Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu merasa terjebak di antara dua perasaan yang nggak jelas? Cinta yang malu-malu, persahabatan yang udah terlalu kuat untuk diungkapin, tapi takut juga kalau semuanya berubah?
Nah, cerita ini bakal ngasih kamu gambaran gimana rasanya jalanin hubungan yang penuh kerumitan, tapi juga nggak bisa dilepas. Jadi, siap-siap aja buat ketawa, mikir, bahkan mungkin sedikit baper!
Kisah Cinta dan Persahabatan yang Rumit
Di Antara Keramaian dan Keheningan
Pagi itu, angin sepoi-sepoi bertiup lembut, membawa aroma laut yang khas. Di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota, tempat yang biasa kami kunjungi setiap kali libur, aku duduk di pojok dengan secangkir cappuccino yang masih panas. Udara dingin sedikit menusuk, tapi aku tak terlalu peduli. Aku lebih tertarik pada secangkir kopi yang menghangatkan tanganku dan pikiran yang mulai buntu.
Azyel duduk di depan meja, matanya yang tajam memandang keluar jendela, seakan sedang mencari sesuatu di luar sana. Rambutnya yang sedikit berantakan semakin menambah kesan cuek dan tak pedulinya. Aku sering berpikir, kalau saja dia bisa sedikit lebih… apa ya? Lebih berbicara tentang perasaannya. Tapi tentu saja, itu hanya angan-angan.
“Ayo, kita nikmatin aja pagi ini. Seperti biasa,” kataku sembari mengambil sedikit buih cappuccino yang tersisa di atas cangkirku.
Azyel mengangkat bahunya tanpa menoleh, ekspresinya tetap datar. “Iya, sih. Gak usah ribet, kan?”
Aku tertawa kecil. “Lo selalu begitu, ya. Gak pernah mau mikir yang ribet-ribet.”
“Kenapa harus mikir yang ribet?” jawabnya, masih menatap ke luar. “Kita udah lama bareng, jadi ngapain harus dibikin rumit.”
Ada sesuatu di dalam suara Azyel yang membuatku tertarik untuk menelisik lebih dalam. Mungkin karena aku sudah terlalu sering mengenal ekspresinya yang datar, aku tahu ada yang tidak beres. Tapi, aku memilih untuk diam. Lagi-lagi, aku malas. Malas untuk menghadapinya. Semua ini sudah cukup rumit, kenapa harus memperumit dengan hal lain?
Aku meliriknya dari balik cangkir. “Tapi, lo nggak ngerasa kalau kita udah mulai terlalu sering bareng? Gimana kalau kita jadi… makin dekat? Mungkin lebih dari sahabat?”
Azyel menatapku sebentar, tapi hanya sebentar, seolah-olah topik itu terlalu berat untuk dipikirkan pagi ini. “Kenapa harus dipikirin, Kal? Kalau gue dan lo udah kayak gini, kenapa mesti risau?”
Aku menggigit bibir, mencoba menahan tawa. “Kadang-kadang, perasaan itu bisa jadi berat, loh, Zyel. Apa lo nggak merasa gimana gitu, kalau kita udah kayak gini terus?”
Azyel mengalihkan pandangannya ke dalam, ke meja tempat kami duduk. Matanya menatap kosong ke cangkir kopi yang hampir habis. “Kalau kita pusing mikirin perasaan, kita malah bakal bikin semuanya jadi gak nyaman. Gue lebih suka kalau semuanya santai, ya nggak?”
“Jadi lo lebih milih begini, gak usah mikirin itu semua?” Aku sedikit terkejut dengan jawabannya yang begitu tenang. “Lo yakin?”
“Kenapa enggak? Santai aja, Kal,” jawabnya lagi, seolah semuanya bisa diselesaikan dengan kata ‘santai’.
Aku memutuskan untuk ikut santai, setidaknya untuk saat ini. Aku tahu, Azyel memang selalu seperti itu—tak pernah mau terjebak dalam hal-hal yang menurutnya hanya membuang-buang waktu. Tapi ada kalanya, aku bertanya-tanya, apakah dia benar-benar tidak merasakan sesuatu lebih dari sekadar persahabatan kami yang sudah terlalu lama terjalin ini?
“Tapi, kadang lo kayak… terlalu cuek, Zyel,” kataku, mencoba mencari tahu apakah ada bagian dari dirinya yang peduli. “Lo nggak pernah pengen ngomongin itu? Tentang kita? Tentang perasaan?”
