Kenangan Terakhir di Sekolah: Anggi yang Ceria Menyisakan Luka

Posted on

Hey, kamu! Pernah nggak sih, merasakan cinta yang nggak bisa tersampaikan? Atau mungkin merasakan kehilangan yang mendalam karena masalah keluarga? Yuk, simak kisah Anggi dan Reza, dua sahabat yang terjebak dalam situasi penuh dilema dan emosi.

Artikel ini akan mengajak kamu untuk mengenal lebih dekat cerita mereka, mulai dari cinta yang tak terbalas hingga rahasia besar yang akhirnya terungkap. Ini bukan hanya sekadar cerita biasa, tapi perjalanan emosional yang bakal bikin kamu terharu! Jangan sampai ketinggalan, baca sampai habis ya!

 

Anggi yang Ceria Menyisakan Luka

Senyuman Anggi yang Menghangatkan Sekolah

Pagi itu, matahari bersinar cerah, memancarkan sinar hangat yang menembus celah-celah dedaunan di halaman sekolah. Anggi berjalan dengan langkah yang ringan, tas ransel berwarna merahnya tergantung di pundak. Rambut panjangnya yang diikat rapi berayun mengikuti setiap langkah. Di tangan kanannya, ia memegang ponsel sambil mendengarkan musik favoritnya. Senyuman tak pernah lepas dari wajahnya, senyuman yang selalu bisa menghangatkan hati siapa pun yang melihatnya.

Di gerbang sekolah, Anggi disambut oleh beberapa teman yang sudah menunggunya. “Hai, Anggi! Ada yang baru nih dari kamu.” sapa Dini, sahabat dekatnya, sambil memandang rambut Anggi yang dihiasi pita kecil berwarna biru.

Anggi tertawa kecil. “Cuma iseng aja, Din. Biar nggak bosan sama gaya yang itu-itu aja.”

“Bagus kok! Kamu selalu tahu cara tampil beda,” kata Dini sambil mengacungkan jempol.

Anggi tersenyum, merasa senang mendapatkan pujian dari sahabatnya. Mereka berjalan menuju kelas, berbincang tentang hal-hal ringan. Anggi, dengan kepribadiannya yang ceria dan ramah, selalu menjadi pusat perhatian. Setiap kali dia tertawa, rasanya seperti ada cahaya yang menyinari ruangan. Teman-temannya selalu senang berada di sekitarnya karena Anggi selalu tahu bagaimana cara membuat orang lain merasa nyaman dan dihargai.

Namun, di balik senyuman dan keceriaan itu, Anggi menyimpan sesuatu yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Di rumah, ia sering merasa kesepian. Orang tuanya sibuk bekerja, dan kakaknya yang lebih tua sudah lama merantau untuk kuliah. Anggi sering menghabiskan waktu sendirian di kamar, mendengarkan musik atau menulis di buku hariannya. Ada rasa hampa yang selalu menghantui hatinya, meski ia tak pernah membiarkan hal itu terlihat di luar.

Di kelas, Anggi selalu menjadi murid yang aktif. Ia sering mengajukan pertanyaan dan terlibat dalam diskusi. Guru-guru menyukai semangat belajarnya, dan teman-temannya kagum dengan kecerdasannya. Meski begitu, Anggi tak pernah membiarkan dirinya terlihat terlalu serius. Ia selalu menyeimbangkan antara belajar dan bersenang-senang, sesuatu yang membuatnya disukai banyak orang.

Hari itu, Anggi dan teman-temannya merencanakan liburan akhir pekan ke pantai. Mereka berkumpul di kantin, membicarakan rencana tersebut dengan antusias. Anggi yang memulai ide tersebut, dan dengan semangatnya, ia berhasil membuat semua orang bersemangat juga.

“Jadi, kita berangkat Sabtu pagi, ya? Biar bisa sampai sana sebelum matahari terlalu terik,” kata Anggi sambil mencatat detail rencana di buku kecilnya.

“Setuju! Aku udah nggak sabar buat main di pantai,” ujar Nina, salah satu temannya dengan mata yang berbinar-binar.

Anggi tersenyum lebar merasa bahagia melihat teman-temannya sangat bersemangat. “Jangan lupa bawa sunblock, ya! Nggak mau dong pulang-pulang jadi gosong,” candanya, disambut tawa oleh semua yang ada di situ.

