Kisah Cinta Menggemaskan di Sekolah: Adli dan Lila

Posted on

Hai! Siapa yang sangka, di balik keramaian dan kebisingan sekolah SMP, ada dua jiwa yang saling mencari cara untuk mengungkapkan rasa suka mereka dengan cara yang paling konyol dan menggemaskan?

Ini adalah kisah Adli dan Lila, di mana pertengkaran manis dan kejar-kejaran lucu jadi bumbu utama dari cinta yang tumbuh di tengah tumpukan tugas dan pelajaran. Siap-siap deh, karena perjalanan mereka akan bikin kamu senyum-senyum sendiri!

 

Adli dan Lila

Catatan yang Tertukar

Suara dering bel sekolah baru saja usai, dan koridor perlahan mulai sepi. Tapi dari balik pintu kelas VIII-C, seorang bocah laki-laki berambut acak-acakan muncul sambil menenteng selembar buku catatan berwarna biru cerah. Di luar, angin berhembus pelan, membuat daun-daun kecil yang berserakan di lantai koridor bergeser sedikit-sedikit.

Adli, si pemilik rambut acak-acakan itu, tampak menatap catatan biru di tangannya dengan senyum jahil. Di balik lembaran pertama, ada nama yang ditulis rapi dengan pena hitam: Lila Pramesti. Anak cewek paling rajin, paling teliti, sekaligus paling galak di kelas.

Adli menutup catatan itu sambil bersiul kecil, seolah-olah sudah merencanakan sesuatu. Dengan langkah santai, dia berjalan menjauh dari ruang kelas menuju aula sekolah. Tapi sayangnya, rencana santai itu terganggu seiring suara langkah kaki yang semakin mendekat dari arah belakang.

“Adli!” Suara itu nyaring dan keras, khas Lila yang selalu penuh dengan ketegasan. Wajahnya terlihat serius, bahkan hampir mendidih.

Adli menoleh, masih dengan ekspresi tenangnya. Dia mengangkat catatan itu sedikit, seperti menggoda, lalu berkata, “Ih, kenapa sih? Aku cuma mau pinjam bentar buat belajar.”

Lila memasang ekspresi curiga, lalu mendekat. “Pinjam buat belajar? Jangan ngarang. Aku tahu banget kalau kamu tuh males buat belajar!”

“Eh, siapa bilang males? Kamu terlalu su’udzon, Lila,” jawab Adli sambil tersenyum. Satu langkah mundur, lalu dua langkah mundur lagi—seakan menantang.

Lila mulai sadar dengan permainan kecil ini. Tangannya terlipat di dada, dan matanya menatap lurus penuh perhitungan. Dia berujar, “Kalau kamu nggak balikin sekarang, aku beneran nggak bakal bantuin kamu buat ujian minggu depan.”

“Wow, ancaman serius nih!” Adli pura-pura terkejut, tapi wajahnya masih menyiratkan senyuman yang tak mau kalah. “Tapi kalau aku balikin sekarang, apa aku dapat bonus apa gitu?”

Lila mendengus kesal, tapi tidak menyerah. Dia melangkah maju, mencoba meraih catatan itu, tapi Adli dengan gesit langsung memindahkannya ke belakang punggung.

“Kalau kamu mau, coba aja ambil,” katanya, menantang.

Dan di sinilah titik pertarungan dimulai—di tengah koridor yang sudah mulai sepi. Lila mulai mengejar Adli dengan langkah cepat, tapi Adli lebih cekatan. Dia terus menjauh sambil mengangkat catatan itu ke atas, seolah-olah itu adalah piala yang harus ia pertahankan dari musuh bebuyutannya. Langkah kaki mereka bergema di sepanjang koridor, dan tak jarang siswa-siswa yang melintas tersenyum melihat mereka kejar-kejaran.

“Adli! Kamu tuh bandel banget, tau nggak? Balikin sekarang atau—” Lila terus mengancam, meski Adli tak benar-benar mendengarkan.

“Atau apa? Mau lapor ke guru?” jawab Adli santai. “Kamu juga tau, aku nggak takut sama guru, apalagi cuma masalah catatan begini.”

