Daftar Isi
Pernah nggak sih, kepikiran betapa rempongnya orang tua beresin rumah tiap hari? Sementara kita? Rebahan, main HP, atau pura-pura nggak lihat cucian numpuk. Ardhan dulu gitu juga—cuek bebek, nggak peduli urusan rumah.
Tapi siapa sangka, satu kejadian kecil bikin dia sadar, kalau bantu orang tua itu bukan sekadar tugas, tapi cara sederhana buat nunjukin sayang. Gimana ceritanya? Siap-siap, kisah Ardhan ini bakal bikin kamu mikir ulang soal jadi anak yang lebih peduli!
Kisah Ardhan
Debu di Sudut Ruangan
Matahari mulai condong ke barat, menyisakan sinar keemasan yang menyorot ke dalam rumah melalui celah jendela. Lantai ruang tamu masih dipenuhi jejak langkah dari pagi tadi, dan di sudut ruangan, debu tipis mulai menumpuk, menciptakan bayangan samar di atas permukaan kayu. Ardhan berdiri di tengah ruangan dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan kekacauan kecil yang tak pernah benar-benar ia pedulikan sebelumnya.
Di dapur, terdengar suara piring beradu. Ibunya sibuk mencuci sisa makan siang, sementara embusan angin dari kipas tua yang berputar malas hanya membuat debu semakin beterbangan. Ardhan menghela napas pelan. Ia tahu ibunya selalu melakukan semua pekerjaan rumah sendirian. Bukan karena tak ingin dibantu, tapi karena sudah terbiasa.
Dari dapur, suara ibunya terdengar, sedikit lebih tinggi dari biasanya. “Ardhan, kalau kamu cuma berdiri di situ, mending bantuin Ibu, deh!”
Ardhan menoleh, menatap ibunya yang kini melongok dari balik dinding dapur dengan tangan masih basah oleh busa sabun. Ada sedikit senyum di wajah wanita itu, tapi ekspresi lelahnya tak bisa disembunyikan.
“Aku bantuin apa?” Ardhan akhirnya bersuara, meski dengan nada setengah ragu.
Mata ibunya berbinar, seolah tak percaya anaknya sendiri yang menawarkan bantuan. “Hmmm… coba kamu sapu ruang tamu dulu, terus pel sekalian. Tadi pagi lantainya nggak sempat Ibu beresin.”
Ardhan menghela napas pelan. Ia berjalan ke pojok ruangan, mengambil sapu lidi yang tersandar di dinding. Rasanya aneh—sudah lama sekali ia tidak benar-benar bersentuhan dengan pekerjaan rumah seperti ini. Ujung sapu menyentuh lantai, menggeser debu dan sisa-sisa remah yang tersebar di sudut-sudut. Setiap sapuan terasa seperti gerakan yang asing baginya, tapi perlahan ia mulai terbiasa.
Ibunya sesekali melirik dari dapur, menyembunyikan senyumnya saat melihat anak lelakinya yang biasanya lebih suka menghabiskan waktu dengan ponsel, kini bergerak membersihkan rumah. Ardhan mungkin tak menyadari, tapi ada kehangatan yang mulai mengisi rumah sore itu.
Setelah lantai bersih dari debu dan kotoran, Ardhan mengambil kain pel dan mencelupkannya ke dalam ember berisi air. Ia peras kain itu dengan kedua tangan, lalu mulai mengepel lantai, membiarkan air dingin meresap ke telapak kakinya yang tak beralas. Aroma lantai yang basah bercampur dengan udara sore yang mulai mendingin.
Ketika hampir selesai, ibunya berjalan mendekat sambil mengusap tangannya dengan kain lap. “Nggak nyangka kamu bisa ngepel juga, Dan.”
Ardhan menoleh sebentar, lalu melanjutkan pekerjaannya. “Ya… ternyata nggak susah banget sih. Tapi pegel juga.”
Ibunya terkekeh kecil. “Ibu tiap hari begini, Nak.”
Ardhan terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam nada suara ibunya yang membuat dadanya terasa sesak. Ia tahu ibunya tak pernah mengeluh, tak pernah meminta bantuan, tapi seharusnya ia sadar bahwa semua ini bukan pekerjaan ringan.
Setelah memastikan lantai sudah benar-benar bersih dan kering, Ardhan menyandarkan kain pel ke dinding dan melihat hasil kerjanya. Ruang tamu kini tampak lebih rapi, lebih nyaman. Tapi ini baru permulaan. Ada banyak sudut rumah yang masih perlu dibereskan, dan Ardhan bertekad untuk tidak berhenti di sini.
