Daftar Isi
Dengerin, deh! Kadang kita terlalu asyik dengan hidup kita sendiri sampai lupa sama orang-orang penting di sekitar. Nah, di cerpen ini, kamu bakal diajak nyelami perasaan seorang pemuda yang nyesel banget udah kehilangan sahabat sejatinya. Cerita ini penuh pelajaran, loh! Siap-siap baper, ya!
Ketika Penyesalan Datang Terlambat
Kesalahan Yang Tak Termaafkan
Langit sore itu memerah, seakan ikut terbakar oleh sesuatu yang tak kasat mata. Burung-burung gereja berhamburan pulang, membentuk siluet di langit yang berangsur gelap. Di halaman belakang kampus, beberapa mahasiswa duduk santai, tertawa-tawa, bercanda seolah dunia hanya milik mereka.
Di antara mereka, Rivano duduk dengan tubuh bersandar malas di bangku kayu, sebatang rokok terselip di jari telunjuknya yang lentur. Di sekelilingnya ada Edo, Adith, Bima, dan beberapa orang lain—teman-teman yang belakangan ini sering menghabiskan waktu bersamanya. Teman-teman yang selalu bicara lantang soal ambisi, soal gengsi, dan soal siapa yang lebih unggul.
“Eh, lu masih temenan sama Ayudia?” suara Edo tiba-tiba terdengar, nada suaranya lebih bernada olok-olok daripada bertanya.
Rivano, yang awalnya hanya mendengarkan obrolan tanpa niat ikut campur, menoleh malas.
“Kenapa?” jawabnya singkat.
Adith, yang duduk di seberang, tertawa kecil. “Yaelah, No. Cewek kayak dia tuh enggak level, bro. Serius deh, lu sadar enggak sih? Dia tuh plain banget. Enggak ada yang istimewa.”
Rivano diam. Ada sesuatu di dadanya yang terasa mengganjal, tapi ia tidak segera membantah.
Bima menambahkan, “Iya, lagian kalau dipikir-pikir, cewek kayak Ayudia tuh enggak akan bantu nama lu naik. Kita kan butuh orang-orang keren di sekitar kita. Bukan cewek cupu kayak dia.”
Tawa berderai dari teman-temannya. Suara mereka bercampur dengan deru angin senja, menusuk perlahan ke dalam kepala Rivano.
Edo lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Rivano dengan tatapan penuh tantangan. “Kalau Ayudia ternyata naksir kamu, kamu mau enggak?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Semua mata tertuju pada Rivano, menunggu jawabannya.
Sebenarnya, pertanyaan itu bodoh. Dan seharusnya Rivano bisa dengan mudah menjawabnya tanpa harus menyakiti siapa pun. Tapi ego dan gengsinya menjerat lidahnya, mencegahnya mengatakan yang sebenarnya.
Dan entah kenapa, mungkin demi menjaga citranya di depan teman-temannya, ia malah mengangkat bahu dan menjawab dengan suara setengah tertawa, “Gila, enggak lah. Aku enggak mungkin sama cewek kayak dia. B aja.”
Seharusnya itu hanya candaan.
Seharusnya, setelah tertawa bersama, semuanya akan kembali seperti biasa.
Tapi kemudian, dari sudut matanya, ia melihat seseorang berdiri tak jauh di belakang mereka.
Ayudia.
Mata gadis itu membulat, seolah dunia barusan runtuh di hadapannya. Tangannya gemetar, napasnya tersengal, dan Rivano bisa melihat dengan jelas bagaimana raut wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi luka.
Mereka bertatapan.
Rivano ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya kelu. Dan sebelum ia bisa bergerak, Ayudia sudah berbalik. Pergi dengan langkah cepat, tanpa menoleh sedikit pun.
Hati Rivano mencelos.
Sebuah kesalahan telah terjadi. Dan ia tahu, ini bukan sesuatu yang bisa diperbaiki dengan mudah.
Perginya Sahabat Sejati
Sejak sore itu, Ayudia menghilang.
Bukan sekadar tak berbicara lagi dengan Rivano—dia benar-benar menghilang. Tidak ada lagi pesan singkat yang biasanya masuk ke ponselnya dengan kalimat sederhana seperti, “Jangan lupa makan, ya,” atau “Besok ada kelas tambahan, jangan telat.” Tidak ada lagi suara riangnya yang menyapa di lorong kampus.
Rivano mendapati dirinya tanpa sadar menoleh ke bangku kosong di taman, tempat mereka biasanya menghabiskan sore, berbicara tentang hal-hal sepele—tentang masa depan, tentang mimpi, tentang hidup yang terasa sulit tapi menyenangkan saat dijalani bersama.
Tapi sekarang bangku itu hanya terisi bayangan.
Hari pertama, Rivano berpikir Ayudia hanya butuh waktu untuk menenangkan diri.
Hari kedua, ia mulai merasa cemas.
