Kesombongan yang Menghancurkan: Kisah Pilu Oki di Tengah Gemerlap Lomba

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya pernah nggak sih, kamu merasa terlalu percaya diri sampai lupa menghargai orang lain? Kadang, kesombongan justru bikin kita kehilangan banyak hal, termasuk arti kemenangan yang sebenarnya.

Cerita Oki, seorang anak SMA yang gaul dan penuh semangat, bakal bikin kamu merenung. Dari rasa sombong yang menghantarkan ke kegagalan hingga perjalanan menemukan makna kerendahan hati, kisah ini penuh pelajaran berharga. Yuk, simak cerita inspiratif Oki dan perjalanan emosionalnya di dunia lomba yang lebih dari sekadar piala!

Kisah Pilu Oki di Tengah Gemerlap Lomba

Lahirnya Seorang Juara

Pagi itu, aula sekolah penuh sesak oleh siswa-siswi yang antusias menyaksikan lomba pidato antar-kelas. Tepuk tangan menggema ketika nama Oki disebut sebagai salah satu peserta terakhir. Dengan langkah percaya diri, Oki berjalan ke podium. Jas almamaternya tertata rapi, dasi hitam menambah kesan gagah.

“Selamat pagi, teman-teman, guru-guru yang saya hormati, serta para juri,” Oki membuka pidatonya dengan suara lantang dan nada yang menggugah.

Mata setiap orang tertuju padanya. Oki memang tidak pernah main-main saat tampil di depan umum. Intonasinya terukur, pemilihan kata-katanya berbobot, dan sesekali ia menambahkan sentuhan humor yang membuat semua orang tertawa kecil. Di akhir pidato, tepuk tangan bergemuruh.

“Oki emang jago banget, ya,” bisik salah satu siswa di barisan belakang.

“Kapan sih dia nggak menang?” balas temannya.

Siang itu, hasil lomba diumumkan. Seperti yang sudah diduga banyak orang, nama Oki disebut sebagai juara pertama. Ia maju dengan senyum lebar, menerima piala emas yang diberikan kepala sekolah.

“Saya hanya ingin memberikan yang terbaik untuk sekolah kita,” kata Oki dalam pidato penerimaan singkatnya, disambut sorak-sorai teman-temannya.

Oki tidak hanya unggul dalam lomba pidato. Ia juga sering memenangkan berbagai kompetisi, mulai dari debat hingga karya tulis ilmiah. Namanya selalu terpampang di papan pengumuman sebagai pemenang lomba mewakili sekolah. Popularitasnya tak terbendung. Setiap sudut sekolah mengenalnya, dan hampir setiap guru menyebutnya sebagai kebanggaan.

Namun, kesuksesan itu mulai memengaruhi sikapnya.

Suatu sore di ruang kelas, salah satu teman sekelasnya, Arga, mendekati Oki.

“Ki, gue denger ada lomba debat tingkat kota bulan depan. Gue pengin daftar, tapi… boleh nggak lu kasih tips biar lebih pede pas tampil?” tanya Arga dengan ragu.

Oki mendongak dari buku yang sedang ia baca. “Tips? Hmm, gini, Ga. Kalau mau menang, lu harus punya sesuatu yang istimewa. Kalau cuma tampil biasa aja, mending nggak usah ikutan. Gue nggak mau malu karena sekolah kita kalah gara-gara performa lu,” ucapnya sambil tersenyum tipis, setengah bercanda tapi menusuk.

Arga terdiam, senyumnya pudar. “Oh, iya… makasih, Ki.”

Setelah Arga pergi, salah satu teman dekat Oki, Dito, menepuk pundaknya. “Ki, nggak terlalu keras lu tadi ke Arga?”

“Ah, biarin aja. Dia butuh motivasi, Dit. Lagian, nggak semua orang punya bakat seperti gue, kan?” jawab Oki santai.

Hari-hari berlalu, dan kesombongan Oki semakin terlihat. Ia mulai sering menganggap remeh teman-temannya yang ingin belajar darinya. Saat salah seorang teman gagal dalam lomba menulis cerpen, Oki malah tertawa.

“Kan udah gue bilang, nggak semua orang cocok buat menang,” katanya dengan nada bercanda yang menyakitkan.

