Kisah Cinta Cowok Dingin dan Cuek yang Tak Terucap

Posted on

Pernah nggak sih, ngerasa ada cowok yang keliatannya dingin banget, cuek, dan kayak nggak peduli sama sekali? Tapi entah kenapa, dia tuh punya cara yang aneh buat bikin hati kamu berdebar-debar, bahkan tanpa ngomong banyak.

Nah, ini dia ceritanya tentang seorang cowok yang jauh dari kata romantis, tapi justru punya daya tarik yang nggak bisa kamu elak. Terkadang, cinta itu nggak perlu kata-kata, cukup ada di hati dan di setiap tatapan yang tak terucap. Penasaran? Yuk, baca terus dan temuin gimana kisahnya berawal!

 

Kisah Cinta Cowok Dingin dan Cuek yang Tak Terucap

Tatapan di Balik Dingin

Pagi itu, Maharatu High School ramai seperti biasa, dan siswa-siswinya memenuhi setiap sudut lorong dengan cerita dan tawa. Di antara banyaknya murid yang melintas, perhatian orang-orang seakan berpusat pada satu orang: Aleki Refael. Ia berjalan dengan langkah yang tenang namun penuh karisma, menatap lurus ke depan dengan wajah yang selalu datar. Sesekali beberapa siswa menyapa, tapi Aleki hanya mengangguk sedikit atau bahkan tak menghiraukan. Pemandangan itu, bagi siswa lain, mungkin biasa saja, tapi bagi Kiara, Aleki terlihat berbeda.

Kiara baru tiga minggu pindah ke Maharatu High School, namun sosok Aleki sudah menjadi misteri baginya. Bukan karena ia tak pernah melihat cowok cuek sebelumnya, tapi Aleki adalah sesuatu yang lain. Siswa-siswa di Maharatu mengenalnya sebagai bintang sekolah, dengan prestasi gemilang dan pesona dingin yang membuat banyak orang terpesona. Namun, di balik semua itu, Aleki adalah teka-teki yang tak mudah dijangkau.

Hari itu, Kiara berjalan perlahan di lorong sambil membaca jadwal pelajaran yang baru ia dapatkan. Tanpa sadar, ia hampir bertabrakan dengan seseorang. Ia mengangkat pandangannya, dan di depannya, berdiri Aleki, memandang lurus ke arahnya. Tatapannya tajam, tetapi tanpa emosi.

“Maaf,” ucap Kiara terburu-buru, merasa canggung bertemu tatapan dingin itu dari dekat. Aleki hanya mengangguk singkat, tanpa ekspresi.

Kiara merasa aneh. Cowok itu tak mengatakan apa-apa lagi, bahkan tak bertanya atau terlihat tertarik dengan apa yang terjadi. Padahal, biasanya orang akan menanggapi atau paling tidak tersenyum. Tapi Aleki berbeda; ia seolah dikelilingi dinding es yang membuatnya tak terjamah.

Sepanjang hari, pikiran Kiara terus terganggu dengan pertemuan singkat itu. Di kelas, di kantin, bahkan saat jam istirahat, matanya tanpa sadar mencari sosok Aleki. Bukan karena dia tertarik secara romantis, tetapi karena rasa ingin tahunya yang tak biasa. Apa yang membuat cowok itu menjaga jarak dari semua orang? Apa yang ia sembunyikan di balik tatapan kosongnya?

Menjelang sore, Kiara memutuskan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah yang sepi, mencoba melupakan rasa penasarannya. Namun, tak disangka, di sana ia melihat Aleki lagi, duduk sendirian di bangku paling belakang, di sudut ruangan. Ia mengenakan headphone, tampak tenggelam dalam buku tebal yang penuh persamaan matematika rumit.

Rasa penasaran di hati Kiara semakin menguat. Setelah ragu sejenak, ia memutuskan untuk duduk di meja sebelahnya, dengan alasan mencari tempat tenang untuk membaca. Kiara mengambil sebuah buku dan berpura-pura fokus, tapi matanya sesekali mencuri pandang ke arah Aleki.

