Kenangan Tak Terlupakan: Cerpen Perjalanan Persahabatan di Masa SMA

Posted on

Jadi, inget nggak sih gimana rasanya ngelakuin hal-hal konyol bareng temen-temen di masa SMA? Yang nggak ada beban, cuma mikirin tugas dan ujian yang entah kenapa selalu datang pas kita lagi santai.

Tapi, di balik semua itu, ada banyak kenangan yang bikin kita senyum-senyum sendiri. Ini cerita tentang gimana masa SMA itu, yang penuh tawa, pertemanan, dan pastinya, kenangan yang bakal selalu kita inget meskipun udah jadi dewasa. Yuk, balik ke masa-masa seru itu lagi!

 

Kenangan Tak Terlupakan

Langkah Pertama di Pelita Bangsa

Pagi itu, udara masih terasa dingin ketika aku tiba di depan gerbang SMA Pelita Bangsa. Tembok sekolah yang tinggi berdiri kokoh, seolah mengingatkan pada hari-hari yang penuh teka-teki di depan. Aku melangkah perlahan menuju pintu masuk, di mana suara riuh dari teman-teman baru dan tawa kecil mulai terdengar di sekitarku. Tahun ajaran baru dimulai, dan aku tahu, kehidupan baru pun dimulai.

Aku mengenakan seragam sekolah baru yang masih kaku, tidak bisa menutupi sedikit kecemasan yang ada. Semua orang tampak begitu percaya diri, berbicara dengan teman-teman baru mereka, sementara aku, dengan langkah ragu, hanya bisa menunduk sesekali menatap ponselku yang tidak ada kabar. Di sekitar, aku bisa mendengar suara tawa, saling mengenalkan diri, dan tak lama kemudian, seseorang menyenggol bahuku.

“Eh, Naya! Mau kemana?” suara itu memanggil. Aku mendongak dan melihat Kirana, teman sekelas dari SMP yang akhirnya berada di sekolah yang sama.

“Eh, Kir! Aku baru aja datang, nih. Mau cari kelas dulu,” jawabku sambil tersenyum canggung. Kami berdua berjalan perlahan menyusuri jalan setapak menuju gedung utama.

“Kamu tahu nggak? Di kelas ada Faiz sama Rendra. Mungkin mereka bakal gangguin kita lagi, deh.” Kirana tertawa pelan, mengingat kebiasaan Faiz dan Rendra yang tak bisa diam selama di sekolah.

Aku hanya mengangguk, merasa lega karena setidaknya ada teman yang aku kenal. Begitu kami masuk ke dalam kelas, suasana terasa berbeda. Ruang kelas itu lebih besar dari yang aku bayangkan. Dindingnya yang berwarna krem, meja-meja yang tersusun rapi, dan jendela besar yang menghadap ke taman sekolah. Aku melangkah ke arah meja yang sudah terisi dua orang—Faiz dan Rendra, yang duduk dengan santainya, seolah sekolah baru ini tidak ada bedanya dengan hari-hari sebelumnya.

“Wah, Naya! Datang juga akhirnya,” sapa Faiz sambil tersenyum lebar. Rambutnya yang agak berantakan dan gayanya yang santai selalu membuatnya terlihat ceria.

“Kamu tadi kemana? Gak keliatan,” tanya Rendra, yang duduk di sebelah Faiz sambil membuka buku pelajaran.

Aku menatap mereka, lalu duduk di kursi kosong yang ada di sebelah mereka. “Baru datang, kok. Masih agak bingung juga.”

Kirana kemudian menyusul, duduk di kursi depan kami. Beberapa detik kemudian, suara guru Biologi yang mengingatkan kami untuk menyiapkan buku pelajaran memecah keheningan. Dengan cekatan, kami semua menyiapkan buku pelajaran yang tergeletak di atas meja. Tidak ada yang lebih berat dari pelajaran pertama hari itu, dan semuanya hanya terasa seperti rutinitas.

