Daftar Isi
Kamu pernah merasa hidupmu nggak ada ujungnya? Kayak kamu terus jalan tanpa tahu pasti apa yang dicari? Nah, cerpen ini mungkin bisa ngebantu jawab pertanyaan itu. Cerpen ini bakal ngebawa kamu ke dalam perjalanan seorang pria yang lagi nyari arti hidupnya.
Bukan hanya tentang pintar atau sukses, tapi lebih ke dalam banget—tentang siapa dia sebenarnya dan apa yang harus dia temuin buat ngerasa utuh. Jadi, kalau kamu suka cerita tentang pencarian diri, refleksi, dan perubahan, kamu bakal suka banget sama cerita ini. Yuk, ikutin terus langkahnya!
Kisah Cendekiawan
Mencari Kedamaian di Antara Pegunungan
Hawa pagi yang sejuk menyentuh kulit, seolah menyambut langkah kaki yang menapaki jalan berbatu menuju hutan lebat. Udara di sini terasa lebih segar, lebih murni dibandingkan udara di kota yang penuh debu dan polusi. Di tengah-tengah desa yang terisolasi ini, kedamaian hampir terasa seperti hal yang hidup, seakan-akan bisa disentuh, dinikmati dengan segenap jiwa. Aku memandang Trinaya yang berjalan di sampingku. Ia terlihat terpesona dengan setiap langkah yang ia ambil, mata terbuka lebar, dan senyum kecil tak pernah lepas dari wajahnya.
“Ada yang aneh di sini,” katanya, suara pria itu terdengar santai, meski ada rasa penasaran yang jelas tergambar di matanya.
“Anak kota seperti kamu pasti merasa begitu,” jawabku sambil menatap ke depan, memastikan jalur yang kami lalui tidak terhalang pohon atau batu besar. “Di sini, yang ada hanya kehidupan yang sangat sederhana. Tidak ada kebisingan atau tekanan. Hanya alam, dan kita.”
“Kenapa tempat ini bisa terasa begitu tenang?” Trinaya bertanya lagi, kali ini lebih serius. Aku tahu, ia tak hanya berbicara soal alam sekitar, tetapi tentang kedamaian yang terasa begitu dalam di sini, yang seakan masuk ke dalam setiap pori-pori.
“Karena kita hanya perlu mendengarkan,” jawabku, berhenti sejenak untuk menoleh ke arahnya. “Dengarkan alam, dengarkan suara angin, air, dan setiap suara kecil lainnya. Semua itu punya cerita yang bisa kita pelajari.”
Kami melanjutkan perjalanan, melintasi hutan yang semakin lebat. Suara angin berdesir di antara daun-daun, dan burung-burung yang terbang bebas di atas kepala kami membuat suasana semakin hidup. Trinaya mengikutiku dengan langkah cepat, seakan mengikuti jejakku tanpa ragu.
“Aku selalu merasa, setiap orang yang datang ke sini mencari sesuatu,” lanjutku, merasa perlu menjelaskan lebih lanjut. “Mereka datang dengan pertanyaan besar tentang hidup, tentang tujuan, tentang kebahagiaan. Tapi mereka tidak tahu jawabannya, jadi mereka datang kemari, berharap menemukan jawaban yang sudah lama hilang.”
“Jadi, apa jawabanmu tentang semua itu?” Trinaya bertanya, masih dengan mata yang penuh rasa ingin tahu.
“Aku tidak punya jawaban yang pasti,” kataku, tersenyum kecil. “Aku hanya bisa memberitahumu bahwa kadang, jawaban itu ada dalam diri kita sendiri. Yang kita butuhkan hanyalah waktu untuk benar-benar mendengarkan, benar-benar memahami.”
Kami tiba di tepi sebuah sungai kecil yang mengalir jernih. Aku duduk di atas batu besar di pinggirnya, memandangi air yang mengalir begitu tenang, seolah tidak pernah ada gelombang yang bisa mengganggu ketenangannya. Trinaya duduk di sampingku, mencoba mengikuti arah pandangku.
