Kentang, Telur, dan Biji Kopi: Cerpen Konyol yang Bikin Ngakak

Posted on

Jadi gini, ada satu cerita konyol tentang tiga bahan yang jarang banget ketemu, tapi entah kenapa, mereka justru jadi bahan utama dalam eksperimen kuliner yang lebih absurd daripada drama-drama di TV.

Ada kentang, telur, sama biji kopi—iya, kalian nggak salah denger. Dan kalau kalian pikir ini bakal jadi makanan enak, siap-siap aja kecewa, karena ini lebih tentang kegilaan di dapur dan tawa yang nggak bisa ditahan. Yuk, simak cerita tentang Kentelopi yang bakal bikin kalian ketawa sampai perut sakit!

 

Kentang, Telur, dan Biji Kopi

Sarapan yang Mengguncang Dunia

Pagi itu, aku duduk di sudut warung kecil yang biasa kami datangi setiap hari, “Roti dan Resep Rahasia.” Warung yang selalu penuh dengan aroma kopi kental dan roti panggang yang dibakar dengan cara yang entah kenapa selalu membuatnya tampak lebih enak daripada yang seharusnya. Di meja kami yang sudah biasa, ada Zaki yang sibuk melihat sesuatu di ponselnya, Fira yang sedang memainkan sendok dengan cara yang tak terduga, dan aku—ya, aku yang hanya mengamati sambil menyesap kopi hangat yang… agak lebih kental dari biasanya.

Zaki tiba-tiba menurunkan ponselnya, wajahnya tampak serius, seperti baru saja menemukan penemuan besar yang bisa mengubah dunia. Aku sudah bisa menebak kalau ini bakal jadi ide gila lagi.

“Teman-teman, aku baru dapat ide brilian!” kata Zaki, dengan nada yang meyakinkan, bahkan lebih meyakinkan daripada iklan-iklan di TV yang menjual produk kecantikan.

Fira, yang selalu skeptis, langsung menyeringai. “Zaki, kalau ide kamu ini tentang membuat patung dari kentang lagi, aku kabur,” ujarnya dengan nada bercanda, meski aku tahu dia nggak begitu main-main.

Aku hanya memandangi Zaki yang kini terlihat lebih bersemangat dari biasanya. Biasanya, ide-ide Zaki ini malah berujung pada kekacauan yang entah bagaimana selalu berhasil membuat kita tertawa. Jadi, aku siap-siap aja untuk mendengarkan.

Zaki mengabaikan komentar Fira, dan malah semakin tenggelam dalam pikirannya. “Aku tahu kalian akan ragu. Tapi kali ini beda. Aku ingin kita bikin makanan yang… yang… akan mengguncang dunia kuliner!”

Fira mengerutkan dahi. “Makanan apa lagi, Zaki? Jangan bilang lagi kalau ini gabungan rendang dan es krim,” katanya, lebih berfokus pada makanannya daripada Zaki yang sudah bersiap memberi penjelasan panjang.

Zaki tetap melanjutkan dengan penuh keyakinan. “Bayangin ini, Fira. Gabungan kentang, telur, dan biji kopi! Ini bukan hanya makanan, ini adalah sebuah revolusi! Kita akan menciptakan makanan yang bisa jadi bahan pembicaraan di dunia kuliner internasional.”

Aku menunduk, mencoba mencerna apa yang Zaki katakan. Kentang? Telur? Biji kopi? Tidak ada yang salah dengan bahan-bahan itu, tetapi untuk digabungkan dalam satu piring? Itu bahkan kedengarannya lebih gila dari eksperimen Zaki yang pernah kulihat.

“Zaki, kamu serius?” Fira bertanya, masih skeptis. “Kentang digoreng, telur direbus, dan biji kopi diseduh—mungkin itu adalah tiga hal yang bisa jadi bahan makanan biasa, tapi gabungin semuanya jadi satu? Itu kayak… makanan di dunia alternatif.”

Zaki mengangguk dengan ekspresi penuh percaya diri. “Tapi, coba bayangin. Kalau kita bisa menemukan cara yang tepat untuk menggabungkan ketiganya, ini bakal jadi… makanan yang nggak pernah ada sebelumnya. Rasanya? Pasti unik! Sempurna! Kalian akan terkejut!”