Saat Aleki mengangkat pandangannya, mata mereka bertemu lagi. Kiara nyaris terkejut, tetapi ia berusaha tersenyum. Aleki hanya menatapnya sebentar, lalu kembali pada bukunya tanpa berkata apa-apa. Seolah kehadiran Kiara sama sekali tak mengganggunya. Ada perasaan asing yang timbul di dalam hati Kiara. Mengapa cowok ini seolah selalu berada di dunianya sendiri?

“Buku yang kamu baca pasti menarik,” kata Kiara akhirnya, mencoba memecah keheningan.

Aleki tak langsung merespons, tapi setelah beberapa detik, ia melepaskan headphone-nya dan menoleh ke arahnya. “Kamu bilang apa?”

“Bukunya menarik?” Kiara mengulangi, kali ini dengan senyum kecil.

Aleki memandangi sampul buku di tangannya, seolah baru menyadari ia sedang membaca buku itu. “Iya, lumayan.”

Kiara menunggu kata-kata lebih lanjut, tapi Aleki tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya kembali menatap bukunya, dengan sikap yang seakan ingin menyelesaikan percakapan. Meski begitu, Kiara merasa ada celah di balik kesan dinginnya. Mungkin, jika ia mencoba sedikit lagi, ia bisa lebih dekat dengan Aleki—atau setidaknya, bisa memahami sedikit dari dunia sunyinya.

“Kenapa selalu di sini?” tanya Kiara lagi. “Bukannya ruang kelas atau taman sekolah lebih ramai?”

Aleki menatapnya sebentar, seolah mempertimbangkan jawabannya. “Karena di sini tenang.”

“Kamu nggak suka ramai, ya?”

Aleki hanya mengangkat bahu. “Ramai bukan berarti nyaman.”

Jawaban itu membuat Kiara berpikir sejenak. Ia belum pernah bertemu orang yang benar-benar seperti ini—seseorang yang begitu acuh terhadap lingkungan sekitar, namun tetap bisa terlihat memikat dengan caranya sendiri.

Saat perpustakaan mulai sepi, Aleki berdiri, merapikan bukunya, dan tanpa sepatah kata, mulai berjalan pergi. Kiara hanya bisa menatap kepergiannya, merasa sedikit kesal. Rasanya percakapan mereka baru saja dimulai, tapi Aleki sudah pergi begitu saja, meninggalkan tanda tanya di benak Kiara.

Keesokan harinya, saat jam istirahat, Kiara sedang berjalan di sekitar taman sekolah ketika ia mendengar melodi yang indah dari arah belakang gedung. Rasa penasaran membawanya mendekati sumber suara itu. Dan di sana, di bawah pohon besar, duduklah Aleki dengan gitar di pangkuannya, memainkan melodi yang tenang dan penuh emosi. Nada-nada itu mengalun seperti cerita, seolah Aleki berbicara lewat musiknya.

Kiara berhenti di kejauhan, tak ingin mengganggu. Mendengarnya, ia merasakan kehadiran sisi Aleki yang lain—sisi yang mungkin tersembunyi di balik dinding cuek dan dinginnya.

Tak lama, Aleki menyadari kehadiran Kiara dan berhenti bermain. Wajahnya masih sama, datar, namun kali ini dengan sedikit tatapan ingin tahu.

“Kamu suka mendengarkan?” tanyanya.

Kiara tersenyum. “Lagumu bagus. Kamu karang sendiri?”

Aleki menatap gitarnya sejenak, lalu mengangguk kecil. “Hanya iseng.”

“Aku nggak nyangka kamu bisa main gitar,” ucap Kiara, mencoba menggali lebih dalam.

“Ada banyak hal yang nggak semua orang tahu,” jawabnya, dengan nada yang sulit ditebak.

Mereka terdiam sejenak. Kiara masih berdiri di sana, sementara Aleki seolah tak terburu-buru untuk pergi. Di antara kesunyian dan obrolan yang terputus-putus, ada sesuatu yang mulai terbangun—sesuatu yang tak terlihat tapi nyata, seperti angin yang menghembus lembut di sela daun.

“Kalau kamu mau, kita bisa bicara lagi lain kali,” ucap Kiara, memberanikan diri mengajak Aleki untuk lebih terbuka.