“Lihat, air itu begitu tenang, bukan?” kataku, menatap sungai yang tak berujung ini. “Tapi aku tahu, kalau ada batu yang dilemparkan ke dalamnya, pasti air itu akan bergelombang. Begitu pula dengan hidup kita. Kebahagiaan itu seperti air yang tenang. Tapi terkadang, batu yang dilemparkan itu adalah masalah, kegelisahan, atau ketakutan yang datang begitu saja.”
“Aku tidak pernah berpikir tentang itu sebelumnya,” Trinaya menggumam, wajahnya serius. “Jadi, apakah kita hanya perlu menerima semuanya, begitu saja?”
“Tidak selalu begitu,” jawabku dengan tenang. “Kita tidak hanya duduk diam, membiarkan segala sesuatunya datang begitu saja. Tapi kita harus belajar bagaimana menghadapi segala sesuatu dengan cara yang tidak mengganggu kedamaian kita. Seperti air itu, meskipun terguncang, ia akan kembali tenang.”
“Aku mengerti,” Trinaya berkata pelan, seolah menghayati setiap kata yang aku ucapkan. “Jadi, hidup itu bukan soal menghindari masalah, tapi soal bagaimana kita menghadapinya, kan?”
Aku mengangguk, merasa puas dengan percakapan ini. Meskipun kalimat-kalimat ini terasa sederhana, aku tahu bahwa kadang-kadang, kebijaksanaan terbesar justru datang dari hal-hal yang paling sederhana. Tak ada yang lebih berharga daripada memahami ketenangan batin, dan aku berharap Trinaya bisa menemukan kedamaian itu dalam dirinya.
Kami berdiam sejenak, menikmati kesunyian yang hanya diselingi oleh suara alam. Aku bisa merasakan perubahan dalam diri Trinaya. Dia mulai menyadari bahwa pencarian hidup yang panjang ini bukan soal mencapai sesuatu yang lebih, tapi tentang menghargai apa yang sudah ada di depan mata.
Aku berbalik, memandangnya. “Di sini, kita belajar untuk tidak terburu-buru. Tidak ada yang perlu dikejar, tidak ada yang harus dicapai. Semua datang pada waktunya.”
“Dan jika aku tidak menemukan jawaban yang kucari?” Trinaya bertanya, kali ini matanya lebih tajam, lebih dalam.
“Kadang, kita tidak perlu menemukan jawaban. Kadang, kita hanya perlu menikmati perjalanan itu sendiri.”
Matahari sudah mulai condong ke barat, menciptakan cahaya yang hangat di atas langit. Aku bangkit dari batu dan melangkah lebih jauh ke dalam hutan, berharap Trinaya bisa mengikuti setiap langkah dengan pemahaman yang lebih dalam. Hari itu adalah awal dari perjalanan panjang yang akan membawa kami ke pemahaman yang lebih besar tentang hidup.
Namun, aku tahu, ini baru permulaan. Perjalanan kami masih panjang, dan banyak pelajaran yang akan datang, yang akan mengubah cara kami melihat dunia.
Hidup Adalah Sebuah Pertanyaan
Malam tiba lebih cepat dari yang kami perkirakan. Udara di sekitar kami mulai dingin, dan angin yang sebelumnya terasa sejuk kini membawa jejak keheningan yang mendalam. Kami sudah berjalan jauh, meninggalkan hutan lebat di belakang dan menuju sebuah desa kecil di kaki gunung. Desa ini bukan tempat yang ramai, hanya beberapa rumah sederhana yang berdiri dengan tenang, seakan menunggu datangnya hujan yang sudah lama dinanti.
Kami berhenti di salah satu rumah yang terbuat dari kayu dan batu. Di dalamnya, seorang lelaki paruh baya sedang menyiapkan api unggun. Matanya yang tajam dan penuh kebijaksanaan menyambut kami dengan senyum, seperti sudah lama menunggu kedatangan kami.
“Aksara,” kata lelaki itu, menyapa dengan suara yang dalam dan tenang. “Aku sudah menunggu kedatanganmu.”