Aku cuma menggelengkan kepala dan menertawakan ide Zaki. “Ide kamu gila banget sih, Zaki. Kentang, telur, dan kopi, semua dalam satu piring? Bahkan aku aja nggak bisa bayangin gimana itu rasanya.”

Zaki menatapku dengan penuh semangat. “Itulah yang aku bilang! Kita harus coba! Kita bisa mulai dengan bikin Kentelopi.”

Kentelopi? Itu nama apa lagi?” Fira langsung tertawa kecil, mencampurkan gelas kopinya dengan sendok, memutar-mutar sambil menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Kentelopi itu, makanan yang menggabungkan kentang, telur, dan kopi jadi satu hidangan yang luar biasa!” jawab Zaki, sambil mendesah panjang, seakan menunggu kami untuk memahami besarnya ide itu.

Aku melirik Fira yang sepertinya sedang berpikir keras. “Zaki, kalau hasilnya buruk, kita gak bisa jadi koki terkenal,” katanya sambil tersenyum penuh sindiran. “Atau, kalau sial, kita malah masuk berita dengan judul ‘Tiga Orang Coba Ciptakan Makanan Baru, Gagal Total.’”

Aku nggak bisa menahan tawa mendengar komentar Fira, tapi Zaki tampaknya makin yakin. “Gini deh, kita harus coba. Kita beli bahan-bahannya dan eksperimen di dapur. Kalau berhasil, kita bisa jadi terkenal!” katanya, tidak tergoyahkan oleh keraguan yang terlukis di wajah Fira.

“Baiklah, kalau kamu yakin segitu, ayo. Tapi jangan salahkan aku kalau Kentelopi ini malah bikin kita masuk rumah sakit,” kata Fira dengan nada bercanda, tapi aku tahu dia sudah mulai penasaran.

Akhirnya, setelah banyak pertimbangan, kami sepakat untuk membeli bahan-bahannya. Zaki pergi ke pasar, Fira mencari telur di toko sebelah, sementara aku diminta untuk mencari biji kopi yang lebih baik. Kami semua kembali dengan wajah penuh antusiasme, meskipun ada sedikit keraguan yang tak terucapkan.

Di dapur kecil itu, kami mulai bekerja. Fira yang biasanya cemas di dapur mulai dengan percaya diri menggoreng kentang. Aku yang harusnya sibuk menggiling biji kopi malah lebih banyak melamun. Dan Zaki? Zaki sedang dengan penuh semangat memecahkan telur dengan cara yang hampir membuatnya mengotori dapur.

Ketika semuanya mulai siap, kami menatanya di atas piring. Kentang goreng, telur dadar, dan bubuk kopi. Tentu saja, kami tidak lupa menambahkan sedikit garam dan bumbu rahasia versi Zaki.

Fira mengambil sendoknya, mencobanya duluan. Dia terdiam sesaat, lalu melirik kami. “Ini… nggak seperti yang aku bayangin sih. Tapi ada sesuatu yang… agak oke, aneh, dan nggak enak di saat yang bersamaan,” ujarnya, mencoba memberi penilaian jujur.

Zaki mengangguk, “Itulah keunikan dari Kentelopi! Ini adalah hasil dari kreativitas yang tak terbatas. Kita bakal mengguncang dunia kuliner!”

Aku mengambil suap pertama. Rasanya… ya, sangat aneh. Kentang yang renyah bertemu dengan telur yang lembut, ditambah dengan pahitnya kopi yang seharusnya tidak berada di sini. Tapi entah kenapa, rasanya seperti… sesuatu yang bisa jadi lebih baik jika dikembangkan. “Hmm… agak nggak nyambung, tapi… menarik juga, sih,” kataku, sambil memaksakan senyum.

Fira dan Darto, yang kini mulai meragukan eksistensi mereka dalam eksperimen ini, hanya bisa saling pandang. “Mungkin kita bisa jadi terkenal, Zaki, tapi entah apa yang akan kita lakukan dengan reputasi buruk itu,” Fira berkomentar.

Zaki tersenyum lebar. “Percaya deh, ini hanya permulaan. Kalau kita benar-benar berhasil, Kentelopi akan jadi makanan yang diburu di seluruh dunia. Kita cuma butuh waktu!”

Aku menatap mereka berdua dan mengangkat gelas kopi yang sudah hampir habis. “Entahlah, tapi kalau ada yang percaya sama Kentelopi, itu pasti orang yang punya selera luar biasa aneh.”