Aleki tak menjawab. Ia hanya menatapnya, seolah mempertimbangkan, lalu mengangguk sekali. Tak ada janji yang dibuat, tak ada kata-kata manis yang terlontar, tapi Kiara merasa ia telah membuka sedikit pintu ke dunia Aleki.

Saat Kiara berjalan menjauh, Aleki menatap kepergiannya, dan untuk sesaat, ekspresi dinginnya tampak melunak. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia mempertimbangkan untuk membiarkan seseorang masuk ke dalam hidupnya, melewati dinding es yang selama ini ia bangun.

Di balik tatapan dingin dan sikap acuhnya, tersimpan harapan kecil yang nyaris tak terlihat, harapan untuk tidak lagi merasa sendiri.

 

Melodi yang Terpendam

Hari-hari berlalu, dan seperti yang Kiara harapkan, ia dan Aleki mulai lebih sering bertemu. Bukan karena pertemuan yang direncanakan, tetapi karena kebetulan-kebetulan kecil yang perlahan membawa mereka semakin dekat. Setiap kali mereka berpapasan di lorong atau berakhir di tempat yang sama, ada sejenak keheningan yang tak canggung lagi. Di perpustakaan, di taman sekolah, atau sekadar di bawah pohon besar tempat Aleki biasa bermain gitar, kehadiran Kiara mulai menjadi bagian dari rutinitas Aleki.

Siang itu, Kiara sedang membaca buku di taman sekolah ketika ia mendengar langkah kaki mendekat. Saat ia mendongak, Aleki sudah berdiri di sana, tampak seolah-olah ia tak sepenuhnya yakin mengapa ia datang.

“Boleh duduk?” tanyanya singkat.

Kiara tersenyum, mengangguk, dan memberi ruang di sebelahnya. Aleki duduk tanpa suara, dan mereka terdiam beberapa saat, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri. Tetapi, tidak lama kemudian, Kiara memberanikan diri untuk bertanya.

“Kamu lagi bikin lagu baru?” tanyanya dengan lembut.

Aleki memandang lurus ke depan. “Nggak ada yang spesial. Cuma main-main.”

“Main-main? Kamu tahu nggak sih, lagumu itu… ya, bagus banget. Kamu nggak pernah berpikir untuk tampil?”

Aleki menghela napas, tangannya menggenggam erat gitar di pangkuannya. “Aku nggak butuh tampil. Aku cuma pengen main musik buat diriku sendiri.”

Kiara terdiam. Ia mulai mengerti bahwa Aleki adalah tipe orang yang merasa nyaman berada di balik bayang-bayang. Ia bukan seperti kebanyakan anak seusianya yang senang jadi pusat perhatian. Bagi Aleki, musik adalah bagian dari dirinya yang tak perlu dipertontonkan. Namun, Kiara merasa sayang jika bakat Aleki hanya disimpan untuk dirinya sendiri.

“Kamu tahu, kadang-kadang orang lain juga perlu dengar musik yang kamu mainkan,” kata Kiara perlahan. “Musikmu punya cara buat orang lain merasa… tenang.”

Aleki menoleh padanya. “Kenapa kamu peduli?”

Pertanyaan itu sederhana, tapi Kiara merasa ada lapisan pertanyaan lain di baliknya. Kenapa ia peduli pada Aleki, seorang cowok yang dingin dan selalu tampak jauh dari jangkauan? Mengapa ia terus merasa tertarik untuk mendekati dinding yang Aleki bangun di sekelilingnya?

“Aku nggak tahu,” jawab Kiara jujur, sedikit tersenyum. “Mungkin karena aku suka musikmu.”

Aleki mengangguk pelan, menerima jawaban itu tanpa banyak komentar. Ia kembali memainkan gitar di tangannya, nada-nada lembut yang terasa hangat di antara keheningan mereka. Kiara merasa, meski tak ada kata-kata yang terucap, ada hubungan yang semakin kuat di antara mereka.

Di hari-hari berikutnya, Kiara mendapati dirinya semakin sering memperhatikan Aleki. Ia mulai menyadari kebiasaan-kebiasaan kecil Aleki—cara ia menatap langit ketika berpikir, bagaimana ia menghindari tatapan orang-orang di sekitarnya, serta caranya tersenyum, meski jarang sekali. Namun, ada satu hal yang terus mengganggunya: apa yang membuat Aleki begitu menjaga jarak?

