Kisah Buku Juara yang Sombong: Perjalanan Floretta Menemukan Kemenangan Sejati

Posted on

Pernah nggak sih kamu ketemu buku yang sombong banget cuma gara-gara dia juara lomba? Nah, di cerita ini, kita bakal diajak seru-seruan ngikutin si Floretta, buku yang ngerasa paling keren sedunia. Tapi, ternyata jadi juara itu nggak segampang yang dia kira. Yuk, simak gimana si Floretta belajar arti kemenangan yang sebenarnya, dan nggak cuma soal piala atau sorotan.

 

Kisah Buku Juara yang Sombong

Mahkota di Rak Teratas

Aku, Floretta, tak bisa berhenti berkilau. Di rak buku yang tinggi ini, aku duduk dengan penuh kebanggaan, menatap semua buku lain dari atas. Tidak ada yang bisa menandingiku. Sampulku terbuat dari kulit imitasi berkualitas tinggi, berwarna emas, dengan aksen perak yang mengelilingi judulku—begitu indah sampai cahaya lampu membuatku bersinar seperti piala. Dan itu memang pantas, karena aku bukan hanya buku biasa. Aku adalah juara pertama dalam lomba menulis cerpen paling bergengsi di negara ini!

“Ya ampun, kamu luar biasa, Floretta!” kata Leonardo, sebuah novel fiksi ilmiah yang cukup populer beberapa tahun lalu. Sampulnya dulu berwarna biru terang, tapi sekarang sudah mulai memudar. Ia tersenyum kecil padaku, seperti ingin mengajakku berbicara.

“Terima kasih, Leo,” jawabku dengan santai, berusaha terdengar ramah meski di dalam hatiku, aku merasa lebih dari sekadar luar biasa. Aku sempurna. “Aku hanya melakukan apa yang terbaik, menulis cerita yang benar-benar memukau. Itu saja.”

Leonardo mengangguk pelan, tapi aku bisa lihat matanya meredup. Mungkin dia iri, tapi tentu saja, siapa yang tidak iri dengan buku seperti aku? Di antara semua buku-buku lain di rak ini—buku-buku yang terlihat lelah dengan sampul yang mulai robek, halaman menguning, dan punggung yang bengkok—aku adalah permata.

Bukan cuma itu. Pembaca-pembaca yang datang ke toko ini selalu mencariku. Mereka mendekat, dengan mata yang berbinar saat melihat namaku terpampang besar di sampul, dan tanpa ragu mereka mengulurkan tangan untuk meraihnya. Mereka membuka halamanku dengan hati-hati, seolah setiap kata di dalamku adalah sesuatu yang sangat berharga, tidak boleh dilihat dengan sembarangan. Dan memang, setiap kalimat dalam ceritaku adalah seni. Aku tahu, aku adalah mahakarya.

“Floretta, kau benar-benar membuat semua orang terpesona,” suara Libra, sebuah buku kumpulan esai, berbisik dari sudut rak. Buku tua itu terlihat kusam dan penuh coretan tangan di sampulnya, jelas sekali sudah dilupakan oleh banyak pembaca.

“Kau terlalu baik, Libra,” kataku, meskipun dalam hati aku setuju. Ya, aku memang memukau, luar biasa, bahkan tak tersentuh oleh keusangan seperti mereka. Aku masih segar, baru, dan paling penting—aku adalah juara.

Aku bisa mendengar desahan pelan dari buku-buku lain. Mereka tahu aku benar. Mereka tahu, tak ada yang bisa menandingi pencapaianku. Setiap hari, aku melihat mereka menatapku dengan campuran kekaguman dan kecemburuan. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Aku ini Floretta, sang juara. Dan aku akan terus berada di atas selamanya.

Satu pagi yang cerah, seperti biasa, pintu toko buku terbuka, dan deretan pelanggan mulai berdatangan. Aku sudah bersiap, menunggu siapa pun yang akan datang untuk membukaku, membaca ceritaku, lalu memuji keindahannya. Hari itu, aku yakin akan lebih banyak pujian yang menghampiriku.

Namun, ada sesuatu yang berbeda.

Sebuah buku baru, dengan sampul cerah berwarna pastel, diletakkan di sampingku. Aku memperhatikan dengan saksama saat buku itu didorong masuk ke rak, diselipkan tak jauh dariku. Raisa, demikian tertulis di sampulnya. Bunga-bunga berwarna cerah menghiasi sudut-sudut halamannya. Buku baru? Apa dia benar-benar berpikir bisa menyaingiku?

