Kenapa Aku Benci Abangku: Cerpen Tentang Keluarga, Perasaan, dan Penyembuhan

Posted on

Gini nih, kadang hidup tuh nggak semulus yang kita bayangin. Kita punya saudara, tapi nggak berarti hubungan itu selalu tanpa drama. Kayak cerita ini, tentang seorang adik yang ngerasa bener-bener dibedain sama abangnya yang selalu jadi kebanggaan keluarga.

Mulai dari perasaan benci, rasa nggak dianggap, sampai akhirnya, mereka berdua coba cari jalan keluar dari segala kesalahpahaman. Mau tahu gimana perjalanan mereka? Yuk, baca cerpen ini yang bakal bikin kamu mikir tentang hubungan keluarga lebih dalam!

 

Kenapa Aku Benci Abangku

Bayang-Bayang yang Tak Pernah Padam

Hari itu langit di atas kota kecil itu tampak mendung, hampir seperti perasaan Kenan yang sejak pagi merundung. Di dalam rumah, suasana sepi. Tidak ada yang terlalu ramai, hanya ada suara televisi yang sesekali terdengar dari ruang tamu. Kenan duduk di meja makan, memandangi piring kosong di depannya. Sarapan sudah lama selesai, tapi perasaan itu—perasaan seolah dirinya selalu menjadi bayang-bayang—tak kunjung hilang.

Di luar jendela, Raka sedang berlatih basket di halaman depan. Bola basket itu melompat-lompat di atas aspal dengan lincah, menciptakan suara yang berirama, seperti melodi kemenangan yang sudah biasa ia dengar. Setiap gerakan Raka, selalu tampak sempurna di matanya, seperti segala sesuatu yang dia lakukan tak pernah salah.

Kenan mendengus pelan. “Sempurna terus, ya, kamu?” gumamnya sendiri.

Ia tak bisa menahan rasa kesal yang sering kali datang setiap kali melihat kakaknya. Entah itu di rumah atau di luar, Raka selalu menjadi pusat perhatian. Ketika mereka pergi ke toko, semua orang menyapa Raka terlebih dahulu. Di sekolah, guru-guru memujinya tanpa henti, dan teman-temannya selalu memujinya karena kehebatan di berbagai bidang. Bahkan ketika Kenan berdiri di dekatnya, terkadang dia merasa seakan-akan dirinya tidak ada.

“Ken, kamu ngapain duduk di sini?” suara Raka tiba-tiba terdengar.

Kenan mengangkat wajahnya, melihat Raka berdiri di pintu, masih mengenakan kaos olahraga dan celana pendek. Ada keringat yang mengalir di pelipisnya, dan wajahnya tampak bersinar, seakan-akan dunia mengakui kehebatannya.

“Aku cuma… nggak ada kerjaan,” jawab Kenan pelan, berusaha menahan rasa jengah yang mulai muncul.

Raka mengangkat alis, lalu melangkah lebih dekat. “Kamu mau ikut basket?” tanyanya dengan nada yang terdengar seperti saran, meski sebenarnya itu lebih kepada perintah tidak langsung. “Aku baru aja menang, loh. Kenapa nggak coba aja? Biar kamu juga bisa terkenal kayak aku.”

Kenan merasa jantungnya berdegup kencang, tapi bukan karena semangat. Sebaliknya, perasaan itu adalah perasaan yang sudah lama mengendap—perasaan di mana dia selalu merasa kalah. Kalah dalam segala hal. “Nggak, deh,” jawabnya dengan suara datar.

“Kenapa? Takut kalah?” Raka melontarkan kata-kata itu sambil tertawa, seolah-olah kenal dengan reaksi yang akan keluar dari Kenan.

Kenan membuang muka. “Enggak,” jawabnya pendek.

Raka terlihat sedikit bingung, namun tidak menganggapnya lebih serius. “Ya udah, kalau gitu aku lanjut latihan, ya. Nanti kalau kamu ada waktu, bisa aja ikut, kan?”