Pada suatu sore, Kiara memberanikan diri bertanya langsung. Mereka sedang duduk di taman lagi, ketika Kiara menoleh padanya dan bertanya, “Aleki, kenapa kamu selalu menutup diri?”

Aleki tak langsung menjawab. Ia menatap Kiara dalam diam, ekspresi di wajahnya sedikit berubah, tapi masih sulit ditebak. “Menurutmu aku menutup diri?”

“Ya,” jawab Kiara, tanpa ragu. “Kamu selalu terlihat… jauh. Seolah-olah kamu nggak ingin orang lain masuk ke dalam hidupmu.”

Aleki menundukkan kepalanya, menatap gitar di pangkuannya. “Mungkin aku memang lebih suka sendirian.”

“Tapi bukankah setiap orang butuh teman?” tanya Kiara pelan. Ia merasa pertanyaannya mungkin terdengar biasa, tapi sebenarnya, itulah yang paling ingin ia tahu tentang Aleki.

Aleki terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab. “Aku sudah terbiasa begini, Kiara. Kadang aku merasa… lebih mudah nggak terlalu dekat sama orang lain.”

Kiara mengangguk, mencoba memahami. Ia tak tahu alasan di balik jawaban itu, tetapi ia bisa merasakan ada luka yang tersembunyi di balik kalimat-kalimat Aleki. Ia memutuskan tak menekan lebih jauh, memberi waktu bagi Aleki untuk membuka diri.

Namun, pertemuan mereka kali ini meninggalkan kesan yang lebih mendalam pada Kiara. Ia tahu ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik wajah dingin Aleki, dan ia bertekad untuk mengenal sisi-sisi lain dari cowok yang telah mencuri perhatiannya itu.

Beberapa hari kemudian, sekolah mengadakan acara pentas seni. Aula dipenuhi oleh siswa yang siap menyaksikan penampilan teman-temannya di atas panggung. Kiara, yang biasanya tak terlalu tertarik pada acara seperti ini, tiba-tiba teringat akan Aleki. Ia bertanya-tanya, mungkinkah Aleki akan tampil? Meski kecil kemungkinannya, namun ia tak bisa menahan rasa penasaran.

Saat ia sedang mencari tempat duduk, ia melihat Aleki di sudut ruangan, berdiri sambil membawa gitar. Jantung Kiara berdetak cepat. Ia tak percaya Aleki benar-benar ada di sini, dan terlebih lagi, ia tampak akan tampil.

Saat giliran Aleki tiba, ruangan itu hening. Semua orang memandang ke arah panggung dengan antisipasi, termasuk Kiara. Aleki menaiki panggung dengan langkah tenang, ekspresinya tetap datar. Ia mengatur gitarnya, lalu mulai memainkan melodi yang pernah Kiara dengar di taman.

Nada pertama terdengar lembut, diikuti oleh suara Aleki yang mulai bernyanyi. Kiara terpukau—suaranya begitu dalam, penuh emosi, berbeda dari ekspresinya yang dingin sehari-hari. Melodi itu mengalun memenuhi ruangan, menghanyutkan semua orang dalam dunia yang diciptakan oleh Aleki. Setiap kata, setiap nada, seolah-olah bercerita tentang sesuatu yang tersimpan di dalam dirinya.

Ketika lagu berakhir, aula itu hening sejenak sebelum tepuk tangan pecah dengan riuh. Aleki hanya membungkuk sedikit sebagai tanda terima kasih, lalu turun dari panggung tanpa banyak kata. Namun, dalam sekejap, semua orang mulai membicarakannya. Banyak yang terkejut, kagum, dan ada yang bahkan tak percaya bahwa cowok dingin seperti Aleki bisa memiliki bakat yang begitu mengagumkan.

Setelah acara selesai, Kiara segera mencari Aleki. Ia menemukannya di luar aula, berdiri sendirian sambil menatap langit malam. Kiara mendekat dan tersenyum.

“Kamu hebat tadi,” ucap Kiara penuh kekaguman.

Aleki hanya mengangguk. “Terima kasih.”

“Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu bisa tampil sehebat itu?”