Kami tertawa, menyadari satu hal—meski kami sudah mencoba menciptakan sesuatu yang sangat konyol, itu adalah sebuah pengalaman yang tak terlupakan.

 

Dapur, Tempat Terjadinya Kekacauan

Setelah eksperimen Kentelopi yang menghebohkan, Zaki seperti orang yang baru saja menemukan teori konspirasi besar tentang dunia kuliner. Semua orang yang lewat pasti diberhentikan untuk diajak diskusi tentang kehebatan masakan baru ini. Dan ya, aku mulai merasa kalau ini lebih mirip eksperimen fisika yang salah daripada masakan yang bisa dilirik dengan rasa ingin tahu.

Pagi itu, suasana di dapur kami jauh dari kata tenang. Dapur kecil yang biasanya digunakan untuk membuat sarapan sederhana seperti telur dadar atau mie instan kini telah berubah menjadi medan perang. Piring kotor bertumpuk di sudut, bau kopi yang agak aneh menguar, dan… aku tidak yakin apa yang terjadi dengan kentang yang digoreng dua kali.

“Darto! Kenapa kentangnya jadi keras begini?” Fira tiba-tiba teriak dari dekat kompor, sementara aku, yang sedang mencoba menghaluskan biji kopi, hanya bisa menoleh dengan wajah penuh kebingungan.

“Apa? Mana ada kentang keras? Itu… kan harus garing,” jawabku setengah panik, meskipun aku juga tidak tahu apa yang sedang aku katakan. Aku hanya berusaha mengalihkan perhatian dari kejadian yang lebih mengerikan: ada sesuatu yang mendidih di dalam panci, dan aku merasa itu bukan bagian dari resep Zaki yang ‘brilian’.

“Darto, jangan salah! Kentangnya nggak cuma keras, itu udah kayak batu! Kalau kita lempar ke orang, bisa jadi senjata!” Fira terus mengomel, sementara Zaki, si pencetus ide, tampaknya tak tergoyahkan dengan kegagalan itu.

Zaki berdiri dengan angkuh di tengah dapur, menatapnya seperti seorang ilmuwan gila yang tengah meneliti sesuatu yang luar biasa penting. “Ini cuma fase percobaan, Fira. Proses memang nggak selalu mulus. Kita harus lebih kreatif dengan teknik penggorengan. Gimana kalau kentangnya digoreng dengan kecepatan berbeda?”

Aku hanya mengangkat alis. “Zaki, maksud kamu kentang bisa terbang kalau digoreng lebih cepat?”

“Bukan terbang, Darto, lebih ke… energi kinetik,” jawab Zaki dengan serius, seperti yang selalu dia lakukan saat berbicara tentang hal-hal aneh yang tak masuk akal. “Tapi yang penting sekarang adalah bagaimana kita bisa menggabungkan semuanya tanpa bencana. Kentang itu cuma… ya, kacau sedikit, tapi telur dan kopi—ini yang penting!”

Fira mendengus kesal, lalu mengambil satu butir telur dan memecahkannya dengan gerakan cepat. “Oke, telur gue pecahin. Tapi kalau kamu bilang kita harus makan makanan ini untuk makan siang nanti, gue kabur, Zaki. Kalau ini gagal lagi, nggak ada yang bisa dipertanggungjawabkan.”

Aku hanya tersenyum sambil melihat mereka bertengkar. Entah kenapa, Zaki selalu bisa membuat situasi yang nggak nyaman jadi lebih seru, meskipun kita tahu ini akan berakhir dengan hasil yang sangat, sangat… nggak sesuai harapan.

Sementara itu, Zaki terus mempersiapkan bahan-bahan lainnya. Telur dadar sudah setengah jadi, kentang yang berantakan akhirnya berhasil diselesaikan meskipun dengan cara yang sangat meragukan, dan biji kopi yang kugiling mulai mengeluarkan aroma yang semakin aneh. Aku memandangi semuanya dengan setengah rasa khawatir dan setengah rasa ingin tertawa.

“Gimana kalau kita masak Kentelopi versi spesial, dengan saus rahasia?” kata Zaki tiba-tiba, dengan penuh percaya diri, seperti dia baru saja memutuskan untuk menciptakan saus yang bisa menyelamatkan dunia. “Kita harus coba lagi, ini pasti jadi bahan pembicaraan di seluruh dunia.”