Kenan hanya mengangguk tanpa suara, sementara Raka pergi meninggalkan ruang makan, kembali ke lapangan basket. Kenan masih duduk, tak tahu apa yang harus dilakukan. Sering kali ia merasa seperti ini: terasing dalam keluarga sendiri, selalu berada di belakang bayang-bayang Raka yang selalu lebih unggul.

Kakaknya itu benar-benar selalu menjadi yang terbaik dalam segala hal. Prestasi Raka seperti hujan yang turun tak henti, sedangkan Kenan, di sisi lain, hanyalah tanah yang tidak pernah mendapatkan cukup sinar matahari.

“Kenan, ayo sini sebentar!” suara ibu memanggil dari ruang tamu.

Kenan berdiri dengan malas dan melangkah ke ruang tamu, di mana ibunya sedang duduk sambil memegang koran. “Kenan, lihat, ini ada berita tentang Raka yang juara lomba debat nasional,” kata Bu Nuri sambil menunjuk ke artikel di koran yang sedang ia baca. “Kamu nggak ingin coba ikutan lomba kayak gitu, kan? Mungkin kamu juga bisa jadi seperti dia.”

Kenan hanya mengangguk. Ia tahu apa yang akan dikatakan ibunya. Kata-kata itu selalu sama, setiap kali ada kabar baik tentang Raka. Seakan-akan, hidupnya hanya untuk menjadi bayang-bayang dari keberhasilan Raka. Seperti bayangan yang tak pernah bisa keluar dari tubuhnya sendiri.

“Aku nggak tertarik ikut lomba itu, Ma,” jawab Kenan pelan.

Bu Nuri menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti, seakan-akan mencoba mencerna kata-katanya. “Kenan, kamu harus lebih serius, kamu tahu. Semua orang bisa sukses asal mau berusaha.”

Kenan menunduk. “Iya, Ma,” jawabnya tanpa semangat.

Hatinya terasa lebih berat. Ia sadar bahwa di dalam keluarganya, hanya Raka yang mendapat perhatian lebih. Semua orang terpesona oleh Raka yang sempurna, yang tak pernah gagal. Sedangkan dirinya, selalu berada di sisi yang terlupakan.

Setelah itu, Kenan kembali ke kamarnya. Ia duduk di meja belajar, menatap buku yang terbuka, tapi pikirannya melayang jauh. Raka selalu ada, selalu menjadi pusat, selalu menjadi yang terbaik. Bagaimana mungkin ada ruang bagi dirinya di dunia yang selalu dipenuhi dengan bayang-bayang kakaknya?

Rasa kesalnya semakin membesar. Kenan tahu, meskipun ia berusaha untuk tidak peduli, meskipun ia mencoba menutupi semua perasaan itu dengan sikap acuh tak acuh, ada satu hal yang tak bisa ia sembunyikan—ia benci dengan kenyataan bahwa selalu ada Raka di depannya, di setiap langkahnya.

Di luar, hujan mulai turun dengan deras, menggelapkan langit. Raka masih melanjutkan latihannya, tak peduli dengan segala yang terjadi di sekitar. Kenan menatap ke luar jendela, merasakan perasaan itu semakin dalam—perasaan yang lebih dari sekadar benci, lebih dari sekadar kesal. Itu adalah perasaan kesendirian yang mengalir dalam dirinya, terperangkap di antara bayang-bayang yang tak pernah bisa dia hindari.

Namun, siapa yang tahu, kadang-kadang bayang-bayang itu juga bisa mengingatkan kita pada sesuatu yang lebih dari sekadar kebencian.

 

Kue yang Terlambat Datang

Hari ulang tahun Kenan tiba tanpa banyak perubahan. Pagi itu, Kenan terbangun lebih lama dari biasanya, namun ia tak merasa terlalu antusias. Di luar, hujan masih mengguyur deras, seakan langit ikut merasakan kesendiriannya. Ia tahu bahwa hari ini tak akan berbeda dengan hari-hari lainnya. Raka akan tetap menjadi pusat perhatian, dan ia, seperti biasa, hanya akan menjadi penonton.

