Kenangan Tak Terlupakan: Cerita Persahabatan dan Perjalanan Setelah Lulus SMA

Posted on

Kamu tahu kan, gimana rasanya lulus SMA? Seneng sih, tapi di satu sisi juga ada yang ngga bisa dilupain. Kenangan bareng teman-teman, semua kegilaan yang terjadi selama bertahun-tahun, dan tentu aja, perasaan yang entah kenapa nggak pernah bener-bener hilang.

Nah, ini cerita tentang dua orang yang ngalamin itu—Alya dan Dirga. Mereka nggak cuma sekedar temenan, tapi perjalanan mereka ngasih pelajaran tentang kenangan yang bakal selalu ada, meski masa depan mereka udah beda jalan.

 

Kenangan Tak Terlupakan

Langit Biru di Hari Terakhir

Hari itu, sekolah terasa lebih hidup dari biasanya. Setiap sudut penuh dengan tawa dan keramaian siswa yang tampaknya masih sulit menerima kenyataan bahwa hari terakhir mereka di SMA telah tiba. Pagi itu, matahari bersinar cerah, dan langit biru membentang luas tanpa awan. Seperti senyuman yang menyelimuti wajah-wajah mereka, yang meski ceria, tapi samar terasa ada kekosongan yang tak bisa dihapus.

Di lapangan olahraga, beberapa siswa tampak mengumpulkan teman-teman mereka untuk foto bersama. Alya berdiri di pojok lapangan, matanya mengamati kerumunan itu dengan sedikit ragu. Dia mengenakan seragam putih abu-abu, dengan tanda tangan dan pesan-pesan dari teman-temannya yang ditulis dengan spidol warna-warni. Di tangan kirinya, ia menggenggam sebuah polaroid, kamera yang tadi pagi Dirga berikan padanya.

Di sampingnya, Dirga menatap suasana dengan tatapan kosong, kamera polaroid yang selalu dia bawa kini sudah siap digunakan. Dirga, yang biasanya pendiam dan cenderung tertutup, hari ini terlihat berbeda. Ada semacam kerisauan di wajahnya, seperti seseorang yang sedang berjuang melawan rasa takut akan perpisahan. Dia selalu merasa bahwa perpisahan itu adalah sesuatu yang rumit. Kadang datang begitu cepat, kadang terasa begitu berat.

“Gimana rasanya, ya? Hari terakhir di sini,” tanya Alya sambil tersenyum tipis.

Dirga mengangkat bahu. “Kayak mimpi. Terlalu cepat, kan?” jawabnya, matanya tidak lepas dari pemandangan lapangan yang dipenuhi teman-teman yang sedang sibuk berfoto. “Dulu, rasanya seperti kita masih punya waktu yang lama untuk lulus. Sekarang, lulus malah terasa dekat banget.”

Alya menatap kosong ke lapangan. “Iya, aku juga merasa begitu. Nggak nyangka akhirnya kita sampai di sini. Kadang, aku ngerasa pengen berhenti sejenak, supaya semuanya nggak berakhir gitu aja.”

Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan perasaan yang mulai menyeruak. Meskipun di luar tampak gembira, di dalam hati Alya ada sesuatu yang tidak bisa dia ungkapkan begitu saja. Ini bukan hanya tentang hari terakhir di SMA. Ini tentang berakhirnya sebuah babak besar dalam hidupnya.

“Pernah nggak sih kamu ngerasa, kayak kita bakal kehilangan semuanya setelah hari ini?” tanya Alya tanpa menoleh, suara di mulutnya hampir tidak terdengar.

Dirga tidak langsung menjawab. Dia melirik ke arah Alya, mencari tanda-tanda yang bisa menunjukkan bahwa temannya itu juga merasakannya. “Kehilangan… iya sih. Tapi aku rasa, kenangan kita nggak akan pernah hilang. Selalu ada di sini,” jawabnya sambil mengetuk dadanya. “Di hati.”

Alya tersenyum kecil, meski ada rasa sesak yang perlahan mengisi dadanya. “Kenangan… Sepertinya itu satu-satunya yang bisa kita bawa, kan?” jawabnya pelan, lalu menatap pemandangan sekolah yang sudah familiar. Bangunan yang selama ini menjadi rumah kedua mereka, tempat di mana mereka tumbuh dan belajar bersama.

Seiring berjalannya waktu, suasana semakin ramai. Beberapa siswa mulai bermain bola di lapangan, yang lain berkumpul di sekitar pohon besar. Semua terhanyut dalam kebahagiaan yang tercipta dari kenangan indah selama bertahun-tahun. Namun, Alya dan Dirga tetap berdiri di tempat yang sama, berbicara dalam keheningan, meskipun di sekitar mereka banyak yang bersorak.