Jam pertama berlalu begitu cepat. Saat bel istirahat berbunyi, kami bergegas keluar dari kelas menuju kantin. Ruangan yang penuh dengan teman-teman baru dari berbagai kelas itu terasa begitu ramai dan bising. Faiz dan Rendra seolah sudah menunggu saat-saat seperti ini, waktu untuk berbincang ringan tentang apapun.

“Beli apa, nih? Mie goreng Bu Lasmi?” Faiz bertanya, sementara matanya mencari-cari tempat duduk di kantin yang penuh sesak.

“Pasti, lah. Itu kan favorit kita,” jawab Rendra sambil tertawa kecil.

Aku dan Kirana ikut mengangguk, setuju. Mie goreng Bu Lasmi memang punya rasa yang beda dari yang lain. Rasanya yang sedikit pedas, dengan bumbu yang meresap sempurna, selalu jadi pilihan utama saat kami berkumpul.

Ketika kami sudah duduk di meja yang penuh dengan piring-piring mie goreng, Rendra memulai percakapan. “Kira-kira tahun ini kita bakal sering ada di sini, ya? Apa-apa yang gak ada di rumah, ada di sini.”

Aku tersenyum mendengarnya. Terkadang, kehidupan di sekolah itu memang seperti dunia terpisah yang menenangkan, jauh dari segala masalah yang ada di luar sana. Ada hal-hal sederhana yang bisa membuat kita bahagia tanpa beban, seperti menyantap mie goreng dan bercanda bersama teman-teman.

Kirana mengangguk, “Bener banget. Dan nggak cuma itu. Kita bisa lebih banyak waktu buat ngobrol sama teman-teman baru, kan?” Dia melirikku, lalu menambahkan, “Terutama kamu, Naya. Kayaknya kamu bakal punya banyak teman.”

Aku tertawa ringan, merasa sedikit canggung, “Harusnya sih. Tapi yang penting kita tetap bisa bareng, ya? Gue nggak mau ketinggalan sama kalian.”

Kami semua tertawa, dan beberapa saat kemudian, percakapan itu berlanjut dengan pembicaraan kecil tentang berbagai hal. Tentang pelajaran yang akan datang, tentang teman-teman yang baru saja kami kenal, dan tentang segala hal yang menyenangkan saat itu.

Namun, yang paling berkesan bukanlah tentang pelajaran yang kami pelajari hari itu. Bukan pula tentang semua hal yang membuat SMA terlihat seperti petualangan yang menantang. Melainkan tentang bagaimana kami menemukan satu sama lain di tengah kebingungan dan ketidakpastian awal-awal masuk sekolah. Dalam keramaian itu, ada kenyamanan dalam persahabatan yang tumbuh dengan begitu alami.

Sore harinya, saat kelas sudah selesai, aku berjalan bersama Kirana menuju pintu gerbang sekolah. Aku menatap gedung itu untuk sesaat, seakan ingin menyimpannya dalam kenangan. Ada sesuatu yang terasa spesial hari itu. Sesuatu yang mungkin akan tetap ada, meskipun masa SMA ini akan segera berlalu.

“Besok, kita bakal ngapain, ya?” tanya Kirana, pecah keheningan yang hanya dipenuhi dengan suara langkah kaki kami.

“Kayaknya kita harus mulai rencanain tugas yang numpuk, deh,” jawabku sambil tersenyum tipis, mencoba menanggapi dengan santai.

Kami tertawa pelan, membiarkan suara tawa itu mengiringi langkah kaki kami yang menjauh dari sekolah, menuju rumah masing-masing. Dan di sana, di ujung jalan itu, aku merasa yakin bahwa meskipun banyak tugas dan beban yang akan datang, kenangan hari ini akan selalu jadi awal yang menyenangkan untuk masa SMA kami yang akan datang.