Wajah Lila makin memerah, tapi kali ini bukan hanya karena kesal. Dia merasa dipermainkan, tapi ada sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya saat melihat senyum jahil Adli. Dia berusaha menggapai catatan itu lagi, kali ini lompat sedikit lebih tinggi—dan nyaris menyentuhnya. Namun, Adli memutar badannya, menghindar, dan Lila pun hampir kehilangan keseimbangan.

Adli spontan meraih lengan Lila, memastikan ia tidak jatuh. Mereka berdua terdiam sebentar, saling menatap dalam jarak yang sangat dekat. Tapi detik berikutnya, Adli sudah kembali dengan senyum usilnya, membuat Lila segera menarik tangannya dan kembali mengejar.

“Adli, aku nggak main-main! Catatan itu penting banget!” seru Lila dengan suara setengah putus asa.

“Aku juga nggak main-main,” balas Adli, menahan tawa. “Kamu kira gampang bikin aku balikin gitu aja?”

Lila menghentikan langkahnya, memutar otak dengan cepat. Setelah beberapa detik, dia memandang Adli dengan tatapan penuh strategi, lalu berkata, “Baiklah. Kalau kamu memang nggak mau balikin, biar aja! Lagian kamu juga nggak ngerti kalau cuma liat dari catatanku.”

Mendengar nada ketus itu, Adli terhenti sejenak, sedikit heran dengan perubahan sikap Lila yang tiba-tiba. “Kamu mau main strategi baru, ya?”

Lila hanya diam, mengangkat bahu dengan cuek. “Kalau kamu pintar, coba aja belajar sendiri. Nggak usah pinjam catatan siapa pun.”

Adli merasakan sedikit panik yang tak biasa. Jika Lila benar-benar serius, bisa-bisa dia bakal kehilangan kesempatan belajar dari catatan itu. Rasa percaya dirinya mulai goyah. “Eh, yaudah-yaudah. Tapi… kalau aku balikin, kamu harus ajarin aku. Beneran, loh.”

Lila memasang ekspresi kemenangan. “Boleh aja. Asal kamu belajar serius dan nggak ganggu-ganggu lagi!”

Adli akhirnya menghela napas dan menyerahkan catatan itu, tapi ia melakukannya dengan perlahan, sedikit enggan, sampai tangannya dan tangan Lila bersentuhan sejenak. Mereka berdua terdiam lagi, seperti ada aliran kecil yang menghubungkan mereka dalam waktu singkat. Tapi Adli segera melepaskan, berdeham, dan kembali ke sikap cueknya.

“Besok sepulang sekolah, ya? Di taman belakang,” ucap Lila sambil menunduk, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya.

Adli tersenyum kecil. “Oke, Lila. Taman belakang. Jangan telat, ya.”

Tanpa menunggu jawaban, Adli berlalu sambil menahan senyum puas, sementara Lila berdiri diam dengan hati yang berdebar-debar. Meski ia sempat kesal, ada perasaan aneh yang membuatnya tak bisa berhenti tersenyum sepanjang jalan menuju kelas.

 

Tebusan Manis di Sudut Kelas

Esoknya, tepat setelah bel pulang berbunyi, Adli segera bergegas menuju taman belakang sekolah seperti yang sudah mereka sepakati kemarin. Tempat ini memang sering sepi karena letaknya di sudut jauh dari ruang kelas dan tak banyak siswa yang suka lewat. Di sinilah Adli menunggu, sambil sesekali menendang-nendang kerikil kecil di dekat kakinya. Wajahnya terlihat santai, tapi hatinya berdebar-debar lebih dari biasanya.

Tidak lama kemudian, Lila muncul dari balik pintu, dengan langkah anggun dan tatapan lurus ke arah Adli. Rambutnya dikuncir satu, sedikit berantakan setelah seharian belajar, tapi justru menambah kesan manis yang tidak bisa Adli abaikan begitu saja.

“Kamu cepat juga datangnya,” ujar Lila, membuka percakapan dengan nada agak sinis, namun matanya menatap Adli dengan tatapan yang entah kenapa jadi hangat.

“Aku kan murid teladan,” jawab Adli sambil menyeringai. “Cuma kamu aja yang suka mengira aku nggak serius.”