Reza, yang duduk di pojok hanya bisa terdiam dan tersenyum kecil. Ia menikmati sebuah momen itu, meski hatinya diliputi perasaan yang sulit diungkapkan. Ia sudah lama menyukai Anggi, tapi tak pernah punya keberanian untuk mengatakannya. Bagi Reza, melihat Anggi bahagia sudah cukup membuatnya merasa puas, meski ada rasa sakit yang ia rasakan setiap kali melihat Anggi bersama teman-teman lain, tertawa dan bercanda tanpa ia bisa sepenuhnya terlibat.

Sore harinya, saat pulang sekolah, Anggi berjalan sendirian ke arah halte bus. Ia memutuskan untuk mampir ke toko buku, tempat favoritnya untuk mencari inspirasi menulis. Di sana, ia menemukan sebuah buku tentang sebuah petualangan di hutan. Anggi selalu suka membaca buku dengan tema petualangan, karena itu memberinya pelarian dari realitas yang kadang-kadang terasa membosankan dan sepi.

Saat sedang memilih buku, Anggi tak sengaja bertemu dengan Reza yang juga sedang mencari buku. Mereka saling tersenyum canggung. “Hei, kamu suka baca buku juga?” tanya Reza, mencoba membuka pembicaraan.

“Iya, aku suka. Rasanya asyik bisa masuk ke dunia lain lewat buku,” jawab Anggi dengan senyum.

Reza mengangguk. “Aku juga suka sekali membaca tapi biasanya tentang sebuah sains atau teknologi.”

Percakapan mereka berlangsung singkat, namun cukup untuk membuat Reza merasa lebih dekat dengan Anggi. Ada sesuatu dalam diri Anggi yang membuat Reza merasa lebih nyaman meski ia tahu perasaannya mungkin tidak akan pernah terbalas.

Di rumah, Anggi merenung tentang harinya. Meski dikelilingi banyak teman, ia tetap merasa ada yang kurang. Anggi menulis di buku hariannya dan mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Ia merasa rindu akan kehangatan keluarga yang dulu sering ia rasakan. Kini, kesibukan orang tuanya membuat Anggi sering merasa sendiri. Ia menutup buku hariannya dengan sebuah kalimat, “Aku ingin ada seseorang yang benar-benar memahami aku yang bisa melihat luka di balik senyumanku.”

Anggi menatap kearah  luar jendela sambil melihat langit yang mulai gelap. Di dalam hatinya, ia berharap suatu hari nanti ia bisa menemukan sebuah kebahagiaan sejati bukan hanya sekedar keceriaan sementara yang ia tunjukkan kepada dunia luar. Senyuman yang selalu ia tunjukkan ternyata menyembunyikan banyak cerita, cerita yang mungkin tak akan pernah diketahui oleh teman-temannya.

Malam itu, Anggi tertidur dengan perasaan yang campur aduk. Meski esok hari ia akan kembali ke sekolah, bertemu dengan teman-temannya dan kembali tertawa, namun ada bagian dari dirinya yang merasa tak pernah benar-benar bisa merasakan kebahagiaan yang utuh. Anggi, si gadis ceria yang selalu menghangatkan suasana, ternyata menyimpan banyak luka yang mungkin tak pernah terlihat di balik senyumannya.

 

Di Balik Keceriaan, Tersimpan Luka

Kehidupan Anggi di sekolah berjalan seperti biasa, penuh dengan canda tawa dan keceriaan. Namun, semakin lama maka semakin sulit bagi Anggi untuk mempertahankan senyumannya. Di rumah, situasi semakin tak tertahankan. Orang tuanya yang bekerja hingga larut malam membuat rumah terasa dingin dan kosong. Anggi sering menghabiskan waktu sendirian, merenungi hidupnya yang terasa kosong meski ia dikelilingi banyak teman.

Suatu malam, saat sedang duduk di balkon kamarnya, Anggi memandang langit malam yang bertabur bintang. Di bawah langit yang luas itu, ia merasa sangat kecil dan tak berarti. Anggi mengeluarkan buku hariannya, tempat ia mencurahkan segala perasaannya yang tak bisa ia ungkapkan pada orang lain.