Aku menahan tawa. Ah, biarlah. Buku-buku baru selalu datang dan pergi, mencoba menarik perhatian. Tapi tak ada yang bisa melampaui aku.

Namun, yang terjadi selanjutnya mengejutkanku. Tak butuh waktu lama, salah satu pelanggan datang mendekat. Aku siap. Aku siap untuk diambil, dipegang, dibuka. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Mata si pelanggan tertuju pada… Raisa.

“Ah, buku ini terlihat menarik,” gumam pelanggan itu, sambil mengambil Raisa dari rak. Dia membuka halaman pertama buku itu dan mulai membacanya.

Aku tertegun. Apa-apaan ini? Harusnya aku yang menarik perhatian mereka, bukan buku baru ini. Aku menunggu dengan tidak sabar, berharap dia akan segera menyadari kesalahannya dan meletakkan Raisa kembali ke rak. Tapi tidak, pelanggan itu terus membaca, bahkan tersenyum saat membolak-balik halamannya.

Aku merasa marah, tapi aku mencoba menenangkan diri. “Ini cuma satu orang,” pikirku. “Takkan lama. Raisa hanya buku baru yang masih segar, tapi aku juara. Aku selalu jadi pilihan utama.”

Namun, saat hari bergulir, semakin banyak orang yang datang, dan mereka semua… mengambil Raisa. Mereka tampak penasaran, membuka-buka halamannya, membaca isinya dengan penuh minat, lalu membicarakannya. Apa yang terjadi? Kenapa mereka lebih memilih buku itu daripada aku?

Aku mulai gelisah. Untuk pertama kalinya sejak aku diletakkan di rak ini, aku merasa tidak diperhatikan. Seolah, aku yang selama ini dipuja-puja, tiba-tiba menjadi tak terlihat.

Malam itu, ketika toko buku tutup, aku mendengar bisik-bisik di antara buku-buku lain. Mereka berbicara tentang betapa menariknya Raisa, betapa segarnya ceritanya, dan bagaimana dia berhasil memikat pembaca dengan cepat.

“Tapi, aku juara,” bisikku pada diriku sendiri, merasa terpojok. “Aku yang menang.”

Namun, di dalam hati, untuk pertama kalinya, aku merasa ada sesuatu yang salah. Mungkinkah posisi yang selama ini kubanggakan mulai goyah?

 

Bayang-Bayang Raisa

Aku tak bisa berhenti memikirkan hari itu. Setiap kali toko buku terbuka, ada rasa was-was yang menjalari punggungku. Bukannya aku takut—hei, aku Floretta, juara lomba menulis cerpen paling bergengsi! Tapi entah mengapa, sejak Raisa muncul, kepercayaan diriku mulai tergerus sedikit demi sedikit.

Hari demi hari berlalu, dan kenyataannya semakin sulit untuk kuabaikan. Dulu, orang-orang selalu menghampiri rak ini dan tanpa ragu mengambilku. Namun sekarang? Mereka hanya melewatiku, langsung menuju Raisa. Rasanya aneh. Aku, yang terbiasa jadi pusat perhatian, kini harus melihat buku lain yang mendapatkan sorotan. Setiap kali seseorang memegang Raisa, aku merasa seperti bayangan yang tersisih.

Pada suatu sore, ketika toko mulai sepi, aku mendengar percakapan antara Clyde, buku filsafat kuno yang jarang disentuh, dan Romina, novel romansa klasik yang dulu sempat jadi primadona.

“Raisa itu memang berbakat,” kata Romina dengan suara lembutnya. “Cerita-ceritanya segar, dekat dengan kehidupan nyata. Pembaca suka itu. Tidak seperti kita yang kadang terlalu berat untuk dicerna.”

Clyde mendengus pelan. “Memang. Raisa punya bakat alami yang membuatnya berbeda. Ada kesederhanaan yang memikat dalam tulisannya.”

Aku mengerutkan alisku. “Kesederhanaan yang memikat? Kalian pasti bercanda. Aku yang juara, aku yang seharusnya mereka bicarakan!” Tiba-tiba, semua rasa banggaku berubah menjadi rasa cemas yang tak bisa kujelaskan. Aku mendekati Romina dan Clyde, meski enggan, dan bertanya, “Jadi kalian lebih suka Raisa daripada aku?”

Romina menghela napas panjang. “Ini bukan soal siapa yang lebih baik, Floretta. Setiap buku punya masa kejayaannya. Kamu memang hebat, tapi tak ada yang bisa bertahan di puncak selamanya.”

