perut mereka sakit. Rania merasa betapa menyenangkannya momen-momen kecil itu, ketika mereka bisa berbagi kebahagiaan dalam kesederhanaan.

Setelah beberapa jam berlalu, mereka menemukan diri mereka duduk di bawah pohon besar, menikmati bekal yang mereka bawa. Rania mengeluarkan sandwich dan jus jeruk yang segar, sementara Arga menyajikan buah-buahan yang ia bawa.

“Coba ini,” Rania menyerahkan potongan mangga segar ke Arga. “Rasa manisnya pas, apalagi kalau dimakan di tengah kebun botani seperti ini!”

Arga mengigit potongan mangga itu, mengernyitkan wajahnya yang lucu. “Wow, ini enak banget! Kenapa kamu bisa tahu kalau mangga ini manis?”

“Insting seorang ilustrator!” Rania menjawab sambil tertawa. “Atau mungkin aku hanya beruntung.”

Mereka melanjutkan dengan obrolan ringan, saling bertanya tentang hobi dan impian masing-masing. Arga bercerita tentang cita-citanya untuk menjadi ahli botani, sementara Rania menceritakan tentang keinginannya untuk menerbitkan buku gambarnya sendiri. Keduanya saling mendukung, berbagi impian dan harapan dengan semangat.

Saat matahari mulai terbenam, mereka berdua terdiam sejenak, mengagumi pemandangan langit yang berwarna oranye keemasan. Rania merasa betapa indahnya momen itu. Dalam keheningan, ia mencuri pandang ke arah Arga, merasakan getaran aneh di hatinya.

“Rania,” suara Arga mengalun lembut, menarik perhatian Rania. “Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama hari ini. Rasanya… seperti kita sudah kenal lama.”

Rania menatapnya, merasakan hatinya berdebar. “Aku juga merasa begitu, Arga. Hari ini sangat menyenangkan, dan aku sudah tidak sabar untuk petualangan kita selanjutnya.”

Senyum Arga tampak lebih lebar. “Tentu! Kita bisa menjelajahi lebih banyak tempat. Mungkin suatu hari kita bisa pergi ke pantai dan menggambar di sana?”

“Ide yang bagus!” Rania menjawab bersemangat. “Kita harus buat rencana itu secepatnya.”

Saat mereka bersiap untuk pulang, Rania merasa sangat beruntung. Di tengah kebun botani, antara tanaman dan bunga, ia menemukan seseorang yang membuat hidupnya terasa lebih berwarna. Rania tidak bisa menunggu untuk melihat ke mana petualangan mereka akan membawa.

Begitu mereka melangkah keluar dari kebun, Rania tidak bisa mengabaikan perasaan dalam dirinya. Dia tahu bahwa pertemuan ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih. Mungkin cinta, atau sekadar persahabatan yang mendalam—apapun itu, ia yakin, inilah awal dari kisah mereka yang lebih indah.

 

Pertemuan Tak Terduga

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan pertemuan mereka di kebun botani menjadi salah satu kenangan terindah bagi Rania. Sejak saat itu, mereka semakin sering bertemu, berbagi waktu di kafe kecil, menggambar di taman kota, bahkan mencoba resep-resep baru di dapur Rania. Setiap detik yang mereka habiskan bersama terasa berharga, seperti lembaran-lembaran baru dalam sebuah buku cerita yang mereka tulis berdua.

Suatu sore yang cerah, Rania memutuskan untuk mengundang Arga ke rumahnya. Ia ingin menunjukkan beberapa gambar dan sketsa yang telah ia buat setelah pertemuan mereka di kebun botani. Rania mempersiapkan camilan ringan, mencampurkan beberapa bahan untuk membuat cookies, sambil membayangkan ekspresi Arga saat mencicipinya.

Ketika Arga tiba, Rania sudah siap dengan senyum lebar di wajahnya. “Hai! Selamat datang!” Ia membuka pintu dengan antusias. Arga melangkah masuk, dan aroma cookies yang baru dipanggang segera menyambutnya.

“Wow, kamu masak apa?” Arga bertanya, menghidu aroma harum yang memenuhi ruangan.

“Ini cookies cokelat chip! Coba deh, aku baru saja buat,” jawab Rania sambil menuangkan teh ke dalam cangkir. “Semoga enak, ya!”

Mereka duduk di meja makan, menikmati camilan sambil berbincang. Rania merasa senang melihat Arga menikmati cookies yang ia buat. Setiap kali Arga tersenyum sambil mengunyah, hatinya bergetar bahagia.

“Rania, kamu benar-benar berbakat. Cookies ini luar biasa!” puji Arga, menambah kepercayaan diri Rania.

“Tapi, jangan hanya memuji. Nanti aku jadi sombong!” Rania bercanda, membuat Arga tertawa.

Setelah selesai makan, Rania membawa Arga ke ruang kerjanya, tempat di mana semua sketsa dan gambar disimpan. “Ini dia! Lihat beberapa gambar yang aku buat setelah kita ke kebun botani,” ujarnya dengan penuh semangat.