 

Tawa di Lapangan dan Mie Goreng Kantin

Hari-hari semakin terasa berjalan cepat, dan setiap detik yang kami habiskan di SMA Pelita Bangsa seolah menciptakan kenangan baru yang tak bisa diulang. Setelah seminggu berlalu, aku mulai merasa lebih nyaman dengan suasana sekolah. Tentu saja, tidak semua berjalan mulus. Tugas-tugas menumpuk, ujian yang tak kunjung selesai, dan guru-guru yang tak segan memberikan tantangan baru. Tapi entah kenapa, semua itu terasa seperti bagian dari petualangan.

Pagi itu, setelah bel pertama berbunyi, kelas Biologi dimulai dengan cukup santai. Seperti biasa, Faiz, Rendra, Kirana, dan aku duduk di bangku yang sama, meski terkadang kami terpecah karena satu dua orang yang sering berpindah tempat untuk ikut ke sana kemari. Kali ini, Faiz memulai percakapan tentang kejadian lucu yang kami alami di kantin minggu lalu.

“Eh, inget nggak waktu kita makan mie goreng di kantin, terus Rendra yang malah salah pesan es jeruk buat Kirana?” Faiz mulai tertawa terbahak. “Kirana yang udah nungguin, eh dikasih es teh manis.”

Aku pun ikut tersenyum, meskipun saat itu aku ingat betul ekspresi Kirana yang datar, mencoba menahan rasa malu setelah beberapa teman melihat kejadian itu. “Rendra, kamu bisa-bisanya sih?” Kirana melirik Rendra, meskipun dia akhirnya tertawa juga.

“Gue kira lo suka es jeruk, kan?” jawab Rendra sambil tersenyum polos. “Yaudah, jadi ini pengingat buat gue biar nggak salah pesan lagi.”

Tawa itu terdengar meriah. Dalam sekejap, kelas Biologi yang tadinya serius itu berubah jadi suasana yang lebih ringan, penuh canda tawa. Tidak ada yang benar-benar peduli dengan soal tugas yang menanti setelah pelajaran berakhir. Semua seperti terlupakan dalam kebersamaan ini.

Saat jam istirahat tiba, kami semua langsung menuju kantin tanpa banyak berpikir. Mie goreng Bu Lasmi tetap jadi favorit, dan kantin hari itu tak jauh beda dengan hari sebelumnya: ramai, bising, dan penuh dengan suara gelak tawa dari semua sudut. Kami duduk di meja yang sama, meski kali ini lebih ramai karena ada beberapa teman baru yang bergabung dengan kami.

“Gimana, kalian udah mulai nyaman dengan sekolah ini?” Kirana bertanya sambil memesan mie goreng dan air putih.

“Ya, lumayan. Tapi masih bingung soal beberapa pelajaran yang ternyata lebih susah dari yang gue kira,” jawab Faiz sambil menyesap air minumnya. “Apalagi Matematika, tuh. Gue kayaknya bakal keteteran deh.”

Aku mengangguk setuju. Matematika memang selalu jadi pelajaran yang bikin kepala pusing. Tapi ada hal yang lebih penting bagiku selain tugas-tugas dan pelajaran yang berat. Hari-hari di sekolah ini menjadi lebih ringan karena kami saling berbagi tawa, kisah, dan cerita-cerita kecil yang mengalir begitu saja.

Tengah hari itu, setelah selesai makan, kami berjalan menuju lapangan sekolah. Langit siang yang biru cerah tampak begitu luas, seolah menggambarkan kebebasan yang kami rasakan. Kami tidak sedang berlari mengejar waktu, tetapi justru menikmati waktu yang ada.

“Lo yakin mau ikut futsal nanti?” tanya Rendra, melemparkan bola futsal kecil ke arah Faiz yang sedang berjalan di depannya.

“Aduh, males ah, gue udah capek banget,” jawab Faiz, tetapi dengan nada yang lebih santai. “Nanti deh, kalau kalian butuh gue buat jadi keeper.”

