Ketika Jatuh Cinta Tapi Bukan Jodoh

Posted on

Cinta itu kayak naik motor tanpa helm—kalau jatuh, sakit banget! Pernah nggak sih naksir seseorang bertahun-tahun, udah ngarep jadi jodoh, eh ujung-ujungnya cuma jadi bahan candaan semesta?

Nah, ini kisah kocak (tapi pedih) tentang Bagas, cowok yang udah pasrah sama hidupnya, tapi tetap kena prank berkali-kali dalam urusan cinta. Dijamin ketawa, tapi hati nyut-nyutan. Siap? Baca sampe habis, jangan nyesel di tengah jalan!

 

Ketika Jatuh Cinta Tapi Bukan Jodoh

Rencana Yang Matang, Eksekusi Yang Berantakan

Bagas sudah mempersiapkan semuanya. Setelah tiga tahun memendam perasaan, akhirnya hari ini ia akan menyatakan cinta. Tempatnya sudah ia pilih dengan penuh pertimbangan—taman kota, di malam yang tenang, dengan lampu-lampu kecil yang menggantung di pohon seperti kunang-kunang modern. Di kepalanya, skenario ini sempurna. Ratna pasti akan terharu, mungkin sedikit berkaca-kaca, lalu menjawab dengan suara lembut, “Aku juga suka kamu, Gas.”

Tapi sebelum itu terjadi, ia harus melewati tantangan pertama: memilih baju yang tepat.

“Kemeja biru atau hitam?” tanyanya pada diri sendiri sambil mengangkat dua pilihan di depan cermin.

Kucing kosannya, yang entah siapa pemilik aslinya, mengeong malas dari sudut kamar. Bagas menghela napas.

“Oke, biru deh. Biar kelihatan lebih kalem,” gumamnya.

Setelah itu, ia menyemprot parfum lebih banyak dari yang seharusnya. Harus wangi, harus memberi kesan bahwa dia serius. Ini momen besar. Dia nggak mau gagal hanya karena bau badan yang tidak bersahabat.

Setelah memastikan dirinya terlihat layak, Bagas mengambil motor dan melaju menuju taman. Sepanjang perjalanan, ia mencoba latihan dalam hati.

“Ratna, aku udah lama banget pengen ngomong ini…”

Tidak. Terlalu tegang.

“Ratna, aku suka sama kamu.”

Tidak. Terlalu langsung.

“Ratna, selama ini aku selalu merasa kita punya sesuatu yang spesial…”

Ya! Itu terdengar lebih smooth. Lebih berkelas.

Namun begitu sampai di taman, semua latihan itu langsung menguap.

RATNA TERLALU CANTIK.

Serius, Bagas tidak melebih-lebihkan. Malam ini, Ratna tampil lebih anggun dari biasanya. Rambut panjangnya tergerai, wajahnya terlihat bercahaya di bawah lampu taman, dan senyumnya—oh, senyum itu—seakan bisa menghentikan detak jantung Bagas selama beberapa detik.

“Hai, Gas! Tumben ngajak ke sini,” sapa Ratna riang.

Bagas menelan ludah. Suaranya nyangkut di tenggorokan.

“H-hei…”

Ratna tertawa kecil. “Kok kaku banget? Biasanya juga santai.”

Bagas berdeham, mencoba menata ulang kewarasannya. “Iya, sorry. Cuma… ada yang pengen aku omongin.”

Ratna mengangguk, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Apa tuh?”

Saat itulah, otaknya tiba-tiba mogok. Semua kalimat keren yang sudah ia susun menghilang begitu saja, seperti uang di tanggal tua.

Jadi, akhirnya ia hanya mengatakan:

“Ratna… aku suka kamu.”

Tidak ada efek musik dramatis. Tidak ada suara biola yang mengiringi. Hanya hening. Suara jangkrik di kejauhan malah terdengar makin nyaring.

Ratna terdiam sejenak, lalu tersenyum. Tapi bukan senyum yang ia harapkan. Senyumnya lebih mirip ekspresi kasir minimarket yang terpaksa ramah pada pelanggan yang nanya harga satu-satu tapi nggak jadi beli.

“Bagas…”

Dengar. Jika seorang wanita memulai kalimatnya dengan menyebut namamu dengan nada pelan seperti itu, bersiaplah. Tidak akan ada kabar baik yang datang.

