Daftar Isi
Keteguhan Iman
Fajar di Pintu Masjid
Langit masih gelap ketika langkah kaki Zhafir menelusuri jalan setapak menuju masjid. Angin subuh berembus lembut, membawa aroma embun yang menyegarkan. Di ujung jalan, bangunan masjid tua berdiri megah dengan kubahnya yang memantulkan cahaya bulan terakhir sebelum fajar merekah.
Seperti biasa, Zhafir adalah orang pertama yang tiba. Ia membuka pintu kayu masjid dengan hati-hati agar tidak membangunkan orang-orang yang masih terlelap. Setelah menyalakan beberapa lampu minyak, ia beranjak ke tempat wudhu. Air dingin mengalir dari kendi tanah liat, membasahi wajah dan tangannya. Setiap gerakan wudhu ia lakukan dengan penuh kesadaran, seolah merasakan kesegaran tak hanya di kulit, tapi juga di hati.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki lain mulai terdengar. Seorang lelaki bertubuh kekar dengan pakaian sederhana masuk ke masjid. Wajahnya terlihat sedikit mengantuk, tapi ia tersenyum begitu melihat Zhafir.
“Seperti biasa, kamu yang pertama sampai,” ujar lelaki itu, Jalal, dengan nada bercanda.
Zhafir membalas dengan senyum kecil. “Kalau bukan kita yang menghidupkan masjid ini, siapa lagi?”
Jalal terkekeh pelan. Mereka mengambil tempat di saf terdepan, menunggu beberapa jamaah lain yang mulai berdatangan. Tak lama kemudian, muazin naik ke mimbar kecil dan mengumandangkan azan dengan suara yang menggema, membelah keheningan pagi.
Usai salat subuh, Zhafir tetap duduk bersila, tangannya membuka lembaran Al-Qur’an. Setiap ayat ia lantunkan dengan tartil, membiarkan setiap kata meresap ke dalam jiwanya. Di sampingnya, Jalal memperhatikan dengan saksama.
“Kamu nggak pernah bosan baca Al-Qur’an setiap hari?” tanya Jalal, suara lirihnya terdengar penuh rasa ingin tahu.
Zhafir menutup mushafnya sebentar, menoleh pada sahabatnya. “Bagaimana mungkin aku bosan dengan kalam Allah? Setiap kali aku baca, selalu ada sesuatu yang baru aku pahami. Hatiku jadi tenang.”
Jalal mengangguk pelan, seperti tengah mencerna kata-kata itu. “Aku iri sama kamu, Zhafir. Aku shalat, aku beribadah, tapi hatiku masih sering gelisah. Seolah ada yang kurang.”
Zhafir tersenyum tipis, matanya menatap Jalal dengan penuh pengertian. “Mungkin karena kamu masih menganggap ibadah itu kewajiban, bukan kebutuhan. Coba lakukan dengan hati, bukan sekadar rutinitas.”
Jalal terdiam, pikirannya melayang jauh.
Usai beribadah, mereka berjalan keluar dari masjid, menuju pasar yang mulai berdenyut pelan. Matahari mulai naik, menyinari desa dengan sinarnya yang hangat. Pedagang-pedagang membuka lapak mereka, anak-anak kecil berlarian di antara jalanan berbatu, dan udara pagi dipenuhi aroma roti hangat serta rempah-rempah.
Zhafir berhenti di depan toko kain miliknya, membuka gembok kayu yang sudah mulai usang. Jalal, yang tokonya berada di seberang, masih berdiri di sana, memperhatikan sahabatnya.
“Zhafir,” panggilnya tiba-tiba.
“Hm?”
“Aku ingin belajar lebih dalam soal keikhlasan. Soal bagaimana kamu bisa segini tenangnya. Bisa ajarin aku?”
Zhafir tersenyum, memasukkan kunci ke dalam saku dan menepuk bahu Jalal pelan. “Kamu nggak perlu belajar dari aku. Kamu cuma perlu lebih sering mendekat pada-Nya. Allah sendiri yang bakal ngajarin kamu caranya.”
Jalal mengangguk, lalu tersenyum. “Aku akan coba, Zhafir.”
Dengan hati yang lebih ringan, mereka kembali pada kesibukan masing-masing. Namun, percakapan itu meninggalkan jejak di hati Jalal. Ia tahu, ada sesuatu yang harus ia temukan dalam perjalanannya sendiri. Dan mungkin, Zhafir baru saja menunjukkan jalan pertama menuju ketenangan yang selama ini ia cari.
Kobaran Ujian
Langit sore itu berwarna jingga keemasan ketika Zhafir merapikan tumpukan kain di tokonya. Beberapa pelanggan baru saja pergi, membawa gulungan kain batik yang mereka beli dengan wajah puas. Hari itu berjalan seperti biasa—dagangan laku, pelanggan ramah, dan hatinya tetap dipenuhi rasa syukur.
Di seberang jalan, Jalal sibuk dengan tokonya sendiri. Beberapa hari terakhir, ia terlihat lebih sering tersenyum, seolah ada ketenangan baru dalam dirinya. Mungkin percakapan mereka beberapa waktu lalu mulai membuahkan hasil.