“Beneran, nih, Faiz? Jangan cuma omong doang,” canda Kirana sambil tersenyum.

Kami semua menuju lapangan futsal dengan langkah santai. Meskipun kami tahu bahwa olahraga ini akan menguras tenaga, ada sesuatu yang membuat kami tetap semangat. Barangkali karena, selain tugas-tugas, futsal adalah waktu kami untuk melupakan segala hal yang membuat kami stres. Kami hanya ingin merasakan kehangatan persahabatan, merasakan kebahagiaan dalam kemenangan kecil, seperti bisa mencetak gol atau sekadar tertawa karena salah satu dari kami jatuh lucu saat berusaha menendang bola.

Saat pertandingan dimulai, suasana di lapangan itu sangat berbeda. Penuh semangat, penuh tawa, dan sedikit kelelahan, membuat setiap detik terasa seperti bagian dari sebuah kenangan yang tak akan terlupakan. Faiz yang akhirnya jadi keeper juga menunjukkan aksi kocaknya saat berusaha menahan bola, tetapi malah terpeleset dan hampir jatuh. Kami semua tertawa, termasuk Faiz yang langsung berdiri dengan senyum lebar, seolah-olah itu adalah bagian dari permainan.

“Kalian jangan terlalu keras ketawanya, dong. Gue juga manusia,” Faiz berkelakar, meskipun ia jelas-jelas menikmati momen tersebut.

Setelah permainan usai, kami duduk di tepi lapangan, beristirahat sejenak, sambil menikmati angin yang berhembus pelan. Kami membicarakan hal-hal kecil, seperti rencana liburan sekolah yang akan datang, tentang siapa yang paling jago main futsal, dan bahkan tentang impian-impian yang mungkin terdengar jauh dari jangkauan.

“Mungkin kita harus main futsal lebih sering, ya,” kata Kirana, menyandarkan tubuhnya ke pagar lapangan. “Biar sekolah ini nggak cuma tentang tugas dan ujian doang.”

Aku mengangguk setuju. Hari ini terasa begitu sederhana, tapi itulah yang membuatnya spesial. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain berada di sini, di tengah teman-teman yang mengerti tanpa perlu banyak kata. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi setelah SMA ini, tapi yang jelas, kenangan ini akan tetap kami simpan.

Seperti langit sore yang mulai mengubah warna, semua terasa begitu tenang. Satu hal yang pasti, masa SMA ini akan selalu hidup dalam tawa, kerja keras, dan kenangan yang tak pernah terlupakan.

 

Langkah Baru di Ujian Tengah Semester

Hari-hari di SMA Pelita Bangsa terus berlalu dengan cepat, tanpa terasa ujian tengah semester sudah di depan mata. Seperti biasa, kami tidak bisa lepas dari kegelisahan yang datang menjelang ujian. Namun, meski begitu, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Kami merasa bahwa ujian ini bukan hanya tentang soal-soal yang harus dijawab, tetapi juga tentang sejauh mana kami bisa bertahan dalam berbagai tekanan yang ada.

Pagi itu, sebelum bel masuk berbunyi, aku melihat Kirana duduk di sudut kelas dengan ekspresi yang serius. Matanya menatap kosong ke depan, meskipun jelas-jelas dia sedang memikirkan sesuatu yang jauh di luar jangkauan pikiranku. Faiz yang baru saja datang menghampiri kami dengan senyuman khasnya, seolah tak ada beban sama sekali.

“Ayo, jangan tegang-tegang gitu. Ujian ini cuma soal waktu aja,” katanya sambil meluruskan kemeja putihnya. “Kalau kalian mikirin ujian mulu, otak kalian bisa keblokir. Percaya deh.”

“Kalau gitu, kenapa lo masih pusing, Faiz?” Rendra ikut menimpali dengan nada santai. “Katanya sih nggak ada masalah, tapi lo malah bawa-bawa buku buat belajar terus.”