“Kamu baik banget… tapi…”

Bagas merasa jantungnya berhenti berdetak sepersekian detik.

“Tapi kenapa?” tanyanya, masih berharap.

Ratna menggigit bibir bawahnya, terlihat sedikit canggung. “Aku… udah punya pacar.”

Hening.

Bagas berkedip. Lalu berkedip lagi. Ia bahkan sempat berpikir kalau mungkin ia salah dengar.

“Siapa?” tanyanya, suara sedikit parau.

Ratna tampak semakin salah tingkah. “Kamu kenal kok…”

Dan seolah semesta ingin menertawakannya, tiba-tiba seseorang muncul dari balik pohon.

Bagas menoleh.

Sumpah. Ini mimpi buruk.

Itu Reza.

SAHABATNYA SEJAK TK.

“YO, GAS!” Reza menyapa dengan santai, seolah ini adalah pertemuan biasa di kantin kampus, bukan situasi di mana Bagas baru saja dihancurkan hatinya.

Dunia terasa berputar lambat. Bagas menatap Ratna, lalu menatap Reza. Lalu kembali ke Ratna. Lalu ke Reza lagi.

“Oke.”

Itu saja. Oke.

Seolah kata itu cukup untuk menyimpulkan seluruh penderitaan yang baru saja menimpa dirinya.

Reza menepuk bahunya. “Kita masih sahabatan, kan?”

Bagas ingin berkata bijak. Ingin bersikap dewasa. Tapi yang keluar dari mulutnya adalah:

“Reza, lu jahat. Tapi gapapa, gue kuat.”

Lalu, dengan penuh martabat—setidaknya dalam imajinasinya—ia berbalik dan berjalan menjauh. Kenyataannya, ia tersandung batu dan hampir jatuh.

Di belakangnya, Ratna dan Reza tertawa.

Bagas juga tertawa.

Tapi hatinya menangis.

 

Kata “Tapi” Yang Menghancurkan Mimpi

Bagas duduk di atas motor, menatap kosong ke aspal jalanan. Lampu taman masih berkelip-kelip di kejauhan, tapi sekarang terasa seperti saksi bisu dari kekalahan telaknya malam ini. Hatinya sakit, tapi lebih dari itu, ia merasa bodoh.

“Udah tiga tahun, Gas,” gumamnya pada diri sendiri, “TIGA TAHUN buat dapetin jawabannya dalam tiga detik.”

Ia menghembuskan napas panjang. Udara malam masuk ke paru-parunya, tapi tidak membantu menenangkan diri.

Sementara itu, ponselnya bergetar. Sebuah chat masuk di grup WhatsApp.

🦧 [Reza]: Bro, maaf ya. Aku nggak tahu kamu suka Ratna… 😢

🦧 [Bagas]: Haha gapapa, bro. Enjoy ur relationship 👍

🦧 [Reza]: Serius nih?

🦧 [Bagas]: Iya. Gapapa banget. Bahkan gue ikut seneng 😊

Bagas mengetik dengan jempol yang bergetar, lalu menatap layar sambil berpikir:

Kapan sih WhatsApp bakal ada fitur recall chat?

Ia ingin menghapus kalimat barusan dan menggantinya dengan: “REZA, GW DOAIN LU KESANDUNG BATU SETIAP HARI.”

Tapi tidak. Ia harus tetap terlihat bermartabat.

Ponselnya bergetar lagi. Kali ini dari Ratna.

🦋 [Ratna]: Gas, maaf ya… aku beneran nggak tahu kalau kamu suka aku…

Bagas menatap chat itu lama.

Lalu membalas dengan sesuatu yang sangat dalam dan penuh makna:

🦧 [Bagas]: Wkwkwk santai aja, aku udah lama curiga kamu suka Reza.

Tidak ada balasan setelah itu. Mungkin Ratna tahu kalau itu bohong. Mungkin ia juga sedang merasa bersalah. Tapi siapa yang peduli?

Setelah mengetik pesan penuh kepalsuan itu, Bagas akhirnya menyalakan motor dan pulang ke kosan. Di perjalanan, ia mencoba memutar lagu-lagu galau sebagai soundtrack penderitaannya, tapi malah terpeleset ke lagu dangdut remix yang makin memperburuk mood-nya.

Sesampainya di kosan, ia langsung rebahan di kasur. Kucing liar yang tinggal di kamarnya memanjat dadanya, seakan ingin berkata: “Gue udah bilang, bro, cinta itu ribet.”