“Hah, teladan apanya!” Lila mendengus, lalu mengeluarkan buku catatannya dari tas. Ia menepuk kursi di sebelahnya sebagai tanda agar Adli duduk. “Ayo sini. Aku bakal ajarin kamu, tapi syaratnya kamu harus bener-bener dengerin, nggak boleh gangguin aku sama hal-hal aneh.”

Adli tertawa pelan, lalu duduk di sebelah Lila. Saat Lila mulai membuka halaman buku, Adli menatapnya dengan perhatian yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun. Ia tahu, di balik semua sifat galak dan kaku itu, ada sisi lembut dan hangat dari Lila yang tak banyak orang sadari.

“Jadi, kita mulai dari mana, Bu Guru?” Adli berkata, dengan nada bercanda.

Lila menatapnya tajam, tapi kemudian tersenyum kecil. “Kita mulai dari rumus dasar dulu, biar kamu nggak ngulang-ngulang pertanyaan.”

Lila mulai menjelaskan rumus-rumus itu dengan sangat teliti. Tangannya bergerak luwes di atas kertas, menuliskan setiap langkah dengan rapi. Adli memperhatikan dengan serius, meskipun sesekali ia melirik Lila diam-diam. Tak bisa dipungkiri, ada rasa kagum melihat bagaimana Lila begitu terampil menjelaskan materi pelajaran yang bagi Adli terasa sulit.

“Paham sampai sini?” Lila bertanya, menatap Adli untuk memastikan dia benar-benar mengerti.

Adli mengangguk, meskipun masih ada yang terasa kabur di kepalanya. “Lumayan. Kamu emang jago, ya. Aku bingung kenapa kamu bisa ngerti semua ini.”

“Karena aku belajar, Adli. Cuma itu. Nggak ada jalan pintas kalau mau ngerti,” jawab Lila sambil tersenyum tipis. Lalu, dengan gaya khasnya yang tegas, ia menambahkan, “Kamu juga bisa kalau mau usaha.”

Adli mengangguk, mencoba menyerap semangat yang Lila tunjukkan. Namun, ia merasa masih ada yang mengganjal, sesuatu yang ingin ia ungkapkan tapi ragu.

“Lila, aku… mau bilang terima kasih buat ini,” katanya akhirnya, dengan suara yang pelan namun tulus. “Selama ini kamu udah sabar banget sama aku yang nggak bisa-bisa.”

Wajah Lila mendadak memerah. Ia mencoba menyembunyikan rasa canggungnya dengan merapikan letak catatan di pangkuannya. “Udah, nggak usah lebay. Kamu bikin aku malu aja.”

Adli tertawa pelan, lalu menggoda lagi, “Eh, seriusan? Padahal aku baru mau bilang kalau kamu kelihatan cantik kalau lagi ngajarin aku gini.”

Lila melotot, matanya sedikit terbelalak, tapi senyum kecil justru muncul di sudut bibirnya. “Huh, dasar! Kamu ini benar-benar… nggak bisa nggak usil, ya?”

Mereka berdua kembali tertawa, dan suasana di antara mereka terasa semakin nyaman. Adli pun mulai berani bertanya lebih banyak, dan Lila menjawabnya dengan sabar. Di sela-sela penjelasan, ada momen-momen kecil di mana tangan mereka hampir bersentuhan saat mereka sama-sama menunjuk pada satu angka di kertas, atau saat Lila terlalu bersemangat menjelaskan dan mendekatkan wajahnya ke arah Adli tanpa sengaja. Kedekatan itu, meski sepele, memberi sensasi berbeda yang diam-diam dinikmati oleh keduanya.

Namun, tawa dan candaan itu tak berlangsung lama, karena tiba-tiba, suara langkah terdengar mendekat. Keduanya langsung menoleh, dan mendapati Ardi—teman sebangku Adli—sedang berjalan ke arah mereka. Melihat Adli dan Lila bersama, wajah Ardi berubah penuh dengan ekspresi menggoda.

“Eh, eh, lagi pacaran, ya?” seru Ardi sambil tertawa lebar, membuat wajah Lila langsung memerah lagi.