Faiz hanya tertawa, “Gue sih cuma pengen jaga-jaga. Lagian, kalau nggak belajar, bisa-bisa kayak dulu lagi, nggak lulus-lulus.”

Kirana mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap kami dengan serius. “Aku cuma takut nggak bisa nyelesain semua soal,” katanya, suaranya terdengar agak cemas. “Sama kayak waktu ulangan pertama itu, aku bener-bener bingung.”

“Yah, jangan overthink, Kirana. Kita udah belajar, kok. Udah saatnya kita mempercayakan semua usaha kita, tinggal pasrah sama hasilnya,” aku mencoba menenangkan.

Meskipun kata-kataku terasa ringan, aku tahu bahwa ujian ini bukan sekadar tantangan akademik. Ini adalah ujian bagi kami untuk melihat bagaimana kami bisa bertahan dalam situasi penuh tekanan. Kami bertarung dengan waktu, dengan ketegangan yang terus menambah rasa was-was, dan tentunya, dengan kenyataan bahwa masa SMA ini akan segera berakhir.

Sementara itu, jam pelajaran berlanjut seperti biasa. Hari demi hari berlalu dengan kesibukan yang semakin terasa berat. Setiap sore, saat kami pulang sekolah, rasanya seperti langkah-langkah kecil menuju sesuatu yang besar. Suasana kelas, yang penuh canda tawa, seakan menghilang seiring berjalannya waktu. Semua mulai lebih serius, lebih banyak fokus pada pelajaran, dan lebih banyak merasakan beban ujian yang sudah di depan mata.

Saat ujian dimulai, kelas terasa lebih sepi dari biasanya. Semua orang sibuk mengerjakan soal-soal, dan detik demi detik seolah berjalan dengan sangat lambat. Aku bisa merasakan detakan jantungku sendiri saat membuka lembaran pertama soal Bahasa Indonesia, mencoba untuk tetap tenang meskipun otakku terasa berputar-putar.

Faiz duduk di sebelahku, nampak tenang meskipun matanya sesekali berkeliling melihat sekeliling. Rendra di depan kami juga terlihat fokus, hanya sesekali menghela napas panjang. Kirana yang biasanya terlihat sangat percaya diri, kini tampak lebih banyak termenung, kerap menghapus keringat di dahi dengan lengan baju. Mungkin dia merasa cemas, seperti yang dia katakan sebelumnya.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak memikirkan hal lain selain soal yang ada di depan mataku. Rasanya semua pelajaran yang aku pelajari, semua catatan yang sudah kubaca, tiba-tiba saja menjadi kabur. Pikiran-pikiran yang datang begitu cepat, membuatku sempat kehilangan arah. Tapi akhirnya, aku sadar bahwa ini adalah ujian, dan aku sudah melakukan yang terbaik.

Setelah dua jam berlalu, bel tanda ujian selesai berbunyi. Semua siswa di kelas mulai berdiri, saling berbicara dengan suara yang lebih keras setelah diam selama ujian. Aku merasa lega, meskipun tahu bahwa hasil ujian ini belum bisa dilihat. Ada rasa yang mengganjal, tapi aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya.

“Wah, akhirnya kelar juga. Gue pikir tadi bisa pingsan,” Rendra berkata dengan senyum lebar, seperti biasa.

“Yah, gimana dong. Lo bisa kok, pasti nilainya oke,” kata Faiz sambil menepuk punggung Rendra.

Kirana yang tadi duduk diam, kini tersenyum lelah. “Gimana, nih, kalian? Ngerasa puas atau malah takut banget?”

“Ya, yang penting sudah dikerjain. Sisanya ya udah, tinggal nunggu hasilnya aja,” aku menjawab sambil mengumpulkan kertas ujian yang sudah selesai.