“Kalau ini jadi bahan pembicaraan di dunia kuliner internasional, aku akan cari kerjaan baru,” ujar Fira dengan nada tegas. “Paling nggak, kalau gagal, kita bisa jadi terkenal sebagai orang yang bikin makanan terburuk dalam sejarah.”

Aku melirik Fira yang sudah hampir putus asa. “Jangan gitu, Fira. Kalau ini berhasil, kita bakal punya nama besar. Bayangin aja, ‘Kentelopi’, hidangan revolusioner yang bakal bikin semua orang ternganga.”

Zaki mengangguk antusias. “Nah, itu dia! Kita harus tetap semangat! Gue yakin ini bakal sukses. Kalau gagal, kita coba lagi. Ini cuma percobaan pertama kok!”

Suasana semakin kacau ketika Zaki menyarankan untuk menambahkan sedikit gula pada campuran Kentelopi. Fira, yang sudah kehabisan kata-kata, hanya bisa menghela napas panjang dan mulai menambahkan sedikit bumbu lainnya. Semua orang berusaha mencari cara untuk memperbaiki “sajian revolusioner” itu, meskipun semuanya mulai terasa seperti piring-piring terbang yang tak tahu arah.

Saatnya mencoba Kentelopi versi kedua. Kami semua memandangi satu piring besar yang sudah tertata di atas meja. Rasanya… yah, meskipun tidak ada yang siap menghadapinya, kami tetap harus mencoba.

Zaki yang pertama kali mengambil sendoknya, memotong bagian telur dadar yang agak gosong, mencampurnya dengan kentang keras dan sedikit biji kopi yang sudah dihancurkan. Dia memasukkan semuanya ke mulutnya dengan penuh harapan.

Fira dan aku menunggu dengan napas tertahan. Dan…

Zaki berhenti sejenak, menatap piring itu, lalu mengangkat alisnya. “Ini… ini lebih baik dari yang pertama, kan?” katanya, mencoba tetap optimis meskipun ada ekspresi yang agak berbeda di wajahnya. “Mungkin kita butuh lebih banyak kopi. Mungkin kalau kopi ditambah… ini bisa jadi enak!”

Aku menatap Fira, lalu keduanya tertawa terbahak-bahak. Kami sudah tahu bahwa Zaki tidak pernah menyerah begitu saja, meskipun apa yang dia buat itu… yah, sangat jauh dari kata “enak”.

“Jadi, apa kita akan coba lagi?” tanya Fira, masih dengan tawa yang belum berhenti.

Zaki mengangguk penuh keyakinan, “Tentu saja! Kita nggak boleh menyerah. Proses ini akan membawa kita pada penemuan besar!”

Aku cuma bisa tertawa. “Oke, kalau kalian masih percaya, aku nggak bisa bilang apa-apa. Tapi, kita benar-benar harus berhati-hati dengan kopi selanjutnya, ya?”

 

Keajaiban di Dalam Dapur (Atau Tidak)

Hari-hari setelah eksperimen Kentelopi kami semakin aneh, namun juga semakin penuh semangat. Tentu saja, setelah kegagalan demi kegagalan, Zaki masih saja belum menyerah. Kali ini, dia datang dengan rencana baru yang katanya lebih “revolusioner” daripada yang sebelumnya. Aku, yang sudah mulai merasa seolah hidup di dalam dunia penuh eksperimen kuliner gila, hanya bisa menggelengkan kepala. Tapi, apa lagi yang bisa aku lakukan? Fira jelas lebih skeptis, sedangkan Zaki—yah, Zaki tetap saja dengan optimisme yang mengalahkan semua logika.

Hari itu, kami berkumpul lagi di dapur. Zaki sudah membawa sekantong besar biji kopi, satu keranjang kentang baru, dan telur ayam yang dia pastikan kualitasnya lebih baik dari yang sebelumnya. Fira mengangkat bahu, “Kalian serius? Kalau ini gagal lagi, aku benar-benar angkat kaki.”

Zaki hanya tersenyum lebar, “Jangan khawatir, kali ini aku punya rahasia besar.”

Aku dan Fira saling pandang. Rahasia besar? Pasti akan ada sesuatu yang “berbeda” lagi, pikirku.