“Apaan sih, Di? Kita lagi belajar!” jawab Adli cepat, berusaha mempertahankan ekspresi serius.

“Belajar?” Ardi mengangkat alis, jelas tidak percaya. “Belajar apa? Pelajaran cinta, ya?”

Lila tersipu sambil mencoba menyembunyikan wajahnya di balik catatan, tapi Adli hanya mendengus sambil melambaikan tangannya ke arah Ardi. “Udah, udah, sana. Ganggu aja.”

Ardi pergi sambil terkekeh, tapi sejak itu, suasana di antara Lila dan Adli jadi lebih canggung. Tak ada lagi obrolan ringan, hanya suara lembaran kertas yang dibolak-balik. Namun, di dalam hati mereka, detak jantung berirama cepat mulai terasa. Lila akhirnya menutup catatannya dan berdehem pelan.

“Kayaknya, udah cukup buat hari ini,” kata Lila, berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Kamu juga udah ngerti, kan?”

Adli mengangguk, merasa sedikit kecewa sesi belajar ini harus berakhir. Tapi, ia tahu bahwa mereka akan punya kesempatan lain. Sambil menggaruk belakang kepala, ia akhirnya berkata, “Makasih, Lila. Beneran, deh. Kamu guru paling keren yang pernah aku punya.”

Lila menatap Adli sejenak, senyumnya muncul tipis-tipis, lalu dia berkata dengan nada pelan, “Iya, sama-sama, Adli. Tapi jangan sampai lupa buat belajar beneran, ya. Aku nggak mau kamu cuma bergantung sama catatan.”

Adli mengangguk mantap. “Tenang aja. Demi kamu, aku bakal usaha serius.”

Mereka tertawa kecil lagi, meski kali ini lebih lembut, dan akhirnya berjalan pulang bersama, saling mengiringi tanpa kata-kata berlebihan. Keduanya tahu bahwa ada perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka, namun masih tersimpan rapi di balik senyum, candaan, dan teguran.

Dan, tanpa mereka sadari, keakraban mereka yang semakin terjalin itu menjadi awal dari cerita-cerita manis dan menggemaskan lainnya.

 

Rencana Adli yang (Hampir) Gagal Total

Sejak sesi belajar di taman belakang itu, Adli jadi semakin sering mencuri-curi kesempatan untuk bisa dekat dengan Lila. Entah itu pura-pura nggak ngerti pelajaran, atau sekadar menyindir hal-hal kecil untuk mengundang perhatian Lila. Meski kadang kesal, Lila selalu saja luluh dan mau mengajarkan Adli dengan sabar.

Namun, Adli mulai merasa kalau keakraban ini harus lebih dari sekadar “belajar bersama.” Ia ingin sesuatu yang lebih nyata, semacam tanda kalau Lila juga punya perasaan yang sama dengannya. Maka, ia pun merencanakan sesuatu yang… cukup ambisius.

Di kelas, Adli duduk dengan tangan bersedekap di atas meja sambil memperhatikan gerak-gerik Lila yang sedang serius menyalin catatan. Ia menunggu sampai teman-temannya mulai berhamburan keluar kelas untuk jam istirahat, baru ia mendekati Lila yang masih asyik dengan buku-bukunya.

“Hei, Lila,” Adli menyapanya sambil tersenyum santai. “Kamu mau nggak nemenin aku ke kantin?”

Lila menoleh, mengerutkan kening dengan bingung. “Kenapa harus aku? Kan kamu biasa bareng Ardi.”

Adli mendesah dramatis. “Ardi lagi sibuk sama gengnya. Ya masa aku sendirian? Lagian, katanya kamu lagi mau diet, jadi makan dikit nggak apa-apa, kan?”

Lila mendengus sambil tertawa kecil. “Ih, kamu aja yang pengen aku temenin, ya kan?”

“Nggak salah sih,” jawab Adli dengan cepat, yang membuat wajah Lila sedikit bersemu. “Ayo, please?”

Akhirnya, dengan setengah hati dan gelengan kepala, Lila setuju. Mereka berdua berjalan menuju kantin dengan obrolan ringan. Sesampainya di sana, Adli langsung mengarahkan Lila ke meja yang agak tersembunyi di pojok kantin. Sambil duduk berhadapan, Adli memandang Lila dengan senyum yang tersirat rasa jahil.

