Kisah Cinta LDR: Mengatasi Jarak, Menyusun Kembali Cinta yang Hampir Retak

Posted on

Siapa bilang cinta jarak jauh itu nggak bisa bertahan? Kalau kamu mikir LDR cuma bikin ribet, coba deh baca cerita ini. Ini bukan soal cinta biasa, tapi soal bagaimana dua hati yang terpisah jarak, mencoba tetap tumbuh meski ribuan kilometer memisahkan.

Kadang kita merasa yakin, kadang juga keraguan datang, tapi siapa sangka, jarak justru bisa bikin cinta kita lebih kuat? Jadi, siap-siap ikutin perjalanan penuh emosi dan perjuangan antara Cleon dan Maritza, yang nggak cuma harus bertahan dari jarak, tapi juga dari ujian waktu yang nggak selalu ramah.

 

Kisah Cinta LDR

Ruang Hampa di Antara Kita

Cleon duduk di sofa apartemennya yang kecil, di Jakarta, dengan ponsel tergeletak di sampingnya. Ruangan itu terasa lebih sepi dari biasanya. Hanya suara detak jam di dinding yang menemani. Di luar, hujan turun perlahan, menambah suasana yang suram. Sudah hampir tiga hari sejak pesan terakhir Maritza yang berbunyi singkat dan terasa jauh: “Maaf, aku nggak bisa pulang tahun ini. Praktik di rumah sakit terlalu padat. Mungkin kita bisa bicara nanti, kalau kamu punya waktu.”

Ponselnya bergetar. Cleon segera menoleh, berharap itu adalah pesan dari Maritza, namun ternyata hanya notifikasi dari aplikasi media sosial yang memberitahukan bahwa teman-temannya sedang sibuk berbagi cerita di sana. Dia merasa kosong. Ada banyak hal yang ingin dia katakan kepada Maritza, namun dia terlalu ragu untuk memulai percakapan itu sendiri. Dalam hatinya, Cleon bertanya-tanya, apakah hubungan mereka masih bisa bertahan seperti ini, dengan hanya sedikit komunikasi dan jauh di antara mereka?

Pagi itu, Cleon kembali mengingat percakapan mereka beberapa minggu lalu. Maritza, yang sebelumnya begitu ceria saat berbicara tentang masa depan mereka, kini terlihat lebih tertutup. Setiap kali Cleon menghubunginya, selalu ada alasan mengapa mereka tidak bisa berbicara lebih lama. Kadang Maritza mengaku sibuk dengan ujian, kadang dengan pekerjaan di rumah sakit. Cleon tahu Maritza bekerja keras, tapi terkadang dia merasa seolah-olah dia sendirian, berjuang sendirian.

Dia menatap ponselnya lagi. Tidak ada pesan baru. Rasa frustrasi mulai menguasai dirinya. Tak lama, sebuah pesan masuk dari Maritza. Cleon membuka pesan itu dengan harapan tinggi.

“Cleo, aku tahu kamu kecewa, dan aku nggak bermaksud seperti ini. Aku cuma butuh waktu sendiri dulu.”

Cleon menatap layar ponsel sejenak. Kata-kata itu kembali membuat hatinya terasa kosong. Butuh waktu sendiri… Artinya, apa? Maritza sudah mulai menjauh? Ataukah Cleon yang terlalu menuntut?

Hari itu, Cleon berjalan menyusuri trotoar yang sibuk. Keramaian kota Jakarta seakan tak memberi ruang untuknya berpikir dengan tenang. Tetapi di dalam kepalanya, hanya ada satu nama—Maritza. Rasanya seperti segala sesuatu di sekitarnya mengabur, hanya suara ponselnya yang terus menggema di telinganya. Dia ingin sekali menghubungi Maritza, bertanya langsung apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ada sesuatu yang menahannya. Mungkin rasa takut—takut jika semua ini hanya masalah kecil yang berlebihan, atau takut jika Maritza benar-benar mulai menjauh.

Setiba di rumah, Cleon duduk di meja makan. Ponselnya tergeletak di atas meja, dan detik-detik berlalu dengan perlahan. Tanpa sadar, tangannya mulai meraih ponsel dan mengetik pesan.

“Maritza, aku nggak tahu kenapa semuanya terasa berat sekarang. Aku cuma butuh kamu jelasin, kenapa jadi kayak gini?”

