Daftar Isi
Pernah nggak sih, jatuh cinta sama seseorang yang tiba-tiba datang, bikin semuanya lebih berwarna, tapi lalu pergi tanpa alasan yang jelas? Rasanya kayak dihantam badai tanpa sempat cari tempat berlindung.
Cerpen ini bakal nyeritain tentang Arkana, cowok yang terjebak di antara harapan dan kenyataan setelah kehilangan seseorang yang bahkan belum sempat jadi miliknya. Siap-siap, ini bukan cerita cinta yang manis. Ini tentang jatuh, kehilangan, dan bertahan di tengah rasa sakit.
Ketika Hujan Tak Bisa Dicegah
Musim Semi Bernama Dahlia
Hujan turun deras sore itu, membasahi trotoar yang mulai tergenang. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi kopi yang menyeruak dari sebuah kafe kecil di sudut jalan. Lampu-lampu kuning temaram memberi kehangatan di tengah udara yang dingin.
Di salah satu sudut ruangan, seorang pria duduk sendirian di dekat jendela, jemarinya melingkari cangkir kopi yang hampir dingin. Ia menatap ke luar, seakan menunggu sesuatu. Atau seseorang.
Lalu, seorang perempuan masuk.
Langkahnya ringan, meski sepatu hak yang ia kenakan seharusnya membuatnya lebih lambat. Rambutnya basah, sedikit menempel di pipinya. Ia melepas mantel hitamnya, menyampirkannya di sandaran kursi sebelum menarik napas panjang, seperti baru saja melarikan diri dari sesuatu.
Ia duduk tepat di hadapan pria itu. Begitu saja, tanpa permisi, tanpa basa-basi. Seakan mereka sudah saling kenal lama.
“Kamu kelihatan seperti orang yang nunggu sesuatu yang nggak bakal datang,” katanya, menatap pria itu dengan mata yang berbinar, penuh keingintahuan.
Pria itu mengangkat alis, sedikit terkejut. “Apa?”
“Kamu. Dari tadi duduk diem, mandangin hujan, sesekali ngaduk kopi tapi nggak diminum. Aku bener, kan?”
Pria itu terdiam. Baru pertama kali seseorang mengomentari caranya menunggu. Biasanya, orang-orang hanya lewat, sibuk dengan dunianya masing-masing. Tapi perempuan ini berbeda.
“Kamu siapa?” tanyanya akhirnya.
“Orang yang juga lagi nunggu sesuatu yang nggak bakal datang,” jawabnya santai. Ia menyandarkan punggung ke kursi, tersenyum kecil.
Pria itu memperhatikannya lebih lama. Wajahnya bukan tipe yang mudah dilupakan—dagu runcing, bibir merah alami, dan mata yang entah bagaimana mampu membuat seseorang ingin terus melihatnya.
“Apa yang kamu tunggu?”
“Hari yang lebih baik,” jawabnya tanpa ragu.
Keduanya terdiam sejenak. Hanya suara hujan yang terdengar, mengetuk-ngetuk kaca jendela seperti ingin masuk.
“Namaku Dahlia,” kata perempuan itu tiba-tiba.
Pria itu menatapnya, lalu akhirnya menghela napas. “Aku Arkana.”
Dahlia tersenyum. “Nama yang menarik.”
Arkana mengangkat bahu. “Biasa aja.”
“Enggak. Nama itu berarti ‘rahasia’, kan?”
Arkana menatapnya, sedikit heran. Tak banyak orang yang tahu arti namanya.
“Kamu suka hujan?” tanya Dahlia lagi, mengubah topik seolah pertanyaan sebelumnya tak terlalu penting.
Arkana mengalihkan pandangan ke luar jendela. “Dulu suka.”
“Dulu?”
“Ya, dulu.”
Dahlia menunggu, tapi Arkana tidak melanjutkan. Ia hanya menatap hujan dengan sorot mata yang sulit diartikan.
“Kalau aku,” kata Dahlia akhirnya, “suka hujan karena aku nggak perlu nangis sendirian.”