“Jadi gini,” Zaki mulai menjelaskan sambil membuka kantong biji kopi, “kalau Kentelopi yang pertama itu gagal karena percampuran bahan yang salah, kali ini kita akan fokus pada ‘sensasi rasa’—bukan hanya dari kopi dan kentang, tapi juga tekstur telur.” Zaki meremas-remas kentang yang ada di tangannya, seolah itu bahan berharga yang akan menyelamatkan dunia.

“Tekstur telur?” Fira bertanya, mengangkat alisnya.

“Betul!” Zaki melanjutkan tanpa menghiraukan keraguan di wajah kami. “Ini akan jadi telur dengan dua tekstur: renyah di luar, lembut di dalam. Nah, itu baru namanya inovasi!”

Aku mendengus. Zaki memang penuh ide aneh, tapi kali ini aku merasa penasaran. Penasaran dengan apa yang akan dia coba lakukan selanjutnya, atau lebih tepatnya, dengan bagaimana dia akan membuat semuanya semakin kacau.

Fira mulai menyiapkan bahan-bahan, sambil mengingatkan, “Jangan terlalu banyak berharap, Zaki. Kalau ini gagal, kita akan berurusan dengan lebih dari sekadar kegagalan kuliner. Kita akan berurusan dengan ‘kesalahan besar’.”

Zaki mengabaikan kekhawatiran Fira dan mulai menggiling biji kopi dengan penuh semangat. Aku mendekat dan bertanya, “Zaki, ini benar-benar bisa jadi makan siang, kan?”

Zaki menatapku dengan serius. “Tentu saja. Ini bukan hanya makan siang, ini adalah karya seni. Kamu harus percaya!”

Fira, yang sudah mulai menaruh telur di penggorengan, menatap Zaki dan berkomentar, “Karya seni, ya? Kalau ini jadi karya seni, aku mulai berpikir kalau mungkin kita bisa bikin galeri untuk pamerin eksperimen-eksperimenmu.”

“Bukan galeri, Fira,” jawab Zaki dengan nada serius, “ini revolusi kuliner! Nanti, kalau berhasil, kita akan membuka restoran, dan nama kita akan terkenal di seluruh dunia. Orang-orang akan datang hanya untuk mencoba Kentelopi.”

Aku tertawa geli. Zaki memang bisa meyakinkan orang untuk mengikuti ide-idenya, meskipun jelas tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi di dapur ini. Apakah itu masakan atau eksperimen gila? Entahlah.

Proses dimulai dengan Zaki mengatur kentang yang sudah dipotong tipis-tipis di atas panci. Aku melihat dia memasukkan potongan kentang itu dengan penuh keseriusan, seakan-akan dia sedang menyiapkan bahan-bahan untuk film besar Hollywood. Fira, yang sudah mulai lelah dengan proses yang tak kunjung selesai, ikut membantu mengaduk telur. Sementara itu, aku hanya berdiri di samping, menatap panci berisi campuran kentang yang semakin lama semakin tak jelas bentuknya.

“Zaki,” kataku pelan, “kau yakin ini akan berhasil?”

Zaki menyeringai. “Pasti. Kita sudah melewati kegagalan-kegagalan, dan kegagalan adalah batu loncatan menuju keberhasilan.”

“Ya, kalau kita gagal lagi, kita bakal jadi batu loncatan menuju penyakit perut,” ujar Fira sambil tertawa miris.

“Bisa jadi,” aku menimpali, “tapi setidaknya kita akan dikenal sebagai orang yang berani mencoba hal gila.”

Suasana makin kacau ketika Zaki tiba-tiba memutuskan untuk menambahkan sesuatu yang belum pernah ada dalam dunia kuliner—serbuk coklat! “Coklat ini yang akan memberi sensasi baru. Bayangkan saja, kentang, telur, kopi, dan coklat… kombinasi yang luar biasa!”

Aku terkejut. “Coklat? Zaki, kamu yakin? Itu kayaknya nggak cocok sama sekali.”

“Tapi kita belum coba, kan?” jawab Zaki penuh semangat.

Fira dan aku saling pandang. Tidak tahu lagi harus bilang apa. “Baiklah, Zaki, jika kamu tetap ingin melakukannya, kita ikut saja,” kata Fira, akhirnya menyerah.