Kami semua keluar dari kelas dengan rasa lega, meskipun ada secuil ketegangan yang masih terasa di hati. Kami tahu bahwa apapun yang terjadi setelah ini, kami sudah melakukan yang terbaik. Kami sudah melawan ujian dengan segala cara, dan itu sudah cukup. Setelah ujian selesai, kami berencana untuk merayakannya dengan hal-hal sederhana, seperti nongkrong di café sekolah atau sekadar berbicara tentang hari-hari yang penuh tawa yang sudah kami lewati.

Hari itu, kami kembali ke lapangan untuk bermain futsal bersama. Meskipun tubuh terasa lelah setelah ujian, kami semua merasa lebih bebas, lebih ringan. Kami tertawa, berlarian mengejar bola, dan kembali menikmati kebersamaan yang tak tergantikan. Ini adalah kenangan baru, di antara ujian dan tugas yang menumpuk. Kami masih punya banyak waktu untuk merasakannya.

Setelah futsal, kami duduk di kantin sambil menikmati makanan ringan, merasa lega karena ujian sudah lewat. Hari itu terasa seperti sebuah penutupan untuk sebuah bab dalam kehidupan SMA kami, yang akan segera berlanjut dengan banyak cerita baru.

 

Kenangan yang Menyisa di Hati

Waktu terus bergerak, membawa kami semakin dekat dengan akhir perjalanan SMA. Ujian tengah semester sudah berlalu, dan meskipun hasilnya belum keluar, kami mulai merasakan beban itu sedikit berkurang. Hari-hari di sekolah kembali diwarnai dengan tawa yang lebih lepas, meskipun ada sedikit rasa cemas yang masih mengendap di hati. Semua itu menjadi bagian dari masa-masa yang akan selalu dikenang.

Pagi itu, saat aku berjalan melewati koridor sekolah, aku melihat Kirana dan Faiz yang sedang duduk di bawah pohon besar di depan aula sekolah. Mereka tengah berbicara dengan serius, meskipun tidak ada ekspresi tegang seperti biasanya. Faiz tersenyum santai, sementara Kirana, meski tetap tampak serius, tampak lebih tenang. Aku bergabung dengan mereka setelah selesai mengambil buku dari locker.

“Gimana, udah mulai lebih santai?” tanya Faiz sambil menyerahkan secangkir teh hijau dari kantin.

“Iya, sih, udah lebih ringan. Tapi ada aja perasaan nggak enak,” jawab Kirana sambil meminum teh tersebut.

Aku hanya tersenyum dan duduk di samping mereka. “Yah, apa boleh buat. Sekarang udah saatnya kita menikmati sisa waktu yang ada,” kataku. Rasanya, segala beban di sekolah itu sudah terlalu lama membebani kami. Kami sudah terlalu fokus pada ujian, pada hasil-hasil yang belum tentu seperti yang kami harapkan. Namun kini, kami mulai sadar bahwa ada banyak hal lain yang lebih berharga selain nilai atau ujian.

Sejak saat itu, kami lebih sering menghabiskan waktu bersama, tertawa tentang hal-hal kecil yang dulu mungkin kami anggap sepele. Kami mengobrol tentang masa depan, tentang apa yang akan kami lakukan setelah lulus nanti. Semua percakapan itu terasa begitu ringan, seolah-olah kami tak lagi dibebani oleh hal-hal yang dulu membuat kami cemas.

Pada suatu sore yang cerah, setelah jam pelajaran selesai, aku berjalan menuju taman sekolah. Di sana, Faiz, Kirana, dan Rendra sudah menungguku. Mereka duduk di bangku taman, menikmati udara sore yang menenangkan. Kami memutuskan untuk bermain kartu sambil bercanda. Meskipun kami tak lagi memikirkan ujian atau pekerjaan rumah, ada sesuatu yang lebih berarti—waktu bersama, momen yang kami ciptakan tanpa peduli apapun yang terjadi di luar sana.