Azyel tersenyum miring, seperti biasa, dengan senyum yang entah kenapa selalu bisa membuatku bingung. “Kal, lo mikir gue nggak peduli? Gue cuma nggak mau segala sesuatu jadi rumit, itu aja.”
Aku menghela napas panjang, mengingatkan diri sendiri bahwa mungkin dia benar. Kadang, perasaan memang bisa rumit, dan kadang lebih baik untuk tidak terlalu memikirkannya. Tapi, kenapa ya, perasaan itu seperti tetap ada, seperti sesuatu yang mengganjal di dadaku?
“Duh, lo ini kadang bikin pusing,” kataku sambil meletakkan cangkir kopi yang sudah kosong. “Tapi… yaudah deh, kalau lo bilang gitu.”
Azyel hanya mengangguk pelan. “Sama-sama.”
Sejenak, kami terdiam. Aku kembali memandang ke luar jendela, melihat orang-orang yang sibuk beraktivitas di pagi hari. Mungkin mereka tidak tahu, tapi aku dan Azyel ada di sini, duduk berdua, dengan perasaan yang tidak terucapkan. Tak ada yang perlu dipusingkan, katanya. Tapi mengapa aku merasa seolah-olah ada yang hilang? Ada yang kurang.
Azyel berdiri dan menarik jaketnya. “Mau ke mana?” tanyaku, sedikit bingung karena dia tiba-tiba bangkit.
“Ke pantai,” jawabnya singkat. “Pikiranku butuh udara segar.”
Aku memutuskan untuk ikut, tanpa banyak berpikir. Kami berdua keluar dari kafe, berjalan bersama menuju pantai, dengan langkah yang hampir serasi. Tidak ada obrolan yang berat, hanya suara ombak yang bergulung di kejauhan dan langkah kaki kami yang saling menyusul.
Di bawah langit biru yang luas, kami duduk di tepi pantai, menyaksikan matahari yang mulai terbenam perlahan. Aku menyandarkan tubuhku pada batu besar, sementara Azyel memandang laut tanpa berkata apa-apa.
“Santai aja, Kal,” katanya lagi, suara angin membawa kata-katanya hingga terdengar samar. “Kita nggak perlu mikirin hal-hal yang bikin rumit. Kita tetap seperti ini aja.”
Aku menoleh ke arah Azyel, mencoba memahami maksudnya. Tapi, satu hal yang pasti—kadang, hidup memang tidak perlu selalu dijelaskan dengan kata-kata. Kadang, cukup dengan duduk bersama, menikmati keheningan, dan tahu bahwa semuanya akan baik-baik saja, meskipun perasaan itu tidak pernah benar-benar bisa diungkapkan.
Namun, aku merasa ada sesuatu yang masih mengganjal. Sebuah perasaan yang masih mengalir, meski kami memilih untuk tidak mengatakannya. Begitu banyak yang tidak perlu diucapkan, tetapi tetap ada di sana, di antara kami, seperti ombak yang tak pernah berhenti.
Senyum dan Kata-kata yang Terlupakan
Hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan. Azyel dan aku tetap seperti biasa—pergi ke kafe, duduk di tempat yang sama, ngobrol tentang hal-hal sepele yang tidak pernah berakhir, meski di dalam dada, perasaan itu selalu menggelora. Terkadang aku berpikir, apakah dia benar-benar tidak merasakan apa yang aku rasakan? Atau, apakah dia sengaja pura-pura tidak peduli?
Namun, ada kalanya aku merasa dia menyadari sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan kami, hanya saja dia terlalu keras kepala untuk mengakuinya. Aku, di sisi lain, memilih untuk diam—malas ribet, seperti kata Azyel.
Pagi itu, seperti biasa, kami duduk di sudut kafe yang sama, minum kopi, dan menikmati keheningan. Hanya ada suara mesin kopi yang berdebur dan musik santai yang terdengar samar dari speaker. Aku menatap secangkir latte yang sudah hampir habis, berusaha mencari tahu apakah ada makna di balik kebisuan Azyel.
“Lo tahu nggak, Zyel,” kataku pelan, tanpa menoleh padanya. “Kadang gue mikir, kita tuh kayak… udah jadi kebiasaan aja. Bukan karena lo gak penting, tapi karena udah terlalu lama bareng.”