Di dapur, ibunya sudah kembali ke pekerjaannya, kali ini mengelap meja makan. Ardhan berjalan mendekat, mengambil lap dari tangan ibunya tanpa berkata-kata. Wanita itu menatapnya dengan kening berkerut.
“Eh, kamu kenapa?”
“Aku yang beresin. Kamu duduk aja.”
Ibunya menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Baru kali ini denger kamu nyuruh Ibu duduk. Baiklah, Ibu istirahat dulu.”
Ardhan mengangguk, lalu mulai mengelap meja dengan gerakan perlahan. Sementara itu, ibunya duduk di kursi terdekat, mengamati anaknya dengan ekspresi bangga yang tak bisa disembunyikan.
Di luar, langit berubah jingga. Udara sore semakin sejuk, membawa aroma rumah yang kini lebih bersih dan lebih hangat dari biasanya. Tapi pekerjaan belum selesai. Masih ada banyak yang harus dibereskan, dan Ardhan tahu, ini baru awal dari perubahan kecil yang ia buat di rumahnya sendiri.
Ember, Sapu, dan Rasa Bersalah
Setelah meja makan bersih dan rapi, Ardhan meletakkan lap di pinggir wastafel. Pikirannya masih berputar, mengingat betapa banyaknya pekerjaan yang ibunya lakukan sendirian setiap hari. Selama ini, ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, tanpa sadar rumah yang ia tinggali tak pernah beres dengan sendirinya.
“Dan, kamu udah capek? Mau lanjut atau istirahat dulu?” tanya ibunya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Nggak. Aku masih bisa bantuin,” jawab Ardhan tanpa ragu.
Ibunya tersenyum samar lalu berdiri dari kursinya. “Kalau gitu, tolong beresin rak buku di ruang keluarga, ya? Udah lama berantakan. Kayaknya banyak debu juga di situ.”
Ardhan mengangguk dan langsung menuju ruang keluarga. Rak buku tinggi berdiri di sudut ruangan, dipenuhi dengan buku-buku lama dan beberapa barang yang seharusnya tidak ada di sana—kotak obat kosong, bungkusan permen, bahkan remote TV yang seharusnya ada di meja.
Dengan telaten, Ardhan mengeluarkan satu per satu buku dari rak, membersihkan debunya dengan kain, lalu menatanya kembali dengan lebih rapi. Saat sedang menyusun ulang buku-buku di rak bawah, ia menemukan sebuah album foto tua yang warnanya sudah sedikit pudar. Rasa penasaran membuatnya berhenti sejenak.
Ia membuka halaman pertama dan langsung disambut dengan foto masa kecilnya—masih balita, duduk di lantai dapur sambil memegang sendok kayu besar. Di sebelahnya, ibunya terlihat sedang tertawa sambil mengaduk sesuatu di dalam panci. Di foto lainnya, ada ia yang masih kecil, membantu ibunya menyapu teras dengan sapu lidi yang ukurannya hampir sebesar tubuhnya.
Ardhan terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.
“Ketemu apa?” Suara ibunya membuatnya menoleh. Wanita itu berdiri di ambang pintu ruang keluarga, menatap album foto di tangan Ardhan dengan senyum nostalgia.
“Aku nemu ini,” ujar Ardhan sambil memperlihatkan album itu. “Aku lupa kalau dulu suka ikut bantu-bantu juga.”
Ibunya terkekeh pelan. “Iya. Dulu kamu nggak bisa lihat Ibu kerja sendirian. Pasti ikut-ikutan, meskipun akhirnya malah bikin tambah berantakan.”
Ardhan menatap foto-foto itu lagi. “Tapi kenapa sekarang aku malah jarang bantu?”
Ibunya mengangkat bahu santai. “Mungkin karena kamu tumbuh gede dan punya kesibukan sendiri. Ibu juga nggak pernah maksa kamu buat bantu, kan?”
“Tapi kayaknya harusnya aku sadar sendiri, ya?” Ardhan menggumam pelan.
Ibunya menatapnya lama sebelum akhirnya mendekat dan menepuk pundaknya. “Setiap orang ada momennya buat sadar, Dan. Yang penting sekarang kamu udah mulai peduli lagi.”
Ardhan mengangguk. Ia menutup album itu dan mengembalikannya ke tempatnya semula, lalu kembali menata buku-buku di rak dengan lebih teliti. Kini, setiap gerakan yang ia lakukan terasa lebih bermakna, bukan lagi sekadar membersihkan rumah, tapi juga seperti menyusun ulang sesuatu dalam dirinya—rasa peduli yang sempat ia abaikan selama ini.
Ketika rak buku sudah selesai dibereskan, Ardhan menatap sekeliling ruang keluarga. Masih ada beberapa hal yang bisa ia rapikan. Ia berjalan ke meja kecil di sudut ruangan dan mulai mengelapnya. Di sana, ada vas bunga yang kelopaknya sudah mulai layu.
