Daftar Isi [hide]
Kamu pernah nggak sih, ngerasa terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama berat? Yang satu kayak jalan yang udah jelas, tapi hatimu lebih milih jalan yang penuh rintangan.
Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke kisah cinta yang nggak cuma soal romansa, tapi juga tentang pilihan hidup yang harus dihadapi dengan hati yang ikhlas. Siapa yang sangka, cinta bisa tumbuh di tengah takdir yang rumit? Yuk, simak kisah Hikmah dan Kamil!
Kisah Cinta Abasiyyah
Taman Hikmah di Bawah Langit Baghdad
Baghdad sedang memamerkan kemegahannya di bawah langit biru yang jernih. Suara air mancur dari taman istana Khalifah terdengar lembut, seolah menjadi irama pengantar bagi burung-burung yang terbang rendah di antara pepohonan. Di sudut taman itu, seorang gadis duduk di atas hamparan rumput yang tertata rapi, sebuah buku tafsir besar berada di pangkuannya. Wajahnya memancarkan cahaya ketenangan, namun ada keingintahuan yang tergambar jelas di matanya.
Dia adalah Hikmah binti Abu Nawfal, putri dari salah satu wazir kepercayaan Khalifah. Dengan pakaian indah berwarna zamrud yang dihiasi sulaman emas, Hikmah tampak seperti perwujudan kesempurnaan seorang wanita Abasiyyah. Namun, di balik keanggunan itu, ada satu sisi Hikmah yang jarang diketahui orang—ia mencintai ilmu dan senang mendalami ajaran agama.
Langkah kaki terdengar mendekat. Kamil, seorang pemuda berusia pertengahan dua puluhan, membawa nampan berisi air dan beberapa kurma. Pakaiannya sederhana, namun terlihat rapi dan bersih, menunjukkan bahwa ia adalah seorang pelayan istana. Meski statusnya jauh dari keluarga istana, tutur katanya selalu penuh hormat, dan wawasannya tentang agama membuatnya dihormati oleh siapa pun yang mengenalnya.
“Kamu sudah lama di sini, Hikmah?” Kamil meletakkan nampan itu di atas meja kecil di dekat tempat Hikmah duduk. Suaranya lembut, tidak menyinggung, tapi cukup untuk memecah keheningan.
Hikmah mengangkat wajahnya, tersenyum kecil. “Belum lama, Kamil. Aku hanya ingin membaca ini di bawah langit yang indah.” Dia menunjuk buku tafsir di pangkuannya. “Tapi, sejujurnya, aku terhenti di satu bagian. Tentang makna sabar. Aku merasa pemahamanku belum cukup.”
Kamil mendekati meja, memastikan posisinya tetap sopan. Ia menatap buku itu sejenak sebelum berkata, “Sabar bukan hanya menunggu waktu berlalu, Hikmah. Tapi juga menerima segala sesuatu dengan ikhlas, tanpa melupakan usaha. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.’ Itu bukan janji yang ringan, tapi perintah untuk terus mendekatkan diri pada-Nya.”
Hikmah mendengarkan dengan saksama. Ada sesuatu dalam cara Kamil menjelaskan yang membuat hatinya tenang. “Jadi, kamu pikir, sabar itu lebih dari sekadar menunggu? Itu tindakan?”
“Iya,” jawab Kamil, matanya menatap taman yang dipenuhi bunga mawar. “Sabar itu seperti merawat bunga-bunga ini. Kamu menyiram, menjaga dari hama, dan menunggu waktu mekar. Tapi selama itu, kamu tidak hanya diam, kan? Kamu terus merawatnya.”
Hikmah tertawa kecil, suaranya seperti lonceng halus di tengah angin sepoi-sepoi. “Kamu selalu punya cara untuk membuat hal rumit terdengar sederhana.”
Kamil menundukkan kepala sedikit, tersenyum sopan. “Aku hanya mengulang apa yang kupelajari, Hikmah. Ilmu itu bukan milikku, tapi amanah yang harus kubagikan.”
Obrolan mereka terhenti sejenak ketika seekor burung pipit hinggap di atas meja, mematuk sedikit serpihan roti yang tertinggal. Hikmah memandang burung itu dengan penuh perhatian, lalu berbisik, “Kamil, menurutmu, burung ini juga bersabar dalam hidupnya?”