“Jadi, kenapa kamu beneran mau nemenin aku?” tanya Lila sambil mengaduk minumannya. “Ada sesuatu yang mau kamu bilang, ya?”

Adli terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata. “Sebenarnya… iya, sih. Aku ada yang mau aku omongin.”

Lila mendongak dengan wajah penasaran. “Apaan? Tumben kamu serius gini.”

Adli menelan ludah. Ini adalah momen yang sudah ia rencanakan dengan matang. Meski jantungnya berdegup kencang, ia berusaha tetap tenang. “Gini, Lila. Aku tuh ngerasa… kita udah lumayan sering bareng, kan?”

Lila mengangguk, masih belum sepenuhnya menangkap arah pembicaraan Adli. “Iya, terus?”

“Ya, aku mikir… kalau kita tuh cocok, gitu,” lanjut Adli sambil tersenyum tipis. “Kamu ngerti maksud aku nggak?”

Lila menatap Adli dengan ekspresi bingung. “Cocok gimana maksudnya?”

Adli merasa gugup, tapi ia berusaha tetap tenang. “Ya, cocok buat jadi… partner belajar, gitu.”

Lila mendengus kecil, tapi ia tersenyum. “Partner belajar? Kirain kamu ngomong serius tadi.” Lila tampak sedikit kecewa, tapi ia menutupinya dengan tawa.

Adli hampir menggelengkan kepala, tapi ia mendadak punya ide baru. Tanpa peringatan, ia mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Lila, lalu berkata dengan suara rendah, “Lila, gimana kalau kita… lebih dari sekadar partner belajar?”

Wajah Lila memerah seketika. Ia menatap Adli dengan bingung dan sedikit terkejut. “Maksud kamu apa, Adli?”

“Yaa… gitu deh. Lebih dari teman, mungkin?” jawab Adli sambil tersenyum nakal. “Kan katanya kita cocok, ya, kenapa nggak kita cobain aja?”

Lila terdiam, tampak jelas bahwa ia tidak menyangka Adli akan bicara seperti ini. Setelah beberapa detik, Lila tertawa gugup. “Kamu bercanda, ya?”

Adli menatapnya serius. “Aku serius, Lila. Serius banget.”

Lila mendesah pelan sambil memainkan ujung rambutnya, tampak sedikit gelisah tapi juga tersenyum tipis. “Aku… nggak tau, Adli. Ini tiba-tiba banget.”

Sambil berusaha mempertahankan senyumnya, Adli berkata, “Ya udah, nggak usah dijawab sekarang. Aku nggak buru-buru kok.”

Namun, dalam hatinya, Adli berharap kalau Lila bisa melihat perasaannya dengan jelas. Ia tahu Lila selalu bermain aman dan berhati-hati, tapi ia juga ingin menunjukkan bahwa perasaannya ini lebih dari sekadar teman yang suka menggoda.

Beberapa hari berlalu setelah momen di kantin itu. Adli dan Lila tetap berinteraksi seperti biasa, meski sesekali ada keheningan canggung di antara mereka. Adli tetap berusaha mendekati Lila, namun ia juga tidak ingin terlalu memaksakan diri. Sementara itu, Lila tampak masih berpikir keras tentang apa yang Adli katakan di kantin.

Suatu hari, saat mereka sedang di kelas, Adli melihat Lila sedang menulis sesuatu di kertas kecil. Lila tampak begitu serius, hingga Adli merasa penasaran.

“Eh, kamu nulis apa?” Adli bertanya sambil berusaha mengintip.

Lila cepat-cepat menutup kertas itu dan memasukkannya ke dalam tas. “Bukan urusan kamu.”

Adli mengerutkan kening, tapi ia tidak menyerah. “Ayo dong, kasih tau aku. Masa aku nggak boleh lihat?”

“Ya nggak boleh lah!” jawab Lila sambil memelototi Adli. “Ini privasi aku.”