Setelah semua bahan tercampur, Zaki mengangkat panci dan dengan yakin menyajikan piring penuh dengan Kentelopi versi terbaru yang mengandung coklat, kentang, telur, dan biji kopi yang tercampur menjadi satu. Piring itu terlihat seperti hasil karya seni yang gagal—warna coklat, kuning, dan hitam bercampur tak karuan.

Fira menatap piring itu dan berkata, “Ini… Ini harus jadi makanan teraneh yang pernah gue lihat.”

Aku menatap piring itu dengan ragu. “Zaki, apa kita harus coba sekarang?”

Zaki mengangguk penuh keyakinan. “Kita harus berani. Karena keberanianlah yang membawa kita menuju keberhasilan. Cobalah!”

Satu persatu kami mencicipi makanan itu. Aku mulai merasa ragu, tetapi Zaki memandang kami dengan penuh harapan. Ketika sendok pertama masuk ke mulut, rasa aneh langsung menyerbu. Rasanya nggak enak, nggak enak sama sekali. Ada rasa pahit dari kopi, ditambah coklat yang malah bikin semuanya jadi aneh. Kentangnya keras, telur… yah, telur itu tetap telur.

Kami diam sejenak, berusaha mengunyah dengan semangat yang mulai memudar. Akhirnya, Fira tidak tahan dan mengeluarkan suara tertahan. “Ini… ini bisa jadi bahan ujian untuk science experiment.”

Zaki menatap kami dengan kecewa, tapi tetap berusaha keras untuk tersenyum. “Sabar, teman-teman. Ini hanya percobaan kedua. Kita harus coba lagi. Percayalah, kita akan sukses!”

Aku dan Fira tertawa, tapi kali ini, lebih karena keputusasaan daripada kebahagiaan. Tapi ya, hidup bersama Zaki memang penuh kejutan. Kami tak bisa menyerah, kan?

 

Puncak Kejayaan (Atau Tidak)

Hari itu, kami duduk di sekitar meja makan yang penuh dengan tumpukan piring berisi eksperimen Zaki yang tak pernah berhenti datang. Kalau boleh jujur, aku mulai merasa seperti orang yang terjebak dalam sirkus kuliner aneh yang penuh dengan kebingungannya sendiri. Zaki, meskipun telah gagal lagi dengan Kentelopi–versi coklatnya, tetap saja terlihat optimis. Dan itu, entah bagaimana, membuat suasana tetap hangat meski kami semua baru saja melawan rasa aneh di mulut kami.

“Jadi,” Zaki berkata dengan nada serius, “kalian siap mencoba versi selanjutnya?”

Fira menyandarkan kepalanya di meja, lelah. “Jujur, Zaki, aku sudah mulai merasa takut. Ini bukan soal rasa lagi, tapi soal nyawa kita, tahu nggak?”

Aku mengangguk. “Benar, kalau ini gagal lagi, aku rasa aku lebih memilih ikut kursus masak online daripada terus makan Kentelopi kamu.”

Zaki tertawa terbahak-bahak, seolah-olah apa yang kami katakan itu bukan masalah sama sekali. “Kalian nggak paham, kan? Inovasi itu butuh proses. Bahkan Thomas Edison saja gagal ribuan kali sebelum menemukan bola lampu.”

“Apa kamu menyamakan Kentelopi dengan penemuan bola lampu?” tanya Fira sambil menatapnya dengan penuh sindiran.

“Ya, kira-kira begitu,” jawab Zaki dengan percaya diri. “Jadi, aku punya rencana besar yang lebih baik. Kali ini, kita akan mencoba sesuatu yang lebih sederhana, tapi tetap punya sentuhan revolusioner.”

Kami semua saling pandang, bertanya-tanya apa yang kali ini akan dia coba. Zaki mengeluarkan bahan baru dari tasnya, kali ini bukan kentang, telur, atau kopi. Tetapi bahan yang lebih sederhana—roti tawar. “Roti tawar dengan kentang, telur, dan kopi. Tapi kali ini, aku akan memanggang roti itu dengan cara yang belum pernah kalian lihat sebelumnya.”

Aku mulai merasa bingung. “Zaki, kamu yakin? Roti tawar? Kamu mau kami makan roti tawar yang dicampur kopi, kentang, dan telur?”

Zaki mengangguk antusias. “Coba pikirkan, roti tawar itu akan jadi lebih garing dan enak kalau dimasak dengan bahan-bahan yang tepat! Kita bisa membuat kentelopi menjadi lebih canggih. Ini seperti roti panggang, tapi dengan ‘keajaiban’.”