Kamil tersenyum, melihat burung itu terbang kembali ke cabang pohon. “Tentu saja. Burung ini bersabar mencari makan, membangun sarang, menjaga anak-anaknya. Bahkan ketika angin kencang datang, ia tidak menyerah. Sabar itu fitrah, Hikmah. Kita hanya perlu mengingatnya.”
Mata Hikmah melembut. Ia tak bisa memungkiri kekagumannya pada pemuda di depannya. Kamil selalu bisa menjawab pertanyaannya dengan penuh kehangatan dan makna. Namun, dalam hatinya, ia tahu ada batas yang harus ia jaga. Kamil bukanlah seorang bangsawan. Dia hanya seorang pelayan, meski ilmunya melampaui banyak orang terhormat di istana.
“Kamil,” suara Hikmah sedikit ragu, “kamu pernah merasa sabar itu sulit?”
Kamil menoleh, menatapnya dengan pandangan tenang. “Aku manusia biasa, Hikmah. Ada saatnya aku merasa berat, terutama ketika berhadapan dengan sesuatu yang aku tahu tidak bisa kumiliki.”
Hikmah terdiam. Kata-kata itu seperti menghentak hatinya, seolah ada makna yang lebih dalam di baliknya. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, seorang pelayan lain datang memanggil Kamil untuk kembali ke dapur istana.
“Sampai jumpa lagi, Hikmah. Jika kamu butuh sesuatu, aku selalu di sini,” ucap Kamil sebelum pergi.
Hikmah mengangguk pelan, memperhatikan sosok Kamil yang berjalan menjauh. Hatinya bergemuruh dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Cinta itu mungkin belum terucap, tapi ia tahu, rasa itu ada, tumbuh di tengah batasan dan keikhlasan.
Hari itu, angin Baghdad berhembus lebih lembut, seolah ikut menyimpan rahasia dua hati yang mulai terikat dalam diam.
Diamnya Hati, Doanya Cinta
Matahari mulai merunduk di balik horison, menyisakan langit yang berwarna keemasan di atas kota Baghdad. Pagi yang tenang itu terasa berbeda. Hikmah duduk di salah satu sudut istana, menatap jendela besar yang menghadap ke luar, melihat para pedagang yang berlalu lalang di pasar. Setiap detik yang berlalu terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang tak terucap namun membebani dadanya. Ia kembali teringat percakapan dengan Kamil beberapa hari lalu. Kata-kata itu terus berputar di pikirannya. “Aku manusia biasa, Hikmah. Ada saatnya aku merasa berat, terutama ketika berhadapan dengan sesuatu yang aku tahu tidak bisa kumiliki.”
Hikmah menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu Kamil berbicara dengan tulus, tapi perasaan itu—perasaan yang tumbuh di dalam hatinya—selalu datang dengan kebingungan. Tidak ada kata yang bisa mengungkapkannya. Di sisi lain, Hikmah merasakan kedamaian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, ketika dekat dengan Kamil. Kehadirannya mengingatkan Hikmah pada ketenangan dan ketulusan yang sering ia cari dalam doa-doanya.
Tapi, apa yang sebenarnya ia inginkan? Cinta yang datang tanpa diminta, ataukah sebuah pengabdian pada tugas yang lebih besar? Ia berpikir keras. Terkadang, rasa itu datang begitu saja, seperti angin yang tak bisa dikendalikan. Hikmah tahu dirinya harus menjaga jarak, tetapi hatinya tetap bertanya, Apakah rasa ini salah?
Sementara itu, di sisi lain istana, Kamil tengah duduk di sudut ruangan dapur. Sesekali, ia menatap keluar, memikirkan hal yang sama. Ia tahu betul siapa Hikmah. Putri dari keluarga terhormat, seorang wanita yang memiliki segala yang bisa dimiliki oleh dunia ini. Baginya, Hikmah adalah seorang yang luar biasa, penuh dengan ilmu, dengan ketulusan hati yang jarang ditemukan di kalangan bangsawan. Namun, ia juga sadar bahwa perbedaan status mereka adalah jurang yang dalam.