“Dan,” Clyde menambahkan dengan bijaksana, “pembaca selalu mencari sesuatu yang baru. Raisa memberikan mereka itu—sesuatu yang segar dan relevan.”

Aku merasa darahku mendidih—meskipun, tentu saja, buku tak punya darah. Namun, itulah yang kurasakan. Segala kemarahan dan keputusasaanku mengalir di antara halaman-halamanku. Mereka tidak mengerti. Aku bukan buku biasa. Aku adalah juara, dan itu artinya aku yang terbaik. Kenapa tiba-tiba mereka memuja buku baru ini seolah aku tidak ada?

Seminggu berlalu, dan situasi semakin buruk. Di rak, aku hanya bisa melihat bagaimana Raisa diambil setiap kali ada pembaca baru. Kadang bahkan lebih dari satu orang datang untuk mencarinya. Sementara aku? Tak ada yang menyentuhku. Halamanku mulai terasa dingin karena jarang dibuka, sampulku mulai kehilangan kilaunya karena tidak lagi disentuh.

Di suatu malam yang sepi, setelah toko tutup, aku memutuskan untuk berbicara langsung dengan Raisa. Tidak ada pilihan lain. Aku harus tahu apa yang membuatnya begitu populer. Apa yang membuatnya begitu… dicintai.

Saat aku mendekati Raisa, dia tampak tenang dan ramah. Bukannya sombong atau angkuh seperti yang kupikirkan. Ini membuatku semakin bingung.

“Hei, Raisa,” panggilku dengan nada dingin. “Bolehkah aku bertanya sesuatu?”

Raisa tersenyum. “Tentu, Floretta. Apa yang ingin kau tanyakan?”

Aku berusaha menahan diri untuk tidak terlalu menunjukkan perasaanku, tetapi rasa iri yang selama ini kupendam sulit untuk dibendung. “Kenapa semua orang menyukai ceritamu? Apa yang membuatmu begitu spesial?”

Raisa terdiam sejenak, seolah merenungkan pertanyaanku dengan hati-hati. “Aku tidak tahu, sebenarnya,” katanya akhirnya. “Aku hanya menulis dari hati. Aku berbicara tentang kehidupan sehari-hari, tentang cinta, kehilangan, dan harapan—hal-hal yang mungkin sederhana, tapi dekat dengan siapa saja.”

“Tapi aku juga menulis hal-hal penting! Aku menulis cerita penuh makna, detail, dan pemikiran yang mendalam. Itu yang membuatku memenangkan lomba cerpen. Kenapa orang-orang lebih tertarik pada ceritamu yang… sederhana?” Nadaku mulai memanas. Aku tak bisa menyembunyikan rasa frustasi yang terus memuncak.

Raisa tersenyum lagi, dengan sabar. “Cerita yang bagus bukan selalu tentang kompleksitas, Floretta. Kadang, yang membuat cerita itu hidup adalah bagaimana ia menyentuh hati pembaca, bukan sekadar bagaimana ia memukau dengan keindahan bahasa atau kedalaman ide.”

Aku terdiam. Raisa melanjutkan, “Aku kagum dengan ceritamu, Floretta. Kau sangat hebat dan memang pantas jadi juara. Tapi mungkin, pembaca mencari sesuatu yang berbeda sekarang. Bukan berarti ceritamu tidak bagus, hanya saja… mungkin waktunya memberi tempat untuk cerita yang lebih ringan dan relevan dengan kehidupan mereka.”

Aku tak bisa menerima itu. Aku tak bisa menerima bahwa keunggulanku hanya soal waktu dan tempat. Tapi, dalam diamku, kata-kata Raisa bergema di benakku. Mungkinkah benar? Apakah aku terlalu fokus pada kejayaan masa lalu, sehingga tidak melihat bahwa dunia terus berubah?

Saat malam itu berlalu, aku menyadari sesuatu. Mungkin, posisiku sebagai juara bukan hanya soal menang sekali. Mungkin, aku perlu terus berkembang. Tetapi, aku masih tak ingin mengakui kekalahanku. Ini belum berakhir. Aku masih akan membuktikan bahwa aku, Floretta, tetap layak jadi yang teratas.

Dengan tekad baru yang menggelegak di dalam hatiku, aku tahu ini adalah saatnya untuk melawan bayang-bayang Raisa—dengan caraku sendiri.