Kenan menggosok matanya dan melangkah keluar kamar. Suara ribut terdengar dari ruang makan, di mana Bu Nuri dan Pak Danu sedang sibuk mempersiapkan sarapan. Kenan merasakan aroma roti panggang dan kopi yang menguar dari dapur. Tapi ada sesuatu yang terasa aneh—seperti ada yang hilang, atau lebih tepatnya, tidak ada yang benar-benar peduli dengan hari spesialnya.

Ketika Kenan melangkah masuk ke ruang makan, ia melihat Bu Nuri dan Pak Danu sudah duduk di meja, sementara Raka sibuk dengan ponselnya, tampak seperti sedang menunggu sesuatu. Tak ada kue ulang tahun. Tak ada ucapan selamat. Semua terasa biasa saja.

“Selamat pagi, Kenan!” sapa Pak Danu dengan senyuman hangat, namun sedikit canggung. Bu Nuri hanya memberi senyum tipis sambil mengaduk kopi di cangkirnya.

“Pagi, Pa. Pagi, Ma,” jawab Kenan pelan, mencoba tersenyum meskipun hatinya mulai terasa sesak.

Raka menoleh dari ponselnya dan melirik Kenan sejenak. “Kenan, gimana, siap buat ulang tahunmu?” Raka bertanya dengan nada yang terdengar seperti pertanyaan formal.

Kenan mengangguk tanpa semangat. “Iya, sih.”

Raka kembali menatap ponselnya, tampaknya tak benar-benar peduli. Kenan merasa ada jarak yang semakin besar antara mereka, jarak yang tak bisa dijembatani dengan sekedar kata-kata.

Pagi itu berlalu tanpa banyak percakapan berarti. Kenan makan sarapan dengan sedikit rasa kecewa, namun ia berusaha untuk tidak menunjukkan perasaan itu. Ia tahu bahwa semua yang terjadi di rumah ini selalu lebih fokus pada Raka—lagi, dan lagi.

Namun, saat waktu berjalan, kenyataan tentang hari ulang tahun Kenan mulai terasa lebih jelas. Ketika waktu hampir menjelang tengah hari, Bu Nuri tiba-tiba menyadari sesuatu.

“Oh, Kenan! Aku hampir lupa!” seru Bu Nuri sambil bergegas menuju dapur. Kenan mengangkat alis, bingung. “Aku lupa pesan kue ulang tahun kamu! Tapi jangan khawatir, Raka sudah pesan untuk kamu.”

Kenan menahan napas. Ia tidak tahu apakah itu lelucon atau sungguhan.

“Ah, aku pesan tadi di toko kue dekat rumah,” kata Raka dengan santai, melirik Kenan sejenak. “Aku tahu kamu nggak terlalu suka kue besar, jadi aku pesan yang kecil aja.”

Kenan merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kue ulang tahun yang datang bukanlah kue besar yang biasanya dihias dengan indah, bukan pula kue yang penuh dengan perayaan. Itu hanya kue kecil dengan hiasan yang sederhana. Mungkin, bagi Raka, itu sudah cukup.

“Kenan, maaf ya kalau nggak spesial,” kata Raka sambil memberikan kue itu. “Aku kira kamu nggak mau yang ribet.”

Kenan terdiam sejenak. Ia menatap kue itu, seolah menilai maknanya. Rasa kecewa itu semakin mendalam, namun ia berusaha menahan air mata yang hampir muncul.

“Terima kasih, Raka,” jawabnya pelan, mencoba menahan perasaan yang membuncah.

Suasana kembali hening. Semua terdiam, dan kenyataan itu semakin jelas. Hari ulang tahun Kenan tidak pernah bisa benar-benar menjadi miliknya. Semua yang terjadi di hari itu hanya terasa seperti kebetulan, seperti sesuatu yang terlupakan dan hanya diingat pada saat-saat terakhir.

Meskipun ia menerima kue dari Raka, perasaan itu tak hilang. Kue itu—sepele dan terlambat—menggambarkan bagaimana ia selalu berada di bawah bayang-bayang Raka, bahkan pada hari yang seharusnya menjadi miliknya.

Namun, setelah semua yang terjadi pagi itu, ada satu hal yang membuat Kenan bertanya-tanya. Mengapa Raka tetap melakukan itu? Mengapa dia peduli meski sering kali berbuat seperti tidak peduli?