Aku mengangguk, membalas sapaan lelaki itu. Trinaya berdiri di sampingku, masih terlihat kebingungan dengan segala yang ada di sekitarnya. Lelaki itu mengajak kami masuk ke dalam rumah, di mana ruangan itu terasa hangat dengan api yang menyala di tengah.
Kami duduk di lantai, dikelilingi oleh dinding yang dipenuhi dengan buku-buku tua dan peralatan yang tampaknya hanya digunakan untuk kegiatan tertentu—mungkin ritual atau meditasi. Trinaya, yang biasanya begitu terbiasa dengan kehidupan kota yang serba cepat dan penuh teknologi, tampak kagum dengan kedamaian yang ada di sini.
“Apa yang kalian cari, anak muda?” tanya lelaki itu tiba-tiba, suaranya seolah melampaui waktu dan ruang.
Trinaya terkejut, namun ia segera menatapku, seolah mencari jawaban. Aku mengangguk, memberinya isyarat untuk berbicara.
“Aku—kami—mencari jawaban,” kata Trinaya, ragu-ragu, tapi tetap dengan tekad yang jelas. “Tentang hidup, tentang apa yang harus kami lakukan, dan kenapa kami harus mencari sesuatu yang lebih besar dari sekadar hal-hal biasa.”
Lelaki itu tersenyum, namun senyumnya bukan senyum biasa. Itu senyum yang mengerti. “Apa itu hidup menurutmu?” tanyanya dengan nada lembut.
Trinaya tampak terpana, matanya terfokus pada lelaki itu. Aku bisa melihat perasaan yang bergejolak dalam dirinya, antara keinginan untuk mendapatkan jawaban dan keraguan tentang pertanyaan itu sendiri.
“Aku… tidak tahu,” jawab Trinaya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. “Aku hanya merasa seperti… ada sesuatu yang hilang.”
“Ada sesuatu yang hilang?” tanya lelaki itu dengan penuh minat. “Apa itu?”
“Aku tidak tahu,” Trinaya mengulanginya, kali ini dengan nada lebih tajam, “Tapi aku merasa ada kekosongan, sebuah ruang yang tidak bisa diisi dengan apapun.”
Aku bisa merasakan keheningan yang mendalam di ruangan itu. Lelaki itu tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Trinaya dengan pandangan penuh kebijaksanaan, seperti ingin memastikan bahwa Trinaya benar-benar siap untuk jawaban yang akan diberikan.
“Apa yang kamu cari adalah pertanyaan itu sendiri,” kata lelaki itu akhirnya, memecah keheningan. “Hidup bukanlah tentang menemukan jawaban yang pasti, tetapi tentang terus bertanya dan belajar dari setiap jawaban yang muncul. Setiap pertanyaan yang kita ajukan membuka pintu untuk pertanyaan yang lebih dalam lagi.”
“Apa maksudmu?” Trinaya bertanya, wajahnya semakin serius.
“Setiap orang yang datang ke sini selalu mencari sesuatu—tujuan hidup, kebahagiaan, kedamaian. Tapi ketika mereka menemukan satu jawaban, mereka akan dihadapkan pada pertanyaan baru. Itu adalah siklus yang tak pernah berakhir. Kamu, Trinaya, sedang mencari sesuatu yang lebih besar, lebih bermakna. Tapi jawaban itu tidak akan datang jika kamu hanya menunggu. Kamu harus terus bertanya, terus mencari.”
Aku tersenyum mendengar kata-kata lelaki itu. Bagaimana pun, itu adalah pelajaran yang sangat sederhana namun sangat dalam. Hidup tidak bisa diukur hanya dengan mencapai satu titik, tetapi dengan perjalanan yang terus berlanjut tanpa akhir.
“Aku mengerti,” kata Trinaya, suara yang lebih tenang kini. “Jadi, aku harus terus mencari pertanyaan?”
“Ya,” jawab lelaki itu. “Dan kamu harus belajar menerima bahwa terkadang, jawaban yang kamu cari mungkin tidak akan pernah datang dengan cara yang kamu bayangkan. Tapi itu bukan berarti kamu harus berhenti mencari.”
