Ketika Sikap Bodo Amat Membawa Luka: Kisah Ovi di Antara Gaul dan Sepi

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Dalam cerpen yang penuh emosi ini, kita akan mengikuti perjalanan Ovi, seorang anak SMA yang gaul dan aktif, tetapi menyembunyikan perasaan sepi dan hampa di balik senyumannya.

Cerita ini menggambarkan perjuangannya melawan rasa tidak berharga, hingga ia belajar bahwa kekuatan sejati adalah ketika kita berani menghadapi luka yang tersembunyi dan menerima diri kita apa adanya. Yuk, baca kisah Ovi yang inspiratif dan penuh makna ini, pasti bakal bikin kamu terhanyut!

 

Kisah Ovi di Antara Gaul dan Sepi

Topeng Keceriaan Ovi

Matahari pagi menyinari halaman sekolah, dan riuh suara tawa serta canda para siswa terdengar di seluruh penjuru. Di tengah keramaian itu, Ovi berjalan dengan langkah ringan, senyum tipis selalu menghiasi wajahnya. Ia seperti magnet yang menarik perhatian, membuat siapa pun yang melihatnya merasa perlu mendekat. Teman-temannya bersorak riang ketika Ovi datang.

“Ovi! Sini, duduk sama kita!” seru Rara, salah satu sahabatnya.

“Ya ampun, kalian dari tadi heboh banget sih!” balas Ovi sambil tertawa kecil meskipun di dalam hatinya ia sedang merasa kosong.

Ovi selalu menjadi pusat perhatian. Di mana pun dia berada, selalu ada tawa yang mengiringinya. Orang-orang menganggapnya sebagai anak yang tidak pernah bermasalah, yang hidupnya selalu ceria. Tak ada yang tahu bahwa di balik senyum itu, ada luka yang ia sembunyikan dengan begitu dalam. Luka yang ia sembunyikan begitu rapat, bahkan dari dirinya sendiri.

Selalu ada kebahagiaan semu yang ia pancarkan, meski di dalam hatinya ia tak pernah merasa utuh. Setiap pagi, sebelum ke sekolah, ia berdiri di depan cermin, memasang wajah ceria, seolah-olah kebahagiaannya adalah topeng yang sudah menjadi bagian dari dirinya. Tapi itu hanya topeng. Ia tahu itu. Hanya saja, semakin lama, topeng itu terasa semakin berat untuk dipakai.

Di kelas, Ovi adalah murid yang aktif. Dia sering menjadi ketua kelompok dalam setiap tugas, berbicara di depan kelas dengan percaya diri, seolah-olah dunia adalah miliknya. Tapi, saat tidak ada yang memperhatikan, ketika sorot mata teman-temannya tak lagi tertuju padanya, Ovi seringkali termenung, pikirannya melayang entah ke mana. Saat itu, suara-suara dalam dirinya mulai muncul. Suara yang bertanya, “Apa aku benar-benar bahagia? Kenapa aku selalu merasa sendiri?”

Sore itu, setelah jam pelajaran selesai, Ovi duduk di kantin bersama teman-temannya. Mereka bercanda, membicarakan rencana akhir pekan, dan tertawa tanpa henti. Ovi, seperti biasa, ikut tertawa, mengeluarkan candaan yang membuat teman-temannya semakin terbahak-bahak. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Perasaan asing yang ia coba abaikan.

“Vi, kamu di weekend ini ikut nggak ke rumahnya Dinda? Katanya mau ngadain acara kecil-kecilan buat nonton bareng,” tanya Sinta, salah satu teman dekatnya.

Ovi tersenyum. “Nanti aku kabarin deh, Sin. Lihat nanti aja gimana,” jawabnya ringan.

Di balik jawaban yang santai itu, Ovi tahu bahwa ia mungkin tak akan pergi. Bukan karena dia sibuk, bukan juga karena tak ingin berkumpul, tetapi karena akhir-akhir ini, rasanya terlalu lelah berpura-pura. Terlalu berat menyembunyikan perasaannya di balik senyum. Setiap kali dia bersama teman-temannya, perasaan kosong itu semakin besar. Seolah-olah ada dinding tebal yang memisahkannya dari kebahagiaan yang seharusnya ia rasakan.