Pagi itu, Kamil menemui ayahnya yang juga seorang pelayan istana. Mereka berbicara dengan suara pelan, hanya saling mendengarkan. Sang ayah, yang telah lama bekerja di istana, memberikan nasihat kepada anaknya yang sering terdiam. “Kamil, hidup ini bukan tentang siapa yang kita inginkan, tapi tentang siapa yang Allah takdirkan untuk kita. Jika suatu saat Allah mempertemukan kamu dengan seseorang yang mengisi hatimu, maka bersyukurlah. Tapi ingat, kamu tidak hidup untuk sekadar mengikuti perasaan. Tugasmu adalah untuk menjaga hatimu dan memilih jalan yang benar.”
Kamil mendengarkan setiap kata-kata ayahnya dengan seksama. Ia tahu bahwa jalan hidupnya penuh dengan ujian. Cinta yang datang begitu tulus pada Hikmah adalah sesuatu yang tak bisa ia ingkari. Namun, ia juga tahu bahwa cintanya harus disertai dengan kesabaran yang lebih besar. Kesabaran untuk menjaga hati, untuk tidak melangkah lebih jauh dari batas yang telah ditentukan.
Hari-hari berlalu dengan langkah yang lebih hati-hati bagi mereka berdua. Setiap pertemuan terasa singkat, dan setiap percakapan membawa kedamaian yang dalam, namun juga rasa rindu yang semakin mendalam. Tanpa ada yang mengungkapkan, Hikmah dan Kamil mulai tahu bahwa rasa ini lebih dari sekadar persahabatan. Mereka saling menghormati, saling menjaga jarak, namun hati mereka terikat dalam cara yang tak bisa dipahami.
Pada suatu sore, saat langit Baghdad mulai berubah menjadi ungu kemerahan, Hikmah memutuskan untuk berjalan-jalan di taman istana sendirian. Ia membutuhkan udara segar, pikiran yang tenang, dan mungkin sedikit penjelasan untuk dirinya sendiri tentang perasaannya. Langkah kakinya membawa ke taman yang sama tempat mereka bertemu beberapa hari yang lalu.
Tak lama kemudian, ia mendengar langkah kaki yang akrab. Kamil. Pemuda itu tampaknya sedang bertugas mengambil air dari sumur istana. Melihat Hikmah yang duduk di bawah pohon anggur, Kamil menghampiri, menjaga jarak dengan penuh kesopanan. “Hikmah, apakah kamu ingin berbicara?”
Hikmah menatap Kamil dengan pandangan yang dalam, seolah ingin mengungkapkan segala hal yang menggelayuti hatinya. “Kamil… ada sesuatu yang ingin aku katakan,” suara Hikmah lembut namun tegas. “Aku tidak tahu apakah ini benar atau salah, tapi hatiku penuh dengan perasaan yang sulit untuk aku bendung.”
Kamil berdiri diam, menatapnya dengan penuh perhatian. “Hikmah, aku—”
“Tidak perlu menjawab sekarang, Kamil,” potong Hikmah cepat. “Aku hanya ingin berbicara denganmu, tanpa ada jarak, tanpa ada batas. Aku ingin kita menjadi seutuhnya dalam perasaan ini, apapun yang terjadi.”
Kamil merasa kata-kata itu menembus hatinya. Ada keberanian dalam suara Hikmah yang sebelumnya jarang ia dengar. Keberanian untuk mengungkapkan sesuatu yang sudah lama disimpan di dalam. Kamil tahu, ini adalah ujian yang lebih besar daripada apa pun yang pernah ia hadapi. Ia ingin berbicara, tetapi ia juga ingin memastikan bahwa apapun yang terjadi, mereka akan tetap berada pada jalan yang benar.
“Aku akan selalu ada di sini, Hikmah. Untukmu, dan untuk segala hal yang baik,” jawab Kamil dengan suara yang tenang namun penuh arti.
Keheningan itu membalut mereka berdua. Mereka duduk bersama dalam diam, memandang langit yang perlahan-lahan berubah warna, dan merasakan bahwa perasaan yang tumbuh ini bukan hanya milik mereka. Ia adalah anugerah yang harus dijaga, bahkan ketika tak ada satu kata pun yang bisa mengungkapkan betapa besar arti kehadiran satu sama lain.