Aleki mengangkat bahu. “Nggak ada yang perlu dibanggakan. Lagipula, aku nggak suka jadi pusat perhatian.”

Kiara tertawa kecil, merasa senang bisa berbagi momen ini dengannya. “Tapi kamu tahu nggak, tadi kamu membuat semua orang terkagum-kagum.”

Aleki menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya, Kiara melihat senyum kecil di sudut bibirnya. “Mungkin aku harus berterima kasih ke kamu.”

“Kenapa?” tanya Kiara, bingung.

“Kalau bukan karena kamu, mungkin aku nggak akan tampil di panggung tadi.”

Kiara terdiam, merasakan kehangatan menjalar di hatinya. Meskipun Aleki adalah sosok yang dingin dan tertutup, ia tahu kini ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Malam itu, di bawah langit malam yang tenang, mereka berdiri berdampingan tanpa banyak kata. Bagi Kiara, itu adalah awal dari sesuatu yang indah—dan bagi Aleki, mungkin itu adalah momen di mana ia mulai membiarkan orang lain masuk ke dalam hidupnya.

Di balik melodi yang ia mainkan, Aleki menyimpan sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dan di antara tatapan dinginnya, Kiara menemukan harapan yang selama ini tersembunyi.

 

Menerobos Batas

Malam itu menjadi titik balik. Setelah penampilan Aleki di panggung, semua orang di sekolah mulai membicarakannya. Aleki, yang biasanya hanya dikenal sebagai “si dingin tak tersentuh,” mendadak menjadi pusat perhatian. Namun, seperti dugaan Kiara, Aleki tampak tak peduli. Dia tetap menjalani harinya seperti biasa—cuek, tenang, dan berusaha menghindari sorotan. Tetapi, setiap kali ia melewati lorong, tatapan teman-teman sekelas, senyum kagum, dan bisikan kekaguman tak bisa dihindari.

Bagi Kiara, semua perhatian itu terasa seperti bumerang. Ia merasa orang-orang di sekelilingnya mulai sadar akan kedekatannya dengan Aleki. Meski ia senang bisa lebih mengenal Aleki, ia juga mulai merasakan beban dari tatapan penuh rasa ingin tahu teman-temannya.

Di saat orang lain membicarakan Aleki, Kiara merasa ada sisi lain dari Aleki yang hanya bisa ia pahami. Dan perasaan itu, meski samar dan perlahan, mulai mengakar dalam hatinya.

Siang itu, Kiara sedang duduk di taman, di tempat yang biasa ia dan Aleki datangi. Hari ini, ia berharap bisa bertemu dengan Aleki tanpa gangguan, hanya mereka berdua. Ia ingin tahu bagaimana perasaan Aleki setelah penampilannya, ingin tahu apakah Aleki menyadari betapa banyak orang yang sekarang mengaguminya.

Tiba-tiba, Aleki muncul dari balik pohon, tangannya masih setia dengan gitar yang hampir menjadi perpanjangan dirinya.

“Sedang nungguin siapa?” tanyanya sambil menyunggingkan senyum kecil, sesuatu yang semakin sering Kiara lihat sejak mereka mulai dekat.

Kiara tersenyum. “Mungkin nungguin kamu.”

Aleki duduk di sampingnya, menaruh gitarnya dengan hati-hati. Mereka terdiam sejenak, menikmati suasana taman yang tenang, jauh dari keramaian sekolah. Kiara merasa nyaman di samping Aleki, menikmati momen sederhana tanpa perlu kata-kata.

“Gimana perasaanmu setelah tampil?” Kiara akhirnya memberanikan diri bertanya.

Aleki mengangkat bahu. “Nggak ada yang berubah, sih. Cuma lebih banyak orang yang senyum atau bilang ‘hai’.”

“Dan kamu tetap cuek aja?”

Aleki menatap Kiara, senyumnya tipis namun ada ketegasan di matanya. “Aku nggak butuh semua itu, Kiara. Aku cuma pengen hidup tenang, nggak terlalu banyak diperhatikan.”

Kiara mengangguk. “Tapi mereka kagum, Aleki. Kamu tahu kan, nggak semua orang punya bakat kayak kamu. Nggak ada salahnya kalau kamu kasih tahu mereka kalau kamu punya sesuatu yang spesial.”