Ovi pulang ke rumah sore itu dengan perasaan campur aduk. Langit senja tampak indah, dengan semburat oranye dan ungu yang menyatu di cakrawala. Namun, keindahan itu tak bisa mengusir kekosongan yang menggerogoti hatinya. Setibanya di rumah, Ovi membuka pintu dan seperti biasa, rumahnya terasa sunyi. Ayah dan ibunya belum pulang. Suara keheningan yang sudah begitu familiar baginya menyambutnya dengan dingin. Ovi berjalan menuju kamarnya, melempar tas sekolahnya ke sudut ruangan, lalu berbaring di tempat tidur. Pandangannya lurus ke arah langit-langit.

“Kenapa semuanya terasa begitu kosong?” Ovi bertanya dalam hati.

Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membuka media sosial. Layar ponselnya dipenuhi dengan foto-foto teman-temannya yang tersenyum bahagia. Mereka mengunggah momen-momen kebersamaan yang selalu terlihat sempurna. Ovi menekan tombol “suka” di beberapa foto, namun di dalam hatinya, perasaan asing itu terus tumbuh. Ia tidak merasa terhubung dengan momen-momen itu, meski ia adalah bagian dari mereka.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara pintu depan dibuka. Orang tua Ovi akhirnya pulang. Suara ayahnya terdengar lebih keras dari biasanya, dan tak lama kemudian, ibunya membalas dengan nada yang sama tajamnya. Mereka bertengkar. Lagi. Ovi sudah terlalu sering mendengar hal ini. Pertengkaran yang sama, dengan alasan yang mungkin berbeda, tapi hasilnya selalu sama: rumahnya kembali sunyi setelah suara-suara keras itu mereda.

Ovi menarik selimutnya, mencoba menghilangkan suara-suara pertengkaran itu dari telinganya. Air mata mulai mengalir tanpa ia sadari. Bukan hanya karena pertengkaran orang tuanya, tapi karena ia merasa sendirian. Orang-orang di sekitarnya tak pernah benar-benar tahu siapa Ovi yang sebenarnya. Bahkan teman-teman terdekatnya pun tak menyadari betapa rapuh dirinya di balik semua sikap bodo amat yang ia tunjukkan.

Malam itu, Ovi merasakan kehampaan yang begitu besar. Semua hal yang ia anggap sebagai “pelarian” tawa, teman, candaan tidak lagi bisa menutupi kenyataan bahwa ia merasa sepi, terlupakan di tengah keramaian.

“Pernah nggak sih, ada yang benar-benar peduli sama aku? Bukan cuma karena aku gaul, tapi karena aku… aku?” gumamnya lirih.

Namun, tak ada jawaban. Hanya kesunyian yang kembali menghantui. Ovi tahu, ia tidak bisa terus seperti ini. Tapi, untuk mengakui bahwa ia rapuh, itu terasa seperti hal yang mustahil. Sebagai Ovi yang dikenal sebagai gadis gaul dan aktif, kelemahan bukanlah sesuatu yang bisa ia tunjukkan. Dan dengan itu, ia menarik nafas panjang, menutup matanya, dan mencoba tidur. Namun, tidurnya tidak tenang, karena di dalam mimpinya pun, ia masih terjebak dalam topeng yang sama.

Hari-hari terus berlalu, dan Ovi semakin ahli dalam menutupi rasa sakitnya. Di sekolah, dia tetap menjadi Ovi yang selalu ceria, yang bisa membuat siapa pun tertawa. Tapi di dalam hatinya, ia semakin tenggelam dalam kebingungan. Dan di suatu titik, ia mulai mempertanyakan, berapa lama lagi ia bisa bertahan memakai topeng itu?

Memperlihatkan kehidupan sehari-hari Ovi sebagai siswa yang selalu terlihat bahagia di luar, namun sebenarnya terjebak dalam kesepian yang ia sembunyikan dari dunia. Sikapnya yang ‘bodo amat’ hanyalah cara untuk menutupi luka batinnya, dan di balik senyum cerahnya, ada kehampaan yang semakin dalam.

 

Di Balik Tembok Bodo Amat

Pagi yang sama, rutinitas yang sama. Ovi kembali mengenakan senyum andalannya saat melangkahkan kaki ke sekolah. Ia sudah terbiasa memainkan peran ini, peran gadis ceria yang tak pernah menunjukkan luka di balik hatinya. Namun, pagi itu rasanya berbeda. Ada sesuatu yang terus menyesakkan dadanya sejak malam sebelumnya, sejak pertengkaran orang tuanya kembali memenuhi rumah. Sebuah perasaan yang selama ini ia tekan semakin sulit untuk diabaikan.