Arkana menoleh. Untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka, ia melihat sesuatu di mata Dahlia—sebuah kesedihan yang disembunyikan di balik senyum dan kata-kata ringan.
“Kamu sering nangis?”
“Kadang,” jawabnya sambil mengaduk kopi yang baru saja diantarkan pelayan. “Tapi nggak masalah. Semua orang butuh nangis, kan?”
Arkana tidak menjawab.
Sore itu, di tengah hujan yang terus turun, mereka hanya mengobrol tentang hal-hal kecil. Tentang kopi yang terlalu pahit. Tentang lagu yang sedang diputar di kafe. Tentang nama masing-masing dan bagaimana orang tua mereka memilihnya.
Tidak ada yang berlebihan. Tidak ada yang dibuat-buat.
Tapi di tengah semua itu, Arkana sadar satu hal.
Dahlia bukan perempuan biasa. Ia seperti badai yang datang tiba-tiba, mengacak-acak ketenangan tanpa aba-aba. Ia berbicara seperti sudah mengenal Arkana bertahun-tahun, padahal ini pertama kalinya mereka bertemu.
Dan anehnya, Arkana tidak keberatan.
Di luar, hujan mulai mereda. Tapi di dalam dirinya, sesuatu mulai berubah.
Cinta yang Tak Bisa Dimiliki
Sejak pertemuan pertama di kafe itu, Dahlia seperti badai yang tak mau pergi dari hidup Arkana. Tanpa permisi, tanpa aba-aba, ia datang dan memenuhi hari-hari Arkana dengan caranya sendiri.
“Aku suka tempat ini,” kata Dahlia suatu malam saat mereka kembali duduk di kafe yang sama. “Aku nggak suka tempat yang terlalu ramai, tapi juga nggak suka yang terlalu sepi. Ini pas.”
Arkana hanya mengangguk, mengaduk kopinya yang belum disentuh. Ia bukan tipe yang banyak bicara, tapi Dahlia sepertinya tak keberatan dengan itu.
Mereka sering bertemu di sana. Kadang Arkana yang lebih dulu datang, kadang Dahlia yang menunggu. Kadang mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi anehnya, Arkana tak pernah merasa canggung. Dahlia seperti punya cara membuat keheningan terasa nyaman.
Suatu hari, di antara obrolan-obrolan tanpa tujuan mereka, Dahlia bertanya, “Pernah jatuh cinta, Kan?”
Arkana menatapnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu.
“Aku nggak yakin,” jawabnya akhirnya.
Dahlia tertawa kecil. “Bisa gitu? Jatuh cinta itu ya jatuh cinta. Nggak ada ‘nggak yakin’.”
Arkana menyesap kopinya sebelum menjawab, “Kalau aku nggak yakin, mungkin itu artinya belum pernah.”
Dahlia terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan. “Mungkin.”
Tapi Arkana tahu, saat itu juga, ia sudah jatuh.
Bukan dengan cara yang dramatis. Tidak ada detak jantung yang berpacu lebih cepat. Tidak ada momen di mana semuanya tiba-tiba melambat seperti di film-film.
Tapi ia tahu.
Karena setiap kali Dahlia tersenyum, ia ingin melihatnya lebih lama. Karena setiap kali mereka berbicara, ia ingin percakapan itu tak berakhir.
Karena di tengah dunia yang begitu luas, di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang terus berjalan, Arkana merasa akhirnya menemukan sesuatu yang bisa ia genggam.
Tapi ia lupa satu hal.
Tidak semua yang bisa digenggam bisa dimiliki.
“Aku harus pergi.”
Kalimat itu meluncur dari bibir Dahlia begitu saja, tanpa aba-aba, tanpa alasan.
Arkana meletakkan cangkirnya, menatapnya lekat-lekat. “Maksud kamu?”
Dahlia tersenyum kecil, tapi kali ini, senyum itu terasa lebih berat. “Aku nggak bisa di sini terus, Kan.”
Arkana merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan mencengkeram dadanya.
“Kenapa?”
Dahlia tidak langsung menjawab. Ia memainkan sendoknya, mengaduk-aduk kopinya yang sudah dingin.