“Lihat gue sekarang, Bro,” gumam Bagas pada kucing itu. “Gue single dan nggak punya harapan.”

Kucing itu mengeong, mungkin mengiyakan.

Beberapa menit berlalu, dan ponselnya kembali bergetar. Kali ini dari sahabatnya yang lain, Ucup.

🐸 [Ucup]: Gas, seriusan Ratna pacaran sama Reza?

🦧 [Bagas]: Iya, kenapa?

🐸 [Ucup]: Nggak, sih. Gue cuma kasihan aja. Sama lo.

Bagas mengetik: “Anj—” lalu menghapusnya.

🦧 [Bagas]: Haha gapapa bro 👍

🐸 [Ucup]: Gas, lo kuat, kan?

Bagas menatap layar. Pikirannya kosong.

🦧 [Bagas]: Bro, lo pikir titan aja yang kuat? Gw juga bisa.

Ucup mengetik sesuatu, lalu menghapusnya. Muncul lagi. Dihapus lagi. Bagas menunggu.

🐸 [Ucup]: Mau ke warkop nggak? Kopi dan mie rebus mungkin bisa menenangkan batin lo yang hancur.

Bagas menghela napas. Memikirkannya sejenak.

🦧 [Bagas]: Gaskeun.

Malam ini, Bagas belajar satu hal: orang patah hati butuh dua hal—mie rebus dan teman yang nggak nanya kenapa lo masih jomblo.

 

Pengkhianatan Yang Tidak Bisa Ditolak

Di sebuah warkop kecil yang lampunya berkedip kayak lagi buffering, Bagas duduk di depan Ucup dengan tatapan kosong. Mie rebus di hadapannya masih utuh, sementara Ucup sudah menyeruput kuahnya dengan kecepatan yang hampir ilegal.

“Lo mau makan nggak sih, Gas?” tanya Ucup sambil nyeruput es teh manisnya yang lebih es daripada tehnya.

Bagas menatap mie itu dalam-dalam. Rasanya kayak ngelihat masa depan: nggak jelas, nggak ada harapan, dan bikin sakit perut kalau dipikirin lama-lama.

“Lo tahu nggak, Cup,” kata Bagas akhirnya, “kadang gue mikir, kenapa gue harus ngerasain semua ini?”

Ucup mengunyah gorengan, lalu jawab tanpa ekspresi, “Karena lo goblok.”

Bagas mendongak, menatap Ucup dengan tatapan kosong.

“Bangsat,” kata Bagas, tanpa emosi.

“Bukan salah gue, kan?” Ucup nyengir, “Lo yang ngejar cewek tiga tahun, tapi lupa buat nembak. Itu kayak lo ngumpulin bahan buat skripsi tapi nggak nulis satu kata pun.”

Bagas mendesah panjang. “Lo bener. Dan gue benci itu.”

Ucup menaruh gorengannya, menatap Bagas serius. “Jadi, lo mau ngelakuin sesuatu atau cuma mau merenung sampai warung ini tutup?”

Bagas termenung. Mau ngelakuin sesuatu? Kayak apa?

Sebelum ia sempat menjawab, pintu warkop mendadak terbuka, dan seseorang masuk.

Reza.

Ditemani oleh Ratna.

Bagas langsung membeku. Perutnya mendadak mules, kayak abis salah makan seblak level 20.

Ucup refleks menoleh ke Bagas. “Bro, mau gue yang bacokin atau lo?” bisiknya sambil meraih sendok kayu dari meja.

“Tahan,” jawab Bagas cepat.

Reza dan Ratna baru sadar keberadaan mereka. Reza kelihatan agak canggung, sementara Ratna langsung tersenyum kecil.

“Gas… Ucup,” sapa Reza, agak ragu.

Ucup langsung pura-pura sibuk main HP, padahal layarnya masih di menu utama.

“Yo, bro,” jawab Bagas, berusaha setenang mungkin. “Ngapain lo di sini?”

“Ya… beli kopi,” jawab Reza sambil garuk kepala.

Ratna tersenyum, lalu tanpa basa-basi duduk di depan mereka. “Aku ikut ya?” katanya santai.

Diem lo. Gue lagi patah hati, jangan tambah susah.

Bagas hanya mengangguk lemas.

Reza duduk di sebelah Ratna, jelas terlihat salah tingkah. Sementara itu, Ucup diam-diam mengetik sesuatu di HP-nya.