Saat tiba di sekolah, Ovi kembali disambut dengan suara riuh teman-temannya yang sedang bercanda di depan gerbang. Ia tersenyum, meski senyumnya kini terasa sedikit lebih berat. “Ovi, sini deh!” panggil Rara dengan semangat, mengajaknya bergabung. Seperti biasa, Ovi menghela napas tipis dan memasang senyum cerah, menyembunyikan semua yang mengganggu pikirannya.

“Heh, Vi, kok kamu mukanya lelah banget sih? Kurang tidur ya?” canda Sinta sambil menatapnya dengan senyuman geli.

“Hah? Nggak kok, Sin. Biasa aja, nih,” jawab Ovi sambil tertawa kecil, meski dalam hatinya ia tahu, senyum itu semakin lama semakin rapuh.

Selama jam pelajaran, Ovi duduk di bangkunya, menatap papan tulis, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Suara gurunya yang sedang menjelaskan pelajaran biologi terdengar seperti bisikan jauh. Dalam keheningan pikirannya, suara-suara itu kembali muncul, pertanyaan yang selama ini ia coba abaikan.

“Kenapa aku selalu merasa sendirian? Kenapa aku nggak pernah bisa jujur sama perasaanku sendiri?” pikir Ovi, jari-jarinya bermain dengan sebuah ujung buku catatannya. Setiap kali ia ingin berbagi dengan seseorang, selalu ada tembok tinggi yang ia bangun sendiri, tembok yang ia sebut dengan sikap bodo amat.

Sikap itu, yang selama ini ia anggap sebagai pelindung, perlahan-lahan berubah menjadi penjara bagi dirinya sendiri. Ovi ingin sekali berbicara dengan seseorang siapa pun yang bisa mendengarkannya tanpa menghakimi. Tapi setiap kali ia membuka mulut untuk mencoba, selalu ada rasa takut yang menghentikannya. Takut terlihat lemah. Takut dianggap berbeda.

Ketika bel istirahat berbunyi, Ovi kembali bergabung dengan teman-temannya di kantin. Mereka tertawa, bercanda tentang hal-hal sepele tentang film baru, tugas sekolah, bahkan tentang gosip-gosip yang beredar. Namun, di tengah tawa mereka, Ovi merasakan semakin jauh dari semua itu. Seolah ia melihat dari luar lingkaran mereka, meskipun secara fisik ia berada di sana.

“Ovi, kamu kenapa sih? Kayaknya akhir-akhir ini kamu sering bengong deh,” tanya Rara tiba-tiba, menyadari bahwa Ovi tidak seperti biasanya. “Ada masalah?”

Ovi menelan ludah, mencoba mencari jawaban yang tidak terlalu jujur. “Nggak kok, Ra. Mungkin aku cuma capek aja. Kebanyakan belajar kali,” jawabnya sambil tersenyum tipis.

“Ya ampun, Vi! Kamu sih belajar terus. Chill dong, jangan terlalu serius. Biar kayak dulu lagi, yang seru-seruan,” kata Rara sambil menepuk bahunya. Ovi hanya tertawa kecil, meski dalam hatinya ia ingin berteriak, ingin mengatakan kalau semua ini terlalu sulit. Tapi ia tetap diam. Tawa itu lebih mudah, lebih aman.

Sepulang sekolah, Ovi memutuskan untuk berjalan kaki lebih lama dari biasanya, melewati rute yang berbeda. Ia tidak ingin cepat-cepat sampai di rumah. Tidak ingin mendengar lagi suara-suara pertengkaran yang mungkin masih akan terjadi malam itu. Langit mulai mendung, dan angin dingin bertiup lembut, seolah menyapa kesepiannya. Ia berjalan menuju sebuah taman yang jarang ia kunjungi. Tempat itu sepi, hanya ada beberapa anak kecil yang berlarian sambil tertawa.

Ovi duduk di bangku kayu yang menghadap ke arah lapangan rumput. Pandangannya kosong. Sebenarnya, apa yang ia cari di sini? Mengapa ia merasa begitu hampa, padahal di sekolah tadi ia baru saja tertawa bersama teman-temannya?

“Sampai kapan aku bisa terus begini?” gumamnya lirih.