Arga mengamati setiap lembaran dengan seksama, menyimpan detail-detail dari setiap gambar di dalam ingatannya. “Rania, ini luar biasa. Kamu punya cara yang unik untuk menangkap keindahan!” Ia terpesona melihat betapa cerah dan hidupnya warna yang Rania pilih.

“Terima kasih! Tapi aku masih belajar. Sejujurnya, kamu juga menginspirasiku,” Rania mengatakan dengan tulus. “Melihat kamu menggambar membuatku ingin lebih baik.”

Mendengar pujian itu, Arga merasa hatinya bergetar. “Kita harus menggambar bersama lagi. Mungkin kita bisa mengadakan pameran kecil di taman atau sesuatu?”

Ide itu membuat Rania bersemangat. “Itu akan sangat menyenangkan! Kita bisa mengundang teman-teman untuk datang. Siapa tahu, kita bisa mengajak mereka menggambar juga!”

Mereka berdua mulai merencanakan detail pameran itu, membuat daftar teman-teman yang akan diundang, memilih tema, bahkan memikirkan cara menyiapkan tempat. Dalam suasana yang riang dan penuh ide, mereka tidak menyadari betapa dekatnya mereka satu sama lain.

Namun, saat kesenangan itu memuncak, tiba-tiba pintu terbuka. Ibu Rania melangkah masuk, membawa nampan berisi kue tart. “Hai, Rania! Aku bawa kue untuk kamu dan temanmu!”

Arga tersenyum lebar melihat kue itu. “Hai, Bu! Kue itu terlihat enak!” Ia segera beranjak untuk membantu ibu Rania menaruh kue di meja.

“Terima kasih, Arga! Senang sekali melihat kamu di sini,” ibu Rania berkata sambil tersenyum. “Rania tidak pernah mengundang teman laki-laki ke rumah. Apakah kamu ini spesial?”

Rania merasa pipinya memanas, mencoba menahan senyum. “Ibu! Jangan mulai, ya! Kami hanya teman.”

Arga tertawa, berusaha meredakan suasana. “Tapi siapa tahu, Bu, mungkin kami bisa jadi lebih dari teman.”

Rania terkejut, matanya membulat. “Arga! Kenapa kamu bilang begitu?”

“Iya, siapa tahu?” jawab Arga dengan wajah serius, tetapi senyumnya masih menggoda. “Aku hanya mengatakan kemungkinan.”

Mereka bertiga melanjutkan obrolan hingga malam tiba. Ibu Rania, dengan segala pertanyaannya yang lucu, menghidupkan suasana. Arga dan Rania saling memandang, merasakan tawa dan kedekatan yang tidak bisa mereka pungkiri.

Ketika Arga pamit pulang, Rania mengantarnya hingga ke pintu. “Terima kasih untuk hari ini, Arga. Aku sangat senang kamu datang.”

“Aku juga senang, Rania. Jangan lupa, kita harus merealisasikan pameran itu!” Arga menjawab sambil melambai.

Setelah Arga pergi, Rania merasa bersemangat. Namun, saat ia kembali ke dalam rumah, ibu Rania menghampirinya dengan senyuman penuh arti. “Rania, anak itu baik. Ibu suka melihat kalian berdua bersama.”

Rania tersenyum malu, mencoba mengalihkan perhatian. “Bu, jangan terlalu banyak berpikir! Kita hanya berteman.”

Ibu Rania hanya tertawa. “Tapi kadang, cinta datang tanpa kita sadari.”

Malam itu, Rania tidak bisa tidur. Dalam pikirannya, terbayang senyum Arga dan semua momen manis yang mereka lalui. Apakah ada kemungkinan cinta di antara mereka? Rania tidak tahu jawabannya, tetapi hatinya berdebar-debar, dan ia merasa sangat beruntung bisa mengenal Arga.

Hari-hari selanjutnya Rania akan sangat dinanti, dan dengan setiap detik yang berlalu, ia semakin yakin bahwa ini bukan sekadar persahabatan—ini adalah awal dari sesuatu yang lebih indah.

 

Kebahagiaan yang Tak Terduga

Hari-hari berlalu, dan semangat Rania semakin berkobar untuk mengadakan pameran kecil yang mereka rencanakan. Setiap kali dia berpikir tentang Arga, jantungnya berdebar. Mereka semakin dekat, dan setiap momen bersama semakin menguatkan rasa yang tak bisa ia ungkapkan.

Akhirnya, hari pameran pun tiba. Rania sangat bersemangat, tetapi juga merasa cemas. Ia mempersiapkan semua gambar dan sketsa dengan teliti, mendekorasi taman kecil di halaman belakang rumahnya dengan lampu-lampu berwarna dan meja untuk memamerkan karya mereka. Arga tiba lebih awal untuk membantu, senyumnya selalu membuat Rania merasa lebih tenang.