“Ada hal-hal yang nggak bisa aku tinggalin,” katanya akhirnya. “Dan ada hal-hal yang nggak bisa aku miliki.”
Arkana menahan napas.
“Jadi… aku salah satunya?” tanyanya, nyaris berbisik.
Dahlia mengangkat wajah, menatapnya dengan mata yang selama ini selalu berbinar. Tapi malam itu, binar itu mulai redup.
“Bukan kamu yang salah,” ucapnya pelan. “Tapi aku.”
Arkana ingin bertanya lebih jauh, ingin meminta penjelasan yang lebih masuk akal. Tapi sesuatu dalam tatapan Dahlia membuatnya tidak bisa.
Malam itu, mereka tidak berbicara banyak lagi.
Hanya duduk dalam diam.
Menunggu waktu berjalan, seolah-olah mereka punya sedikit kesempatan lagi sebelum segalanya berakhir.
Mencari yang Telah Pergi
Dahlia menghilang begitu saja.
Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia pernah ada dalam hidup Arkana, selain jejak samar yang tertinggal dalam ingatan.
Arkana mencoba mengabaikannya. Mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini bukan akhir, bahwa mungkin suatu hari, di suatu tempat, mereka akan bertemu lagi seperti dulu.
Tapi hari-hari berlalu, dan Dahlia tetap tidak ada.
Minggu pertama, Arkana masih menunggu. Ia datang ke kafe yang biasa mereka kunjungi, duduk di tempat yang sama, memesan kopi yang sama.
Ia menoleh setiap kali pintu berbunyi, berharap melihat siluet Dahlia melangkah masuk dengan senyuman khasnya.
Tapi tidak pernah ada.
Minggu kedua, Arkana mulai mencari.
Ia pergi ke tempat-tempat yang pernah mereka datangi bersama. Taman kecil di ujung kota, toko buku tempat Dahlia pernah berkata bahwa ia suka aroma kertas tua, halte bus di mana mereka pernah berdiri berjam-jam hanya untuk berbicara.
Semua kosong. Tidak ada Dahlia di mana pun.
Bulan pertama, Arkana mulai hancur.
Ia kehilangan nafsu makan, tidur hanya untuk bangun dengan rasa kosong yang lebih besar. Kopi di mejanya tidak lagi dihabiskan, hanya diaduk tanpa tujuan, seperti pikirannya yang terus-menerus dipenuhi satu nama.
Dahlia.
Dahlia yang datang tiba-tiba, mengisi hidupnya dengan warna, lalu pergi tanpa memberi kesempatan untuk bertanya kenapa.
Dahlia yang tertawa saat hujan, yang suka bicara tentang hal-hal aneh, yang membuat Arkana percaya bahwa hidup bisa lebih dari sekadar rutinitas yang membosankan.
Arkana merasa bodoh.
Bodoh karena membiarkan dirinya jatuh terlalu dalam.
Bodoh karena tidak menahan Dahlia saat ia mengucapkan kata perpisahan.
Bodoh karena masih berharap, meski segalanya sudah menunjukkan bahwa tidak ada lagi yang bisa ia harapkan.
“Dia udah pergi, Kan. Sadar.”
Temannya, Raka, menatapnya dengan ekspresi prihatin saat mereka duduk di sebuah bar kecil suatu malam.
“Dia nggak akan balik. Kamu nyari kemana pun, percuma.”
Arkana tidak menjawab. Ia hanya menatap gelas di tangannya, merasakan tenggorokannya mengering meskipun minumannya belum disentuh.
“Kalau dia mau, dia pasti ninggalin sesuatu buat kamu. Apa pun. Tapi nyatanya, nggak ada, kan?” lanjut Raka.
Arkana menggertakkan rahang.
Raka benar. Dahlia tidak meninggalkan apa pun. Tidak ada surat, tidak ada pesan, tidak ada alasan yang bisa ia pegang sebagai kepastian.
Dan itu yang paling menyakitkan.
Ketidakpastian.