Seiring waktu, Ovi menyadari bahwa sikap bodo amat yang selama ini ia banggakan bukanlah solusi. Ia merasa kuat dengan menutup semua emosi itu, tapi semakin lama, perasaan itu malah menyiksa. Tembok yang ia bangun semakin tinggi, dan ia semakin terisolasi. Di balik semua keceriaan yang ia tunjukkan, ada rasa sakit yang semakin sulit ia bendung. Ovi merasa seolah dirinya tenggelam dalam lautan kesepian, dan ia tidak tahu cara untuk keluar.

Tiba-tiba, hujan turun dengan derasnya. Ovi tidak bergerak. Ia membiarkan air hujan membasahi tubuhnya, seolah-olah berharap hujan itu bisa mencuci semua luka di hatinya. Tapi, tentu saja, itu tak mungkin terjadi. Luka itu terlalu dalam untuk hilang hanya dengan air hujan.

Saat itulah, untuk pertama kalinya, Ovi menangis. Bukan hanya tetes air mata biasa, tapi tangisan yang ia tahan selama bertahun-tahun. Tangisan yang ia sembunyikan di balik senyum, di balik sikap bodo amatnya. Ia menangis sendirian, di bawah hujan yang deras, di taman yang sepi. Tak ada yang pernah tahu dan tak ada juga yang melihat. Tapi untuk pertama kalinya, Ovi merasa jujur pada dirinya sendiri.

Dalam tangisnya, Ovi menyadari bahwa ia tak bisa terus hidup seperti ini. Ia tidak bisa terus-menerus menyembunyikan perasaannya di balik topeng keceriaan dan sikap cueknya. Ia butuh seseorang. Seseorang yang bisa mendengarkannya, yang bisa memahami betapa lelahnya ia berpura-pura kuat.

Malam itu, ketika ia pulang dengan pakaian basah dan tubuh yang menggigil, ia kembali disambut oleh keheningan rumahnya. Tapi kali ini, keheningan itu tidak lagi terasa menakutkan. Karena, untuk pertama kalinya, Ovi tahu bahwa ia tidak bisa terus bersembunyi di balik tembok yang ia bangun sendiri. Ia harus mencari jalan keluar dari kesepiannya. Entah bagaimana caranya, Ovi tahu bahwa langkah pertama adalah berani mengakui perasaannya, berani mengakui bahwa ia tidak baik-baik saja.

Dan meskipun perjuangan itu baru saja dimulai, meskipun ia masih merasa takut dan bingung, Ovi tahu bahwa ia sudah membuat keputusan penting malam itu. Ia akan berhenti berpura-pura. Ia akan berhenti bersembunyi di balik tembok bodo amatnya.

Karena di balik tembok itu, ada seorang Ovi yang rapuh, yang butuh dicintai, butuh dipahami. Dan Ovi tahu, meskipun itu akan sulit, ia harus memperjuangkan dirinya sendiri.

Bagaimana Ovi mulai merasakan kelelahan emosional dari sikap bodo amat yang selama ini ia pertahankan. Ia perlahan mulai menyadari bahwa tembok yang ia bangun untuk melindungi dirinya justru membuatnya terjebak dalam kesepian yang mendalam. Melalui momen di taman saat hujan turun, Ovi merasakan bahwa sudah saatnya ia mulai jujur pada perasaannya, dan ini adalah langkah awal dari perjuangannya untuk keluar dari kepura-puraan.

 

Saatnya Menghadapi Diri Sendiri

Pagi berikutnya, meskipun tubuh Ovi sudah hangat kembali setelah mandi air hangat dan semangkuk sup hangat yang dimasak ibunya semalam, hatinya tetap dingin. Tatapan kosongnya bercampur dengan rasa cemas yang sulit ia jelaskan. Di dalam hatinya, masih ada perasaan bingung dan takut—ketakutan untuk membuka diri pada dunia di sekelilingnya, terutama pada dirinya sendiri.

Di cermin, ia menatap bayangan dirinya, mencoba menemukan kembali sosok Ovi yang dulu selalu tampil percaya diri dan selalu ada untuk orang lain. Tapi kini, yang ia lihat hanya sosok lelah yang mulai meragukan semua yang ia bangun selama ini.

Hari itu, Ovi merasa segalanya bergerak lebih lambat. Langkahnya menuju sekolah terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang membelenggu kakinya. Ketika tiba di sekolah, ia mendapati teman-temannya berkumpul seperti biasa, tertawa, bercanda. Ovi menelan ludah, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk kembali bergabung dengan mereka. Tapi kali ini, senyum yang biasanya mudah ia pasang terasa kaku.