“Hari ini lagi-lagi aku harus bisa berpura-pura untuk keliatan sedang bahagia di depan semua orang. Aku merasa lelah. Lelah harus selalu tersenyum dan berpura-pura semuanya baik-baik saja. Padahal, di dalam hatiku, aku merasa hancur.”

Anggi menulis dengan tangan gemetar, air mata menetes di pipinya. Ia menutup buku hariannya dengan perasaan hampa. Dalam keheningan malam itu, Anggi merenungkan betapa berbeda hidupnya dari yang ia bayangkan. Ia merindukan kehangatan keluarganya yang dulu, sebelum segalanya berubah menjadi dingin dan jauh.

Keesokan harinya, Anggi tetap berangkat ke sekolah dengan senyum yang dipaksakan. Di kelas, ia berusaha untuk tetap aktif dan ceria, meski hatinya terasa berat. Selama jam istirahat, Anggi duduk di kantin bersama teman-temannya. Mereka berbicara tentang rencana akhir pekan di pantai, namun pikiran Anggi melayang ke tempat lain.

“Ayo, Anggi, kamu jadi kan ikut?” tanya Nina, menarik perhatian Anggi dari lamunannya.

Anggi tersentak, kemudian tersenyum lemah. “Iya, tentu saja. Aku nggak sabar buat liburan sama kalian,” jawabnya, berusaha terdengar antusias.

Namun, Dini yang duduk di sebelahnya merasakan ada yang berbeda. Setelah teman-teman mereka berpencar, Dini menatap Anggi dengan cemas. “Kamu baik-baik aja, Gi? Akhir-akhir ini kamu kelihatan nggak seceria biasanya.”

Anggi terkejut dengan pertanyaan Dini. Ia menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku baik-baik aja, Din. Cuma sedikit capek aja, mungkin karena banyak tugas sekolah,” jawabnya sambil tersenyum tipis.

Dini masih belum puas dengan jawaban itu, tapi ia tak ingin memaksa Anggi untuk berbicara lebih jauh. “Kalau ada apa-apa, jangan ragu buat cerita ya, Gi. Aku selalu ada buat kamu,” katanya dengan tulus.

Anggi merasa hatinya sedikit lega mendengar kata-kata Dini. Meski ia tahu bahwa menceritakan masalahnya tidak akan mengubah keadaan, setidaknya ia merasa tidak sepenuhnya sendirian.

Malam itu, di rumah, Anggi mendengar suara pertengkaran dari kamar orang tuanya. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar suara itu, tapi kali ini terasa lebih menyakitkan. Anggi menutup telinganya dengan bantal, berusaha mengabaikan suara-suara tersebut. Namun, semakin keras ia mencoba mengabaikan, semakin dalam luka di hatinya terasa. Ia merasa seperti berada di antara dua dunia; satu dunia di mana ia harus selalu ceria dan kuat di depan teman-temannya, dan dunia lain di mana ia merasa tak berdaya dan hancur di rumah.

Setelah pertengkaran itu reda, Anggi memutuskan untuk keluar dari rumah sejenak. Ia berjalan tanpa tujuan, hanya ingin mencari ketenangan. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Reza yang sedang berjalan pulang. Reza terkejut melihat Anggi keluar di malam hari, dan ia bisa melihat wajah Anggi yang tampak lelah dan sedih.

“Anggi, kamu ngapain di luar malam-malam gini?” tanya Reza khawatir.

Anggi tersenyum tipis. “Cuma pengen jalan-jalan aja, menenangkan pikiran,” jawabnya.

Reza tahu ada yang tidak beres, tapi ia tidak ingin menekan Anggi. “Kalau gitu, aku temenin ya. Nggak baik cewek sendirian di luar malam-malam.”

Mereka berjalan bersama dalam diam. Anggi merasa sedikit lega dengan keberadaan Reza di sampingnya. Meskipun mereka tidak banyak bicara, kehadiran Reza membuatnya merasa ada yang peduli. Akhirnya, mereka berhenti di sebuah taman kecil. Reza duduk di bangku taman, sementara Anggi berdiri memandang langit malam.