Dia hanya mengangkat bahu. “Gitu ya? Kalau lo ngerasa gitu, kenapa nggak coba ngerasain hal lain, Kal? Gak usah mikirin apa yang udah biasa.”
Aku tersenyum pahit. “Susah, ya, kalau udah nyangkut di hati. Kadang kita nggak bisa cuma mikir yang gampang-gampang aja.”
Azyel mengalihkan pandangannya, menatap luar jendela. “Kalau lo ngerasa gitu, lo yang harus ubah cara pandang lo, Kal. Gue nggak bisa bikin semuanya gampang kalau lo nggak mau bantu diri lo sendiri.”
Ada keheningan panjang di antara kami. Entah kenapa, meskipun kami sudah berbicara tentang hal yang sama berulang kali, perasaan ini tetap nggak hilang. Azyel mungkin bilang itu cuma soal pandangan, tapi bagiku, itu lebih dari itu. Itu soal perasaan yang udah lama mengendap dan nggak bisa ditepis begitu saja.
Setelah beberapa menit, aku bangkit dari kursiku. “Lo nggak pengen ngomongin ini lebih lanjut? Kita udah sering banget bahas ini, tapi lo masih diem aja.”
Azyel menatapku sejenak, lalu berdiri mengikuti langkahku. “Gue cuma nggak mau bikin semuanya jadi rumit, Kal. Kalau lo mau ribet, ya, itu urusan lo.”
Aku berhenti sejenak, menatap Azyel. “Tapi lo tahu kan, Zyel, kadang kita nggak bisa selalu lari dari kenyataan. Semua ini bukan cuma soal santai-santai aja. Ada perasaan yang nggak bisa lo hindarin.”
Dia hanya tersenyum miring, senyum yang selalu terasa ambigu. “Kita masih sahabatan, kan? Itu yang paling penting buat gue.”
Aku menatapnya, rasanya sudah terlalu sering mendengar kata itu—‘kita masih sahabatan’. Tapi, kenapa kata itu tidak pernah terdengar sekuat dulu? Kenapa ada kekosongan yang muncul begitu mendalam, seolah dia sudah menempatkan aku di zona yang berbeda? Di zona yang tidak lebih dari sekadar teman.
Tanpa berkata-kata lagi, kami berjalan keluar dari kafe dan menuju ke tempat yang sudah lama menjadi tempat pelarian kami—pantai. Pantai itu selalu menjadi tempat di mana kami bisa merasa bebas, tanpa ada yang perlu dijelaskan. Kami duduk di pasir, mendengarkan deburan ombak yang tak pernah berhenti. Namun, kali ini rasanya berbeda. Ada jarak yang terasa lebih lebar antara kami berdua. Tidak ada obrolan biasa, hanya hembusan angin laut yang membawa rasa canggung.
Azyel menatap ke laut, tampak merenung, dan aku tahu dia sedang berpikir tentang hal yang sama seperti aku—tentang perasaan yang sudah lama tak terungkapkan. Tapi dia tetap diam, seperti biasa, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku ingin sekali bertanya, ingin sekali mencari tahu apa yang sebenarnya ada di hatinya, tapi aku takut jawaban itu malah membuat semuanya lebih rumit.
Aku menepuk pasir di tangan, mencari alasan untuk mengalihkan pikiran. “Zyel,” panggilku akhirnya, meskipun suaraku terasa agak terputus. “Lo yakin, kita nggak lebih dari sahabat?”
Dia menoleh, matanya menyapu wajahku sejenak. “Kenapa, lo nggak percaya?”
Aku menggelengkan kepala, merasa kaku dengan pertanyaan itu. “Bukan soal percaya, tapi… kita kayak… udah lama bareng, lo nggak merasa ada yang berubah?”
Dia tertawa pelan, suara tawanya mengalir begitu alami. “Perasaan lo yang berubah, Kal. Gue masih kayak yang dulu.”
Aku terdiam, perasaan itu seperti bola salju yang semakin besar. “Kenapa gue merasa… kita udah mulai menjauh, ya? Gue nggak ngerti, Zyel. Kita malah jadi kayak nggak bisa ngomong tentang ini.”
Azyel menatapku dengan tatapan yang lebih dalam dari sebelumnya. “Kita nggak harus ngomongin semuanya, Kal. Kalau lo nyaman seperti ini, kenapa harus diubah?”