“Wow, semua terlihat luar biasa!” Arga mengagumi dekorasi yang dibuat Rania. “Kamu memang punya bakat, Rania.”

“Terima kasih! Tapi tanpa kamu, ini tidak akan mungkin terjadi,” Rania membalas, merasa hangat di dalam hati.

Satu per satu, teman-teman mereka datang, membawa semangat dan tawa. Suasana semakin meriah dengan obrolan dan canda tawa. Rania dan Arga berkeliling, memperlihatkan setiap karya, menjelaskan inspirasi di balik gambar-gambar mereka.

Ketika malam semakin larut, Rania menyadari bahwa semua yang mereka impikan menjadi kenyataan. Suara tawa teman-teman mereka bergema, dan lampu-lampu berkelap-kelip menciptakan suasana yang magis. Rania dan Arga berdiri di depan lukisan terbesar mereka, yang menggambarkan kebun botani tempat mereka pertama kali bertemu.

“Ini adalah tempat di mana semuanya dimulai,” Arga berkomentar, melihat Rania dengan tatapan penuh makna.

“Ya, sepertinya saat itu semua hanya sebuah kebetulan. Tapi sekarang, aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa kamu,” Rania mengungkapkan, hati bergetar.

Arga menatap Rania dengan lembut, matanya bersinar. “Kamu tahu, Rania, aku merasa ada yang lebih dari sekadar persahabatan antara kita.”

Mendengar kata-kata itu, jantung Rania berdetak cepat. “Apa kamu serius?”

“Serius. Sejak pertama kali kita bertemu, ada sesuatu yang membuatku tertarik padamu. Dan semakin aku mengenalmu, semakin aku yakin bahwa aku ingin lebih dari sekadar teman,” Arga menjawab, menguatkan rasa yang telah lama terpendam.

Rania merasa dunia seakan berhenti sejenak. “Aku juga merasakannya, Arga. Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tetapi kamu adalah orang yang membuatku merasa bahagia.”

Mereka saling bertukar pandang, dan dalam detik-detik itu, Rania tahu bahwa mereka telah mencapai titik tanpa kembali. Dengan hati yang penuh harapan, Arga mengambil langkah maju, meraih tangan Rania. “Maukah kamu menjadi kekasihku?”

Rania tidak dapat menahan senyumnya. “Ya! Tentu saja aku mau!” Ia mengangguk dengan penuh semangat, merasa seluruh dunia menjadi lebih cerah.

Malam itu, di tengah keramaian teman-teman mereka, Arga menarik Rania ke samping, jauh dari kerumunan. Di bawah bintang-bintang yang berkelap-kelip, mereka saling mendekat. Dengan hati berdebar, Rania merasakan kehangatan Arga yang dekat.

“Rania, aku sudah lama menunggu momen ini,” Arga berbisik, suaranya lembut.

Tanpa berpikir panjang, Rania menjawab, “Aku juga. Aku suka semua tentang kamu, Arga.”

Arga tersenyum lebar, dan tanpa ragu lagi, ia mengulurkan tangan untuk meraih wajah Rania, menariknya mendekat. Lalu, dalam momen yang terasa abadi, mereka berciuman. Bibir mereka bertemu lembut, dan waktu seolah berhenti sejenak. Rania merasakan jantungnya berdetak dengan ritme bahagia, seperti irama musik yang mengalun lembut di sekitar mereka.

Ketika mereka menarik diri, Rania tidak dapat menyembunyikan senyumnya. “Aku rasa pameran ini adalah yang terbaik yang pernah aku lakukan!”

“Dan ini adalah awal dari banyak hal yang lebih baik,” Arga menambahkan, memeluk Rania dengan erat. “Kita akan menciptakan banyak kenangan indah bersama.”

Malam itu berakhir dengan tawa, musik, dan cerita indah. Rania tahu, setiap momen yang mereka lewati adalah bagian dari cerita cinta yang baru dimulai. Dalam pelukan Arga, ia merasa nyaman dan aman, seolah-olah dunia di luar sana tidak ada artinya.

Satu hal yang pasti: cinta mereka adalah sebuah perjalanan, dan mereka siap menjalaninya bersama. Dalam kebahagiaan dan harapan, Rania menantikan semua petualangan yang akan datang, beriringan dengan Arga di sisinya.

 

Jadi, itulah cerita Rania dan Arga yang awalnya cuma teman, eh, malah terjebak dalam kisah cinta yang manis dan penuh tawa! Dengan bintang-bintang yang menghiasi malam, mereka siap menjalani petualangan baru bareng-bareng.

Siapa sangka, dari sekadar ngobrol santai, mereka bisa sampai di sini? Cinta itu emang aneh, ya! Yang penting, mereka bahagia dan siap menghadapi segala hal bareng. Yuk, doakan yang terbaik buat mereka, karena ini baru awal dari cerita seru mereka!

Leave a Reply