 

Mencari Makna di Tengah Kegagalan

Malam semakin larut, dan toko buku terasa semakin sepi. Suara tawa dan percakapan para buku lain pun mulai mereda. Aku, Floretta, duduk di rak dengan hati yang berat. Setelah pembicaraanku dengan Raisa, aku merasa ada sesuatu yang berubah di dalam diriku. Bukan perubahan yang aku inginkan, tentu saja. Tapi, sebuah perasaan tak terelakkan bahwa mungkin, untuk pertama kalinya, aku harus menghadapi kenyataan: aku bukan lagi pusat dunia.

Namun, bukan berarti aku akan menyerah begitu saja. Aku juara, dan juara tidak akan menyerah hanya karena satu buku baru menjadi favorit sementara. Pikiranku berputar, mencari cara untuk kembali ke posisi yang dulu. Aku memandang sekeliling, memperhatikan buku-buku lain yang bertumpuk di sekitarku. Sebagian besar dari mereka tampak sudah puas dengan nasib mereka masing-masing. Tapi tidak dengan aku.

“Aku butuh strategi,” gumamku pada diri sendiri. “Aku harus melakukan sesuatu yang besar, sesuatu yang akan membuat orang-orang tidak bisa melupakanku lagi.”

Pikiranku terus berkecamuk hingga akhirnya aku memutuskan untuk berbicara dengan Theodore, buku strategi perang yang jarang dilirik, tapi aku tahu dia cerdas dalam hal taktik.

Di tengah malam, ketika toko sudah benar-benar sunyi dan lampu-lampu mulai redup, aku bergerak ke arah Theodore. Dia berdiri tegak di rak sebelah, penampilannya megah dan penuh wibawa dengan sampul berwarna hitam dan emas. Di antara halaman-halamannya yang tebal, aku bisa merasakan aura kekuatan dan pengalaman.

“Theodore,” panggilku, mencoba terdengar serius dan penuh tekad. “Aku butuh bantuanmu.”

Theodore menatapku dengan tatapan tajam, meski aku tahu dia tidak terkejut melihatku datang. “Apa yang bisa aku bantu, Floretta?” katanya dengan nada dingin tapi penuh wibawa.

Aku mendekat, suaraku penuh tekanan. “Aku ingin kembali jadi yang teratas. Aku ingin menang lagi. Aku ingin pembaca memilihku, bukan Raisa.”

Theodore terdiam sejenak, merenung. “Floretta, ini bukan tentang mengalahkan buku lain. Kemenangan sejati datang dari memahami medan pertempuran, dan terkadang, medan itu berubah lebih cepat daripada yang bisa kita bayangkan.”

“Aku tahu itu,” potongku dengan frustrasi. “Tapi aku tak bisa diam dan menunggu semuanya membaik. Aku butuh rencana. Bagaimana caranya agar aku bisa menarik perhatian pembaca lagi?”

Theodore tersenyum tipis, seolah-olah pertanyaanku sudah lama dia tunggu. “Floretta, kau tahu apa yang membuat seorang jenderal hebat? Bukan karena mereka menang sekali, tapi karena mereka tahu kapan harus mundur, kapan harus menyerang, dan yang paling penting, kapan harus menyesuaikan taktik mereka.”

Aku mengernyit. “Jadi, maksudmu aku harus… berubah?”

Theodore mengangguk pelan. “Kadang, kita harus menerima bahwa pembaca berubah, Floretta. Mereka tidak selalu mencari buku yang paling kompleks atau berlapis-lapis. Kadang, mereka hanya ingin sebuah cerita yang bisa membuat mereka merasa terhubung. Apakah kau siap untuk memahami apa yang diinginkan pembaca sekarang?”

Kata-katanya menusukku lebih dalam daripada yang aku kira. Rasanya seperti sebuah kenyataan pahit yang tak ingin kuakui. Aku selalu berpikir bahwa sebagai juara, aku sudah mencapai puncak. Tapi sekarang? Kata-kata Theodore membuatku merasa seperti aku sudah jauh tertinggal.

“Aku tidak tahu apakah aku bisa berubah,” gumamku pelan. “Aku sudah seperti ini sejak awal. Aku… aku takut kehilangan diriku sendiri jika aku mencoba menjadi sesuatu yang lain.”

Theodore menatapku dengan penuh pengertian. “Tidak ada yang memintamu untuk menjadi sesuatu yang sepenuhnya berbeda, Floretta. Tapi jika kau ingin bertahan, kau harus bisa beradaptasi. Kemenangan tidak hanya milik mereka yang paling kuat, tetapi juga milik mereka yang paling mampu beradaptasi dengan keadaan.”