Aku menatap laut, mencoba meresapi kata-katanya. Entah kenapa, meskipun dia bicara dengan santai, kata-katanya terdengar seperti jawaban yang sudah dipikirkan dengan matang. Azyel memang selalu seperti itu—tidak pernah membicarakan perasaan dengan kata-kata yang dalam, tetapi selalu ada di sana, dalam diamnya, dia tetap menjadi bagian dari hidupku.
Aku menarik napas panjang. “Jadi lo nggak mau ngomongin apa-apa lagi tentang ini?”
Azyel hanya tersenyum, senyum yang tetap sama—senyum yang tidak pernah bisa aku tafsirkan dengan pasti. “Gue lebih suka kalau kita nggak ribet soal perasaan. Kita jalanin aja, Kal.”
Aku menunduk, mencoba menerima kenyataan bahwa kadang-kadang, jawabannya memang tidak selalu datang dalam bentuk kata-kata. Namun, itu tidak membuatku merasa lebih baik. Karena, entah kenapa, dalam hati, aku tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan ini—sesuatu yang tidak pernah bisa kami ungkapkan.
Mungkin perasaan itu memang harus dibiarkan mengalir begitu saja, seperti ombak yang tak pernah berhenti di pantai ini. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai sadar, bahwa ada perasaan yang selalu ada, meski kami memilih untuk tidak mengatakannya.
Percakapan yang Tak Terucap
Kehidupan kami berjalan dengan cara yang sangat… biasa. Azyel dan aku masih menjalani rutinitas yang sama: pergi ke kafe, ngobrol soal hal-hal yang nggak penting, kadang tertawa, kadang terdiam, tapi selalu ada perasaan yang tak pernah benar-benar terucap. Aku merasa seperti berada di tengah lautan, tanpa tahu apakah aku sedang tenggelam atau justru mengapung.
Pagi itu, aku tiba lebih dulu di kafe. Duduk di meja yang sama, menunggu Azyel yang biasanya selalu terlambat. Aku menatap layar ponsel, mencoba membiarkan pikiranku teralihkan dari percakapan yang tak pernah usai di antara kami. Namun, saat melihat fotoku dan Azyel yang terambil di pantai beberapa waktu lalu, aku hanya bisa tersenyum miris. Foto itu menunjukkan senyum kami yang begitu lepas, tapi seiring berjalannya waktu, senyum itu terasa seperti ilusi.
Azyel datang lebih lambat dari biasanya. Seperti biasa, dia tidak menyapa dengan kata-kata berlebihan, hanya dengan senyum santainya yang entah mengapa selalu membuat hatiku sedikit lebih tenang. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan yang terasa di antara kami, meski kami berdua berusaha untuk tidak mengakuinya.
“Lo udah lama nunggu?” Azyel duduk di depanku, memesan kopi dengan nada suara yang terdengar agak cemas, meski dia berusaha tetap santai.
Aku menggeleng, menatap secangkir latte yang sudah agak dingin. “Enggak, baru sebentar.”
Dia menatapku sekilas, lalu mengalihkan pandangannya. “Ada yang mau lo omongin, Kal?”
Aku terdiam sejenak. Terkadang, Azyel tahu cara untuk membuatku merasa seperti semua ini bukan hanya tentang kata-kata yang terucap, tetapi tentang ketidakberdayaan untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih besar dari itu. Aku ingin bilang kalau aku capek dengan segala kerumitan ini. Tapi, aku juga tahu kalau kata-kata itu tidak akan menyelesaikan apa pun.
“Lo tahu kan, Zyel,” aku memulai dengan suara yang agak berat. “Kadang gue mikir, kenapa kita kayak cuma berputar di tempat, nggak pernah maju, nggak pernah mundur.”
Azyel mengangkat alis, lalu mengambil gelas kopinya dengan santai. “Emang lo pengen maju kemana, Kal? Kalau lo mau ngejar sesuatu, lo harus siap kehilangan apa yang ada di depan lo juga.”
Aku menatapnya tajam. “Lo selalu ngomong kayak gitu, Zyel. Gampang banget ngomong ‘siap kehilangan’. Tapi, lo nggak pernah bilang kalau lo takut kehilangan juga, kan?”
Azyel terdiam, sejenak merenung. Dia menatap secangkir kopinya, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat. “Kadang, kehilangan itu memang hal yang harus lo hadapi, Kal. Tapi kalau lo terus-terusan takut, lo nggak akan bisa maju.”