🐸 [Ucup]: GAS, INI APA NIH? DIA NGAPAIN DUDUK SINI?

🦧 [Bagas]: GUE JUGA NGGAK TAU, BRO. JAGA PERASAAN GUE PLIS.

Ucup menghela napas panjang, lalu menatap Ratna dengan senyum palsu. “Jadi, gimana hubungan kalian? Lancar?”

Bagas ingin nendang kaki Ucup di bawah meja, tapi terlalu malas.

Ratna mengangguk kecil. “Ya… baik-baik aja. Masih awal sih, tapi semoga lancar.”

Bagas tersenyum tipis. “Iya, semoga,” katanya dengan suara yang sama sekali tidak tulus.

Tiba-tiba, HP Ratna berbunyi. Ia melirik layar sebentar, lalu ekspresinya berubah. “Eh, bentar ya. Aku angkat telepon dulu,” katanya sambil bangkit.

Bagas dan Ucup hanya mengangguk. Begitu Ratna pergi ke luar warkop, suasana meja mendadak berubah.

Bagas menatap Reza. Reza menatap Bagas.

Hening.

“Ada apa, bro?” tanya Reza akhirnya.

Bagas menghela napas, lalu bertanya, “Lo suka dia sejak kapan?”

Reza terdiam. “Baru beberapa bulan sih,” katanya pelan. “Tapi gue nggak tahu lo juga suka dia…”

Bagas mengangguk kecil. “Nggak apa-apa,” katanya, meskipun jelas-jelas APA-APA BANGET.

Ucup, yang sedari tadi diem, tiba-tiba buka suara. “Reza, lo sadar nggak sih, lo baru pacaran tapi muka lo kayak orang lagi mikirin utang?”

Reza kaget. “Hah?”

“Lo kelihatan kayak orang yang bingung,” lanjut Ucup. “Serius lo yakin sama dia?”

Reza membuka mulut, tapi tidak langsung menjawab. Ada keraguan di wajahnya.

Dan itu sudah cukup jadi jawaban.

Bagas menatap Reza, lalu tersenyum tipis. “Lo nggak yakin, kan?” tanyanya pelan.

Reza menunduk, lalu menggaruk kepalanya. “Gue… nggak tahu.”

Hening lagi.

Lalu, tiba-tiba, Ratna masuk kembali. Ia tersenyum, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah.

“Ada apa?” tanya Bagas, penasaran.

Ratna menghela napas. “Tadi Mama nelepon. Kayaknya aku harus ngobrol serius sama Reza.”

Bagas dan Ucup langsung saling pandang.

“Ada apa?” tanya Reza, sedikit panik.

Ratna menggigit bibirnya. “Mama… kayaknya nggak setuju aku pacaran sama kamu.”

Duar.

Bagas hampir ketawa. Jadi ini plot twist-nya?

Reza langsung kelihatan shock. “Hah? Kenapa?”

“Katanya… dia lebih suka aku sama cowok lain.”

Ucup langsung batuk, berusaha menahan tawa. Bagas menggigit bibir.

“Kata siapa?” tanya Reza, masih syok.

Ratna menatap Bagas sekilas, lalu berkata pelan, “Katanya… Mama lebih suka aku sama Bagas.”

Bagas nyaris tersedak mie yang bahkan belum dimakannya.

“APA?”

 

Plot Twist Yang Tidak Pernah Diminta

Suasana di dalam warkop mendadak hening. Begitu hening sampai suara kipas angin tua di pojokan terdengar lebih dramatis dari yang seharusnya.

Bagas masih diam, mencoba memproses kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Ratna.

“Mama lebih suka aku sama Bagas.”

Hah?!

Ucup, yang duduk di sebelahnya, sudah mengangkat alis tinggi-tinggi, menatap Bagas dengan ekspresi penuh makna.

🐸 [Ucup]: BRO, INI APA NIH?!

🦧 [Bagas]: GUE JUGA NGGAK TAHU, JANGAN TANYA GUE.

Sementara itu, Reza tampak lebih shock dari seseorang yang baru saja ditabrak fakta bahwa calon mertuanya lebih mendukung pacarnya jadian sama orang lain.

“Hah? Maksudnya gimana?” Reza akhirnya bersuara, nada suaranya setengah panik, setengah nggak terima.