“Reza pernah nggak sih kamu merasakan bahwa hidup ini terlalu berat?” tanya Anggi tiba-tiba, suaranya terdengar lirih.

Reza terkejut dengan pertanyaan itu. Ia menatap Anggi yang masih memandang langit, dan melihat ada sesuatu yang dalam di balik mata gadis itu. “Kadang-kadang, iya. Tapi, aku selalu berusaha untuk nggak terlalu mikirin hal-hal yang bikin aku down,” jawabnya jujur.

Anggi menghela napas panjang. “Aku merasa lelah, Reza. Lelah harus selalu pura-pura kuat. Di rumah, aku nggak pernah bisa cerita ke siapa-siapa. Dan di sekolah, aku juga nggak bisa menunjukkan kalau aku lagi nggak baik-baik aja.”

Reza merasa hatinya hancur mendengar kata-kata Anggi. Ia selalu mengagumi keceriaan dan kekuatan Anggi, tapi malam itu ia melihat sisi lain dari gadis yang selama ini ia kagumi. Reza berdiri dan mendekati Anggi. Ia ingin memeluknya, tapi ia ragu. Akhirnya, ia hanya berkata, “Anggi, kamu nggak sendirian. Aku di sini buat kamu. Kalau kamu butuh teman buat cerita atau cuma buat dengerin, aku selalu ada.”

Anggi menatap Reza, dan air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir. Ia merasa ada beban yang sedikit terangkat dari hatinya. “Terima kasih, Reza,” kata Anggi dengan suara bergetar.

Malam itu, mereka duduk di taman hingga larut malam, berbicara tentang banyak hal. Anggi merasa sedikit lega setelah menceritakan sebagian kecil dari bebannya. Meski ia tahu bahwa masalahnya belum selesai, setidaknya malam itu ia merasa ada yang peduli dan mengerti perasaannya.

Keesokan harinya, Anggi kembali ke sekolah dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, ia merasa sedikit lebih baik setelah berbicara dengan Reza, tapi di sisi lain, ia tahu bahwa ia masih harus menghadapi masalah-masalah di rumah. Anggi bertekad untuk tetap kuat, meski ia tahu itu tidak akan mudah. Ia menyadari bahwa di balik senyumannya yang ceria, ada luka yang harus ia sembuhkan sendiri. Meski sulit, Anggi berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah.

Dengan tekad itu, Anggi melangkah ke kelas, mencoba menutupi luka di hatinya dengan senyuman yang selalu ia tunjukkan. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangannya baru saja dimulai.

 

Pengakuan di Ujung Waktu

Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Anggi dan teman-temannya berkumpul di sekolah untuk memulai perjalanan menuju pantai. Semua tampak bersemangat, terutama Anggi yang berusaha menyembunyikan kegelisahannya dengan senyuman ceria. Mereka naik bus yang sudah disewa, dan perjalanan dimulai dengan suasana riang dan canda tawa. Anggi duduk di samping Dini, sementara Reza duduk di belakang mereka. Sesekali, Anggi melirik ke arah Reza, mengingat percakapan mereka di taman beberapa malam sebelumnya.

Setelah beberapa jam perjalanan, mereka tiba di pantai. Pasir putih yang halus dan air laut yang biru menyambut mereka dengan keindahannya. Anggi merasa sedikit lega saat melihat pemandangan itu, seolah masalah-masalahnya sedikit terlupakan. Ia dan teman-temannya segera berlarian menuju pantai, bermain air, dan menikmati kehangatan matahari.

Namun, di balik keceriaan itu, Anggi merasa ada yang ganjil. Ia merasa Reza tidak seceria biasanya. Anggi mencoba mendekatinya saat mereka sedang duduk di tepi pantai, menikmati angin sepoi-sepoi. “Reza, kamu baik-baik aja?” tanya Anggi, suaranya penuh perhatian.

Reza tersenyum lemah. “Aku baik-baik aja, kok. Cuma sedikit capek aja.” jawabnya dan mencoba untuk terdengar lebih meyakinkan.

Namun, Anggi bisa merasakan ada yang disembunyikan oleh Reza. “Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita, Reza. Aku ingat kamu bilang kalau aku nggak sendirian, kamu juga nggak sendirian,” kata Anggi dengan lembut.