Aku menatapnya dengan hati yang bergejolak. “Tapi, Zyel… kalau gue terus berusaha dan gue masih nggak ngerti, apa yang harus gue lakuin? Kita nggak bisa cuma bilang ‘maju’, loh. Ada sesuatu yang lebih dalam dari itu.”
Azyel menunduk, menatap meja. Dia menghela napas pelan, seolah sedang berpikir keras. “Kadang, Kal… lo nggak perlu ngerti semua hal. Kalau lo terus mikirin semuanya, lo nggak akan tahu kapan waktunya untuk ngerasain hal-hal itu. Kadang perasaan itu datang, dan lo cuma perlu biarkan aja.”
Aku terdiam, merasa bingung dengan jawabannya. “Jadi, lo nggak mau ngungkapin apa-apa? Lo cuma mau jalanin aja tanpa pernah ada kejelasan?”
Dia menatapku dengan tatapan yang lebih dalam dari sebelumnya. “Gue nggak bilang nggak mau ngungkapin, Kal. Tapi kadang, kalau semuanya diungkapin, kita justru jadi takut kehilangan hal-hal yang kita punya sekarang.”
Itu kalimat yang bikin aku terdiam. Kalau dipikir-pikir, mungkin Azyel benar. Kadang kita terlalu fokus pada apa yang hilang sehingga kita lupa untuk menghargai apa yang masih ada di tangan kita. Tapi, entah kenapa, aku merasa kalau ini lebih dari sekadar soal kehilangan. Ini soal bagaimana perasaan itu bisa begitu besar, tetapi begitu sulit untuk diungkapkan.
Kami kembali terdiam. Cangkir kopi kami mulai habis, tapi suasana masih terasa kaku. Azyel yang biasanya selalu tahu cara mengalihkan perhatian, kali ini sepertinya merasa terjebak dalam ketidakjelasan yang sama. Aku bisa merasakan bahwa dia juga sedang berjuang dengan perasaannya sendiri. Namun, seperti biasa, dia lebih memilih untuk menghindar daripada menghadapi kenyataan.
Lama-kelamaan, aku merasa kalau Azyel sedang menyembunyikan sesuatu. Tidak hanya tentang perasaan kami, tapi tentang dirinya sendiri. Ada bagian dari dirinya yang tidak ingin dia tunjukkan, mungkin karena dia takut kalau itu bisa merusak semuanya yang sudah ada.
Tapi, aku mulai berpikir, apakah aku terlalu banyak berharap? Apakah aku sudah terlalu lama terjebak dalam bayang-bayang perasaan yang tak pernah terungkap? Kalau aku terus seperti ini, apakah aku akan selalu terjebak di antara kenyataan dan harapan yang tidak pasti?
“Zyel,” aku memanggilnya lagi, suaraku kali ini lebih lembut, lebih penuh dengan keraguan. “Apa yang bakal terjadi kalau kita terus begini? Apa yang akan kita hadapi?”
Dia menatapku dengan tatapan yang sulit terbaca, lalu tersenyum kecil. “Kita nggak perlu tahu, Kal. Yang penting, kita jalanin aja dulu.”
Jalanan itu semakin membingungkan. Aku tidak tahu kemana arah kami, dan mungkin, dia juga tidak tahu. Namun, entah kenapa, aku merasa bahwa meskipun kami belum menemukan jawabannya, perjalanan ini tidak akan pernah sia-sia.
Tentang Apa yang Terungkap
Aku tidak pernah benar-benar tahu apakah kita bisa menyebut apa yang terjadi antara aku dan Azyel sebagai hubungan. Kadang, rasanya lebih seperti perasaan yang terjebak di antara dua dunia—antara cinta yang terlalu takut untuk diungkapkan dan persahabatan yang terlalu kuat untuk dihancurkan. Aku sering berdebat dalam hati tentang apakah aku harus menerima kenyataan ini, atau apakah aku harus terus mencari cara untuk mengubah semuanya. Tapi semakin aku berusaha mencari jawabannya, semakin aku merasa bahwa terkadang, tidak ada jawaban yang perlu dicari.
Pagi itu, aku dan Azyel kembali bertemu, seperti biasa, di kafe tempat kami sering menghabiskan waktu. Suasananya terasa sedikit berbeda. Ada semacam ketenangan yang aneh, yang entah datangnya dari mana. Tidak ada canda tawa seperti biasanya, hanya sebuah keheningan yang terasa begitu dalam, begitu penuh arti.