Ratna memainkan jari-jarinya, jelas kelihatan nggak nyaman. “Mama bilang… dia sering lihat aku ngobrol sama Bagas dari dulu, dan dia pikir… aku lebih cocok sama dia.”

Bagas ingin protes. Sejak kapan?!

Bagas menatap Ucup dengan panik, tapi sahabatnya hanya mengangkat bahu dengan ekspresi ‘yaudah lo tanggung sendiri, bro’.

“Lo tahu ini nggak adil, kan?” kata Reza akhirnya, suaranya ketus.

Ratna menunduk. “Aku tahu… tapi aku juga nggak bisa nolak omongan Mama begitu aja.”

Reza terdiam. Wajahnya berubah, dari yang awalnya syok, jadi capek, jadi… menyerah?

Bagas bisa melihat itu. Dan, entah kenapa, di detik itu, dia sadar sesuatu.

Reza nggak benar-benar berjuang buat Ratna.

Kalau dia benar-benar ingin bersama Ratna, harusnya dia ngelawan. Harusnya dia bilang ke Ratna buat ngeyakinin ibunya. Harusnya dia tetap maju, bukannya diem kayak gini.

Dan itu aja udah cukup buat Bagas tahu bahwa Ratna bukan jodoh Reza.

Tapi apakah dia jodohnya Bagas?

Sama sekali nggak.

Bagas menghela napas panjang, lalu akhirnya membuka suara.

“Ratna,” katanya pelan.

Gadis itu menoleh. “Iya?”

Bagas menatapnya lama.

Lalu, dia senyum. Senyum yang tulus—bukan senyum sok kuat, bukan senyum karena masih suka, tapi senyum karena dia ikhlas.

“Lo tau kan… gue suka lo dari dulu?”

Ratna diam, lalu mengangguk pelan.

“Tapi lo juga tau, lo nggak pernah suka gue, kan?” lanjut Bagas.

Ratna terdiam lebih lama kali ini. Lalu, dengan suara kecil, dia menjawab, “Iya…”

Bagas menepuk meja pelan, lalu tertawa kecil. “Ya udah. Kita nggak usah bikin ini makin ribet.”

Semua orang di meja langsung menatapnya.

“Gue suka lo, tapi lo nggak suka gue.” Bagas mengangkat bahu. “Dan gue nggak mau maksa apa pun. Jadi, kalau lo emang nggak yakin sama Reza, ya lo pikirin dulu. Tapi jangan jadikan gue cadangan buat keluar dari masalah lo, ya?”

Ratna terdiam, lalu tersenyum kecil.

Sementara itu, Ucup menyeringai. “Akhirnya lo jadi cowok pinter juga, Gas.”

Bagas menatapnya lelah. “Tutup mulut lo.”

Reza masih diam. Tapi kali ini, dia menatap Bagas lama, sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Lo baik banget, Gas.”

Bagas hanya mendengus. “Nggak baik, gue cuma males drama.”

Satu per satu, ketegangan di meja mulai mereda.

Mereka bertiga akhirnya tertawa kecil—bukan karena bahagia, tapi karena sadar bahwa hidup memang sering bercanda.

Pada akhirnya, Ratna memang bukan jodoh Bagas.

Tapi yang lebih penting, Bagas juga bukan jodoh Ratna.

Dan entah kenapa, menyadari itu… rasanya lebih lega daripada patah hati.

Ucup menepuk punggung Bagas saat mereka keluar dari warkop.

“Nah, sekarang lo udah bebas,” katanya riang.

“Yoi,” jawab Bagas santai.

Mereka berjalan beberapa langkah, sebelum Ucup tiba-tiba nanya, “Terus… sekarang lo mau ngapain?”

Bagas berpikir sejenak, lalu tersenyum.

“Pesan mie rebus satu lagi. Gue belum makan tadi.”

Dan mereka pun tertawa.

 

Dan begitulah… bukan jodoh tetaplah bukan jodoh. Mau sehebat apa pun seseorang, kalau bukan buat kita, ya ujung-ujungnya cuma jadi cerita kocak buat dibahas di tongkrongan 🤡.

Yang penting, dari semua drama ini, Bagas belajar satu hal penting: cinta itu nggak perlu dipaksain, tapi mie rebus tengah malem itu wajib. Jadi, kalau lagi patah hati, inget aja—kadang solusi terbaik itu bukan move on, tapi semangkuk mie anget!

Leave a Reply