Tepat saat itu, sebuah suara dari luar terdengar, suara langkah kaki yang datang mendekat. Di depan pintu, seorang perempuan tua muncul, membawa nampan dengan makanan sederhana—roti, keju, dan secangkir teh hangat. Perempuan itu tersenyum lembut pada kami, dan meskipun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, kehadirannya seolah membawa ketenangan lebih dalam.
“Ayo, makanlah,” kata lelaki itu, memberi kami isyarat untuk mengambil tempat. “Kamu akan belajar banyak di sini, tapi jangan pernah lupa untuk memberi perhatian pada hal-hal kecil—seperti makanan yang ada di hadapanmu. Karena kadang, pertanyaan terbesar datang dari hal-hal yang tampaknya remeh.”
Kami makan bersama dalam hening, sesekali saling bertukar pandang, mencoba memahami makna dari setiap kata yang baru saja diucapkan. Makanan yang sederhana itu terasa sangat nikmat, tidak hanya karena rasanya, tetapi juga karena aku tahu bahwa di sini, di tempat yang jauh dari keramaian, aku dan Trinaya sedang mencari sesuatu yang jauh lebih penting dari sekadar kehidupan yang biasa.
Malam semakin larut, dan kami mulai merasa mengantuk. Lelaki itu memberi kami tempat untuk tidur, dan sebelum kami terlelap, ia berkata, “Ingatlah, hidup ini adalah sebuah perjalanan tanpa akhir. Selalu ada sesuatu yang baru untuk dipelajari, sesuatu yang tak pernah kita ketahui sebelumnya.”
Aku memejamkan mata, membiarkan kata-kata itu masuk ke dalam pikiran dan hatiku. Di luar, angin berbisik lembut, seolah mengingatkan kami bahwa jalan yang kami pilih belum selesai, bahwa masih banyak yang harus kami temui. Tapi untuk malam ini, kami akan beristirahat. Karena besok, perjalanan itu akan berlanjut, dan pertanyaan-pertanyaan baru akan menunggu.
Di Balik Kabut Pagi
Pagi hari tiba dengan lembut, membawa udara segar yang seakan-akan menyapu kabut yang masih menggantung di sekitar desa. Aku dan Trinaya terbangun dengan pikiran yang masih penuh dengan perenungan dari malam sebelumnya. Meskipun tidur kami singkat, tidur itu terasa cukup untuk mengumpulkan energi, tetapi lebih dari itu, kata-kata lelaki itu terus bergema dalam benakku—”Hidup adalah perjalanan tanpa akhir.”
Di luar rumah, langit biru terang mulai menyingsingkan cahaya, memantulkan warna emas di atas pepohonan yang tertutup embun. Rumah lelaki itu berdiri di tengah alam yang begitu tenang, seolah dunia luar tidak pernah benar-benar mengganggu kedamaian yang ada di sini.
Trinaya sudah bangun lebih awal, duduk di luar rumah dengan matanya yang masih terlihat kosong, seperti sedang mencerna sesuatu yang lebih dalam. Aku bergabung dengannya, duduk di sampingnya, merasakan angin yang menyejukkan kulit.
“Kamu merasa seperti apa sekarang?” tanyaku, memecah keheningan yang ada.
Trinaya menghela napas panjang, memandang ke arah puncak gunung yang bisa terlihat samar-samar dari sini. “Aku merasa seperti… seperti aku sedang mencari sesuatu yang terus menghindar dariku. Seperti mengejar bayangan yang tidak pernah bisa digenggam.”
“Aku mengerti,” jawabku pelan, meski aku sendiri juga belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang kita cari. “Tapi terkadang, yang kita cari itu bukanlah sesuatu yang bisa kita lihat, melainkan sesuatu yang terasa. Mungkin kita sedang belajar untuk merasakannya.”
Trinaya memalingkan wajahnya, matanya tajam menatapku. “Merasakannya? Maksudmu… kita hanya harus merasakan hidup tanpa benar-benar tahu apa yang kita cari?”