Aku duduk di meja kami, menunggu seperti biasanya. Pikiranku melayang, mengingat kembali setiap perbincangan kami yang tampak biasa, tetapi selalu terasa jauh lebih dalam dari yang pernah aku bayangkan. Aku tahu, meski kami tidak pernah mengatakannya secara langsung, ada banyak hal yang kami simpan dalam hati masing-masing. Tetapi, apakah itu cukup untuk membuat kami maju? Aku masih belum tahu.
Azyel datang dengan langkahnya yang santai, menatapku dengan mata yang tampak lebih tajam daripada sebelumnya. Dia duduk, memesan kopi seperti biasa, dan tanpa berkata apa-apa, kami berdua hanya saling memandang, seolah-olah menunggu kata-kata pertama yang akan keluar.
“Kal,” akhirnya dia memulai, suaranya pelan tetapi pasti. “Gue nggak tahu gimana harus mulai, tapi gue pikir kita udah cukup lama begini, dan rasanya… gue nggak bisa terus-terusan gini.”
Aku menatapnya, menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya. “Gue tahu, Zyel,” jawabku pelan. “Gue juga nggak mau terjebak. Tapi kadang, gue ngerasa… kita nggak pernah cukup jelas satu sama lain.”
Dia menarik napas panjang. “Iya, gue ngerti. Gue takut, Kal. Takut kalau gue ngungkapin semuanya, gue malah kehilangan lo. Tapi gue juga nggak bisa terus begini.”
Aku merasa hatiku berdegup kencang, tidak karena takut, tapi karena ada perasaan lega yang tiba-tiba muncul. Ternyata, Azyel juga merasakannya—perasaan yang selama ini kami pendam. Akhirnya, semuanya mulai terasa lebih jelas.
“Lo tahu, gue nggak pernah bilang kalau gue takut kehilangan lo, kan?” Aku melanjutkan. “Tapi kadang, gue lebih takut kalau kita nggak pernah jujur satu sama lain. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue merasa kalau kita harus punya keberanian untuk ngomongin ini. Apa yang kita rasakan, apa yang kita takutkan, semuanya.”
Azyel menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Mungkin dia sedang mencoba mencari tahu apakah kata-kataku memang tulus, atau apakah ini hanya bagian dari permainan yang kami buat selama ini. Tapi kali ini, aku tidak ingin bermain lagi.
Azyel mengangguk pelan, senyum yang akhirnya muncul di wajahnya membuat semua ketegangan terasa sedikit berkurang. “Gue… nggak tahu apa yang harus gue lakuin setelah ini. Tapi satu hal yang gue tahu, gue nggak mau kehilangan lo, Kal. Gue nggak mau kita terjebak di antara ketakutan ini terus.”
Aku tersenyum, merasa beban di pundakku sedikit menghilang. “Mungkin kita nggak perlu punya semua jawabannya sekarang. Mungkin kita nggak perlu tahu ke mana ini akan berakhir. Yang penting, kita berani untuk bilang apa yang kita rasain. Itu aja.”
Azyel mengangguk lagi, lebih mantap kali ini. “Ya, lo bener. Gue siap buat itu, Kal. Gue nggak akan lari.”
Kami berdua duduk dalam diam yang nyaman, tidak lagi merasa terjebak dalam ketidakpastian. Ada sesuatu yang baru muncul di antara kami—bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang keberanian. Keberanian untuk menghadapi segala ketakutan dan keraguan, untuk membiarkan diri kami merasakan lebih dari sekadar kebingungan yang pernah ada.
Mungkin, ini bukan akhir dari semua ketegangan yang pernah kami rasakan. Mungkin ini baru awal dari perjalanan yang lebih panjang dan lebih rumit. Tetapi, setidaknya sekarang kami tahu satu hal—bahwa kadang, tidak ada yang lebih penting daripada memiliki keberanian untuk mengungkapkan apa yang kita rasakan, tanpa takut kehilangan.
Jadi, kadang kita nggak perlu semua jawaban atau kepastian buat ngerasain sesuatu yang berharga, kan? Mungkin cinta itu nggak selalu datang dengan cara yang gampang.
Tapi kalau kita punya keberanian buat jujur sama diri sendiri dan orang lain, siapa tahu semua jadi lebih jelas. Jadi, kalau kamu lagi merasa bingung di antara perasaan, inget aja—kadang, langkah pertama buat nyelesaikan semuanya cuma perlu satu kata: berani.