Tapi rasa penasaran Adli sudah terlanjur tumbuh. Begitu bel istirahat berbunyi dan Lila keluar dari kelas, Adli cepat-cepat merogoh tas Lila dan menemukan kertas yang tadi ditulisnya. Di atas kertas itu ada tulisan besar yang berbunyi:

“Kenapa ya aku malah kepikiran sama Adli?”

Adli tersenyum lebar, nyaris tertawa sendiri. Ternyata, tanpa disadari, Lila juga sedang merasakan perasaan yang sama seperti dirinya. Tepat saat ia masih mengagumi tulisan itu, Lila kembali ke kelas dan langsung melihat Adli sedang memegang kertasnya.

“ADLI! KAMU NGAPAIN?” teriak Lila panik, wajahnya memerah.

Adli buru-buru menyimpan kertas itu, lalu tersenyum polos. “Eh, nggak apa-apa, kok. Cuma ngecek aja.”

Lila mendekat dengan marah, tapi wajahnya yang bersemu merah justru membuat Adli tertawa kecil. “Kamu tuh ya, kurang ajar banget! Dasar pengganggu!” Namun, di balik amarahnya, ada senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan.

“Maaf, maaf! Tapi… aku seneng banget tau kamu kepikiran aku,” jawab Adli dengan nada menggoda.

“Diam!” Lila berkata sambil memalingkan wajahnya. “Kamu bikin aku malu aja!”

Namun, di dalam hati mereka masing-masing, ada kebahagiaan yang perlahan tumbuh. Meskipun tidak ada kata yang pasti, keduanya tahu bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara mereka.

 

Cinta yang Tumbuh di Ujung Permainan

Hari-hari di sekolah terus berlalu dengan cepat, dan Adli dan Lila semakin dekat. Kejadian di kantin itu menjadi topik yang mereka bicarakan dalam hati masing-masing, meskipun di luar mereka berdua tetap terlihat seperti teman biasa. Adli berusaha menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya lebih serius, sementara Lila berusaha mengontrol perasaannya agar tidak terbawa jauh.

Suatu hari, saat jam istirahat, Adli melihat Lila sedang duduk sendirian di bangku taman, tampak merenung sambil memainkan ujung pensilnya. Rasa ingin tahunya muncul lagi, dan ia memutuskan untuk mendekat.

“Eh, Lila! Kenapa sendirian?” Adli menyapanya dengan nada ceria, meski sebenarnya hatinya bergetar melihat wajah Lila yang terlihat tidak biasa.

Lila menoleh, lalu tersenyum, meski senyumnya tampak sedikit dipaksakan. “Nggak apa-apa. Lagi mikir aja.”

“Mikir tentang apa? Tentang aku?” Adli menggoda, menyenggol bahu Lila dengan ringan.

Lila mendengus, berusaha terlihat cuek. “Ya nggaklah. Kamu yang bikin aku bingung, sih.”

Adli duduk di sampingnya, berusaha mengatasi ketegangan yang mengalir di antara mereka. “Bingung tentang apa? Tentang perasaanku?”

Wajah Lila kembali memerah, dan ia mengalihkan pandangannya ke arah burung-burung yang berkeliaran. “Nggak gitu, Adli. Ini… agak rumit.”

Adli tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk membahas apa yang mereka rasakan. “Lila, kita udah sering bareng, kan? Aku cuma mau bilang… aku suka kamu.”

Lila terdiam, matanya membelalak seolah tidak percaya. “Kamu serius?”

“Serius banget.” Adli menatap Lila dengan penuh harap. “Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasakan sesuatu yang beda sama kamu. Sejak kita mulai belajar bareng, semuanya terasa lebih hidup.”

Lila menunduk, wajahnya bersembunyi di balik rambutnya. “Aku juga merasakannya, Adli. Tapi… aku takut, kamu tahu? Kita masih muda, dan ini sekolah.”

Adli meraih tangan Lila, menggenggamnya lembut. “Cinta itu bukan tentang umur atau tempat. Cinta itu tentang bagaimana kita saling memahami dan mendukung satu sama lain. Aku nggak mau kehilangan momen ini.”