Reza terdiam sejenak, memandang laut yang tenang. “Anggi, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” katanya akhirnya, suaranya terdengar serius.

Anggi merasa hatinya berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Reza, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang berat. “Apa itu, Reza?” tanyanya, berusaha tetap tenang.

Reza menghela napas panjang. “Anggi, aku sudah lama menyimpan perasaan ini. Mungkin ini bukanlah waktu yang tepat tapi aku harus bisa mengatakannya. Aku suka kamu, Anggi. Aku suka kamu sejak lama, tapi aku takut mengatakannya karena aku nggak mau merusak persahabatan kita.”

Anggi terkejut mendengar pengakuan itu. Ia tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, ia merasa tersentuh dengan keberanian Reza, tapi di sisi lain, ia merasa bersalah karena tidak bisa merespon perasaan itu dengan cara yang sama. Anggi menatap mata Reza, melihat ketulusan di sana. “Reza, aku… aku nggak tahu harus bilang apa. Aku senang kamu jujur, tapi… aku belum siap untuk itu,” katanya dengan suara pelan, matanya berkaca-kaca.

Reza tersenyum pahit. “Aku mengerti, Anggi. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku. Aku nggak mengharapkan apa-apa. Aku cuma ingin kamu tahu bahwa aku selalu ada buat kamu, apa pun yang terjadi.”

Air mata Anggi akhirnya jatuh. Ia merasa bersalah karena tidak bisa membalas perasaan Reza, tapi ia juga merasa lega karena Reza tetap menghargai perasaannya. “Terima kasih, Reza. Kamu sahabat yang baik, dan aku nggak mau kehilangan itu,” kata Anggi dengan suara gemetar.

Reza mengangguk. “Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Anggi. Jadi, kita tetap teman, ya?”

Anggi mengangguk, meski hatinya terasa berat. Mereka berdua duduk dalam keheningan, mendengarkan suara ombak yang menghantam pantai. Anggi merasa hatinya penuh dengan perasaan yang bercampur aduk; antara rasa syukur atas persahabatan mereka dan rasa bersalah karena tidak bisa merespon perasaan Reza.

Setelah beberapa saat, Dini dan teman-teman lainnya datang menghampiri mereka. “Hei, kalian ngapain di sini? Yuk, foto bareng!” seru Dini, mencoba menghidupkan suasana.

Anggi dan Reza bangkit, bergabung dengan yang lain. Mereka semua berpose dan tertawa, mencoba mengabadikan momen kebahagiaan itu. Namun, di dalam hatinya, Anggi merasa ada sesuatu yang hilang. Ia merasa kebahagiaan ini hanya sementara, seperti pasir di pantai yang akan tersapu oleh ombak.

Malam itu, mereka mengadakan pesta api unggun. Semua tampak bahagia, bernyanyi, dan berbagi cerita. Anggi mencoba menikmati momen itu, tapi pikirannya terus melayang ke percakapannya dengan Reza. Ia merasa bimbang, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Di satu sisi, ia ingin tetap menjaga persahabatan mereka, tapi di sisi lain, ia tahu bahwa perasaan Reza tidak akan hilang begitu saja.

Setelah pesta selesai, Anggi berjalan sendiri menuju tepi pantai. Ia duduk di pasir, memandang bintang-bintang di langit. Anggi merasa hatinya seperti terombang-ambing di lautan perasaan. Ia merasa takut kehilangan Reza sebagai teman, tapi juga merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Anggi tahu bahwa ia tidak bisa menghindari masalah ini selamanya.

“Anggi,” suara Reza memanggilnya. Anggi menoleh dan melihat Reza mendekat. “Boleh aku duduk di sini?” tanyanya.

Anggi mengangguk. Mereka duduk berdua, mendengarkan suara ombak. “Reza, aku minta maaf,” kata Anggi tiba-tiba, suaranya terdengar lirih.

Reza menatapnya, bingung. “Kenapa minta maaf?”

“Karena aku nggak bisa merespon perasaanmu. Aku merasa bersalah karena membuat kamu merasa seperti ini,” jawab Anggi, matanya berkaca-kaca.

Reza tersenyum tipis. “Kamu nggak perlu minta maaf, Anggi. Aku yang seharusnya minta maaf karena membuat kamu merasa nggak nyaman. Aku cuma ingin jujur dengan perasaanku.”