Fira mendesah. “Keajaiban? Kamu pasti sedang bercanda.”

Namun, seperti biasa, Zaki tidak pernah menghiraukan keraguan kami. Dia mulai memanggang roti dengan hati-hati, menyusun kentang yang sudah digoreng di atasnya, menambahkan telur setengah matang, dan menuangkan sedikit kopi—yang kali ini sudah direbus dan disaring lebih halus.

Setelah selesai, Zaki menyajikan piring besar berisi roti tawar yang sudah dipanggang dengan lapisan kentang dan telur di atasnya, semuanya dilapisi dengan sedikit saus kopi. Aku menatap piring itu dengan penuh rasa curiga, sementara Fira hanya menundukkan kepala, berusaha menahan tawa.

“Apa kalian tidak penasaran?” Zaki bertanya penuh harap. “Kali ini, rasanya akan benar-benar berbeda.”

Aku mengambil sepotong roti panggang itu dan dengan ragu-ragu mulai menggigitnya. Ketika rasa pertama masuk, aku terkejut. Ternyata, Kentelopi versi roti ini jauh lebih enak daripada yang aku bayangkan. Roti tawarnya garing, telur setengah matangnya memberikan kelembutan yang pas, dan kopi memberi rasa pahit yang sedikit unik. Kentang goreng yang renyah membuatnya lebih menarik. Ini bukanlah keajaiban, tapi ada sesuatu yang memuaskan dari rasa itu.

“Lihat! Kan bisa,” kata Zaki dengan wajah penuh kemenangan. “Itu dia, Kentelopi yang benar-benar bisa dinikmati.”

Fira mencoba sepotong roti itu, diam sejenak, dan akhirnya tersenyum tipis. “Oke, oke. Aku harus akui, ini enak. Kamu benar, Zaki, kali ini berhasil.”

Aku tertawa terbahak-bahak. “Kamu benar-benar membuktikan sesuatu hari ini, Zaki. Ternyata, kadang-kadang kegilaan itu benar-benar bisa berakhir dengan rasa yang oke.”

Zaki melompat kegirangan, “Ya! Ini baru permulaan. Kalian lihat nanti, kita akan buka restoran Kentelopi yang terkenal!”

Aku dan Fira saling pandang. “Restoran?” tanya Fira, setengah setuju, setengah bingung.

“Ya! Dengan nama yang keren! ‘Kentelopi’—Roti, Kentang, Telur, dan Kopi! Kita bakal jadi terkenal, kalian tunggu saja.”

Aku tersenyum, menatap Zaki yang penuh semangat, meskipun semua orang di luar sana mungkin masih bingung dengan apa yang baru saja kami buat. Tapi, apa pun yang terjadi, kami telah berhasil melewati satu petualangan kuliner yang gila dan tetap bertahan untuk tertawa bersama. Dan mungkin, hanya mungkin, kita akan menemukan lebih banyak keajaiban di tengah kegilaan ini.

“Entahlah, Zaki,” aku berkata, mengunyah potongan roti panggang terakhir, “kita benar-benar sudah sampai ke ujung dunia kuliner yang aneh. Tapi, kalau kamu masih mau melanjutkan, aku siap ikut. Setidaknya, itu nggak bikin perut sakit lagi.”

Fira tertawa, “Ya, setidaknya kita nggak akan kelaparan—mungkin.”

Dan dengan itu, kami semua tertawa, membiarkan kegilaan kami berlanjut, sembari menikmati Kentelopi yang akhirnya berhasil, meskipun dalam bentuk yang tak terduga.

 

Jadi, begitulah kisah tentang kentang, telur, dan biji kopi yang ternyata nggak cuma jadi bahan masakan, tapi juga bahan tawa. Mungkin nggak semua eksperimen di dapur harus sukses, tapi siapa sangka, kegagalan yang satu ini malah jadi kenangan yang nggak terlupakan.

Kalau hidup kadang ngebingungin dan penuh kegilaan, ya, minimal kita bisa ketawa bareng, kan? Dan siapa tahu, mungkin Kentelopi bakal jadi tren kuliner berikutnya—atau nggak, ya. Tapi yang jelas, cerita ini bakal tetap bikin kita senyum sampai ke telinga.

Leave a Reply