Aku mengangguk. “Bukan hanya merasakannya, tapi juga memahaminya. Seperti saat kita berjalan tanpa tahu pasti ke mana kita akan pergi, tapi kita terus berjalan karena setiap langkah membawa kita lebih dekat pada pemahaman.”
“Apakah kamu yakin?” tanya Trinaya, suaranya terdengar penuh keraguan.
“Sama seperti yang lelaki itu katakan semalam,” jawabku, sambil mengingat kata-kata bijaknya, “hidup ini adalah perjalanan yang tidak berujung. Tidak ada jawaban yang bisa memuaskan semua pertanyaan. Terkadang, yang kita butuhkan adalah berani bertanya, bahkan ketika jawaban itu tidak jelas.”
Sejenak, Trinaya diam, memandang langit yang cerah dengan pandangan yang sulit aku tafsirkan. Ada semacam pergulatan di dalam dirinya—antara keinginan untuk menemukan jawaban dan kenyataan bahwa perjalanan itu mungkin lebih kompleks dari yang ia bayangkan.
Kami berdua akhirnya berdiri, meninggalkan tempat duduk kami dan berjalan menuju tempat lelaki itu berada. Di luar, suara riang dari burung-burung yang mulai terbang tinggi memberi semangat baru. Setiap langkah kami terasa lebih ringan, meski kesadaran akan pencarian yang belum terjawab terus membayangi kami.
Lelaki itu menunggu di depan rumah, kini sudah mengenakan pakaian sederhana namun tampak elegan, seolah dia adalah bagian dari alam itu sendiri. Di tangan kanannya, sebuah buku kecil, yang tampaknya sudah usang, digenggam erat.
“Apakah kalian siap melangkah lebih jauh?” tanya lelaki itu begitu kami mendekat. Matanya menatap kami penuh makna, seperti mengetahui setiap pikiran yang kami simpan dalam hati.
“Kami siap,” jawab Trinaya tegas, meskipun aku bisa melihat keraguan yang masih ada di matanya. Tapi kali ini, aku tahu dia lebih siap daripada sebelumnya. Ada perubahan halus dalam dirinya, seolah kata-kata lelaki itu telah menumbuhkan bibit yang akan mulai tumbuh.
Lelaki itu tersenyum, dan kami mulai melangkah lebih jauh ke dalam hutan, tempat yang sebelumnya kami hindari. Udara semakin segar, dan pepohonan yang tinggi menjulang ke atas seolah mengajak kami untuk lebih dalam menyusuri jalan yang tak tampak ujungnya. Setiap langkah kami membawa perasaan baru, seperti melangkah ke dalam misteri yang lebih besar, dan tidak ada satu pun dari kami yang tahu apa yang menanti.
Tiba-tiba, lelaki itu berhenti, membalikkan badan ke arah kami dengan wajah yang serius. “Hidup ini penuh dengan teka-teki,” katanya, suaranya lebih dalam dari sebelumnya. “Dan terkadang, teka-teki terbesar adalah apa yang tidak kita ketahui tentang diri kita sendiri.”
Trinaya menatapnya dengan tajam. “Jadi, kita akan menemukan jawaban tentang diri kita di sini?” tanya Trinaya, nada suaranya mengandung sedikit keraguan.
“Ya, tapi bukan dengan mencari jawaban yang pasti. Melainkan dengan memahami siapa kita ketika kita tidak mencari jawaban. Diri kita yang sejati akan muncul ketika kita tidak lagi mengejar apa yang dunia katakan harus kita miliki atau lakukan.”
Kata-kata lelaki itu membekas dalam pikiranku. Kami berjalan lebih jauh, semakin dalam ke hutan, dengan mata yang terus terfokus pada jalan di depan kami, namun pikiran kami terjebak dalam labirin pertanyaan yang tak ada habisnya.
Kami sampai di sebuah tempat terbuka, sebuah lembah yang dikelilingi oleh batu besar yang membentuk semacam lingkaran. Di tengah lembah itu, ada sebuah pohon besar, jauh lebih tua daripada pohon lainnya. Akar-akarnya melingkar erat di tanah, seolah menahan dunia di sekelilingnya. Lelaki itu mendekati pohon tersebut dan meletakkan tangan di batangnya.