Namun, di balik semua kemenangan itu, Oki sebenarnya merasa tekanan yang besar. Ia sadar, popularitasnya membuat banyak orang menaruh harapan tinggi padanya. Setiap kali mengikuti lomba, ia harus menang. Setiap kali tampil, ia harus sempurna. Tidak ada ruang untuk kegagalan.

Suatu malam, di kamarnya, Oki duduk termenung. Piala-piala yang berjejer di rak terasa seperti beban berat. “Gue nggak boleh kalah. Gue nggak bisa mengecewakan mereka,” gumamnya pelan.

Ia menarik napas panjang, lalu membuka laptopnya untuk mempersiapkan lomba berikutnya. Meski sering terlihat percaya diri di depan orang lain, dalam hatinya Oki menyimpan ketakutan besar. Takut gagal. Takut kehilangan status sebagai “anak emas” sekolah.

Pada suatu siang, guru pembimbing lomba menghampirinya di perpustakaan.

“Oki, saya dengar kamu akan mewakili sekolah di lomba debat tingkat provinsi. Persiapannya bagaimana?” tanya Bu Ratna.

“Tenang aja, Bu. Saya pasti bisa menang. Saya sudah sering ikut lomba yang lebih berat dari ini,” jawab Oki dengan nada santai.

Bu Ratna tersenyum tipis. “Bagus kalau kamu percaya diri, Oki. Tapi ingat, kemenangan itu bukan hanya soal kemampuan, tapi juga sikap. Jangan sampai rasa percaya diri berubah jadi kesombongan.”

Oki terdiam sejenak. Kata-kata Bu Ratna terasa menusuk, tapi ia buru-buru mengabaikannya. “Saya paham, Bu. Terima kasih atas nasihatnya,” jawabnya sambil tersenyum, meski dalam hati merasa terusik.

Saat Bu Ratna pergi, Oki menghela napas panjang. “Sikap? Apa itu penting? Yang penting kan menang,” pikirnya dalam hati.

Babak baru dalam hidup Oki pun dimulai. Dengan kepercayaan dirinya yang tinggi, ia bersiap untuk lomba debat tingkat provinsi yang akan menjadi panggung terbesar dalam kariernya sebagai siswa. Ia yakin, kemenangan kali ini akan semakin memperkokoh posisinya sebagai juara sejati. Namun, ia tidak menyadari bahwa kesombongan yang perlahan merasuk dalam dirinya akan segera menjadi batu sandungan yang besar.

 

Kesombongan di Puncak Kemenangan

Langit pagi itu cerah, memberi semangat pada Oki yang baru saja memasuki aula besar tempat lomba debat tingkat provinsi digelar. Aula itu jauh lebih megah dari yang biasa ia lihat di kompetisi sekolah atau kota. Dinding-dindingnya berhiaskan logo provinsi, dan podium utama bersinar diterpa lampu sorot.

“Ini dia, Ki. Arena kita,” ujar Dito, sahabat yang selalu menjadi pendukung setianya.

Oki menepuk bahu Dito. “Arena gue, Dit. Gue yang bakal bikin sekolah kita bangga lagi.”

Dito hanya tersenyum tipis. Ia tahu Oki memang jago, tapi belakangan, sahabatnya itu terlalu sering bicara soal dirinya sendiri.

Lomba dimulai. Tim Oki menghadapi lawan dari berbagai daerah dengan tema debat yang beragam, mulai dari ekonomi, lingkungan, hingga teknologi. Di setiap putaran, Oki tampil memukau. Suaranya tegas, argumennya tajam, dan ia sering memanfaatkan momen untuk menekan lawan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit.

Saat istirahat, Oki berjalan dengan dada membusung. Ia mendengar bisik-bisik peserta lain memujinya. “Anak itu jago banget, sih. Gila, udah kayak politisi muda,” kata salah seorang peserta.

Oki tersenyum penuh kemenangan. Namun, dalam hati ia berpikir, “Wajar aja mereka kagum. Nggak ada yang bisa ngalahin gue.”

Di semifinal, tim Oki menghadapi salah satu tim unggulan dari sekolah lain. Ketegangan terasa, tapi Oki tetap tenang. Ia yakin kemampuannya bisa membawa timnya ke puncak.