Dia menekan tombol kirim dan menunggu. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Berjam-jam berlalu dan pesan itu tetap tidak terbalas. Cleon meremas ponselnya. Hatinya mulai penuh dengan perasaan tak terungkapkan—rindu, kecewa, bingung.

Malam tiba, dan Cleon duduk di sofa sambil menatap layar ponselnya yang masih sepi. Hujan di luar semakin deras. Tiba-tiba, ponselnya bergetar lagi. Dengan cepat, dia membuka pesan itu.

“Aku nggak pernah bermaksud membuatmu merasa sendirian, Cleo. Aku tahu aku salah. Aku hanya… Aku hanya nggak tahu harus bagaimana lagi. Aku butuh kamu, tapi aku nggak tahu caranya ngomong.”

Cleon membaca pesan itu beberapa kali, mencoba mencerna maknanya. Ada campuran antara rasa lega dan kecewa yang bercampur aduk. Hatinya ingin segera menghubungi Maritza, tetapi dia tahu, perasaan itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan kata-kata. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang perlu mereka selesaikan bersama-sama.

Ketika Cleon kembali hendak mengetik balasan, sebuah ide muncul dalam pikirannya. Mengapa tidak berbicara langsung? Mungkin inilah saatnya bagi mereka untuk bertemu. Cleon menatap layar ponsel, lalu mengetik pesan berikutnya.

“Kita butuh bicara, Ritza. Aku nggak tahu kalau hubungan ini bisa bertahan kalau cuma lewat pesan begini. Mungkin aku yang egois, tapi aku nggak bisa terus begini.”

Kali ini, dia menekan tombol kirim dengan penuh harapan. Mungkin ini adalah titik balik bagi mereka.

Keesokan harinya, Cleon menerima balasan dari Maritza.

“Aku tahu kita nggak punya banyak waktu. Aku bisa pulang minggu depan. Tapi kali ini, aku mau kamu ikut ke Melbourne. Aku sudah pesan tiket pesawat untuk kita. Kalau kamu bisa datang, kita akan bicarakan semuanya.”

Cleon merasakan kelegaan mengalir dalam dirinya. Maritza ingin menyelesaikan masalah ini secara langsung. Dia menghela napas panjang. Segalanya terasa seperti sebuah keputusan besar, tetapi setidaknya ini adalah langkah pertama menuju perbaikan.

Dan meskipun masih banyak pertanyaan yang mengisi benaknya, Cleon tahu, perjalanan ini belum berakhir. Ia akan pergi ke Melbourne, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya hilang dalam hubungan mereka. Karena baginya, Maritza adalah seseorang yang tak bisa dilepaskan begitu saja.

 

Jarak yang Menguji Waktu

Seminggu kemudian, Cleon menemukan dirinya berdiri di depan pintu kedatangan Bandara Internasional Melbourne. Suasana di sekitarnya terasa asing, meski ia sudah beberapa kali mendengar cerita Maritza tentang kota ini. Cuaca di sini berbeda—lebih sejuk, dengan angin yang berhembus perlahan. Cleon menatap sekelilingnya, dan seolah setiap detik yang berlalu semakin menambah ketegangan dalam dadanya.

Akhirnya, dia melihat sosok Maritza, mengenakan jaket hitam dan topi beanie yang menutupi sebagian wajahnya. Namun, meskipun dia mencoba menyembunyikan perasaan, Cleon bisa merasakan ada yang berbeda dari cara Maritza berjalan mendekat. Wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang semakin jelas. Tapi matanya masih memancarkan semangat yang tak mudah padam.

“Cleon,” Maritza menyapa dengan senyum tipis, meski ada sedikit keraguan di ujung kata-katanya. “Kamu datang juga.”

Cleon hanya tersenyum, meskipun hatinya bergejolak. “Tentu saja, aku nggak bisa membiarkan kamu ke sini sendirian.”

Maritza mengangguk, lalu menuntunnya keluar dari bandara. Mereka berjalan menyusuri lorong, dengan suara langkah kaki mereka yang terdengar berat di tengah hiruk-pikuk bandara yang penuh orang. Sesekali, Maritza berusaha mengalihkan pembicaraan dengan topik ringan, seperti cuaca atau betapa sibuknya dia beberapa minggu terakhir. Namun, Cleon bisa merasakan ketegangan yang masih mengendap di antara mereka.