Hari ketiga, sesuatu di dadanya mulai terasa kosong.
Saat minggu pertama berlalu tanpa satu pun kabar, ia akhirnya mencoba menghubungi Ayudia.
“Pesan tidak terkirim.”
Rivano mengernyit, menatap layar ponselnya. Ia mencoba menghubunginya lagi. Masih sama. Tidak terkirim.
Perasaan aneh menyusup ke dalam kepalanya. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, tapi cukup kuat untuk membuatnya merasa tidak nyaman. Dengan cepat, ia membuka media sosial Ayudia, tetapi hal pertama yang ia lihat membuatnya terdiam.
Akun tidak ditemukan.
Diblokir.
Rivano merasakan jantungnya mencelos. Tangannya langsung meraih ponsel, menekan nomor Ayudia yang sudah ia hafal di luar kepala. Ia menunggu nada sambung, berharap bisa mendengar suaranya.
Tapi yang ia dengar hanya suara mesin operator.
“Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.”
Rivano memejamkan mata. Sesuatu di dalam dirinya berteriak, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa.
Ayudia benar-benar pergi.
Hari-hari berlalu, dan Ayudia tetap tak pernah muncul lagi.
Di kelas, bangkunya kosong selama berhari-hari. Beberapa dosen menyebutkan namanya saat absen, tapi tak pernah ada jawaban. Beberapa teman mereka bertanya-tanya, tapi tidak ada yang benar-benar tahu kemana dia pergi.
Hingga akhirnya, suatu hari, kabar itu sampai ke telinga Rivano.
“Ayudia udah pindah kampus,” ujar Rena, salah satu teman mereka yang masih sering mengobrol dengan Ayudia sebelum kepergiannya.
Rivano yang sedang duduk di kantin, langsung menoleh tajam. “Apa?”
Rena mengangguk pelan, mengaduk minumannya dengan wajah ragu. “Aku juga baru tahu tadi pagi dari salah satu teman dia. Katanya dia pindah ke luar kota. Kayaknya udah enggak mau ada urusan sama siapa pun di sini.”
Kata-kata itu menghantam Rivano lebih keras dari yang ia duga.
Pindah kampus? Ke luar kota?
Secepat itu?
“Dia… ada bilang sesuatu?” tanyanya, suaranya lebih pelan dari biasanya.
Rena menatapnya, lalu menghela napas panjang. “Cuma satu hal, sih.”
Rivano menunggu, hatinya berdegup kencang.
“Dia bilang… dia enggak mau lagi dikaitkan sama siapa pun di sini. Dia mau mulai dari awal, jauh dari orang-orang yang enggak layak buat dia.”
Jleb.
Rivano merasa seperti seseorang baru saja menikam dadanya dengan belati.
Jadi, dia adalah bagian dari ‘orang-orang yang enggak layak buat Ayudia’?
Pikiran itu membuat napasnya sesak.
Dulu, dia pikir Ayudia akan selalu ada. Dia pikir gadis itu akan kembali padanya seperti biasa. Tapi ternyata… kali ini tidak.
Untuk pertama kalinya, Rivano benar-benar merasa kehilangan.
Dan yang lebih menyakitkan adalah… dia tahu ini salahnya sendiri.
Ditinggalkan Sendirian
Sejak kabar itu sampai ke telinganya, Rivano tidak lagi sama.
Ia mencoba mengabaikan semuanya, mencoba berbaur dengan teman-temannya seperti biasa, tapi ia tahu ada sesuatu yang hancur dalam dirinya. Setiap tawa yang ia keluarkan terasa hambar, setiap percakapan terasa kosong. Ia tidak pernah menyangka kehilangan Ayudia akan meninggalkan lubang sebesar ini di dalam hidupnya.
Ia tidak tahu apakah lebih menyakitkan kehilangan sahabat atau menyadari bahwa akulah yang mengusirnya pergi.
Suatu sore, di taman kampus yang semakin jarang ia datangi, Rivano duduk sendirian di bangku kayu itu. Tempat di mana dulu ia dan Ayudia sering menghabiskan waktu. Tiba-tiba, suara seseorang membuyarkan lamunannya.
“Kau kelihatan berantakan.”
Rivano menoleh. Rena berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Aku baik-baik saja,” jawab Rivano cepat.
Rena mendengus kecil, lalu duduk di sampingnya. “Kalau itu yang ingin kau yakini.”
Hening.
Rena memainkan ujung rambutnya sebelum berkata, “Aku enggak habis pikir, No. Ayudia itu sahabat terbaikmu, kan? Aku masih enggak percaya kau tega ngomong hal sekotor itu tentang dia di depan orang lain.”
Rivano menegang. “Aku cuma bercanda.”
“Bercanda?” Rena menoleh, ekspresinya tajam. “Buatmu mungkin itu bercanda, tapi buat Ayudia? Itu penghinaan, Rivano.”