Saat matahari mulai tenggelam, Zhafir menutup tokonya. Seperti biasa, ia berjalan menuju masjid untuk menunaikan salat Magrib. Namun, baru beberapa langkah, ia mendengar suara teriakan dari arah belakang.
“Api! Api!”
Zhafir berbalik, matanya membelalak melihat kepulan asap hitam membubung dari arah pasar. Api berkobar dengan ganas, menelan bangunan-bangunan kayu di sekitarnya, termasuk… tokonya.
Orang-orang berlarian, beberapa mencoba menyiramkan air dengan ember seadanya, sementara yang lain panik berteriak meminta pertolongan. Jalal datang berlari dengan wajah tegang.
“Zhafir! Toko kamu—”
“Aku tahu,” potong Zhafir dengan suara tetap tenang, meskipun matanya menatap lurus ke arah api yang melahap tempatnya mencari nafkah.
Para warga bekerja keras memadamkan api, tapi sia-sia. Dalam hitungan menit, toko Zhafir runtuh, kayunya berubah jadi arang, kain-kain dagangannya habis menjadi abu.
Setelah api akhirnya padam, hanya sisa puing hangus yang tertinggal. Asap masih mengepul, meninggalkan bau kayu terbakar yang menusuk hidung.
Jalal menatap sahabatnya dengan cemas. “Zhafir, kamu nggak apa-apa?”
Zhafir menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Aku nggak kehilangan apa-apa, Jalal. Semua yang terbakar itu cuma titipan. Kalau Allah mengambilnya, berarti memang sudah waktunya.”
Jalal menatapnya tak percaya. “Tapi, itu mata pencaharian kamu! Semua kerja kerasmu selama ini!”
Zhafir menepuk bahunya pelan. “Rezeki datang dari Allah, bukan dari toko. Kalau memang sudah tertulis, aku pasti dapat gantinya. Kalau tidak, berarti aku harus mencari jalan lain.”
Orang-orang di sekitar yang mendengar percakapan itu saling pandang, kagum sekaligus heran. Di saat kebanyakan orang akan menangis atau marah, Zhafir justru menerima musibah ini dengan ketenangan luar biasa.
Malam itu, Zhafir tetap datang ke masjid, seperti biasa. Tak ada keluhan, tak ada kesedihan berlebihan. Ia tetap sujud dengan khusyuk, seolah tak terjadi apa-apa.
Namun, di luar sana, berita tentang ketabahannya mulai menyebar. Dan tanpa ia sadari, Allah sudah menyiapkan sesuatu untuknya—sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar toko kain yang terbakar.
Keteguhan yang Menginspirasi
Pagi setelah kebakaran, pasar yang biasanya ramai terasa lebih sunyi. Beberapa warga masih berdiri di sekitar puing-puing toko Zhafir, berbincang pelan seolah masih tak percaya. Tapi sosok yang mereka bicarakan justru terlihat berjalan santai di antara sisa-sisa tokonya, tanpa raut kesedihan yang mendalam.
Jalal menghampiri Zhafir dengan cemas. “Kamu nggak ada rencana buat apa-apa? Nggak mau coba pinjam modal atau gimana?”
Zhafir tersenyum kecil, menendang pelan sisa kayu hangus dengan sandalnya. “Aku akan cari jalan lain, Jalal. Tapi nggak perlu terburu-buru. Aku masih punya tenaga, masih bisa berusaha.”
“Tapi kamu nggak punya apa-apa lagi, Zhafir. Mulai dari nol itu nggak gampang!” Jalal menatapnya dengan frustasi. “Setidaknya, kamu harus terima bantuan.”
Sebelum Zhafir sempat menjawab, seorang lelaki tua dengan janggut putih dan pakaian bersih datang menghampiri. Warga mengenalnya sebagai Tuan Nizam, saudagar kaya yang memiliki bisnis kain terbesar di desa.
“Zhafir,” panggilnya dengan suara berat namun penuh wibawa. “Aku mendengar tentang musibahmu. Aku tahu kamu orang yang tabah dan jujur. Aku ingin menawarkan sesuatu.”
Zhafir menoleh, menatap Tuan Nizam dengan penuh hormat. “Silakan, Tuan.”
“Aku ingin kamu mengelola salah satu toko kainku. Aku butuh seseorang yang bisa dipercaya, dan aku tahu kamu adalah orangnya,” ujar Tuan Nizam dengan nada penuh keyakinan.
Beberapa warga yang mendengar tawaran itu menatap Zhafir dengan harapan. Namun, Zhafir justru menggeleng pelan. “Terima kasih atas kebaikanmu, Tuan Nizam. Tapi aku ingin berusaha sendiri dulu. Kalau aku menerima ini sekarang, aku takut jadi terlalu bergantung. Biarkan aku mencoba dulu dengan caraku sendiri.”
Tuan Nizam terdiam sesaat, lalu tersenyum lebar. “Kamu benar-benar orang yang luar biasa, Zhafir. Baiklah, kalau begitu, aku akan membantumu dengan cara lain. Aku akan menjadi pelanggan pertamamu saat kamu memulai lagi nanti.”