Sesampainya di luar, Maritza menghentikan langkahnya, berbalik untuk menatap Cleon dengan serius. “Cleon, aku tahu kamu kecewa. Aku juga nggak bisa terlalu banyak berbicara karena sibuk, tapi itu bukan alasan untuk menjauhkan diri. Kamu harus tahu… aku nggak pernah berniat meninggalkan kamu.”

Cleon menatapnya dalam-dalam. “Aku tahu. Aku cuma… merasa seperti aku berjuang sendiri, Ritza. Kamu bilang kita harus saling percaya, tapi kadang aku merasa kamu semakin menjauh.”

Maritza menggigit bibirnya, menghela napas. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Kamu nggak tahu seberapa beratnya menjalani semuanya di sini. Aku nggak hanya punya kuliah yang ketat, tapi juga pekerjaan rumah sakit yang hampir nggak ada waktu untuk istirahat. Kadang aku merasa nggak punya energi buat siapa pun, apalagi untuk kamu.”

Cleon terdiam sejenak, merasakan perasaan Maritza yang sesungguhnya. Selama ini, dia hanya melihat dari perspektifnya sendiri, merasa cemas dan kesepian. Namun, kali ini, dia mulai mengerti.

“Ritza…” Cleon mulai berbicara dengan suara pelan. “Aku nggak akan ngerti kalau kamu nggak bilang. Aku cuma merasa kita seperti dua dunia yang terpisah jauh. Kadang aku merasa kita nggak bisa saling mengerti lagi.”

Maritza menunduk, tangannya meremas ujung jaketnya. “Aku juga merasa begitu. Kita hanya punya sedikit waktu bersama, dan itu nggak cukup. Tapi, Cleon, kamu harus tahu, aku ingin kita bertahan. Aku ingin kamu di sini, untuk aku. Aku nggak ingin kehilangan kamu.”

Cleon menghela napas. Ketegangan yang sempat menghimpit dada mereka berdua perlahan mulai meleleh. Ada angin sejuk yang bertiup di sekitar mereka, seolah menyampaikan bahwa mungkin ini adalah waktu untuk mereka kembali memahami satu sama lain.

Akhirnya, Cleon melangkah maju, mendekatkan tubuhnya pada Maritza. “Aku tahu kita punya banyak hal yang harus dibicarakan. Tapi aku ingin satu hal, Ritza. Aku nggak ingin hubungan kita cuma jadi obyek komunikasi lewat pesan. Kita harus lebih dari itu.”

Maritza mengangguk pelan, membalas tatapan Cleon dengan lembut. “Aku janji, kita akan mulai lagi. Tapi kali ini, aku ingin kamu ada di sini untuk aku, seperti yang dulu.”

Malam itu, mereka berjalan berdua menyusuri jalan-jalan di Melbourne, menikmati keindahan kota yang baru bagi Cleon. Maritza mengajak Cleon ke tempat-tempat yang dia suka, kafe kecil yang nyaman, dan taman dengan pepohonan rindang yang dipenuhi cahaya lampu jalanan. Di sana, Maritza mulai membuka sedikit demi sedikit tentang hidupnya yang penuh dengan rutinitas yang menguras tenaga. Sementara Cleon mendengarkan dengan seksama, tidak ada yang terasa berat lagi. Mereka berbicara dengan lebih terbuka, tidak ada lagi dinding yang memisahkan.

“Cleon,” kata Maritza saat mereka duduk di bangku taman, “aku janji, kalau aku bisa, aku akan berusaha lebih baik. Aku nggak akan membuat kamu merasa kesepian lagi.”

Cleon tersenyum, meskipun dia tahu masalah mereka belum selesai. Mereka masih harus banyak bekerja untuk menjaga hubungan ini tetap hidup. Namun, setidaknya sekarang mereka punya pemahaman yang lebih dalam tentang satu sama lain.

“Dan aku juga janji,” jawab Cleon. “Aku nggak akan memberi tekanan lagi. Aku ingin kamu bisa bahagia, Ritza, karena aku juga bahagia kalau kamu bahagia.”