“Hei, Vi! Sini deh, kita lagi ngomongin acara liburan semester nanti!” panggil Rara dengan wajah yang ceria matanya berkilat penuh dengan semangat. Namun, kali ini Ovi tak langsung menghampiri mereka. Ia ragu, tangannya mengepal erat di samping tubuhnya, merasakan getaran di dadanya.

“Aku… Aku butuh waktu sendiri,” gumam Ovi pelan, nyaris tak terdengar. Tapi entah bagaimana, Rara menangkap kalimat itu.

“Hah? Maksudnya gimana, Vi?” Rara mendekat, wajahnya dipenuhi kebingungan. Ia tidak terbiasa mendengar Ovi mengatakan hal seperti itu. Selama ini, Ovi adalah sosok yang selalu penuh semangat dan tak pernah menolak ajakan teman-temannya. Sikapnya yang ceria dan aktif membuatnya selalu jadi pusat perhatian. Tapi hari itu, Ovi berbeda.

“Aku cuma… ya, aku butuh waktu sendiri, Ra.”Sorry, kata Ovi lagi kali ini kita sedikit lebih jelas. Ada perasaan lega yang aneh saat ia mengatakan itu, meskipun di baliknya ada rasa takut akan reaksi teman-temannya.

Rara tampak kaget, tapi ia mencoba memahami. “Oke… tapi kalau ada apa-apa, bilang ya. Kita ada di sini kok.” Rara menepuk bahu Ovi pelan, seolah memberinya dukungan tanpa menghakimi.

Ovi mengangguk lemah, lalu melangkah mundur, meninggalkan keramaian teman-temannya. Untuk pertama kalinya, ia memilih untuk tidak ikut bergabung dalam canda tawa mereka. Ia berjalan menuju ruang kelas yang masih kosong karena jam istirahat baru saja dimulai. Di sana, ia duduk di bangku paling belakang, sendirian. Hatinya gelisah, namun juga ada rasa lega yang perlahan merayap di dalam dirinya. Setidaknya, untuk saat ini, ia bisa berhenti berpura-pura.

Namun, duduk sendirian di ruang kelas itu tidak lantas membuat perasaannya membaik. Pikiran-pikiran gelap terus menghantuinya. “Apa yang salah denganku? Kenapa aku merasa seperti ini? Kenapa aku nggak bisa jujur pada teman-temanku?” gumamnya pelan, matanya menatap kosong ke arah papan tulis yang penuh coretan sisa pelajaran sebelumnya.

Setiap kali ia mencoba memahami perasaannya, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Dan setiap pertanyaan membawa rasa sakit yang lebih dalam. Ovi tahu bahwa ia tidak bisa terus begini. Ia tahu bahwa ia butuh bantuan, tapi ia tidak tahu harus mulai dari mana. Ia merasa malu untuk mengakui bahwa di balik sikap bodo amatnya, ada seorang Ovi yang rapuh, yang berjuang untuk menahan air mata setiap malam.

Langit di luar tampak mendung, seolah-olah akan hujan lagi. Ovi menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. Ingatan tentang hujan kemarin kembali membanjiri pikirannya. Tangisan di bawah derasnya hujan itu seperti pelepasan sementara, tapi luka di hatinya masih ada, lebih dalam dari yang ia sadari.

Tak lama kemudian, bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam istirahat. Teman-temannya kembali masuk ke kelas dengan tawa dan canda seperti biasa. Ovi memperhatikan mereka dari sudut matanya, merasakan betapa jauhnya jarak yang kini tercipta antara dirinya dan mereka. Mereka tampak begitu bebas, begitu bahagia. Tapi Ovi? Ia terperangkap dalam dunia yang ia ciptakan sendiri, dunia yang penuh dengan kesepian dan ketidakpastian.

Hari itu berlalu dengan lambat. Sepanjang pelajaran, Ovi hanya setengah mendengarkan. Pikirannya terus melayang, memikirkan bagaimana caranya keluar dari perasaan ini. Di satu sisi, ia merasa takut untuk terbuka, takut dianggap lemah. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan.