Di Antara Janji dan Takdir
Hari-hari semakin panjang, namun Hikmah merasa waktu berjalan begitu cepat saat Kamil ada di dekatnya. Mereka semakin sering bertemu, meski dalam keadaan yang tidak terlalu mencolok, hanya di sela-sela rutinitas sehari-hari di istana. Hikmah sering kali merasakan tatapan Kamil yang penuh pengertian, yang kadang terasa seperti perasaan yang tak terucap namun begitu kuat. Seperti ada ikatan tak kasat mata yang menghubungkan mereka.
Namun, meski hubungan mereka semakin erat, Hikmah masih merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Seperti ada bagian dari dirinya yang enggan untuk menyerah pada perasaan itu. Sebagai seorang wanita terhormat dari keluarga besar, ia tahu ada batasan yang tak bisa ia lewati. Kamil, dengan segala ketulusan dan kesederhanaannya, berada di luar batas itu.
Pada suatu pagi, Hikmah duduk di taman istana, merenung, mencoba mencari jawaban atas segala keraguan yang menggelayuti hatinya. Ketika itu, Kamil menghampiri dengan membawa sekeranjang bunga mawar segar. Dengan senyum kecil, ia meletakkan bunga itu di meja dekat Hikmah.
“Hikmah, ini untukmu. Mawar ini—seperti halnya perasaan yang tumbuh di antara kita. Tumbuh dengan penuh kesabaran,” kata Kamil sambil meletakkan bunga-bunga itu dengan hati-hati.
Hikmah memandangnya, bibirnya tersenyum tipis. “Kamil, kenapa kamu selalu mengungkapkan hal-hal dengan begitu indah? Mawar ini… ini bukan sekadar bunga, kan? Kamu ingin aku mengerti sesuatu?”
Kamil duduk di sebelahnya, tetap menjaga jarak, meskipun suasana mereka terasa begitu akrab. “Mawar ini simbol dari ketulusan dan harapan. Aku tahu, perasaan yang kita miliki itu lebih besar dari sekadar kata-kata. Aku hanya ingin kamu tahu, Hikmah, bahwa aku akan selalu ada untukmu, meskipun aku tahu aku tak bisa mengganti takdirmu.”
Hikmah menunduk, tangannya memegang salah satu kelopak mawar, merasakannya sejenak. “Kamil, aku… aku tahu takdir itu tidak bisa kita ubah. Tapi aku tak bisa menahan perasaan ini. Terkadang, rasanya aku ingin lebih dari sekadar teman atau saudara. Tetapi aku juga sadar, kita tak bisa melawan kenyataan. Aku tidak bisa mencintaimu, Kamil. Aku tidak bisa merusak kehormatan kita, kehormatan keluargaku.”
Kamil menatapnya dengan mata yang dalam, penuh pengertian. “Hikmah, aku tahu siapa kamu. Kamu adalah wanita yang luar biasa. Tapi, aku juga tahu bahwa perasaan ini—perasaan yang tumbuh di dalam hati kita—bukan sesuatu yang bisa kita sembunyikan selamanya. Kita tak bisa memaksakan takdir, tapi kita bisa memilih bagaimana kita berjalan dengannya.”
Di hadapan Kamil, Hikmah merasa hati dan pikirannya begitu kalut. Terkadang, ia ingin melupakan perasaan ini, kembali ke kehidupannya yang biasa, yang penuh dengan pelajaran dan tugas agama. Namun, di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang terus menariknya kepada Kamil. Perasaan yang tak bisa ia jelaskan, yang membuatnya merasa hidup dan lebih kuat.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari kejauhan. Seorang pelayan datang menghampiri mereka, membungkuk sedikit di depan Hikmah. “Maaf, Tuan Putri, Ayahmu meminta Anda segera datang ke ruangannya.”
Hikmah mengangguk dan berdiri, tetapi hatinya masih terikat pada percakapan itu. “Terima kasih, Kamil,” kata Hikmah, dengan senyuman kecil. “Aku… aku akan memikirkannya, dan aku harap kamu juga bisa menerima apapun yang terjadi.”
Kamil hanya tersenyum, meskipun ada rasa kecewa yang samar di matanya. “Aku akan menunggu, Hikmah. Apa pun keputusanmu, aku akan selalu menghormatinya.”