“Ibu, bunga ini nggak diganti?” tanyanya sambil menunjuk vas itu.
Ibunya mendekat, mengamati bunga tersebut sebentar lalu menghela napas. “Ibu lupa. Udah kebanyakan yang harus dikerjain, jadi nggak sempat mikirin bunga.”
Ardhan menatap ibunya, lalu tanpa banyak bicara, ia mengambil vas itu dan membawanya ke luar rumah. Ia membuang bunga lama dan menggantinya dengan yang baru dari taman kecil di samping rumah. Ketika ia kembali dengan vas yang sudah terisi bunga segar, ibunya menatapnya dengan mata berbinar.
“Kamu ingat kalau bunga ini kesukaan Ibu?”
Ardhan meletakkan vas itu kembali ke meja dan tersenyum kecil. “Ya… aku ingat.”
Ibunya tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya tersenyum puas sambil mengusap lengan anaknya.
Sore semakin meredup, tetapi kehangatan di dalam rumah justru semakin terasa. Ardhan masih belum selesai membantu. Ada hal lain yang ingin ia lakukan—dan besok, ia bertekad untuk tetap melanjutkan.
Pagi yang Berbeda
Matahari baru saja naik ketika Ardhan membuka matanya. Udara pagi masih sejuk, dan suara burung dari luar jendela terdengar samar-samar. Ia mengusap wajahnya, masih setengah mengantuk, tapi kemudian ingat sesuatu—hari ini, ia ingin bangun lebih pagi dan membantu lebih banyak.
Tanpa berpikir lama, ia segera bangkit dari tempat tidur, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah enam. Biasanya, ia baru bangun sekitar satu jam lagi, tapi pagi ini terasa berbeda. Ada semacam dorongan dalam dirinya yang membuatnya tak ingin kembali tidur.
Saat keluar dari kamar, rumah masih sunyi. Ibunya pasti masih di dapur, seperti biasa.
Ardhan berjalan ke arah dapur dan benar saja, di sana ibunya sudah sibuk. Wajahnya masih tampak sedikit mengantuk, tapi tangannya lincah mengaduk sesuatu di wajan.
“Kok udah bangun?” tanya ibunya, sedikit terkejut melihat Ardhan.
“Ya, bangun aja. Lagian aku mau bantu.”
Ibunya tersenyum tipis, lalu kembali fokus pada masakannya. “Kalau gitu, tolong ambilin piring di rak, ya. Sekalian susunin di meja.”
Ardhan segera mengambil beberapa piring dan membawanya ke meja makan. Ia menata piring, gelas, dan sendok dengan rapi. Sesekali, ia melirik ke arah ibunya yang masih sibuk memasak.
Beberapa menit kemudian, ibunya datang membawa sepanci sayur bening dan sepiring lauk. Ia meletakkannya di meja lalu menatap Ardhan dengan bangga.
“Nggak nyangka kamu bisa bangun pagi buat bantu-bantu kayak gini.”
Ardhan hanya mengangkat bahu santai. “Lagian ini kan juga buat aku makan nanti.”
Ibunya tertawa kecil. “Ya, tapi biasanya kamu baru bangun pas semuanya udah siap.”
Ardhan tidak bisa membantah itu. Ia memang selalu menjadi orang terakhir yang bangun, lalu langsung duduk di meja makan tanpa perlu repot-repot menyiapkan apa pun. Tapi pagi ini, rasanya jauh lebih memuaskan bisa ikut membantu sejak awal.
Setelah sarapan, Ardhan tidak langsung kembali ke kamar seperti biasanya. Ia melirik ke luar jendela dan melihat halaman depan yang dipenuhi dedaunan kering. Sapu lidi tergeletak di dekat pintu.
“Ibu, aku mau nyapu halaman dulu, ya,” katanya tiba-tiba.
Ibunya mengangkat alis. “Serius?”
Ardhan mengangguk, lalu tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia berjalan ke luar, mengambil sapu, dan mulai membersihkan halaman. Angin pagi masih bertiup sejuk, dan dedaunan kering berguguran di sekitar kakinya.
Menyapu halaman ternyata lebih melelahkan dari yang ia kira, tapi ada sesuatu yang menyenangkan dalam setiap gerakannya. Ia menyapu ke satu arah, mengumpulkan dedaunan di satu tempat, lalu membuangnya ke tempat sampah di sudut halaman.
Beberapa tetangga yang lewat sempat melirik ke arahnya. Salah satu dari mereka, Pak Rudi, bahkan berhenti sejenak.
“Wah, Ardhan. Tumben rajin nyapu pagi-pagi,” katanya dengan nada bercanda.