Waktu seolah berhenti ketika mereka saling tatap. Momen canggung yang terbangun di antara mereka, perlahan menghilang digantikan rasa nyaman. Lila akhirnya mengangguk, senyum kecil muncul di wajahnya. “Oke, kalau gitu… kita coba jalanin ini, ya? Aku mau jadi lebih dekat sama kamu.”

Adli tidak bisa menahan senyum lebar di wajahnya. “Jadi kita pacaran, ya?”

“Belum, belum. Kita lihat dulu, deh. Jangan keburu-buru,” Lila berusaha menahan diri, meskipun hatinya berbunga-bunga.

“Deal!” Adli tertawa senang. “Kita bisa mulai dengan belajar bareng lebih sering, biar kita bisa memahami satu sama lain.”

Hari-hari berikutnya menjadi lebih ceria bagi Adli dan Lila. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, berbagi tawa, cerita, dan bahkan bertengkar kecil yang menggemaskan. Keberanian Adli untuk mengungkapkan perasaannya membuat Lila merasa lebih nyaman untuk terbuka. Mereka pun mulai menjelajahi perasaan baru yang bersemi di antara mereka.

Suatu sore, saat mereka pulang dari sekolah, Adli berinisiatif mengajak Lila ke taman dekat rumahnya. “Lila, yuk ke taman! Aku mau tunjukin sesuatu yang seru.”

“Tunjukin apa?” tanya Lila penasaran.

“Yuk, rahasia!” Adli menjawab dengan senyum misterius. Sesampainya di taman, Adli mengeluarkan sebuah kertas besar yang ia buat sendiri. Di atasnya tertulis, “5 Alasan Kenapa Lila itu Spesial.”

Lila menatap kertas itu dengan mata berbinar. “Kamu bikin ini?”

“Iya! Ayo, kita baca bareng,” Adli berkata sambil menunjuk satu per satu alasannya.

“Pertama, kamu pintar! Gimana bisa belajar sambil bercanda, ya?” Adli mulai membacakan. “Kedua, kamu selalu tahu cara bikin orang lain senyum. Itu kenapa semua orang suka sama kamu.”

Lila merasa terharu, wajahnya memerah. “Ih, kamu ini!”

“Ketiga, kamu nggak pernah pelit waktu untuk orang lain. Kamu selalu mau membantu siapa saja,” lanjut Adli. “Keempat, kamu itu lucu, dan aku suka kamu yang sering membentak aku. Itu bikin hidupku lebih berwarna.”

“Dan yang kelima?” Lila bertanya, penasaran.

Adli menatap Lila dengan penuh percaya diri. “Kamu adalah alasan aku percaya pada cinta. Dan aku berharap kita bisa melewati semua ini bareng.”

Lila terdiam, tersenyum lebar. “Adli, kamu ini bikin aku baper!”

Adli tertawa, melihat wajah Lila yang sudah kembali ceria. “Ya sudah, kalau gitu kita harus sering-sering begini. Menikmati waktu berdua.”

Sejak saat itu, kedekatan mereka semakin erat. Dalam setiap tawa, dalam setiap pertengkaran kecil, cinta mereka tumbuh. Sekolah SMP bukan lagi hanya sekadar tempat belajar, melainkan tempat di mana mereka belajar arti cinta dan saling memahami satu sama lain.

Dan siapa yang tahu, cinta yang tumbuh di antara mereka ini mungkin saja adalah awal dari petualangan baru yang lebih seru di masa depan. Keduanya sepakat untuk menikmati setiap momen yang ada, sambil merajut kisah manis mereka dengan penuh harapan.

 

Dan begitulah, perjalanan cinta Adli dan Lila di sekolah SMP terus berlanjut, penuh tawa, pertengkaran menggemaskan, dan pelajaran berharga. Mereka belajar bahwa cinta itu bukan hanya tentang mengungkapkan perasaan, tetapi juga tentang saling mendukung dan menikmati setiap momen bersama.

Siapa tahu, mungkin di ujung cerita ini, ada kisah cinta yang lebih besar menanti mereka di masa depan. Yang pasti, setiap detik yang mereka lewati adalah bab baru dalam kisah manis yang tak akan terlupakan! Sampai jumpa di kisah cinta seru lainnya, ya!!

Leave a Reply