“Dulu, kita mikir SMA itu berat banget. Tapi lihat sekarang, waktunya udah hampir habis,” kata Kirana sambil melemparkan kartu di tangan Faiz.

“Iya, dan ternyata banyak banget yang kita lewatin tanpa sadar,” jawab Faiz. “Mungkin sekarang kita udah nggak terlalu mikirin ujian, tapi kalau ingat masa-masa dulu, rasanya kayak kita udah ngalamin segalanya bersama.”

Aku mengangguk, merasa benar. Kami sudah begitu dekat, seperti keluarga. Tanpa kami sadari, setiap momen yang kami lewati bersama telah membentuk kenangan yang akan terus ada. Aku tahu, meskipun kami akan berpisah suatu saat nanti, kenangan ini akan tetap terukir jelas di hati kami.

Hari-hari kami di SMA semakin mendekati akhir. Kami tidak lagi terlalu memikirkan soal ujian atau tugas, meskipun itu masih ada. Yang lebih kami rasakan adalah ikatan yang semakin kuat, ikatan yang tidak bisa diukur dengan nilai atau angka di rapor. Kami telah tumbuh bersama, menghadapi segala suka dan duka yang datang, dan kami tahu bahwa meskipun kami berbeda-beda, kenangan ini akan tetap ada dalam hati.

Hari terakhir SMA pun akhirnya tiba. Hari itu, kami berkumpul di lapangan untuk acara perpisahan. Semua teman-teman sekelas sudah siap, mengenakan pakaian terbaik mereka, saling berbicara tentang masa depan yang akan segera datang. Ada rasa haru yang menyelimuti suasana, meskipun tak ada yang mengucapkan kata-kata sedih atau menahan tangis. Kami semua tahu bahwa masa SMA ini adalah masa yang tak bisa digantikan oleh apapun.

Saat acara selesai, kami semua berkumpul di dekat pohon besar di tengah halaman sekolah, tempat yang dulu sering kami jadikan tempat berteduh setelah pulang sekolah. Kami duduk bersama, mengingat kembali segala kenangan yang telah kami buat. Tak ada lagi perasaan cemas atau takut akan ujian. Yang ada hanyalah tawa, kebersamaan, dan rasa syukur yang mengalir begitu saja.

“Ada banyak hal yang berubah, kan?” kata Faiz, memecah keheningan.

“Iya,” jawab Kirana sambil tersenyum, “Tapi satu hal yang nggak bakal berubah… kita selalu punya kenangan ini.”

Aku mengangguk. Kenangan ini adalah bagian dari diri kami yang akan tetap ada, meskipun waktu terus berjalan. Tak ada yang bisa mengambilnya dari kami. Dan meskipun kami akan pergi ke arah yang berbeda-beda, kami tahu, suatu hari nanti, kenangan ini akan selalu membawa kami kembali ke tempat yang sama—sebuah kenangan indah di masa SMA, yang penuh tawa, persahabatan, dan mimpi-mimpi yang tak pernah pudar.

Sekarang, masa depan kami sudah mulai terbentang luas, penuh dengan tantangan baru. Tetapi di sini, di dalam hati kami, SMA Pelita Bangsa dan segala kenangannya akan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup kami yang masih panjang.

 

Dan akhirnya, kita cuma bisa senyum-senyum pas inget masa-masa itu. Mungkin waktu udah berlalu, dan hidup udah nggak sesantai dulu, tapi kenangan tentang persahabatan dan tawa di masa SMA nggak akan pernah pudar. Dulu kita mikir semuanya bakal selamanya, padahal waktu terus berjalan.

Tapi, siapa bilang kenangan nggak bisa tetap hidup? Karena setiap detiknya, kenangan itu masih ada, di hati kita. Dan meskipun kita sekarang udah dewasa, masa-masa SMA itu tetap jadi bagian terindah yang nggak bakal pernah kita lupain.

Leave a Reply