“Ini adalah pohon kehidupan,” katanya dengan suara yang hampir seperti berbisik. “Setiap daun, setiap rantingnya, adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar. Jika kalian ingin menemukan siapa diri kalian, lihatlah pohon ini.”
Trinaya dan aku mendekat, memandangi pohon itu dengan penuh rasa ingin tahu. Setiap cabang tampak membawa cerita-cerita yang belum terungkap, setiap daun seolah memiliki makna yang belum kita pahami.
Lelaki itu mengangkat tangannya dan menunjuk ke langit. “Di luar sana, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Tapi jika kalian ingin menemukannya, kalian harus melihat jauh lebih dalam dari yang kalian kira.”
Kami berdua berdiri di sana, di bawah pohon yang tampaknya lebih besar dari kehidupan itu sendiri, merenungkan kata-kata lelaki itu. Apakah benar jawabannya ada di dalam diri kami, tersembunyi di balik pertanyaan yang tidak pernah berhenti?
“Apakah ini bagian dari perjalanan kita?” Trinaya akhirnya bertanya, suaranya penuh dengan keresahan.
“Lihatlah,” jawab lelaki itu, menunjuk ke pohon besar yang berdiri kokoh di depan kami, “ini adalah perjalanan kalian. Setiap langkah yang kalian ambil akan membawa kalian lebih dekat kepada diri kalian sendiri.”
Saat itu, aku menyadari bahwa perjalanan ini belum selesai. Bahkan, mungkin, perjalanan ini baru saja dimulai.
Menghitung Langkah di Ujung Waktu
Hari-hari berlalu dengan cepat, namun setiap detik terasa begitu panjang di dalam pikiranku. Aku dan Trinaya kini kembali ke rumah lelaki itu setelah melewati perjalanan panjang yang penuh dengan refleksi dan pencarian diri. Namun, apa yang kami cari bukanlah jawaban konkret, melainkan pemahaman yang lebih mendalam tentang keberadaan kami di dunia ini.
Kami berdua sudah berubah, meskipun dalam bentuk yang tak tampak jelas. Terkadang aku merasa seolah-olah kami telah meninggalkan sebagian dari diri kami yang lama, namun entah kenapa, itu tak terasa seperti kehilangan. Kami hanya meninggalkan apa yang sudah tak lagi relevan dengan perjalanan yang sedang kami jalani.
Saat kami kembali ke rumah, lelaki itu menunggu kami dengan senyuman penuh kebijaksanaan. “Selamat datang kembali,” katanya dengan nada yang tenang, seolah-olah dia tahu kami sudah menemukan sesuatu yang kami cari, meskipun kami belum mengatakannya dengan kata-kata.
“Aku merasa… berbeda,” Trinaya akhirnya mengungkapkan, meskipun suaranya masih terdengar seperti bertanya pada diri sendiri. “Tapi juga belum sepenuhnya paham apa yang berubah.”
Lelaki itu hanya tersenyum, menatap kami seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih, namun tak segera keluar dari bibirnya. “Itulah keindahan dari perjalanan ini. Tidak ada yang perlu dipahami sekarang. Hanya perlu dirasakan.”
Kami duduk di sekitar api unggun, api yang masih menyala meskipun matahari sudah mulai tenggelam di balik horizon. Udara semakin dingin, tetapi rasanya tidak mengganggu kami, bahkan memberi kenyamanan tersendiri. Suara api yang membakar kayu terdengar seperti nyanyian alam yang membawa kami lebih jauh ke dalam kesunyian yang penuh arti.
“Apakah kita benar-benar siap untuk melangkah lebih jauh?” tanyaku, akhirnya mengungkapkan pertanyaan yang sejak tadi mengendap dalam pikiranku.
Lelaki itu mengangguk perlahan. “Melangkah lebih jauh bukan berarti menemukan lebih banyak jawaban. Terkadang, melangkah lebih jauh berarti kita semakin memahami betapa kecilnya kita dibandingkan dengan alam semesta ini.”