“Lihat deh, foto itu,” kata Dirga sambil menunjuk ke arah sekelompok siswa yang sedang berpose dengan wajah ceria. “Mereka pasti akan bawa kenangan itu selamanya.”

Alya menatapnya sejenak, lalu tertawa pelan. “Iya, mereka pasti akan bawa itu ke mana-mana. Tapi aku juga merasa, kenangan kita lebih dari sekadar foto.”

Dirga mengangguk setuju. “Mungkin iya. Mungkin… kita lebih dari sekadar kenangan.”

Alya memandang Dirga dengan tatapan yang sulit dibaca. Tiba-tiba, matanya terasa berat. “Aku takut, Dirga. Aku takut kalau semuanya akan berubah. Kita akan jauh, dan aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.”

Dirga menatapnya, matanya menunjukkan empati. Namun, kata-katanya terasa seperti sesuatu yang sudah terlalu sering dia pikirkan. “Alya, perubahan itu wajar. Semua orang pasti mengalami itu. Tapi aku yakin, kita akan tetap ingat satu sama lain, di sini.” Dia menunjuk ke lapangan, “Di tempat ini.”

Senyum Alya perlahan kembali merekah, meskipun ada sedikit kesedihan yang terkubur dalam senyum itu. “Aku harap begitu. Aku harap kenangan kita bisa tetap hidup, bahkan setelah semua ini berakhir.”

Pada saat itu, bel berbunyi keras, menandakan waktu istirahat sudah habis. Semua siswa bergegas kembali ke kelas masing-masing, tapi Alya dan Dirga tetap di tempat mereka, berdiri tanpa kata-kata. Mereka tahu bahwa waktu mereka tinggal sedikit lagi.

“Aku nggak tahu sih, nanti setelah kita lulus, kita bakal ke mana,” kata Dirga, suara itu sedikit lebih serius. “Tapi yang jelas, aku nggak akan lupa semua yang kita alami.”

Alya hanya mengangguk. Dalam hati, dia tahu perpisahan ini akan sulit. Tetapi di sisi lain, dia juga merasa ada sesuatu yang akan tetap abadi, meski waktu berlalu.

Ketika bel terakhir berbunyi, menandakan akhir dari hari itu, mereka akhirnya melangkah menuju kelas. Setiap langkah terasa berat, tetapi mereka tahu, meskipun perjalanan mereka di SMA telah berakhir, itu bukan berarti semuanya akan hilang begitu saja. Kenangan mereka, persahabatan mereka, akan selalu hidup di hati masing-masing.

Dan hari itu, meskipun ada sedikit kesedihan, mereka masih mampu melangkah maju, menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian, dengan membawa kenangan yang tak akan pernah terlupakan.

 

Di Bawah Pohon Beringin

Setelah lonceng berbunyi menandakan berakhirnya jam sekolah terakhir mereka, Alya dan Dirga memutuskan untuk berjalan keluar dari kelas menuju halaman belakang, tempat mereka sering menghabiskan waktu berdua setelah pelajaran selesai. Di bawah pohon beringin besar yang sudah lama ada di sana, mereka berhenti sejenak, menikmati udara sore yang mulai sejuk. Tidak ada yang berbicara pada awalnya, hanya hening yang melingkupi mereka berdua. Mereka tahu, perasaan yang sama-sama mereka rasakan terlalu besar untuk diungkapkan begitu saja.

Alya duduk di bangku yang ada di bawah pohon itu, melirik sekeliling sekolah yang mulai terlihat lebih sepi. Siswa-siswa lainnya sudah bergegas pulang atau berkumpul dengan teman-temannya, meninggalkan kenangan mereka di ruang-ruang kelas. Hanya Alya dan Dirga yang masih bertahan di sana, berdua, seperti biasa, meski untuk kali ini terasa sedikit berbeda.

“Udah berakhir, ya,” kata Alya, suaranya pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri.

Dirga duduk di sampingnya, mengangguk pelan. “Iya. Rasanya nggak percaya gitu. Kayak baru kemarin kita pertama kali masuk sini, ya?”

Alya menatap ke depan, wajahnya tampak kosong. “Iya, dulu semua terasa seperti mimpi. Tapi sekarang… kita bener-bener lulus. Bener-bener harus pergi dari sini.”

“Mungkin nggak harus pergi, Alya. Mungkin kita nggak akan terlalu jauh,” jawab Dirga, suara itu terdengar lembut namun penuh harapan.