Sepulang sekolah, Ovi merasa tubuhnya begitu lelah, baik secara fisik maupun emosional. Ia berjalan pulang dengan langkah gontai, tanpa tujuan pasti. Di tengah perjalanan, ia berhenti di depan taman kecil yang kemarin menjadi tempatnya menangis. Tanpa berpikir panjang, ia kembali masuk ke dalam taman itu, duduk di bangku yang sama. Taman itu sepi, hanya ada suara angin yang berdesir pelan di antara pepohonan.

Ovi menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan rasa cemas yang terus menghantui pikirannya. “Aku nggak bakal bisa terus begini.” Gumamnya pada diri sendiri. “Aku harus melakukan sesuatu.”

Dengan tangan gemetar, Ovi meraih ponselnya dari dalam tas. Jari-jarinya bergerak lambat saat ia membuka daftar kontaknya. Satu nama menarik perhatiannya: nama Rara. Temannya yang selama ini selalu ada di sisinya, meskipun ia tak pernah benar-benar menceritakan apa yang terjadi dalam hidupnya. “Mungkin ini saatnya…” pikir Ovi.

Setelah ragu beberapa saat, akhirnya ia mengetik pesan singkat: “Ra, aku butuh ngomong sesuatu. Bisa ketemu nanti?”

Pesan itu terlihat begitu sederhana, tapi bagi Ovi, itu adalah langkah besar. Ia belum pernah meminta bantuan sebelumnya, belum pernah membiarkan seseorang masuk ke dalam dunianya yang penuh luka ini. Tapi kali ini, ia tahu bahwa ia harus mencoba. Karena jika tidak, ia akan terus tenggelam dalam kesepiannya sendiri.

Tak lama kemudian, pesan dari Rara muncul di layarnya: “Tentu aja, Vi. Kapan pun kamu butuh. Kita ketemu di kafe dekat sekolah aja ya?”

Ovi menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca lagi. Ada perasaan lega yang mulai mengalir di dalam dirinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia tidak sendirian lagi. Meskipun ia masih takut, masih ragu, setidaknya ia telah memulai langkah kecil untuk keluar dari tembok yang selama ini ia bangun.

Saat sore tiba, Ovi berjalan menuju kafe yang ia dan Rara sepakati. Di setiap langkah, hatinya berdegup kencang. Ada perasaan takut akan reaksi Rara, takut jika ia dianggap lemah atau aneh. Namun, Ovi juga tahu bahwa ia tidak bisa terus menyimpan semuanya sendirian.

Ketika akhirnya mereka bertemu di kafe itu, Rara tersenyum lebar, menyambut Ovi dengan hangat. “Jadi, kamu mau ngomong apa, Vi?” tanyanya lembut.

Ovi menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca. “Ra, aku… aku nggak baik-baik aja. Selama ini aku cuma pura-pura,” kata Ovi dengan suara bergetar.

Air mata mulai mengalir di pipinya, dan untuk pertama kalinya, Ovi membiarkan dirinya terbuka di depan seseorang yang ia percayai. Ia tahu, ini baru langkah awal, tapi itu adalah langkah yang sangat berarti.

Perjuangan Ovi untuk mulai membuka dirinya dan mengakui bahwa ia tidak baik-baik saja. Momen saat ia menghubungi Rara adalah simbol dari keberanian Ovi untuk menghadapi perasaannya sendiri dan mencoba mencari dukungan dari orang-orang terdekatnya. Langkah ini mungkin kecil, tapi bagi Ovi, ini adalah awal dari perjalanan panjangnya menuju penyembuhan.

 

Menerima Luka yang Tersembunyi

Sore itu di kafe, Ovi merasa beban berat yang ia pikul selama ini sedikit terangkat. Meski air mata terus mengalir di pipinya, berbicara dengan Rara memberinya ruang untuk bernapas. Rara mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya yang biasanya ceria kini dipenuhi empati. Satu hal yang membuat Ovi merasa sedikit lega adalah ketika Rara tidak menghakiminya, tidak menyebutnya lemah atau aneh, tetapi hanya menjadi pendengar yang baik.

“Vi, aku nggak tahu seberat apa yang kamu rasain selama ini, tapi aku ada di sini buat kamu,” kata Rara lembut sambil menggenggam tangan Ovi. Kalimat sederhana itu begitu berarti bagi Ovi, yang selama ini merasa sendirian dalam dunianya.

Namun, ketika mereka berpisah di depan kafe dan Ovi berjalan pulang sendiri, kesepian itu kembali menghantui. Langit mulai berubah menjadi gelap, mencerminkan suasana hati Ovi yang masih kelam. Ia merasakan kekosongan yang sama, meskipun kini ada seseorang yang tahu tentang perasaannya.