Aku dan Trinaya saling memandang, seolah memahami bahwa jalan ini tidak akan pernah berakhir. Tidak ada tujuan pasti yang bisa kami raih, karena tujuan sejati dari perjalanan ini adalah perubahan yang terjadi di dalam diri kami.
“Seperti pohon yang kita lihat di lembah itu,” Trinaya berujar, “dia tumbuh terus meskipun tidak ada yang tahu seberapa jauh akarnya merambat. Mungkin kita juga seperti itu. Mencari tanpa tahu seberapa dalam kita akan menggali.”
Aku tersenyum, merasa Trinaya mulai memahami inti dari apa yang kami pelajari. “Aku setuju. Mungkin jawabannya memang tidak ada di luar sana, tetapi di dalam sini,” aku meletakkan tangan di dada, “di dalam setiap langkah yang kita ambil, di dalam setiap perubahan yang kita alami.”
Lelaki itu mengangguk sekali lagi, seolah memberi persetujuan pada kata-kataku. “Perjalanan tidak pernah benar-benar selesai. Dan mungkin, kalian akan menemukan lebih banyak hal yang lebih berharga di setiap langkah yang kalian ambil, meski itu tidak selalu berupa jawaban.”
Malam itu kami berbicara lebih banyak, tetapi percakapan kami tidak lagi tentang mencari jawaban atau memburu arti. Kami hanya berbicara tentang perjalanan yang sudah kami jalani, tentang segala hal yang sudah kami rasakan, tentang bagaimana kami melihat dunia dengan cara yang berbeda sekarang.
Seiring berjalannya waktu, kami menyadari bahwa perjalanan ini adalah perjalanan hidup itu sendiri. Kami tidak perlu tahu ke mana kami akan pergi selanjutnya, karena kami sudah berada di tempat yang seharusnya. Kami telah belajar untuk hidup di sini, di saat ini, tanpa perlu terburu-buru mencari tujuan yang lebih besar.
“Aku merasa kita telah menemukan bagian dari diri kita yang hilang,” Trinaya akhirnya berkata dengan senyuman tipis. “Mungkin kita tidak pernah benar-benar kehilangannya, hanya saja kita tidak melihatnya dengan jelas sebelumnya.”
Aku mengangguk, merasa benar-benar mengerti apa yang dimaksud Trinaya. Kami berdua mungkin sudah menemukan jawabannya, meskipun tidak dalam bentuk yang kami bayangkan sebelumnya. Kami sudah menemukan bagian dari diri kami yang sebenarnya, dan itu lebih dari cukup.
Lelaki itu berdiri, menatap kami dengan mata yang penuh makna. “Perjalanan kalian sudah panjang, tapi ini hanya awal. Kalian akan terus menemukan diri kalian dalam setiap langkah yang kalian ambil. Dunia ini penuh dengan misteri yang akan selalu menunggu untuk diungkap.”
Kami berdiri bersamanya, dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa kami benar-benar siap untuk melangkah lebih jauh, tanpa rasa takut atau ragu. Karena sejauh apa pun perjalanan ini, kami tahu bahwa kami tidak pernah benar-benar sendirian. Kita selalu membawa bagian dari perjalanan itu dalam diri kita.
Langkah kami tak pernah terhenti, dan selama kami terus melangkah, kami akan selalu menemukan lebih banyak lagi—tentang dunia, tentang hidup, dan tentu saja, tentang diri kami sendiri.
Jadi, gimana menurut kamu? Perjalanan yang dilalui tokoh utama dalam cerita ini bukan hanya soal mencari jawaban, tapi lebih tentang menerima proses dan belajar dari setiap langkah yang diambil. Mungkin kamu juga punya perjalanan sendiri yang sedang kamu jalani, kan?
Siapa tahu, jalan yang kamu pilih nanti bakal membawa kamu ke pemahaman yang lebih dalam tentang dirimu sendiri. Hidup memang nggak selalu tentang tujuan akhir, tapi tentang bagaimana kita menikmati setiap momennya. Teruslah melangkah, karena setiap langkah itu berharga!