Anggi merasa hatinya semakin berat. “Aku… aku takut kehilangan kamu, Reza. Kamu sahabat yang baik, dan aku nggak mau hubungan kita berubah karena ini.”

Reza mengangguk. “Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Anggi. Tapi aku juga nggak bisa mengubah perasaanku. Jadi, aku cuma minta waktu. Waktu untuk mengatasi perasaan ini, dan aku harap kita bisa tetap berteman seperti biasa.”

Anggi merasa lega mendengar kata-kata Reza. Meski situasinya sulit, setidaknya mereka masih bisa berkomunikasi dengan baik. “Terima kasih, Reza. Aku juga butuh waktu untuk memahami perasaanku sendiri,” katanya dengan tulus.

Mereka duduk bersama dalam keheningan, menikmati malam yang tenang. Meski banyak hal yang belum terselesaikan, Anggi merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan akan ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun, malam itu, di bawah langit berbintang, Anggi merasa ada harapan. Harapan bahwa meski banyak hal yang berubah, persahabatan mereka tetap kuat.

Anggi menatap Reza, merasa bersyukur memiliki sahabat sepertinya. Meski hati mereka penuh dengan perasaan yang bercampur aduk, Anggi yakin mereka akan menemukan jalan keluar bersama. Di balik semua luka dan kekecewaan, Anggi percaya bahwa mereka akan tumbuh lebih kuat. Malam itu, Anggi menutup mata, merasakan angin laut yang sejuk. Di dalam hatinya, ia berdoa agar mereka bisa menemukan kebahagiaan yang sejati, meski jalan menuju ke sana mungkin tidak mudah.

 

Kebenaran di Balik Senyuman

Kembali dari pantai, kehidupan Anggi tak lagi sama. Meski ia dan Reza berusaha untuk tetap bersikap biasa, ada perasaan canggung yang tak bisa dihindari. Anggi berusaha untuk fokus pada sekolah dan aktivitas ekstrakurikulernya, tapi di balik keceriaannya, hatinya terasa berat. Setiap kali melihat Reza, ia merasa bersalah karena tidak bisa membalas perasaannya, dan itu membuatnya semakin sulit untuk berinteraksi dengan teman-temannya.

Pada suatu pagi, saat sedang sarapan, Anggi mendengar percakapan orang tuanya di ruang tamu. Biasanya, mereka jarang berada di rumah bersama, jadi Anggi merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Ia mendekati pintu ruang tamu, mendengarkan dengan cemas.

“Bagaimana kita akan menjelaskan ini pada Anggi?” suara ayahnya terdengar penuh kekhawatiran.

“Aku tidak tahu, tapi kita tidak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi. Anggi harus tahu,” jawab ibunya dengan suara lelah.

Anggi merasa dadanya berdebar-debar. Ia merasakan ada sesuatu yang besar akan terjadi, sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan melihat kedua orang tuanya duduk di sofa, wajah mereka tampak serius.

“Ada apa, Ma, Pa? Kenapa kelihatan serius banget?” tanya Anggi, mencoba terdengar santai meski hatinya cemas.

Kedua orang tuanya saling berpandangan sebelum ibunya berbicara. “Anggi, sayang, ada sesuatu yang harus kami bicarakan denganmu. Ini tentang… pernikahan kami,” kata ibunya dengan suara yang gemetar.

Anggi merasakan dunia seolah berhenti sejenak. “Apa maksud Mama?” tanyanya, meski di dalam hatinya ia sudah tahu jawabannya.

Ayahnya menarik napas panjang. “Anggi, Maafkan kami karena tidak memberitahumu lebih awal, tapi Mama dan Papa… kami akan bercerai,” katanya dengan suara berat.

Air mata langsung menggenang di mata Anggi. Meski ia telah mencurigai adanya permasalahan di antara kedua orang tuanya mendengar dengan kenyataan itu tetap saja menghancurkannya. “Kenapa kalian nggak bisa memperbaikinya?” tanyanya, suaranya pecah oleh isak tangis.