Sesampainya di rumah, Ovi menutup pintu kamarnya dengan pelan. Ia melemparkan tasnya ke lantai dan duduk di atas tempat tidur, memeluk lututnya. Matahari sudah tenggelam, hanya menyisakan siluet keemasan yang samar di ufuk barat. Malam mulai merayap masuk ke dalam kamarnya, namun Ovi tidak menyalakan lampu. Ia hanya duduk di sana, ditemani kegelapan.

“Kenapa aku masih merasa hampa?” gumamnya lirih.

Malam itu, Ovi memutuskan untuk membuka buku harian lamanya, sesuatu yang sudah lama ia tinggalkan. Dulu, ia sering menuliskan perasaannya di buku itu, mencurahkan semua hal yang tak bisa ia katakan kepada orang lain. Tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa buku itu tidak cukup membantu. Perasaan-perasaan yang ia coba sembunyikan semakin menumpuk, membuatnya semakin sulit bernapas.

Saat ia membuka halaman pertama, matanya langsung menangkap tulisan-tulisan penuh harapan dari masa lalu. Tulisan itu adalah Ovi yang dulu, seorang gadis yang penuh mimpi, yang percaya bahwa semua hal di dunia ini bisa diatasi dengan senyum dan tawa.

“Aku ingin menjadi seseorang yang kuat, yang bisa diandalkan oleh semua orang. Aku ingin teman-temanku merasa bahagia saat ada aku.”

Ovi tersenyum pahit membaca kalimat itu. Dulu, ia begitu yakin bahwa kebahagiaannya bisa datang dari membuat orang lain bahagia. Tapi kini, ia sadar bahwa ia telah mengabaikan kebahagiaannya sendiri. Semua kebahagiaan yang ia coba ciptakan untuk orang lain, ternyata membuatnya lupa untuk mendengarkan dirinya sendiri.

Lembar demi lembar ia buka, sampai akhirnya ia tiba di halaman yang mulai mencerminkan perasaannya yang sebenarnya. Tulisan-tulisan yang semakin lama semakin gelap, penuh dengan kegelisahan dan kebingungan. Di sana, ia menemukan catatan tentang bagaimana ia mulai merasa bahwa senyum dan tawa tidak lagi cukup untuk menutupi rasa sakit di dalam dirinya.

“Kenapa aku masih merasa sendirian, meskipun aku sudah dikelilingi oleh teman-temanku? Kenapa aku nggak bisa bilang kalau aku nggak baik-baik aja?”

Membaca kata-kata itu membuat Ovi terisak lagi. Luka-luka yang ia coba sembunyikan selama ini kembali terbuka, dan ia merasa seolah tenggelam dalam perasaan itu lagi. Tangisannya semakin keras, menggema di dalam kamar yang gelap dan sepi.

Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka. Ibunya berdiri di sana, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. “Ovi, kamu nggak apa-apa?” tanya ibunya dengan suara pelan.

Ovi buru-buru menghapus air mata di wajahnya, mencoba menyembunyikan kesedihannya seperti yang biasa ia lakukan. “Aku… aku nggak apa-apa, Ma,” jawabnya terbata-bata.

Namun, kali ini ibunya tidak langsung percaya. Ia melangkah masuk dan duduk di tepi tempat tidur Ovi. “Nak, Mama tahu kamu nggak baik-baik saja. Kamu bisa cerita sama Mama, kalau kamu mau.”

Mendengar itu, Ovi merasa tembok yang ia bangun selama ini mulai runtuh. Ia menatap ibunya, melihat sorot mata penuh kasih sayang yang selama ini ia hindari. Ada dorongan dalam hatinya untuk bercerita, untuk akhirnya membuka diri.

“Ma… aku capek,” kata Ovi lirih, suaranya hampir tak terdengar.

“Capek? Maksudnya gimana, Nak?” tanya ibunya lembut.

Ovi menelan ludah, matanya kembali berkaca-kaca. “Aku… aku selama ini cuma pura-pura, Ma. Aku kelihatan bahagia di depan teman-teman, tapi sebenarnya aku nggak tahu harus gimana. Aku selalu ngerasa sendiri, meskipun aku dikelilingi banyak orang.”

Ibunya terdiam, membiarkan Ovi meluapkan perasaannya. Ia tahu bahwa ini adalah saat yang penting bagi anaknya, dan yang ia butuhkan sekarang hanyalah seseorang yang mendengarkan.