Malam itu, dengan udara yang sejuk dan bintang yang bersinar cerah di atas mereka, Cleon dan Maritza tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang yang masih harus mereka jalani bersama. Meski jarak masih ada, tetapi kali ini, mereka sudah mulai belajar bagaimana membuatnya lebih berarti.

 

Menyusun Kembali Puzzle Cinta

Pagi itu, sinar matahari yang lembut menyelinap melalui tirai jendela hotel tempat mereka menginap. Cleon terbangun dengan perasaan yang jauh lebih ringan daripada hari-hari sebelumnya. Ia merasakan Maritza yang duduk di tepi tempat tidur, tampaknya sedang sibuk mengetik pesan di ponselnya. Meskipun semalam mereka berbicara panjang lebar tentang banyak hal, Cleon tahu bahwa ada hal-hal yang belum sempat mereka bicarakan.

“Ritza,” panggil Cleon, suaranya masih serak karena tidur.

Maritza mengalihkan pandangan dari layar ponsel, tersenyum kecil. “Pagi, Cleo. Tadi aku mau bangunin kamu, tapi kayaknya kamu tidur nyenyak banget.”

Cleon hanya tertawa pelan. “Iya, rasanya udah lama banget nggak bisa tidur tanpa mikirin segala hal. Tapi, kita punya banyak waktu kan, untuk ngobrol lagi?”

Maritza menatapnya dengan tatapan serius. “Punya. Aku pengen banget kita bisa bicara lebih banyak. Tentang kita, tentang apa yang kita jalani selama ini.”

Mereka duduk berhadapan, dan Cleon merasa ada sesuatu yang berbeda. Ketegangan yang biasa ada di antara mereka sudah mulai menghilang. Ada perasaan nyaman, yang dulu hanya bisa mereka rasakan saat mereka duduk berdua di taman kampus, atau saat mereka tertawa bersama di sebuah kafe sederhana. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Maritza tampak lebih terbuka, lebih ingin berusaha.

“Aku tahu kamu merasa tersisih, Cleo,” kata Maritza, suaranya pelan namun penuh makna. “Aku merasa itu juga. Kita berdua terjebak dalam dunia yang berbeda, dengan impian dan kenyataan yang kadang nggak sejalan. Aku sering merasa nggak punya waktu untuk kita.”

Cleon menatap Maritza dengan penuh perhatian. “Aku juga merasa seperti itu. Kita kayak dua orang yang sedang mencoba berlari di jalur yang berbeda. Tapi aku sadar, kita nggak bisa terus-terusan kayak gini. Aku nggak mau hubungan kita cuma bertahan karena kewajiban. Kita harus saling memberi, bukan cuma menunggu.”

Maritza mengangguk, matanya berbinar. “Iya, aku setuju. Aku nggak bisa terus menjauh dari kamu, Cleo. Aku nggak bisa terus hidup dalam rutinitas yang membuat kita semakin jauh. Aku ingin kita berdua berjalan di jalan yang sama, walaupun itu penuh dengan tantangan.”

Cleon meraih tangan Maritza, menggenggamnya dengan lembut. “Aku juga. Kita cuma perlu waktu untuk berusaha sama-sama, bukan sendirian. Jarak itu memang terasa berat, tapi kita bisa saling berbagi. Kita bisa menyusun kembali apa yang sudah rusak.”

Maritza tersenyum, lalu menunduk, seolah merenung. “Aku tahu kita nggak sempurna, Cleon. Tapi aku ingin kita berusaha lebih baik. Aku akan berusaha lebih banyak meluangkan waktu buat kamu, meskipun aku masih harus kerja keras. Aku janji, aku nggak akan lagi menjauh.”

Cleon mengelus tangan Maritza. “Aku nggak akan menuntut kamu, Ritza. Tapi aku ingin kamu tahu, aku di sini untuk kamu. Kita harus belajar untuk lebih terbuka, lebih sabar. Aku tahu, kadang aku terlalu keras kepala. Tapi aku akan mencoba lebih pengertian.”

Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati keheningan yang terasa nyaman. Dalam keheningan itu, mereka merasakan sesuatu yang lebih kuat dari sekadar kata-kata. Mereka mulai memahami bahwa hubungan ini membutuhkan lebih dari sekadar perasaan cinta. Hubungan ini membutuhkan pengertian, kepercayaan, dan kesabaran.