“Argumen tim lawan lemah,” bisiknya kepada kedua rekan timnya. “Kalian biar gue yang handle bagian penutup. Gue pasti bisa bikin mereka kalah telak.”

Debat berlangsung sengit. Tim lawan menyajikan data yang solid, tapi Oki dengan cepat menemukan celah dan membantahnya. Penutupnya begitu memukau hingga juri tak ragu memberikan kemenangan kepada tim Oki.

Saat nama timnya diumumkan sebagai pemenang, Oki berdiri dengan senyum lebar. Ia melambaikan tangan ke arah penonton, menikmati sorak-sorai yang diberikan untuknya.

Namun, di balik semua kegemilangan itu, Oki mulai menunjukkan perubahan. Ia semakin sering membanggakan diri di depan teman-temannya.

“Serius deh, gue nggak ngerti kenapa orang-orang masih takut lomba. Kalau punya bakat kayak gue, semuanya jadi gampang,” ujarnya suatu kali di kantin sekolah.

Dito yang mendengar itu hanya menggeleng pelan. “Ki, nggak semua orang kayak lu. Lagian, lomba itu kan nggak cuma soal menang, tapi gimana lu belajar sesuatu.”

“Belajar apa lagi? Gue udah di puncak, Dit. Yang gue perlu sekarang cuma terus menang.”

Hari lomba final tiba. Aula yang semula terasa luas kini tampak penuh sesak oleh penonton dan peserta yang ingin menyaksikan momen puncak. Tim Oki akan berhadapan dengan tim dari sekolah swasta yang terkenal cerdas dan inovatif.

Sebelum lomba dimulai, guru pembimbingnya, Bu Ratna, menghampirinya. “Oki, saya tahu kamu hebat. Tapi jangan lupa, kerendahan hati itu jauh lebih penting daripada kemenangan. Tim ini adalah kerja bersama, bukan hanya tentang kamu.”

Oki hanya tersenyum kecil. Dalam hati ia berpikir, “Kenapa semua orang terus bilang soal sikap? Gue tahu apa yang gue lakukan. Gue bakal menang.”

Saat debat dimulai, Oki segera mengambil alih perhatian. Ia berbicara penuh percaya diri, bahkan kadang menyelipkan candaan yang membuat penonton tertawa. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Tim lawan, yang selama ini tampak tenang, tiba-tiba menyajikan argumen yang sangat kuat. Data mereka begitu akurat, dan mereka mematahkan poin-poin Oki dengan cara yang elegan.

Saat giliran Oki membalas, ia merasa tertekan. Untuk pertama kalinya, ia kehilangan kata-kata. “Ehm… ya, begini. Data yang mereka sajikan memang menarik, tapi kurang relevan,” katanya dengan suara yang mulai gemetar.

Penonton mulai berbisik. Suara Oki yang biasanya tegas kini terdengar ragu. Teman-temannya di tim mencoba membantunya, tapi ia terus memotong mereka, merasa ia masih mampu memimpin.

Ketika debat selesai, Oki duduk dengan wajah tegang. Ia tahu ada yang salah, tapi ia tidak mau mengakuinya.

Pengumuman pemenang dilakukan dengan megah. Semua peserta berdiri menunggu hasil. Nama tim lawan disebut sebagai juara pertama. Tepuk tangan menggema, sementara Oki hanya berdiri kaku.

Saat melihat tim lawan naik ke podium, Oki merasa dadanya sesak. Ia menunduk, berusaha menutupi rasa kecewanya.

“Oki, nggak apa-apa. Kita udah berusaha,” kata salah satu rekannya.

“Berusaha apa? Kita kalah,” jawab Oki dingin.

Kekalahan itu menjadi tamparan keras bagi Oki. Semua kesombongan yang ia bangun selama ini runtuh seketika. Ia, yang selalu merasa tak terkalahkan, kini berdiri di barisan yang kalah. Namun, ia belum menyadari bahwa ini adalah awal dari pelajaran besar yang akan mengubah hidupnya

 

Luka di Balik Kekalahan

Oki mengayuh sepedanya dengan pelan menuju rumah. Sinar matahari sore yang biasanya terasa hangat, kini seakan menyorotinya dengan kasar, seperti menyindir kegagalan yang baru saja ia alami. Ia memandangi trotoar tanpa benar-benar melihatnya, pikirannya masih berputar pada momen memalukan saat tim lawan dinyatakan sebagai juara.