Rivano mengepalkan tangannya, merasa dadanya semakin sesak. “Aku enggak bermaksud nyakitin dia.”
“Tapi kau sudah melakukannya,” potong Rena tegas. “Dan lihat hasilnya. Kau kehilangan dia.”
Rivano terdiam. Kata-kata itu terasa seperti tamparan keras di wajahnya.
“Kau tahu, sebelum pergi, Ayudia cerita sesuatu padaku,” lanjut Rena. “Dia bilang… selama ini kau adalah satu-satunya orang yang dia percaya lebih dari siapa pun. Tapi kau malah menjadikannya bahan lelucon.”
Jantung Rivano berdetak lebih cepat.
“Ayudia itu sahabat terbaik yang pernah kau punya, No. Dan kau baru sadar setelah dia benar-benar pergi.”
Hening.
Angin sore bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan di sekitarnya.
Rivano menunduk, meremas rambutnya dengan frustrasi. “Aku tahu aku bodoh, Ren.” Suaranya serak. “Aku tahu aku salah. Tapi apa yang bisa kulakukan sekarang?”
Rena menatapnya lama sebelum menghela napas. “Entah. Mungkin kau hanya bisa menerima bahwa kali ini… kau kalah.”
Rivano mendongak.
“Kalah?”
Rena tersenyum miris. “Iya. Kau kalah, No. Kau kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar peduli padamu. Dan tak ada yang bisa mengubah itu.”
Rivano tidak punya jawaban.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan bagaimana rasanya benar-benar sendirian.
Penyesalan Yang Tak Terbalas
Sudah berbulan-bulan sejak Ayudia pergi, tetapi bayangannya masih melekat di hidup Rivano.
Awalnya, ia pikir waktu akan membuatnya terbiasa. Bahwa seiring berjalannya hari, rasa sesak itu akan menghilang, dan semuanya akan kembali normal.
Tapi nyatanya, tidak.
Tidak ada yang terasa normal lagi tanpa Ayudia.
Dia tidak pernah menyadari betapa gadis itu mengisi hidupnya sampai semuanya terlambat.
Tidak ada lagi seseorang yang menegurnya ketika ia lupa makan. Tidak ada lagi seseorang yang menyodorkan botol air saat ia sibuk bermain basket. Tidak ada lagi seseorang yang tertawa paling keras di antara teman-teman mereka ketika ia melontarkan lelucon receh. Tidak ada lagi seseorang yang selalu mengingatkannya bahwa dia lebih baik dari yang ia pikirkan.
Yang tersisa hanyalah kehampaan.
Dan Rivano membencinya.
Suatu sore, di taman kampus yang semakin jarang ia kunjungi, Rivano kembali duduk di bangku kayu itu.
Hanya kali ini, ia tidak sendirian.
“Ayudia menghubungiku kemarin,” kata Rena tiba-tiba.
Rivano menoleh dengan cepat. “Apa?”
Rena mengangguk. “Dia baik-baik saja di sana. Kelihatannya jauh lebih bahagia.”
Rivano menggigit bibirnya. Ada sesuatu di dadanya yang terasa semakin berat. “Dia… pernah tanya tentang aku?” tanyanya, meskipun ia takut mendengar jawabannya.
Rena diam sesaat, lalu menggeleng pelan. “Tidak.”
Sederhana. Padat. Tapi cukup untuk menghancurkan hati Rivano lebih dalam.
Dia benar-benar sudah melupakanku.
“Dulu, aku pikir dia akan kembali,” kata Rivano, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku pikir ini cuma masalah waktu. Aku pikir dia akan memaafkanku seperti biasanya.”
Rena menatapnya lama. “Tapi tidak semua luka bisa disembuhkan dengan waktu, No.”
Rivano tertawa miris. “Jadi… ini hukuman buatku?”
“Ini konsekuensi dari apa yang kau lakukan,” balas Rena. “Kau memilih mengkhianati persahabatan kalian, dan sekarang dia memilih untuk melanjutkan hidupnya tanpa kau di dalamnya.”
Rivano menghela napas panjang. Ia menatap langit sore yang mulai berubah jingga. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia tahu, tidak ada lagi gunanya.
Ayudia sudah pergi.
Dan tidak ada yang bisa mengubah itu.
Mungkin di suatu tempat, di kehidupan yang berbeda, di waktu yang berbeda, mereka bisa bertemu lagi.
Tapi untuk saat ini, Rivano hanya bisa menerima satu hal—
Ia telah kehilangan sahabat terbaiknya.
Dan kali ini, penyesalan benar-benar datang terlambat.
Jadi, guys, jangan sampai kita ngalamin hal yang sama, ya! Jaga selalu hubungan dengan sahabat, karena enggak ada yang lebih berharga dari persahabatan sejati. Semoga cerpen ini bikin kamu mikir, dan siapa tahu bisa menghindarinya di kehidupan nyata. Sampai jumpa di cerita selanjutnya!