Hari itu, mereka memutuskan untuk pergi berjalan-jalan di kota Melbourne, menikmati udara segar dan suasana yang berbeda dari rutinitas mereka yang biasa. Mereka mengunjungi beberapa tempat favorit Maritza, seperti taman kota yang tenang, kafe kecil di sudut jalan, dan pasar loak yang penuh dengan barang-barang antik. Setiap tempat yang mereka kunjungi memberikan rasa kedekatan yang dulu hampir hilang. Mereka tertawa bersama, bercerita tentang masa lalu, tentang impian, dan tentang apa yang mereka harapkan dari hubungan ini ke depan.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, Cleon tahu bahwa masih ada banyak hal yang harus mereka atasi. Jarak, pekerjaan, dan tekanan kehidupan yang tak terduga. Tetapi kali ini, perasaan mereka lebih kuat. Mereka tahu bahwa mereka harus terus berjuang untuk ini, untuk menjaga cinta yang mereka miliki.

Malam itu, saat duduk bersama di bangku taman, dengan langit yang mulai gelap dan lampu jalan yang berkelap-kelip di kejauhan, Cleon merasakan Maritza yang memeluknya dengan erat.

“Aku ingin kamu tahu,” kata Maritza pelan, “bahwa aku benar-benar berjuang untuk kita. Aku nggak mau kehilangan kamu.”

Cleon membalas pelukan itu dengan lembut, merasakan kedalaman perasaan Maritza yang tulus. “Aku juga, Ritza. Aku nggak akan membiarkan ini berakhir begitu saja.”

Mereka duduk dalam keheningan, hanya terdengar suara angin yang berbisik lembut di antara pepohonan. Di saat itu, mereka tahu bahwa meskipun dunia di sekitar mereka penuh dengan tantangan dan jarak, cinta mereka akan terus tumbuh.

Mereka siap untuk menyusun kembali puzzle cinta yang sempat terpecah.

 

Membangun Masa Depan yang Penuh Harapan

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan meskipun jarak masih menjadi penghalang yang nyata, Cleon dan Maritza mulai merasa bahwa mereka bisa menghadapinya. Setiap percakapan yang mereka lakukan semakin mendalam, semakin penuh makna. Mereka mulai merencanakan masa depan mereka bersama, tak hanya tentang liburan atau momen singkat yang mereka habiskan bersama, tapi juga tentang bagaimana mereka bisa saling mendukung di tengah kesibukan masing-masing.

Pada suatu malam, beberapa bulan setelah pertemuan pertama mereka di Melbourne, Maritza menghubungi Cleon lewat video call, wajahnya tampak lelah tapi matanya masih menyimpan semangat yang tak pernah padam.

“Cleo, aku baru saja selesai ujian dan aku pikir… aku harus bilang sesuatu,” kata Maritza dengan suara sedikit ragu.

Cleon tersenyum, meskipun rasa penasaran mulai menggelayuti hatinya. “Apa itu, Ritza? Kamu bikin aku penasaran.”

Maritza terdiam sejenak, mengatur napas sebelum akhirnya berkata, “Aku ingin kita mulai berpikir lebih jauh tentang masa depan, tentang kita. Aku nggak mau lagi hanya sekadar berharap-harap cemas kita bisa bertahan. Aku ingin kita punya rencana yang jelas.”

Cleon mengangguk pelan, merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Aku juga, Ritza. Kita sudah terlalu lama terjebak dalam ketidakpastian. Aku mau kita punya sesuatu yang lebih nyata, lebih pasti.”

Mereka berbicara lebih lama malam itu, saling bertukar pikiran tentang apa yang ingin mereka capai, tentang mimpi yang ingin mereka kejar. Cleon mulai berpikir tentang masa depan di luar kuliah dan pekerjaan yang selalu membuatnya sibuk. Mungkin, suatu hari nanti, mereka bisa tinggal bersama di satu kota, menjalani kehidupan yang sederhana namun penuh dengan cinta dan saling pengertian.

Beberapa bulan setelah pembicaraan itu, Cleon akhirnya memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Ia menyusun rencana untuk mengunjungi Maritza lagi, tetapi kali ini bukan hanya untuk berlibur atau menikmati waktu bersama. Cleon ingin membuat keputusan besar, keputusan yang akan membawa mereka ke tahap selanjutnya dalam hubungan mereka.