Saat sampai di rumah, Oki langsung masuk tanpa menyapa ibunya seperti biasa. “Kamu sudah pulang, Nak?” panggil sang ibu dari dapur. Namun, Oki hanya menjawab singkat, “Iya, Bu,” sebelum menutup pintu kamar dengan keras.

Di dalam kamar, ia duduk di lantai sambil memandangi medali perak yang tergantung di lehernya. Biasanya, medali adalah simbol kebanggaan bagi Oki. Tapi kali ini, berat medali itu seolah menjadi beban. Ia mengingat detik-detik saat ia kehilangan kontrol di atas panggung.

“Kenapa gue nggak bisa jawab? Kenapa semuanya tiba-tiba kosong di kepala gue?” pikirnya dengan frustrasi.

Ponselnya berbunyi, menampilkan notifikasi dari grup sekolah. Pesan-pesan bermunculan, ada yang memuji perjuangan tim Oki, tapi ada juga yang menyisipkan sindiran halus. Salah satu pesan dari teman sekelasnya berbunyi, “Wah, nggak nyangka ya Oki bisa kalah juga. Padahal biasanya jago banget.”

Oki langsung melempar ponselnya ke kasur. Dadanya berdegup kencang, campuran antara marah dan malu.

Keesokan harinya, Oki berangkat sekolah dengan langkah berat. Ia merasa semua mata teman-temannya menyorotinya, meskipun kenyataannya banyak dari mereka yang sibuk dengan urusan masing-masing.

“Ki, lo nggak apa-apa?” tanya Dito saat mereka bertemu di kantin.

“Baik,” jawab Oki singkat, tanpa menatap sahabatnya.

Dito menghela napas. “Gue ngerti lo lagi kecewa. Tapi kalah itu biasa, Ki. Lo cuma perlu belajar dari kesalahan.”

“Kesalahan apa, Dit? Gue udah kasih yang terbaik, tapi ternyata itu nggak cukup,” kata Oki, suaranya terdengar getir.

“Justru itu, Ki. Mungkin lo terlalu fokus sama diri lo sendiri. Ini tim, bukan solo performance. Kalau lo mau menang lagi, lo harus mulai dengerin orang lain juga.”

Ucapan Dito menusuk hati Oki. Ia tahu ada benarnya, tapi egonya terlalu besar untuk mengakui. “Gue nggak perlu ceramah, Dit. Gue tahu apa yang gue lakuin,” katanya sambil pergi meninggalkan Dito yang hanya bisa menggeleng.

Seminggu berlalu, tapi rasa kecewa di hati Oki belum juga mereda. Ia mulai menjauhi teman-temannya, lebih sering menyendiri di perpustakaan atau di rumah. Ibunya, yang menyadari perubahan itu, mencoba mendekati Oki.

“Oki, Ibu lihat kamu banyak melamun akhir-akhir ini. Ada apa, Nak?”

“Nggak apa-apa, Bu. Cuma capek,” jawab Oki datar.

Ibunya duduk di sampingnya. “Nak, kalau kamu capek, istirahatlah. Tapi jangan biarkan rasa capek itu membuat kamu lupa bersyukur. Kekalahan itu bukan akhir dari segalanya.”

Oki menunduk. Ucapan ibunya terasa sederhana, tapi berat untuk diterima. “Tapi, Bu… rasanya malu. Gue udah usaha, tapi tetap kalah. Orang-orang cuma lihat hasilnya, bukan prosesnya.”

“Memang benar, banyak orang cuma melihat hasil, Nak. Tapi Tuhan tidak begitu. Dia selalu melihat hati dan usaha kita. Kamu perlu ingat, kemenangan itu datang bukan hanya dari kehebatan kita, tapi juga dari kerendahan hati kita menerima apapun hasilnya.”

Oki terdiam. Kata-kata ibunya mulai membuka pikirannya.

Di sekolah, Dito tetap bersikap seperti biasa, meskipun Oki sering mengabaikannya. Suatu hari, saat pelajaran kosong, Dito membawa selembar brosur ke bangku Oki.