Ibunya mencoba mendekati Anggi, tapi Anggi mundur, menolak untuk disentuh. “Anggi, kami sudah mencoba. Tapi… kadang-kadang, cinta tidak cukup untuk mempertahankan pernikahan. Kami tidak ingin kamu merasa terbebani oleh masalah ini,” kata ibunya dengan lembut.

“Tapi aku terbebani!” teriak Anggi, air matanya mengalir deras. “Aku sudah cukup terbebani dengan segalanya di sekolah, dengan teman-teman, dan sekarang kalian juga mau bercerai? Apa aku nggak berarti apa-apa buat kalian?”

Ayahnya berdiri, mendekati Anggi. “Anggi sayang tentu saja kamu kan sangat berarti buat kami semua. Kami hanya… kami tidak ingin kamu melihat kami bertengkar terus-menerus. Kami berpikir ini yang terbaik untuk semua orang,” katanya dengan suara penuh penyesalan.

Anggi merasa tubuhnya gemetar. Ia ingin marah, ingin berteriak, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah isak tangis. “Kenapa sekarang? Kenapa kalian nggak pernah cerita sebelumnya?” tanyanya dengan suara serak.

Ibunya menunduk, menahan air mata. “Kami tidak ingin kamu merasa terbebani. Kami berpikir kami bisa menyelesaikan ini sendiri, tapi ternyata tidak. Maafkan kami, Anggi,” katanya lirih.

Anggi merasa hatinya hancur berkeping-keping. Selama ini, ia selalu berusaha menjadi anak yang kuat dan ceria, tapi sekarang, ia merasa semua itu sia-sia. Ia merasa dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya paling dekat dengannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Anggi berlari keluar rumah, meninggalkan kedua orang tuanya yang terkejut dan sedih.

Ia berlari tanpa arah, air mata terus mengalir di pipinya. Anggi tidak tahu harus ke mana, tapi ia hanya ingin menjauh dari rumah, dari segala kepedihan yang ada di sana. Akhirnya, ia tiba di sebuah taman kecil yang sering ia kunjungi saat merasa gelisah. Di sana, ia duduk di bangku dan menangis sepuasnya. Ia merasa sendirian, merasa dunia seolah runtuh di sekelilingnya.

Beberapa saat kemudian, ponsel Anggi berdering. Itu pesan dari Reza.

“Anggi, kamu di mana? Aku lihat kamu lari keluar rumah tadi. Apa yang terjadi?”

Anggi tidak tahu bagaimana Reza bisa tahu tentang pertengkarannya dengan orang tuanya, tapi ia merasa tidak ada lagi yang bisa disembunyikan. Ia mengetik jawaban dengan tangan gemetar.

“Orang tuaku akan bercerai, Reza. Aku nggak tahu harus bagaimana.”

Reza segera menelepon Anggi, dan Anggi mengangkatnya dengan suara serak.

“Anggi, kamu di mana? Aku akan ke sana,” kata Reza, suaranya terdengar khawatir.

Anggi memberitahunya lokasi taman, dan beberapa menit kemudian, Reza datang dengan wajah cemas. Ia langsung mendekati Anggi dan memeluknya. Anggi merasa hatinya sedikit tenang di dalam pelukan Reza, meski air matanya masih terus mengalir.

“Aku nggak tahu harus bagaimana, Reza. Kenapa semua ini terjadi padaku?” tangis Anggi, suaranya penuh dengan kepedihan.

Reza mengusap punggung Anggi, mencoba menenangkannya. “Aku di sini, Anggi. Aku nggak akan pergi ke mana-mana. Kamu nggak perlu kuat sendirian. Aku akan selalu ada buat kamu.” katanya dengan suara yang lembut.

Anggi merasa sedikit lega mendengar kata-kata Reza. Meski ia tahu bahwa Reza juga sedang menghadapi perasaannya sendiri, Reza tetap ada di sisinya. Itu membuat Anggi merasa ada harapan, meski hanya sedikit.

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk bagi Anggi. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa keluarganya tidak akan pernah sama lagi. Di sekolah, ia berusaha untuk tetap fokus, tapi pikirannya selalu melayang ke masalah di rumah. Teman-temannya, termasuk Dini, mencoba mendekati Anggi, tapi Anggi merasa sulit untuk membuka diri. Hanya Reza yang tetap di sisinya, memberikan dukungan tanpa banyak bertanya.