Hari yang dinanti pun tiba. Cleon sudah berada di Melbourne, berdiri di depan apartemen Maritza, dengan hati berdebar tak karuan. Ia membawa sebuah kotak kecil di tangannya, yang telah dipilihnya dengan sangat hati-hati. Sementara itu, Maritza sedang menunggu di dalam, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ketika pintu apartemen terbuka, Maritza tampak terkejut melihat Cleon berdiri di ambang pintu, dengan senyum yang sangat berbeda dari biasanya. Ada ketegasan dalam matanya kali ini, seolah ia telah menemukan jawabannya.

“Cleon, kamu…?” Maritza terlihat bingung, namun tidak bisa menutupi rasa bahagianya.

Cleon mendekat, mengeluarkan kotak kecil dari sakunya, dan dengan lembut menyodorkannya ke Maritza. “Ritza, aku sudah memikirkan ini sepanjang perjalanan. Aku nggak mau hanya jadi penonton dalam hidupmu, aku nggak mau hanya ada dalam cerita cinta yang tak pasti. Aku ingin kamu menjadi bagian dari masa depanku.”

Maritza menatap kotak kecil di tangan Cleon, lalu menatap wajahnya dengan penuh haru. “Cleo… apa yang kamu maksud?”

Cleon tersenyum lebar. “Aku ingin kita mulai merencanakan masa depan bersama. Aku ingin kita membangun sesuatu yang lebih besar dari apa yang kita punya sekarang. Aku ingin kita saling melangkah maju, tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi keraguan.”

Maritza membuka kotak kecil itu, menemukan sebuah cincin dengan desain yang sederhana namun indah, mewakili komitmen yang begitu dalam. Matanya berkaca-kaca. “Cleon, aku nggak pernah membayangkan kita akan sampai di titik ini. Aku juga ingin kita punya masa depan yang lebih pasti.”

Dengan senyuman yang tulus, Cleon menggenggam tangan Maritza. “Ritza, apakah kamu mau menjadi bagian dari masa depanku? Apakah kamu siap menjalani perjalanan ini bersamaku, tidak peduli apa yang akan datang?”

Maritza mengangguk, matanya berkilau. “Aku siap, Cleo. Aku sudah siap dari awal, dan aku yakin kita bisa menghadapinya bersama.”

Beberapa minggu setelah momen itu, Cleon dan Maritza mulai merencanakan kehidupan mereka ke depan. Mereka tahu bahwa hubungan jarak jauh mereka akan terus diuji oleh waktu dan keadaan, tetapi kali ini, mereka tidak merasa sendirian. Mereka belajar untuk lebih menghargai waktu yang mereka miliki bersama, untuk lebih mengerti dan mendukung satu sama lain.

Jarak tidak lagi menjadi halangan, karena cinta mereka sudah cukup kuat untuk menghadapinya. Mereka tahu bahwa meskipun dunia di luar sana seringkali terasa tidak pasti, ada satu hal yang mereka miliki—kepercayaan satu sama lain. Itu yang membuat hubungan mereka tetap utuh, tak peduli seberapa berat rintangan yang datang.

Dan meskipun perjalanan ini masih panjang, Cleon dan Maritza percaya, bahwa pada akhirnya, mereka akan berjalan bersama di satu jalan yang sama, di masa depan yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan. Karena cinta yang mereka miliki lebih dari sekadar jarak atau waktu. Cinta mereka adalah komitmen yang tak tergoyahkan.

 

Akhirnya, mereka sadar, jarak itu nggak selamanya jadi penghalang. Cinta yang sejati itu nggak dilihat dari seberapa dekat kita, tapi dari seberapa besar usaha kita untuk tetap bertahan, meski badai datang menghadang.

Cleon dan Maritza mungkin masih punya banyak tantangan di depan, tapi satu hal yang pasti, mereka tahu bahwa cinta itu bukan soal kebetulan, tapi soal pilihan. Dan mereka memilih untuk terus berjuang bersama. Jadi, kalau kamu lagi LDR atau sedang diuji oleh jarak, ingatlah, kadang jarak itu justru memperkuat kita untuk lebih mencintai dengan tulus.

Leave a Reply