Aku terdiam. Mungkin selama ini aku terlalu fokus pada diriku sendiri, pada statusku sebagai juara, sehingga aku lupa bahwa dunia terus bergerak. Pembaca berubah, selera mereka berkembang, dan aku tidak bisa hanya berdiam diri berharap semuanya tetap sama.

Hari-hari berikutnya, aku terus memikirkan apa yang dikatakan Theodore. Aku mulai memperhatikan lebih banyak hal di sekitar toko buku. Setiap kali seorang pembaca masuk, aku mengamati bagaimana mereka memilih buku. Bagaimana mereka melihat sampulnya, membaca sinopsis di belakangnya, dan akhirnya memutuskan buku mana yang akan mereka bawa pulang. Aku mulai melihat pola yang sebelumnya tak pernah kusadari. Mereka tidak lagi mencari cerita yang kompleks atau berat seperti dulu. Mereka mencari sesuatu yang lebih personal, lebih ringan, namun tetap menyentuh.

Aku memandang diriku sendiri di cermin toko, melihat pantulan dari sampulku yang penuh dengan kalimat-kalimat pujian dan medali kemenangan. Mungkin, saatnya aku menanggalkan sebagian dari kesombongan itu. Mungkin, kemenangan yang sebenarnya adalah saat kita bisa menempatkan diri dengan rendah hati di tengah-tengah pembaca, bukannya menganggap diri kita selalu lebih baik dari mereka.

Aku berbalik dan memandang Raisa yang tampak damai di tempatnya, selalu siap menerima pembaca dengan ceritanya yang sederhana namun menyentuh. Raisa mungkin bukan buku paling megah atau paling kompleks, tapi dia berhasil meraih hati pembaca. Dan bukankah itu tujuan dari sebuah cerita? Bukan hanya untuk diakui oleh para juri, tapi untuk diterima dan dicintai oleh mereka yang membacanya.

Aku tersenyum kecil. Mungkin ini saatnya bagiku untuk belajar dari Raisa, dari semua buku di rak ini. Bukan soal siapa yang menang atau kalah, tapi soal bagaimana kita tetap bisa bertahan dan relevan di hati pembaca.

“Perjalanan ini belum selesai,” bisikku pada diri sendiri. Aku, Floretta, akan terus berjuang. Tapi kali ini, dengan cara yang berbeda.

 

Kemenangan yang Sesungguhnya

Hari demi hari berlalu, dan meski aku, Floretta, tak lagi menjadi pusat perhatian, ada sesuatu yang berubah di dalam diriku. Rasanya seperti beban yang selama ini kubawa perlahan menghilang. Aku mulai menikmati keheningan, memperhatikan dunia di sekitarku dengan cara yang belum pernah kulakukan sebelumnya.

Malam itu, toko buku seperti biasa dipenuhi cahaya redup dari lampu-lampu kecil. Suasana hening, hanya suara lembut dari halaman-halaman buku yang terbuka oleh angin. Aku duduk di rak, tak lagi terpaku pada statusku sebagai juara. Alih-alih, aku mulai lebih sering berbincang dengan buku-buku di sekitarku. Aku tak lagi merasa harus membuktikan bahwa aku lebih baik. Aku mulai merasa bahwa menjadi bagian dari rak ini, dengan semua kisah dan keunikan masing-masing buku, adalah sesuatu yang jauh lebih berharga.

“Apa yang sedang kamu pikirkan, Floretta?” Suara lembut Raisa terdengar dari sebelahku. Dia kini selalu tampak tenang dan penuh kehangatan. Aku mulai melihatnya bukan lagi sebagai ancaman, tapi sebagai teman.

Aku menghela napas panjang. “Aku sedang memikirkan… semua hal yang selama ini kulewatkan. Semua momen yang kuhabiskan hanya untuk merisaukan status dan pengakuan. Mungkin aku terlalu keras pada diriku sendiri.”

Raisa tersenyum. “Kamu tidak sendirian. Kita semua, di suatu titik, pernah merasa perlu diakui. Tapi akhirnya kita akan menyadari bahwa pengakuan terbesar bukan datang dari luar, tapi dari dalam diri kita sendiri.”

Aku memandang Raisa, merasa terhubung dengannya lebih dari sebelumnya. Dia benar. Selama ini, aku terobsesi dengan pengakuan orang lain, dengan menjadi yang terbaik. Aku lupa bahwa menjadi “yang terbaik” tidak selalu berarti mengalahkan orang lain.