Kenan menghela napas, lalu menatap kue kecil itu lagi. Tidak ada kata-kata manis, tidak ada perayaan besar, tapi mungkin, mungkin ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kue itu—sesuatu yang akan ia pahami seiring berjalannya waktu.

Kenan tidak tahu kapan perasaan itu akan berubah, atau kapan ia akan benar-benar memahami apa yang sebenarnya Raka rasakan. Tapi yang pasti, hari ini, perasaan itu tidak bisa disembunyikan. Ia merasa seperti selalu berada di luar, menunggu untuk diakui, sementara semua orang sibuk mengagumi keberhasilan orang lain.

 

Ketika Semua Menjadi Lebih Pahit

Hujan masih setia menemani hari-hari Kenan, dan meskipun di luar terdengar suara-suara riuh, dalam hatinya hanya ada kesunyian yang semakin dalam. Semakin ia berusaha untuk tidak peduli, semakin nyata kenyataan itu. Hari ulang tahun Kenan sudah lewat, begitu saja, dengan kue yang terlambat datang dan perhatian yang terpecah, seakan dia hanya menjadi figuran dalam cerita hidupnya sendiri.

Setelah kejadian tadi pagi, Kenan memutuskan untuk menghabiskan sisa hari di kamarnya. Ia duduk di meja belajar, menatap buku yang terbuka namun kosong, seperti hidupnya yang kosong. Raka? Kakaknya itu lagi-lagi sibuk dengan segala hal yang ada di luar sana, sementara dirinya terjebak di dalam ruang sunyi yang tak ada gunanya.

Kenan memandangi ponselnya, melihat notifikasi dari teman-temannya yang mengucapkan selamat ulang tahun, namun semuanya terasa seperti formalitas. Tidak ada yang benar-benar mengerti bagaimana rasanya hidup dalam bayang-bayang seorang kakak yang selalu menjadi kebanggaan keluarga. Tidak ada yang tahu betapa sakitnya menjadi biasa-biasa saja, di tengah orang-orang yang selalu menginginkan kesempurnaan.

Setelah beberapa saat merenung, Kenan mendengar suara langkah kaki di luar kamar. Pintu terbuka perlahan, dan Raka muncul di ambang pintu. Ia tampak sedikit ragu, seolah sedang mencari-cari kata-kata yang tepat.

“Kenan,” panggil Raka, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Boleh aku masuk?”

Kenan menoleh, menatap kakaknya yang berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit dimengerti. Biasanya, Raka akan langsung masuk tanpa bertanya. Biasanya, mereka tidak pernah berlarut-larut dalam kesunyian seperti ini. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

“Masuk aja,” jawab Kenan datar, tanpa berusaha menyembunyikan rasa kesalnya.

Raka melangkah masuk dan duduk di ujung tempat tidur Kenan. Ia mengamati sekeliling ruangan sejenak, seolah mencari sesuatu untuk dibicarakan. Kenan bisa merasakan ada ketegangan yang memuncak, meskipun Raka berusaha menyembunyikannya.

“Aku… maaf kalau tadi pagi terasa nggak seperti yang kamu harapkan,” ujar Raka pelan, matanya menatap ke arah Kenan dengan penuh arti. “Aku nggak bermaksud buat bikin kamu merasa diabaikan.”

Kenan menatapnya tajam. Perasaan itu muncul lagi—perasaan yang lebih tajam dan lebih keras. Bukan, ini bukan hanya sekadar kata-kata maaf yang biasa didengar. Ini lebih dari itu.

“Kenapa selalu seperti itu, Rak? Kenapa kamu selalu bikin aku merasa nggak ada?” tanya Kenan, suaranya mulai serak.

Raka terdiam, tampaknya mencoba mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Kenan. Mata kakaknya itu terlihat ragu, seakan ia sedang berusaha membuka tabir yang selama ini menutupi perasaannya.

“Aku nggak tahu, Kenan. Aku nggak pernah bermaksud bikin kamu ngerasa kayak gitu. Aku… aku selalu berharap kamu bisa melihat yang aku lakukan untuk kamu,” jawab Raka, suaranya mulai berubah, seolah ada sesal yang tak bisa disembunyikan.