Ardhan hanya tersenyum kecil. “Iseng aja, Pak.”
Pak Rudi tertawa sebelum melanjutkan langkahnya. Ardhan menghela napas, melirik halaman yang sudah jauh lebih bersih. Saat kembali ke dalam rumah, ibunya menatapnya dengan ekspresi penuh arti.
“Kamu tahu?” kata ibunya pelan. “Dulu, pas kamu kecil, kamu suka banget nyapu halaman. Tapi kalau capek, kamu tinggalin aja sapunya di tengah jalan.”
Ardhan mengernyit. “Serius?”
Ibunya tertawa kecil. “Iya. Ibu yang akhirnya harus beresin sisa-sisanya.”
Ardhan ikut tertawa, membayangkan dirinya yang dulu. Tapi kini, ia tahu, ia tidak akan meninggalkan pekerjaan setengah jadi lagi.
Pagi itu, Ardhan merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Mungkin kecil, mungkin tidak terlihat, tapi ia tahu perasaan itu nyata—perasaan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang berarti. Dan ia belum ingin berhenti di sini.
Kebiasaan Baru
Malam turun dengan tenang, angin sepoi-sepoi berhembus di halaman rumah Ardhan. Setelah seharian membantu di rumah, tubuhnya terasa lebih lelah dari biasanya, tapi ada kepuasan yang membuatnya tak keberatan.
Di ruang keluarga, ibunya duduk di sofa sambil melipat pakaian. Ardhan baru saja keluar dari kamar setelah mandi. Biasanya, ini adalah waktu di mana ia rebahan di kasur sambil main ponsel. Tapi entah kenapa, malam ini ia merasa tak nyaman hanya diam saja.
Tanpa banyak bicara, ia berjalan ke arah ibunya, lalu ikut duduk di lantai dan mulai membantu melipat pakaian.
Ibunya melirik sekilas, tersenyum kecil, lalu berkata, “Kamu kenapa sih, Dan? Dari pagi sampai malam nggak berhenti bantu-bantu. Ini anak ibu atau anak siapa?”
Ardhan terkekeh. “Biasa aja kali. Lagian, kalau bukan aku, siapa lagi?”
Ibunya menghela napas, lalu melanjutkan melipat baju. “Ibu nggak nyangka kamu bisa berubah kayak gini.”
“Aku juga nggak nyangka,” Ardhan mengaku jujur.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan nyaman, hanya suara lipatan kain yang terdengar. Ardhan memperhatikan ibunya—wajah yang dulu selalu ia abaikan saat sibuk dengan dunianya sendiri. Ia ingat bagaimana ibunya selalu ada, mengurus segalanya, memastikan rumah tetap rapi, makanan selalu tersedia, dan semua berjalan seperti seharusnya.
Tapi sekarang, ia tahu bahwa semua itu tidak semudah kelihatannya.
“Ibu capek nggak sih, tiap hari beresin rumah sendirian?” tanyanya tiba-tiba.
Ibunya terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Ya, kadang capek. Tapi ibu udah biasa.”
Ardhan menggigit bibirnya. Dulu, ia pikir pekerjaan rumah itu bukan urusannya. Tapi sekarang, ia sadar bahwa hal sekecil apa pun yang ia lakukan bisa sedikit meringankan beban ibunya.
“Ibu nggak perlu biasa,” kata Ardhan pelan. “Mulai sekarang, aku bakal bantu setiap hari.”
Ibunya menatapnya dengan mata berbinar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tapi ia tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan dan tersenyum.
Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai, Ardhan kembali ke kamarnya. Ia merebahkan diri di kasur dan menatap langit-langit. Tubuhnya lelah, tapi hatinya terasa ringan.
Siapa sangka, sesuatu yang dulu ia anggap sepele ternyata bisa memberikan perasaan sebahagia ini?
Ia tidak tahu apakah ini akan menjadi kebiasaan yang terus berlanjut, tapi satu hal yang pasti—ia tak ingin kembali menjadi Ardhan yang dulu.
Membantu orang tua di rumah bukan lagi sebuah kewajiban, melainkan bentuk kasih sayang yang nyata. Dan malam ini, untuk pertama kalinya, Ardhan benar-benar mengerti apa artinya itu.
Jadi, siapa bilang bantuin orang tua itu ribet? Ardhan udah buktiin, hal kecil kayak nyapu, ngepel, atau lipat baju bisa bikin perasaan lebih lega dan orang tua lebih bahagia.
Nggak harus nunggu momen besar buat mulai, yang penting niat! Siapa tahu, dari sekadar bantu-bantu, malah jadi kebiasaan baru yang bikin rumah makin nyaman dan hati makin tenang. Jadi, kapan giliran kamu buat mulai?