“Ki, lihat ini,” katanya sambil meletakkan brosur itu di meja.

Oki melirik sekilas. Brosur itu berisi informasi tentang lomba debat amal untuk mengumpulkan dana bagi anak-anak kurang mampu.

“Ngapain lo kasih gue ini?” tanya Oki.

“Karena gue tahu lo masih punya potensi. Lomba ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal gimana kita bisa pakai kemampuan kita buat bantu orang lain. Gue bakal ikut. Kalau lo mau, kita bisa satu tim lagi,” jawab Dito.

Oki tidak langsung menjawab. Ia hanya memandang brosur itu dengan ragu. Di satu sisi, ia masih terluka oleh kekalahan sebelumnya. Tapi di sisi lain, ada dorongan dalam hatinya untuk mencoba lagi, untuk membuktikan bahwa ia bisa lebih baik.

Setelah berpikir semalaman, Oki akhirnya mengirim pesan kepada Dito.

“Oke, gue ikut.”

Jawaban Dito datang cepat, dengan emotikon senyum lebar. “Good choice, bro. Kita bikin ini jadi pengalaman terbaik.”

Babak baru dalam perjalanan Oki dimulai. Namun, kali ini, ia harus belajar melepaskan kesombongannya dan menggali kembali alasan sebenarnya mengapa ia jatuh cinta pada debat. Perjalanan ini bukan lagi tentang dirinya, tapi tentang bagaimana ia bisa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.

 

Cahaya di Balik Pengorbanan

Hari lomba amal tiba. Sekolah penuh dengan spanduk dan dekorasi sederhana, menambah suasana semarak. Meski lomba ini tidak sebesar turnamen sebelumnya, semangat peserta dan penonton terasa lebih hangat. Mereka tidak hanya datang untuk mendukung teman-teman mereka, tetapi juga untuk mendukung misi mulia di balik acara ini mengumpulkan dana bagi anak-anak yang membutuhkan.

Oki berdiri di belakang panggung bersama Dito dan anggota tim mereka yang lain, Maya. Ia merapikan jasnya dan mencoba menenangkan detak jantung yang terasa lebih cepat dari biasanya. Namun, kali ini, rasa gugupnya tidak sepenuhnya sama seperti sebelumnya. Ada kehangatan yang baru, mungkin karena ia tahu bahwa lomba ini bukan soal dirinya, tapi tentang bagaimana ia bisa berkontribusi pada sesuatu yang lebih berarti.

“Ki, lo siap, kan?” tanya Dito sambil menepuk bahunya.

Oki menatap sahabatnya dan mengangguk. “Gue siap. Gue nggak akan ngecewain kalian.”

Babak pertama berjalan dengan lancar. Tim Oki berhasil melewati argumen-argumen lawan dengan tenang. Maya memulai dengan pembukaan yang kuat, Dito menyampaikan poin-poin utama dengan lugas, dan Oki menutup dengan retorika yang menggugah.

Namun, di babak semifinal, mereka dihadapkan pada tim yang sangat kuat dari sekolah lain. Debat berlangsung sengit. Salah satu anggota tim lawan, seorang anak perempuan bernama Anya, dengan lugas menyerang argumen tim Oki, membuat mereka sedikit terpojok.

Oki melihat Maya mulai kehilangan kepercayaan diri, dan Dito mulai kehabisan waktu untuk merespons. Tanpa berpikir panjang, Oki mengambil alih sesi.

“Dengar, semua orang punya suara, termasuk anak-anak yang sedang kita perjuangkan hari ini,” katanya dengan suara lantang. “Debat ini bukan tentang siapa yang lebih pintar, tapi siapa yang bisa berdiri untuk orang lain. Kita di sini bukan cuma untuk menang, tapi untuk membuat perbedaan.”

Sorak sorai penonton memenuhi ruangan. Oki merasa napasnya lebih lega saat ia kembali duduk. Meski tim mereka menang tipis, kemenangan itu terasa berbeda. Ini bukan soal gengsi, tetapi lebih tentang menyampaikan pesan yang benar.