Aleki terdiam, menatap langit yang cerah. “Kadang aku merasa nggak perlu. Lagipula, orang-orang itu cuma lihat aku di panggung sesaat. Mereka nggak tahu siapa aku sebenarnya.”

Kiara tersenyum. “Kalau aku? Apa aku tahu siapa kamu sebenarnya?”

Aleki menghela napas, seolah mempertimbangkan jawaban yang tepat. “Kamu mungkin tahu lebih banyak dibanding yang lain,” jawabnya pelan, tanpa mengalihkan pandangannya dari langit. “Tapi bahkan aku sendiri nggak tahu apa yang sebenarnya aku cari.”

Jawaban itu membuat Kiara semakin penasaran. Ia tahu bahwa Aleki menyimpan banyak hal dalam hatinya, tetapi ia juga merasakan jarak yang terus dipertahankan Aleki, seolah-olah ia enggan membiarkan siapa pun masuk terlalu jauh.

Semakin hari, hubungan mereka berkembang. Kiara mulai merasakan bahwa ia adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Aleki sedikit membuka diri. Ia merasakan Aleki perlahan-lahan mulai mengizinkannya masuk ke dalam dunianya yang sunyi. Setiap kali mereka bertemu, percakapan mereka menjadi lebih mendalam, lebih personal, seolah-olah mereka berbicara tanpa kata-kata.

Namun, semua itu berubah suatu sore ketika Kiara melihat Aleki tengah berbicara dengan seorang cewek dari kelas sebelah. Cewek itu tersenyum manis pada Aleki, wajahnya penuh kagum, dan meski Aleki tampak biasa-biasa saja, pemandangan itu membuat hati Kiara berdenyut tak nyaman. Ia tak pernah menganggap Aleki hanya miliknya, tapi perasaan cemburu tiba-tiba muncul, tak bisa ditampik.

Saat cewek itu pergi, Kiara mencoba bersikap biasa ketika Aleki menghampirinya.

“Ada apa?” tanya Aleki, seolah bisa membaca suasana hati Kiara hanya dengan satu tatapan.

“Nggak ada apa-apa,” jawab Kiara sambil tersenyum tipis.

Namun Aleki tak mudah dikelabui. “Kiara, kamu nggak pandai menyembunyikan sesuatu.”

Kiara akhirnya mendesah pelan, tak sanggup membohongi dirinya sendiri. “Aku cuma… ya, kamu kan tahu banyak cewek di sekolah ini kagum sama kamu setelah lihat kamu tampil. Aku nggak masalah sih, cuma…”

Aleki mengangkat alis, menunggu kelanjutan kata-kata Kiara.

“Kadang aku takut kamu bakal jauh lagi dari aku,” akhirnya ia mengaku pelan.

Aleki terdiam sesaat, lalu menatapnya dengan tatapan lembut yang tak biasa. “Kiara, aku nggak pernah berubah. Kamu tahu aku nggak suka jadi pusat perhatian, dan aku lebih suka menghabiskan waktu dengan orang yang bisa bikin aku merasa nyaman.”

“Kamu nyaman sama aku?” tanya Kiara, suaranya nyaris berbisik.

Aleki mengangguk, matanya tak lepas dari Kiara. “Lebih dari yang kamu kira.”

Pernyataan itu membuat Kiara tersipu, hatinya terasa hangat. Selama ini, ia hanya menebak-nebak apa yang Aleki rasakan. Tapi kini, ia mulai memahami bahwa meski Aleki adalah sosok yang sulit ditebak, kehadiran Kiara adalah sesuatu yang membuatnya tetap tinggal.

Hari-hari berlalu, dan hubungan Kiara dengan Aleki semakin erat. Mereka mulai berbagi hal-hal yang lebih pribadi, termasuk cerita-cerita kecil tentang masa lalu mereka yang tak pernah diungkapkan kepada siapa pun. Kiara mengetahui bahwa Aleki sering merasa kesepian, meski ia dikelilingi banyak orang. Ia merasa, dalam banyak hal, Aleki adalah sosok yang sulit dipahami.