“Terima kasih, Raisa,” kataku tulus. “Aku belajar banyak darimu.”

Raisa mengangguk, lalu tersenyum lagi sebelum melanjutkan membaca halamannya. Aku duduk terdiam untuk beberapa saat, menikmati kedamaian baru yang kurasakan.

Namun, saat aku sedang menikmati momen tenang itu, pintu toko tiba-tiba terbuka dengan suara lonceng kecil yang nyaring. Aku memandang ke arah pintu, dan seorang pembeli masuk. Seorang gadis muda dengan tas besar di pundaknya dan wajah yang penuh semangat. Dia tampak berkeliling, mencari sesuatu.

Aku tak terlalu memikirkannya pada awalnya, sampai dia berjalan mendekati rak tempat aku berada. Gadis itu menatap rak dengan mata berbinar, memperhatikan setiap buku yang berjejer rapi di sana. Dia terlihat seperti sedang mempertimbangkan pilihannya, sampai akhirnya matanya tertuju padaku.

“Wow,” gumam gadis itu pelan sambil mengulurkan tangan untuk menyentuh sampulku. “Buku ini terlihat menarik.”

Aku terdiam. Ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama seseorang benar-benar memperhatikanku. Rasanya aneh—bukan kegembiraan sombong seperti dulu, melainkan perasaan hangat yang perlahan menyebar di dadaku.

Gadis itu membolak-balik halaman-halamanku dengan lembut. Sesekali dia mengangguk, tersenyum, dan menggumamkan kata-kata pujian yang membuatku merasa… dihargai. Bukan sebagai juara, tapi sebagai sebuah buku yang membawa cerita di dalamnya.

“Aku akan mengambil yang ini,” katanya sambil membawa tubuhku ke meja kasir.

Aku tak bisa percaya. Setelah semua keraguanku, setelah semua pergumulanku tentang relevansi dan pengakuan, ternyata masih ada pembaca yang tertarik padaku. Tapi kali ini, aku tidak merasa perlu membuktikan apa-apa. Aku tak lagi merasa perlu memenangkan apapun. Ini bukan tentang mengalahkan Raisa atau menjadi juara. Ini tentang menemukan pembaca yang bisa benar-benar terhubung dengan cerita yang kubawa.

Sebelum meninggalkan rak, aku melirik ke arah Raisa dan Theodore. Mereka menatapku dengan senyum lembut di wajah mereka, seolah-olah mereka tahu persis apa yang kurasakan saat ini. Aku mengangguk kecil sebagai tanda terima kasih kepada mereka sebelum akhirnya gadis itu membawaku keluar dari toko buku.

Perjalanan baru pun dimulai.

Di dalam tas gadis itu, aku merasa aman. Cahaya sore yang masuk melalui celah-celah ritsleting tas menyinari halamanku yang terbuka. Aku tahu, saat gadis ini membacaku, dia akan menemukan ceritaku, bukan sebagai buku juara, tapi sebagai cerita yang bisa memberikan makna baginya. Dan itulah yang selama ini seharusnya aku perjuangkan—bukan piala, bukan status, tapi hubungan yang nyata dengan para pembaca.

Di dalam tas gadis itu, aku menemukan kembali jati diriku. Bukan sebagai buku yang sombong, bukan sebagai pemenang lomba. Aku adalah sebuah cerita, dan tugas utamaku adalah berbagi cerita itu kepada mereka yang membutuhkannya.

Ketika gadis itu akhirnya duduk di bangku taman, aku bisa merasakan dia membuka halamanku dan mulai membaca. Setiap kata yang tertulis di dalam diriku kini terasa lebih hidup. Gadis itu tersenyum kecil saat membaca prologku, dan aku tahu, pada saat itu, bahwa aku sudah menemukan kemenangan yang sesungguhnya.

Kemenangan yang bukan datang dari sorotan atau medali, tapi dari makna yang aku berikan kepada mereka yang memilih untuk membaca ceritaku.

Dan itulah yang paling penting.

 

Jadi, gimana? Seru kan perjalanan Floretta? Dari yang awalnya sombong banget jadi buku juara, sampai akhirnya dia paham arti kemenangan yang sesungguhnya. Kadang, kita juga kayak gitu—sibuk ngejar pengakuan, tapi lupa apa yang sebenarnya penting. Semoga cerita ini bikin kamu mikir, ya. Sampai ketemu lagi di cerita selanjutnya, guys!

Leave a Reply