Kenan menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang bergejolak. Selama ini, ia selalu merasa ada jarak yang tak bisa dijembatani. Raka yang selalu menjadi kebanggaan, Raka yang selalu menjadi sempurna, sedangkan dirinya hanya ada di belakang—terlalu biasa, terlalu terlupakan.

“Kalau kamu bener-bener peduli, kenapa kamu nggak pernah lihat aku, Rak? Kenapa semua orang cuma bisa lihat kamu?” tanya Kenan dengan nada yang mulai lebih keras, meluapkan semua kekesalan yang telah lama terpendam.

Raka terdiam lagi, tampaknya ia terkejut dengan reaksi Kenan yang selama ini tak pernah ia duga. Namun kali ini, Raka tidak menghindar. Ia justru mendekat, duduk lebih dekat dengan Kenan di atas tempat tidur.

“Kenan,” kata Raka pelan, menatap mata Kenan dengan lebih dalam. “Aku tahu aku sering nggak peka sama perasaan kamu. Aku nggak pernah bermaksud nyakitin kamu. Aku…”

Kenan menatap kakaknya itu, melihat sesuatu yang jarang ia temui—ketulusan. Perasaan yang bercampur aduk muncul begitu saja, meskipun kebencian itu belum sepenuhnya hilang. Ia merasa cemas, bingung, dan sedikit takut. Takut kalau semua yang ia rasakan selama ini ternyata hanya ilusi, takut kalau kenyataan yang selama ini ia hindari akhirnya akan datang.

“Kenapa nggak pernah ngomong aja, Rak?” tanya Kenan, nadanya sedikit melemah. “Kenapa harus diam aja? Kamu selalu diam, dan aku merasa nggak dianggap.”

Raka mendengus pelan. “Aku nggak tahu harus ngomong apa, Kenan. Aku cuma… nggak tahu gimana caranya buat ngertiin kamu, buat nggak bikin kamu ngerasa kayak gini. Kamu tahu nggak? Aku juga capek, Kenan. Aku nggak bisa selalu jadi yang terbaik di mata semua orang, dan kadang aku ngerasa terjebak dalam semua itu.”

Kenan terkejut mendengarnya. Raka, yang selama ini tampak sempurna di matanya, ternyata juga merasa terperangkap. Kenan merasa dunia tiba-tiba berhenti berputar sejenak. Ternyata, selama ini, mereka berdua merasa terperangkap dalam peran yang tak mereka pilih.

“Aku nggak tahu kalau kamu merasa kayak gitu,” kata Kenan, suara itu lebih lembut. “Aku kira kamu selalu baik-baik aja.”

Raka menarik napas dalam-dalam. “Aku memang kelihatan baik-baik aja, tapi… aku juga butuh kamu, Kenan. Aku nggak bisa terus-terusan sendirian, meskipun aku dikelilingi banyak orang.”

Keheningan merayap di antara mereka. Kenan tak tahu harus berkata apa. Namun, ada sesuatu yang mulai menyentuh hatinya—sesuatu yang lebih lembut, lebih dalam dari sekadar kebencian yang telah mengendap.

“Aku juga nggak bisa terus-terusan benci sama kamu, Rak,” jawab Kenan akhirnya. “Tapi aku… aku juga butuh waktu.”

Raka tersenyum tipis. “Aku tahu. Aku nggak mau buru-buru, Kenan. Aku cuma mau kita nggak terjebak dalam kebencian ini terus-menerus.”

Kenan menatap kakaknya, merasa seperti ada sebuah dinding yang pelan-pelan mulai runtuh. Kebencian yang selama ini menghalangi hatinya, perlahan-lahan mulai tergerus. Namun, meskipun begitu, Kenan tahu satu hal—mereka butuh waktu, dan mungkin, itu akan menjadi hal tersulit yang pernah mereka jalani bersama.