Hikmah berjalan menjauh, meninggalkan taman yang begitu indah, tapi hatinya terasa berat. Ketika ia melangkah ke ruang pertemuan dengan ayahnya, pikirannya masih tertinggal di taman itu, di tempat di mana perasaan yang tak terucapkan semakin menguat.
Sesampainya di ruang pertemuan, Ayah Hikmah, Wazir Abu Nawfal, sedang duduk di meja besar, memeriksa sejumlah gulungan dokumen. Ketika melihat putrinya masuk, ia tersenyum lembut. “Hikmah, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.”
Hikmah duduk di depan ayahnya, menyadari bahwa pembicaraan ini mungkin tidak akan mudah. “Apa itu, Ayah?”
“Rencana pernikahanmu,” jawab Ayahnya, matanya penuh perhatian. “Ada seorang pemuda dari keluarga besar yang mengajukan lamaran. Dia datang dengan membawa surat dari keluarganya, meminta persetujuan kita.”
Hikmah terdiam. Hatinya mendalam, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam dada. Kamil, pemuda yang begitu ia kagumi, mungkin tidak akan pernah bisa ia pilih. Di hadapan ayahnya, Hikmah merasa terbebani oleh keputusan ini. Namun, dalam hatinya, ada bisikan kecil yang terus mengatakan bahwa pilihan itu mungkin tidak akan mudah.
“Ayah… aku tidak tahu apa yang harus kukatakan,” suara Hikmah gemetar. “Aku tidak ingin menikah hanya karena ini perintah. Aku ingin ada cinta, ayah. Aku ingin menikah dengan seseorang yang bisa aku cintai, yang bisa membuat hatiku tenang.”
Ayahnya memandangnya dengan penuh kasih. “Anakku, hidup ini penuh dengan ujian. Kita tidak selalu bisa mendapatkan apa yang kita inginkan. Tetapi yang terpenting adalah kita bisa menerima takdir dengan penuh sabar. Cinta bukan hanya tentang perasaan, Hikmah. Cinta adalah tentang kesetiaan dan pengabdian.”
Hikmah menunduk, meresapi kata-kata ayahnya. Di luar sana, dunia sedang berubah. Cinta dan takdir berjalan beriringan. Tetapi apakah ia cukup kuat untuk menjalani jalan yang sudah ditentukan? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Takdir yang Terungkap
Beberapa minggu telah berlalu sejak pertemuan dengan ayahnya tentang pernikahan yang telah diatur. Hikmah masih merasa terombang-ambing antara kewajiban dan perasaan pribadinya. Seiring waktu, ia merasa semakin tertekan oleh pilihan yang ada di depan matanya. Kamil, dengan segala ketulusan dan pengorbanannya, tetap ada di pikirannya, meskipun ia tahu bahwa jalan yang ia pilih tak akan pernah bisa mengubah takdir yang sudah digariskan.
Suatu malam, setelah selesai menjalankan ibadah malam di masjid, Hikmah berjalan kembali ke rumah istana dengan langkah berat. Udara malam yang sejuk membuat pikirannya sedikit lebih jernih. Namun, tiba-tiba, langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara yang familiar, suara yang selalu mampu menenangkan hatinya.
“Kamu masih memikirkan semuanya, ya?” suara itu datang dari belakangnya.
Hikmah menoleh dan melihat Kamil berdiri di bawah cahaya rembulan. Matanya yang tajam menatapnya dengan penuh perhatian, seakan mampu membaca setiap gelombang perasaan di dalam dirinya.
“Kamil… aku…” Hikmah berhenti, kata-katanya terhenti di tenggorokan. Ia tak tahu harus memulai darimana. Apa yang harus ia katakan pada pria yang begitu ia pedulikan namun tak bisa ia miliki?
Kamil mendekat dengan langkah pelan, senyum di wajahnya tidak pernah pudar. “Aku tahu, Hikmah. Kamu sedang terjepit antara takdir dan perasaanmu. Tapi percayalah, aku akan selalu ada di sini, apapun yang terjadi.”