Pada suatu hari, Aleki mengajak Kiara ke sebuah tempat yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Di pinggir kota, ada sebuah bukit kecil yang menghadap ke lembah hijau. Dari tempat itu, mereka bisa melihat pemandangan kota dari kejauhan.

“Aku suka ke sini,” ujar Aleki, menatap jauh ke depan. “Di sini aku bisa merasa tenang. Kadang-kadang aku datang sendiri buat main gitar atau cuma duduk diam.”

Kiara tersenyum, merasa terhormat menjadi satu-satunya orang yang diizinkan masuk ke tempat spesial ini. Ia duduk di samping Aleki, menikmati keindahan pemandangan di hadapan mereka.

“Kamu nggak pernah cerita kalau kamu suka tempat-tempat kayak gini,” kata Kiara.

Aleki hanya tersenyum tipis, lalu mulai memainkan melodi lembut dengan gitarnya. Suaranya yang tenang menyatu dengan suasana sore yang damai. Kiara merasa seperti terseret ke dalam dunia lain, dunia yang hanya milik mereka berdua.

Saat lagu berakhir, Kiara menghela napas pelan. “Aleki, aku tahu kamu nggak suka terbuka. Tapi aku pengen kamu tahu, aku selalu ada buat kamu.”

Aleki menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ada rasa hangat di tatapan dinginnya. “Kiara, kamu mungkin satu-satunya orang yang bisa bikin aku merasa seperti ini.”

Mereka berdiam diri dalam hening, namun keheningan itu terasa penuh arti. Di balik sikap dingin Aleki, Kiara menemukan sisi lembut yang tersembunyi. Dan di balik perasaan yang selama ini ia pendam, ia menemukan kekuatan untuk terus berada di samping Aleki.

Di bukit itu, di bawah langit senja yang memudar, mereka tahu bahwa hubungan mereka telah melangkah ke arah yang lebih dari sekadar persahabatan.

 

Tanpa Kata, Hanya Perasaan

Pagi itu, cuaca terasa lebih cerah dari biasanya, meski awan masih menggantung rendah, menutupi langit dengan nuansa kelabu yang lembut. Namun, bagi Kiara, segala sesuatu terasa lebih terang—termasuk hatinya. Setelah hari-hari yang penuh kebingungan dan pencarian, ia akhirnya merasa seperti menemukan titik terang. Sebuah pemahaman bahwa apa yang ia rasakan, apa yang mereka miliki, bukanlah sekadar pertemuan dua dunia yang berbeda, melainkan sebuah ikatan yang lebih dalam.

Keputusan yang ada di tangannya sekarang bukanlah soal apa yang orang lain pikirkan atau katakan. Tidak juga soal harapan yang tak pasti. Tapi tentang pilihan yang ada dalam hatinya—untuk tetap berada di sisi Aleki.

Di sekolah, suasana tetap berjalan seperti biasa, tapi Kiara merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada ketenangan yang menyelubungi dirinya, dan rasanya, untuk pertama kalinya, ia tidak takut akan apa yang akan datang. Baginya, apa yang ada saat ini sudah cukup.

Aleki, seperti biasa, terlihat di lorong dengan penampilannya yang sederhana namun penuh pesona. Namun, yang berbeda adalah tatapan mereka. Mereka berdua tahu bahwa hubungan mereka tak lagi sama. Tidak ada lagi jarak yang sengaja dibangun, tidak ada lagi kebekuan. Semua terasa lebih nyata, lebih tulus.

Kiara menghampiri Aleki yang sedang duduk di bangku taman, seperti yang selalu mereka lakukan. Tangan Aleki masih memegang gitar kesayangannya, dan saat Kiara mendekat, ia berhenti sejenak, menatapnya dengan tatapan yang lebih dalam dari biasanya.

“Aku pikir, kita sudah lama nggak ngobrol tanpa gangguan,” kata Aleki, suaranya lebih ringan dari sebelumnya.

Kiara tersenyum dan duduk di sampingnya, tanpa ada kata-kata yang perlu diucapkan. Mereka hanya saling memandang, berkomunikasi tanpa suara, merasa nyaman dalam keheningan yang mereka bagi.