Jalal menatap sahabatnya dengan takjub. “Kamu serius? Kamu nolak tawaran sebagus itu?”
Zhafir hanya tersenyum. “Aku percaya, Allah sudah siapkan jalanku sendiri, Jalal. Selama aku tetap berusaha, aku nggak perlu khawatir.”
Hari-hari berikutnya, Zhafir mulai berdagang lagi. Kali ini, ia tak punya toko, hanya membawa beberapa lembar kain sisa yang ia temukan di antara puing-puing kebakaran. Ia duduk di sudut pasar, membentangkan kain di atas tikar kecil, menunggu pelanggan dengan sabar.
Awalnya, orang-orang ragu. Tapi lama-kelamaan, satu per satu mereka mulai membeli. Mereka bukan hanya membeli kain, tapi juga menghargai keikhlasan dan keteguhan hati Zhafir.
Jalal yang memperhatikan semua itu merasa ada yang berubah dalam dirinya. Ia mulai memahami apa yang selama ini Zhafir coba sampaikan. Bahwa ketenangan hati bukan datang dari harta, tapi dari keyakinan yang kokoh pada Allah.
Dan tanpa disadari, Zhafir bukan hanya sedang membangun kembali usahanya—ia juga sedang menginspirasi banyak orang di sekitarnya.
Cahaya di Langit Senja
Waktu berlalu, hari berganti minggu. Zhafir tetap duduk di sudut pasar dengan lembaran kain yang semakin hari semakin bertambah. Pelanggannya kini bukan hanya warga desa, tapi juga para pedagang dari kota yang mendengar kisah ketabahannya.
Suatu sore, saat ia tengah melayani pelanggan, Jalal datang dengan membawa sekeranjang buah. “Zhafir, aku bawakan ini buat kamu. Aku lihat kamu makin sibuk akhir-akhir ini,” katanya sambil duduk di samping sahabatnya.
Zhafir tersenyum, menerima buah itu dengan senang hati. “Terima kasih, Jalal. Aku bersyukur, Allah masih memberiku rezeki untuk terus berusaha.”
Jalal menatap dagangan Zhafir yang kini jauh lebih banyak dibanding beberapa minggu lalu. “Kamu nggak kepikiran buat buka toko lagi? Daganganmu udah makin banyak.”
Zhafir menghela napas pelan. “Aku udah berpikir soal itu. Tapi kali ini, aku ingin sesuatu yang berbeda. Aku nggak mau cuma punya toko, aku mau berbagi dengan orang-orang yang butuh.”
Jalal mengernyit. “Maksud kamu?”
“Aku ingin buat tempat usaha di mana bukan cuma aku yang berjualan, tapi juga orang-orang yang kehilangan mata pencaharian seperti aku dulu,” jawab Zhafir dengan mata berbinar. “Aku mau ngajak mereka yang kesulitan, supaya kita bisa sama-sama bangkit.”
Jalal terdiam, hatinya seperti tersentuh sesuatu yang dalam. Ia selalu menganggap Zhafir hanya seorang pedagang biasa, tapi kini ia melihatnya lebih dari itu. Zhafir bukan hanya mencari rezeki, tapi juga menjadi jalan bagi orang lain untuk bangkit.
Kabar tentang niat baik Zhafir menyebar dengan cepat. Tak butuh waktu lama, para warga mulai berdatangan menawarkan bantuan. Tuan Nizam, yang sejak awal mengagumi keteguhan Zhafir, akhirnya turun tangan memberikan modal tanpa meminta imbalan. “Ini bukan hadiah, Zhafir. Ini adalah bentuk dukunganku terhadap seseorang yang benar-benar berjuang dengan hati,” katanya.
Dengan usaha yang gigih, Zhafir berhasil membuka kembali tokonya. Tapi kali ini, ia tidak sendiri. Beberapa warga yang kehilangan pekerjaan kini ikut bekerja bersamanya, menjual kain dengan semangat yang baru.
Sore itu, saat matahari mulai tenggelam dan langit berselimut jingga, Zhafir berdiri di depan tokonya yang baru, mengamati orang-orang yang kini tersenyum bahagia. Jalal berdiri di sampingnya, ikut tersenyum.
“Kamu benar, Zhafir,” ujar Jalal pelan. “Ketenangan hati memang nggak datang dari harta. Aku lihat sendiri, saat kamu kehilangan segalanya, kamu tetap tenang. Dan sekarang, saat kamu mendapatkan semuanya kembali, kamu tetap nggak berubah.”
Zhafir menoleh ke arah sahabatnya, lalu tersenyum lembut. “Karena aku tahu, semua ini hanya titipan. Dan kalau Allah mengujiku lagi, aku akan tetap menerima dengan hati yang sama.”
Angin sore berembus lembut, membawa kehangatan yang menenangkan. Langit senja bersinar indah, seolah menyaksikan perjalanan seorang pria yang tetap teguh dalam iman, tak tergoyahkan oleh dunia, dan selalu percaya bahwa rezeki sejati bukan sekadar harta, tapi keberkahan yang melimpah dalam hati.
TAMAT.