Suatu hari, setelah pulang sekolah, Anggi duduk sendirian di taman sekolah. Ia merasa lelah, baik fisik maupun emosional. Saat sedang melamun, Dini mendekatinya.

“Anggi, aku dengar dari Reza tentang orang tuamu. Aku minta maaf,” kata Dini dengan suara pelan.

Anggi menatap Dini, merasa terkejut. “Reza cerita ke kamu?” tanyanya, sedikit merasa marah karena Reza membocorkan masalah pribadinya.

Dini mengangguk. “Dia khawatir sama kamu. Kami semua khawatir. Kamu nggak perlu menghadapi ini sendirian, Anggi. Kami semua di sini buat kamu.”

Anggi merasa hatinya melunak sedikit. Ia tahu bahwa teman-temannya peduli padanya, tapi ia masih merasa sulit untuk berbagi beban yang ia rasakan. “Terima kasih, Dini. Aku cuma… aku nggak tahu bagaimana harus menghadapi semua ini,” katanya dengan suara pelan.

Dini duduk di sebelah Anggi, menggenggam tangannya. “Kamu nggak perlu tahu semua jawabannya sekarang, Anggi. Yang penting, kamu nggak sendiri. Kita akan melalui ini bersama-sama.”

Air mata Anggi kembali mengalir. Ia merasa bersyukur memiliki teman-teman yang peduli, meski ia tahu bahwa perasaan sakit ini tidak akan hilang begitu saja. Malam itu, di rumah, Anggi akhirnya berbicara dengan orang tuanya. Mereka duduk bersama di ruang tamu, mencoba menjelaskan situasi dengan lebih jelas.

“Kami tahu ini sulit, Anggi. Tapi kami berharap kamu bisa mengerti. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu,” kata ibunya dengan suara lembut.

Anggi menatap kedua orang tuanya, merasa campur aduk. Ia masih marah, tapi ia juga tahu bahwa mereka tidak ingin menyakitinya. “Aku hanya ingin keluarga kita bahagia,” katanya dengan suara bergetar.

Ayahnya mengangguk, wajahnya penuh penyesalan. “Kami juga, Anggi. Tapi kadang-kadang, cara terbaik untuk bahagia adalah dengan melepaskan.”

Mendengar kata-kata itu, Anggi merasa hatinya sedikit lebih ringan. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan yang sulit, tapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Dengan dukungan teman-temannya dan terutama Reza, Anggi merasa lebih siap untuk menghadapi masa depan, apa pun yang terjadi. Ia tahu bahwa hidup tidak akan selalu mudah, tapi dengan cinta dan dukungan, ia yakin bisa melalui semuanya.

Di akhir malam itu, Anggi duduk di kamarnya, merenungkan semua yang telah terjadi. Ia merasa lebih kuat, meski luka di hatinya masih terasa. Anggi menatap foto keluarganya yang tergantung di dinding, merasa campur aduk. Ia tahu bahwa perpisahan ini akan mengubah segalanya, tapi ia juga tahu bahwa ia harus tetap tegar.

Dengan tekad baru, Anggi memutuskan untuk tidak menyerah. Ia akan terus berjuang, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang-orang yang ia cintai. Anggi tahu bahwa perjalanan ini belum selesai, tapi ia siap menghadapi apa pun yang akan datang. Karena di dalam hatinya, ia percaya bahwa cinta dan persahabatan akan selalu membawanya kembali ke tempat yang seharusnya.

 

Jadi, gimana menurut kamu cerita Anggi dan Reza ini? Kadang hidup memang nggak selalu berjalan sesuai harapan, tapi dari setiap peristiwa, kita bisa belajar banyak hal, termasuk dari kisah mereka. Anggi yang berusaha tegar menghadapi perceraian orang tuanya dan Reza yang setia mendukung di sisinya, mengajarkan kita tentang pentingnya dukungan dan kejujuran dalam persahabatan. Semoga cerita ini bisa memberikan kamu inspirasi dan pelajaran berharga ya! Jangan lupa bagikan cerita ini ke teman-temanmu, siapa tahu mereka juga butuh bacaan yang menyentuh seperti ini. Sampai jumpa di artikel berikutnya!

Leave a Reply