Karena selama ia masih bertanya-tanya, selama ia masih mencari, ia tahu bahwa bagian dari dirinya masih menggenggam harapan.
Harapan yang semakin hari semakin menghancurkannya.
Tapi bagaimana cara berhenti mencari seseorang yang sudah menjadi bagian dari dunia yang kamu kenal?
Bagaimana cara berhenti mencintai seseorang yang bahkan belum sempat kamu miliki?
Hujan Tanpa Perlawanan
Arkana tidak tahu kapan ia mulai menyerah.
Mungkin setelah malam-malam panjang yang ia habiskan dengan kepala berat dan hati kosong. Atau mungkin setelah hari-hari di mana ia tidak lagi menoleh ke pintu setiap kali berbunyi, tidak lagi berharap menemukan Dahlia di bangku kafe yang dulu mereka duduki bersama.
Ia hanya tahu bahwa pada suatu titik, ia berhenti mencari.
Tapi tidak berarti ia berhenti mencintai.
Dahlia tetap ada di sana—di sudut pikirannya yang paling sunyi, dalam ingatan yang ia coba kubur tapi selalu muncul saat ia tidak siap.
Sampai pada suatu sore, sebuah amplop putih tiba di apartemennya.
Tidak ada nama pengirim. Tidak ada petunjuk dari mana asalnya.
Hanya sebuah surat dengan tulisan tangan yang terlalu familiar.
Arkana,
Aku nggak pernah baik dalam hal perpisahan, jadi aku memilih pergi tanpa banyak kata. Maaf.
Tapi kamu harus tahu bahwa aku nggak pernah bohong soal apa pun yang kita lalui. Tentang hujan, tentang kopi, tentang semua percakapan kecil kita. Itu nyata. Kamu nyata.
Aku pergi bukan karena aku mau, tapi karena aku harus. Ada hal-hal di dunia ini yang nggak bisa kita lawan, Kan. Seperti hujan yang turun tanpa bisa kita cegah. Seperti perasaan yang tumbuh meski kita tahu akhirnya hanya akan menyakiti.
Aku ingin tetap tinggal. Tapi tubuhku sudah lebih dulu memilih jalan lain.
Jangan cari aku. Aku sudah tidak di sana lagi.
Dahlia.
Arkana membaca surat itu berulang kali, berharap ada sesuatu yang terlewat. Sebuah kalimat tersembunyi yang memberi tahu bahwa ini semua hanya lelucon. Bahwa Dahlia masih ada di suatu tempat, menunggunya dengan senyum yang selalu ia rindukan.
Tapi tidak ada.
Hanya kata-kata yang terasa seperti pisau, menusuk tanpa ampun.
Tangannya gemetar saat ia meremas surat itu, dadanya terasa sesak, kepalanya berdengung dengan pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.
Ia ingin marah. Pada Dahlia. Pada dunia. Pada dirinya sendiri yang terlalu bodoh untuk menyadari bahwa sejak awal, Dahlia sudah berpamitan dengan caranya sendiri.
Tapi yang keluar darinya bukan kemarahan.
Hanya air mata.
Untuk pertama kalinya sejak kepergian Dahlia, ia menangis.
Bukan hanya karena kehilangan.
Tapi karena akhirnya ia mengerti.
Dahlia bukan hanya pergi. Ia tidak akan pernah kembali.
Dan tidak peduli seberapa lama Arkana menunggu, seberapa jauh ia mencari, hujan tetap akan turun tanpa perlawanan.
Tanpa bisa dicegah.
Tanpa bisa diubah.
Cinta nggak selalu tentang memiliki, dan kehilangan nggak selalu bisa dinalar. Arkana belajar dengan cara paling kejam bahwa ada hal-hal di dunia ini yang nggak bisa dia lawan—seperti hujan yang turun tanpa izin, seperti perasaan yang tumbuh meski tahu akhirnya bakal berakhir luka.
Tapi begitulah hidup. Kadang, orang yang paling kita rindukan justru adalah orang yang nggak bisa lagi kita temukan. Dan mau sekeras apa pun kita mencari, kenyataannya tetap sama: mereka sudah pergi.