Sebelum babak final dimulai, Oki menyempatkan diri keluar untuk mengambil udara segar. Ia memandangi taman sekolah yang dipenuhi anak-anak kecil dari panti asuhan yang menjadi tujuan acara amal ini. Beberapa dari mereka bermain sambil tertawa, membawa balon warna-warni.

Seorang anak perempuan kecil dengan rambut dikuncir dua mendekatinya. “Kakak yang tadi di panggung, kan?” tanyanya dengan suara polos.

“Iya, adek suka lihat kakak debat?” jawab Oki sambil tersenyum.

“Iya, kakak hebat. Aku mau kayak kakak kalau sudah besar,” katanya sambil tertawa kecil.

Oki tertegun. Kata-kata anak itu terasa lebih bermakna daripada semua piala yang pernah ia menangkan. “Semoga kamu bisa lebih hebat dari kakak, ya,” katanya sambil mengacak rambut anak itu.

Anak itu mengangguk antusias, lalu berlari kembali ke teman-temannya. Saat itu, Oki menyadari sesuatu yang penting: kebahagiaan sejati tidak datang dari pujian atau kemenangan, tetapi dari memberi arti pada hidup orang lain.

Di babak final, tim Oki berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh. Saat sesi berlangsung, Oki menghadapi dilema. Sebuah argumen lawan ternyata sangat kuat, dan timnya kesulitan untuk membalasnya.

Maya melirik ke arah Oki, seolah meminta arahan. Namun, alih-alih terburu-buru menjawab, Oki mengingat nasihat ibunya tentang pentingnya kerendahan hati. Ia mengangkat tangan untuk meminta waktu.

“Sebagai tim, kami mengakui bahwa argumen lawan sangat baik dan berdasar. Namun, kami percaya bahwa debat ini adalah tentang menyatukan visi, bukan menjatuhkan satu sama lain,” katanya dengan tenang.

Kejujuran Oki membuat ruangan hening sejenak. Bahkan tim lawan tampak terkejut. Namun, ia melanjutkan dengan nada penuh keyakinan.

“Kami tetap yakin bahwa upaya kolektif, seperti yang kita lakukan di sini hari ini, adalah kunci untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Jadi, apa pun hasilnya, kita semua adalah pemenang karena kita telah berdiri untuk mereka yang membutuhkan.”

Ketika sesi selesai, tepuk tangan membahana. Hasil akhir memang menempatkan tim Oki di posisi kedua, tetapi tidak ada kesedihan di wajah mereka.

Setelah acara selesai, kepala sekolah menghampiri Oki. “Kamu sudah menunjukkan bahwa kemenangan bukan satu-satunya tujuan, Oki. Kamu telah membawa pelajaran besar bagi kami semua.”

Oki tersenyum. Hatinya terasa damai. Saat berjalan keluar, ia melihat anak-anak dari panti asuhan melambaikan tangan ke arahnya. Di saat itu, ia merasa seperti menemukan kembali jati dirinya.

Di perjalanan pulang, Dito menepuk punggungnya. “Ki, gue bangga sama lo. Kali ini, lo bukan cuma jago, tapi juga bijak.”

“Thanks, Dit. Gue belajar banyak dari semuanya,” jawab Oki.

Di malam itu, saat Oki merenung di kamarnya, ia menatap ke langit-langit dengan senyum tipis. Kekalahan di turnamen sebelumnya mungkin adalah cara Tuhan mengajarkannya arti kerendahan hati dan pentingnya berbagi. Ia akhirnya bisa tidur nyenyak, dengan hati yang lebih ringan dan kepala yang lebih tegak.

Kisah ini bukan lagi tentang trofi, melainkan tentang perjalanan seorang anak muda menemukan arti kemenangan yang sesungguhnya kesetiaan kepada Tuhan dan kepedulian kepada sesama.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Oki mengajarkan kita bahwa kemenangan bukan hanya soal piala atau tepuk tangan meriah. Lebih dari itu, kemenangan sejati adalah ketika kita bisa belajar dari kekalahan, menghargai orang lain, dan menempatkan kepentingan bersama di atas ego pribadi. Jadi, jangan takut gagal, karena di balik setiap kegagalan, ada pelajaran besar yang menunggu. Yuk, jadikan cerita Oki sebagai pengingat untuk selalu rendah hati dan tetap setia pada nilai-nilai kebaikan!

Leave a Reply