“Gimana kalau kita lupakan semua yang ada di luar sana?” Aleki bertanya, memecah hening yang sudah terlalu lama menggantung di antara mereka. “Fokus sama kita, apa adanya.”

Kiara mengangguk pelan, seolah mengerti tanpa perlu penjelasan lebih lanjut. “Aku sudah melupakan semuanya. Yang penting sekarang hanya kita, Aleki.”

Aleki mengalihkan pandangannya dari Kiara dan menatap gitar di tangannya. Ia memainkan beberapa senar dengan lembut, dan lagu itu mengalir begitu natural, tak terencana. Lagu itu bukan hanya melodi, tapi sebuah pesan—tentang keberanian, tentang ketulusan, tentang rasa yang perlahan terungkap.

Kiara memejamkan mata, mendengarkan dengan seksama. Mungkin ini yang dimaksud Aleki—keheningan yang membawa kedamaian, kata-kata yang tak perlu diucapkan karena semuanya sudah jelas. Di dunia yang sering kali membuatnya merasa kehilangan arah, kini Kiara merasa seperti menemukan tempat yang tepat untuk dirinya.

Hari-hari berlalu, dan meskipun dunia di luar terus berputar dengan segala hiruk-pikuknya, Kiara dan Aleki memilih untuk tetap berada dalam dunia mereka. Mereka tidak terburu-buru untuk memberi label pada hubungan mereka, karena baginya, tidak ada yang lebih penting daripada saling memahami dalam diam.

Aleki mungkin tidak pernah mengungkapkan perasaan dengan kata-kata yang romantis, tetapi Kiara tahu lebih dari itu. Setiap senyuman, setiap tatapan, dan setiap moment kecil bersama Aleki adalah cara dia mengungkapkan apa yang tak terucapkan. Dan itu sudah cukup baginya.

Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, Kiara dan Aleki duduk di bangku taman yang sama, menikmati keheningan yang terasa akrab. Tanpa kata-kata, mereka saling berbagi dunia mereka—sebuah dunia yang mereka pilih untuk dibangun bersama, tanpa tekanan, tanpa paksaan.

“Aleki…” Kiara memulai, namun kalimatnya terhenti saat ia merasakan sebuah tanggapan lembut dari Aleki. Ia menoleh dan menemukan Aleki tersenyum tipis.

“Jangan khawatir,” kata Aleki dengan suara yang penuh ketenangan. “Aku tahu kamu ada di sini. Itu lebih dari cukup.”

Kiara menatapnya, merasa sebuah perasaan yang sulit diungkapkan. Ia tak lagi mencari kata-kata. Dalam hatinya, ia tahu, mereka sudah saling mengerti.

Mereka tidak perlu berkata apa-apa lagi, karena perasaan yang ada di antara mereka lebih dari cukup untuk menjelaskan segalanya. Mereka hanya tinggal bersama dalam hening, menyadari bahwa kehadiran satu sama lain sudah mengisi banyak kekosongan yang pernah ada.

Dan pada akhirnya, seperti gitar yang dimainkan dengan lembut, mereka menyadari bahwa hubungan mereka tak perlu dibicarakan dengan kata-kata yang besar. Cukup dengan perasaan yang ada di hati, yang tahu kapan untuk menyentuh dan kapan untuk diam. Itu adalah sebuah pemahaman yang lebih dalam daripada apa pun yang bisa dijelaskan dengan ucapan.

Di dunia yang sibuk ini, Kiara dan Aleki menemukan kedamaian—tanpa perlu berteriak, tanpa perlu berlari. Mereka hanya berjalan bersama, selangkah demi selangkah, dalam diam yang penuh makna.

Dan, dalam diam itu, mereka tahu—mereka sudah menemukan tempat mereka di dunia ini.

 

Jadi, gimana? Kadang, cinta tuh memang nggak perlu kata-kata atau tindakan yang berlebihan. Cukup dengan keberadaan dan perhatian yang sederhana, hati bisa jadi merasa lebih dari cukup.

Mungkin cowok dingin dan cuek kayak Aleki emang nggak gampang dimengerti, tapi siapa sangka, di balik semua itu, ada cara tersendiri buat nunjukin perasaan. Kadang, yang paling berarti itu yang nggak perlu diucapin, kan?

Leave a Reply