Hikmah menghela napas panjang. Ia bisa merasakan setiap kata yang diucapkan Kamil, menyentuh relung hatinya yang terdalam. “Kamil, aku tahu. Tapi ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang keluarga, tentang kehormatan, tentang tanggung jawab yang lebih besar. Aku tidak bisa hanya mengikuti apa yang hatiku inginkan.”
Kamil mendekat, sekarang hanya beberapa langkah darinya. Wajahnya tampak lebih serius, namun ada keteguhan yang terpancar di matanya. “Hikmah, takdir memang tidak selalu bisa kita pilih. Tapi kita tetap bisa memilih bagaimana kita menjalani hidup ini. Aku tidak ingin kamu menyesal karena menahan perasaan ini. Tidak ada yang lebih berharga dari sebuah pilihan yang kita buat dengan hati yang bebas.”
Hikmah menatap Kamil dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Tapi aku takut, Kamil. Takut akan konsekuensi, takut jika semuanya akan berakhir buruk. Aku tidak ingin menghancurkan apa yang sudah aku bangun selama ini.”
“Jika takdir memisahkan kita, maka itu adalah keputusan yang harus kita terima. Tetapi setidaknya, kita bisa menatap matahari dengan kepala tegak, karena kita sudah berusaha dengan sepenuh hati,” jawab Kamil, suaranya penuh dengan keyakinan.
Hikmah merasakan hatinya bergetar, seperti ada sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. Ada rasa yang begitu kuat yang tumbuh dalam dirinya, namun juga ada ketakutan yang begitu dalam. “Kamil… jika aku memilihmu, apakah kita akan selalu bahagia? Apakah aku akan bisa menghadapinya?”
Kamil tersenyum lembut, wajahnya bersinar dalam cahaya rembulan yang jatuh di atas mereka. “Hikmah, kebahagiaan bukanlah jaminan. Tapi yang aku janji adalah, aku akan selalu ada untukmu. Aku akan menjaga dan mencintaimu dengan segenap jiwa.”
Hikmah menunduk sejenak, merenungkan kata-kata Kamil. Dalam hati, ia tahu bahwa perasaan ini lebih dari sekadar perasaan biasa. Kamil bukan hanya seorang pria yang ia temui di istana, tetapi seseorang yang sepertinya sudah ditakdirkan untuk masuk dalam hidupnya. Di matanya, Hikmah melihat ketulusan yang tak bisa ia temukan di tempat lain.
“Baiklah,” kata Hikmah akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku akan memilihmu, Kamil. Aku ingin hidup dengan kejujuran dan dengan hati yang bebas. Jika takdir memisahkan kita suatu hari nanti, setidaknya kita tahu bahwa kita telah mencoba.”
Kamil mendekat dan dengan lembut meraih tangannya, memegangnya dengan penuh rasa syukur. “Aku akan selalu menjaga pilihanmu, Hikmah. Tidak ada yang lebih berarti selain cintaku padamu.”
Malam itu, di bawah sinar rembulan yang menyinari istana yang megah, Hikmah dan Kamil berdiri bersama, tak lagi terpisah oleh takdir yang sempit. Mereka memilih untuk berjalan bersama, menatap masa depan dengan penuh harapan dan cinta yang tulus. Mungkin perjalanan mereka akan penuh dengan rintangan, tetapi untuk pertama kalinya, Hikmah merasa bahwa ia siap menghadapi apapun yang datang. Karena bersama Kamil, ia tahu bahwa kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang dapat dijamin, tetapi sesuatu yang ditemukan melalui keberanian untuk memilih dan mencintai dengan sepenuh hati.
Dan di saat itu, takdir pun terasa lebih manis, lebih indah, dan penuh dengan janji yang akan terus berkembang seiring waktu.
Dan begitulah, terkadang hidup memang nggak bisa diprediksi. Takdir datang dengan cara yang berbeda-beda, namun yang terpenting adalah bagaimana kita memilih untuk menjalani perjalanan itu. Cinta, meski datang dengan segala tantangannya, tetap punya cara untuk tumbuh dan bertahan.
Seperti Hikmah dan Kamil yang memilih berjalan bersama meski penuh ketidakpastian, mungkin kita juga bisa belajar untuk tidak takut memilih hati, dan percaya bahwa kebahagiaan sejati itu datang dari keberanian untuk mencintai dengan sepenuh jiwa.