“Kadang aku nggak tahu siapa aku sebenarnya, Ma. Aku selalu berusaha jadi orang yang kuat, yang bisa diandalkan. Tapi lama-lama, aku merasa hilang. Aku nggak tahu siapa yang aku coba bahagiakan… teman-temanku, atau diriku sendiri.”

Air mata kembali mengalir di pipi Ovi, tapi kali ini ia tidak mencoba menahannya. Ibunya menggenggam tangan Ovi erat-erat, memberikan kehangatan yang selama ini Ovi butuhkan.

“Nak, kamu nggak harus selalu harus bisa jadi kuat untuk orang lain. Mama tahu kamu anak yang luar biasa, tapi kamu juga berhak untuk merasa lemah, untuk merasa sedih. Itu nggak apa-apa,” kata ibunya lembut. “Terkadang, kita perlu berhenti sejenak dan memikirkan apa yang benar-benar kita butuhkan. Bukan untuk orang lain, tapi untuk diri kita sendiri.”

Kata-kata ibunya terasa seperti obat yang menenangkan luka di hati Ovi. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa perasaannya valid, bahwa tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja. Selama ini, ia berusaha menjadi sempurna di mata teman-temannya, tapi ia lupa bahwa ia juga manusia yang butuh waktu untuk pulih.

Malam itu, Ovi dan ibunya berbicara lama. Ovi bercerita tentang semua yang ia rasakan selama ini—tentang perasaan hampa, tentang tekanan untuk selalu terlihat bahagia, dan tentang ketakutannya untuk terbuka pada orang lain. Ibunya mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan dukungan yang Ovi sangat butuhkan.

Ketika akhirnya mereka selesai berbicara, Ovi merasa sedikit lebih ringan. Meskipun luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh, setidaknya kini ia tahu bahwa ia tidak harus menghadapi semuanya sendirian. Ada orang-orang yang peduli padanya, yang siap mendengarkan dan mendukungnya.

Keesokan harinya, Ovi kembali ke sekolah. Langkahnya masih terasa berat, tapi kali ini ada secercah harapan di dalam hatinya. Ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai, bahwa ia masih harus berjuang melawan perasaan-perasaan negatif yang terus menghantuinya. Tapi setidaknya, ia telah memulai langkah pertama untuk menerima dirinya apa adanya.

Di kelas, Rara menyambutnya dengan senyuman hangat. “Gimana, Vi? Udah mendingan?” tanya Rara.

Ovi tersenyum tipis. “Sedikit lebih baik. Tapi aku masih harus banyak belajar untuk jujur sama diri sendiri.”

Rara mengangguk penuh pengertian. “Yang penting, kamu nggak sendirian, Vi. Aku dan teman-teman yang lain selalu ada buat kamu.”

Ovi merasakan kehangatan di dalam hatinya. Meskipun perasaan gelap itu masih ada, ia tahu bahwa dengan dukungan dari orang-orang terdekatnya, ia bisa perlahan-lahan pulih. Perjalanannya masih panjang, tapi ia tidak lagi merasa harus berjalan sendirian.

Momen penting bagi Ovi, di mana ia mulai menerima bahwa tidak apa-apa untuk merasa rapuh dan tidak sempurna. Perjuangannya untuk membuka diri kepada ibunya adalah langkah besar dalam proses penyembuhannya, dan meskipun perjalanan itu masih panjang, ia kini memiliki dukungan yang ia butuhkan. Ovi belajar bahwa kekuatan sejati bukanlah tentang selalu terlihat bahagia, tetapi tentang berani menghadapi luka-luka yang tersembunyi di dalam dirinya.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Melalui cerita Ovi, kita diingatkan bahwa semua orang memiliki luka tersembunyi yang tak selalu terlihat di permukaan. Perjalanan Ovi untuk menghadapi kesepiannya dan menerima dirinya sendiri mengajarkan kita bahwa tak apa untuk tidak selalu terlihat kuat. Dalam momen paling rapuh, justru dukungan dari orang-orang terdekatlah yang membuat kita mampu bangkit. Jadi, jangan ragu untuk terbuka dan menerima bantuan. Hidup ini bukan untuk dijalani sendirian. Semoga kisah Ovi ini bisa menginspirasi kamu untuk lebih menghargai perasaanmu sendiri!

Leave a Reply