Memulai Kembali

Hari-hari berlalu dengan lambat, dan meskipun hujan masih sering turun, ada sesuatu yang mulai berubah. Seperti musim yang beralih, ada sedikit kehangatan yang muncul di tengah kesejukan hati Kenan. Dia tidak lagi mengurung diri di kamar, tidak lagi menjauhkan diri dari semua orang, terutama Raka.

Raka tidak lagi datang ke kamarnya dengan keraguan yang tampak jelas di wajahnya. Kali ini, setiap kali mereka bertemu, ada senyum kecil yang muncul di wajah Kenan—sebuah senyum yang sebelumnya terasa asing, bahkan untuk dirinya sendiri. Mungkin, memang butuh waktu. Mungkin, memang butuh luka untuk bisa sembuh. Namun, pada akhirnya, mereka belajar satu hal yang lebih penting: bahwa mereka bisa memperbaiki segala sesuatunya, perlahan-lahan.

Pada suatu sore yang cerah, ketika Kenan sedang duduk di ruang tamu, Raka mendekatinya. Kali ini, tidak ada percakapan berat yang harus diselesaikan, tidak ada perasaan sesak yang harus dipendam. Hanya ada kedamaian yang mengisi ruang.

“Kenan,” suara Raka terdengar lebih ringan dari biasanya. “Kamu mau pergi nonton nggak? Ada film baru yang katanya keren.”

Kenan menatap kakaknya yang tampak lebih santai, lebih terbuka, seolah beban yang selama ini mengikat di dada mereka berdua telah mulai menghilang. Tentu saja, Kenan masih merasa ada celah, ada rasa yang belum sepenuhnya hilang. Namun, saat ini, hal itu terasa tidak begitu penting lagi. Mereka berdua, yang dulunya terpisah oleh rasa benci dan kesalahpahaman, kini bisa berada di satu ruangan yang sama, berbagi momen yang sederhana.

“Boleh juga sih,” jawab Kenan, senyum yang tadi mulai terasa asing, kini terasa lebih mudah untuk muncul.

Raka tersenyum, tampaknya lega mendengar jawaban Kenan. “Ayo, aku traktir. Biar nggak terjebak dalam ruang yang sama terus, ya kan?”

Kenan tertawa ringan. “Ya, aku sih nggak akan nolak traktiran.”

Mereka berjalan bersama menuju pintu, dan meskipun langkah mereka tidak berbicara banyak, ada sesuatu yang lebih besar dari kata-kata. Rasa benci yang dulu menggerogoti, kini digantikan oleh perasaan yang lebih kompleks—perasaan yang tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata, tetapi lebih terasa dalam kehadiran satu sama lain.

“Kenan,” kata Raka pelan, menyapa Kenan yang sedang melangkah di depannya. “Makasih, ya, udah mau ngertiin aku. Aku tahu aku banyak salah, tapi aku berusaha, kok.”

Kenan menoleh, menatap kakaknya yang terlihat sedikit lebih rentan dari biasanya. “Aku juga… makasih, Rak. Aku juga berusaha. Mungkin, nggak semua hal harus sempurna, kan?”

Raka mengangguk, dan mereka terus berjalan, berdua, tanpa kata-kata yang berat, hanya ada kehangatan yang tumbuh pelan-pelan di antara mereka. Di bawah langit yang cerah, mereka tahu bahwa jalan untuk memperbaiki hubungan itu panjang, dan tidak selalu mudah. Namun, setidaknya mereka sudah memulai langkah pertama.

Dan bagi Kenan, itu sudah cukup. Itu sudah lebih dari cukup.

 

Jadi, meskipun kita sering merasa nggak dihargai atau bahkan benci sama orang terdekat, kadang yang kita butuhin cuma waktu buat ngerti satu sama lain. Hubungan itu nggak selalu mulus, tapi kalau ada usaha buat saling memahami, nggak ada yang nggak mungkin untuk diperbaiki.

Ya, mungkin masih banyak hal yang harus dijalani, tapi setidaknya kita udah mulai langkah pertama. Dan siapa tahu, mungkin perjalanan ini bakal bikin kita lebih kuat, bukan cuma sebagai saudara, tapi juga sebagai manusia yang saling mengerti.

Leave a Reply