“Apa kamu yakin?” tanya Alya tanpa menoleh, suaranya penuh keraguan. “Kita akan ke universitas yang berbeda, Dirga. Kita pasti akan sibuk dengan kehidupan masing-masing. Kamu nggak khawatir kehilangan semuanya?”

Dirga menarik napas panjang. “Khawatir, iya. Tapi aku nggak bisa ngelawan waktu, kan? Aku cuma yakin satu hal… kita pasti bakal tetep saling ingat.”

Alya menatap langit, merasakan angin sore yang mengusap lembut wajahnya. “Iya, semoga saja. Aku… aku takut kalau kita nggak bisa bertahan, Dirga. Aku takut kita mulai lupa.”

Dirga menoleh ke arah Alya, matanya menyiratkan kepedulian yang mendalam. “Alya, kita mungkin nggak selalu barengan, tapi kenangan kita nggak bakal pernah hilang. Apa pun yang terjadi, kita pasti punya kenangan itu. Itu yang akan selalu menghubungkan kita.”

Alya diam sejenak. Kata-kata Dirga menenangkan hatinya yang selama ini bergejolak. Meski rasa takut akan perpisahan terus menghantui, dia tahu bahwa kenangan akan selalu ada di antara mereka. Ini bukan akhir dari semuanya. Mungkin hanya awal dari sebuah perjalanan baru yang berbeda, yang akan membuat mereka belajar dan berkembang lebih jauh lagi.

“Terima kasih, Dirga,” ujar Alya, akhirnya menatap teman dekatnya itu dengan senyum kecil. “Aku… aku nggak tahu harus ngomong apa lagi. Aku cuma merasa, kamu penting buat aku.”

Dirga tersenyum tipis, merasakan beban yang sama. “Aku juga, Alya. Selama ini, kita selalu ada buat satu sama lain. Itu nggak akan pernah berubah.”

Mereka terdiam lagi, menikmati keheningan yang nyaman, di bawah pohon beringin yang seolah menjadi saksi bisu perjalanan mereka. Mereka tidak perlu kata-kata lebih banyak lagi. Mereka tahu, dalam keheningan itu, segala hal yang belum sempat mereka ungkapkan sudah tersampaikan.

Setelah beberapa saat, Dirga meraih kamera polaroid yang masih tergantung di lehernya. “Alya, ayo foto satu lagi, sebelum kita benar-benar pergi.”

Alya tersenyum, kali ini lebih lebar. “Oke, tapi jangan buru-buru ya. Aku mau kita bisa punya kenangan terakhir yang sempurna.”

Dengan hati-hati, Dirga menempatkan kameranya di depan mereka berdua. Mereka berdua saling menatap, saling mengerti bahwa ini bukan hanya sekedar foto. Ini adalah simbol dari semua kenangan yang mereka buat selama bertahun-tahun.

Klik. Suara polaroid yang muncul menandai momen yang tak akan terlupakan. Alya memegang foto yang baru saja keluar dari kamera, memandangi gambar mereka berdua yang tersenyum bersama di bawah pohon beringin.

“Satu kenangan lagi,” kata Dirga, sambil menatap Alya.

Alya hanya mengangguk, tidak mampu berkata apa-apa. Hatinya dipenuhi dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada perasaan berat karena harus melepaskan, tapi juga ada perasaan harapan untuk masa depan yang akan datang. Meskipun jalan mereka nanti mungkin berbeda, mereka tahu persahabatan yang mereka miliki akan tetap hidup, selamanya.

Hari itu, langit semakin gelap, menandakan bahwa waktu semakin dekat. Saatnya berpisah dari SMA Utama, berpisah dari tempat yang sudah menjadi rumah bagi mereka. Namun, Alya dan Dirga tahu, meskipun mereka akan berpisah, mereka tetap akan membawa satu sama lain dalam kenangan. Ini bukanlah perpisahan terakhir, hanya sebuah perubahan menuju sesuatu yang lebih besar.

Dengan langkah pelan, mereka meninggalkan halaman sekolah, masing-masing membawa beban dan harapan yang sama. Tak ada yang bisa menghalangi mereka untuk terus melangkah, meskipun perpisahan itu terasa menyakitkan. Karena mereka tahu, di suatu saat nanti, kenangan ini akan kembali mengingatkan mereka pada masa-masa indah yang mereka lewati bersama.

 

Jejak yang Tertinggal

Minggu-minggu setelah kelulusan berlalu dengan cepat. Hari-hari yang dulunya penuh dengan tawa dan canda di sekolah kini berubah menjadi kesibukan yang berbeda. Alya dan Dirga sudah memasuki dunia baru mereka masing-masing, yang terasa begitu jauh, namun tetap saling terhubung melalui kenangan yang mereka bawa. Meskipun jarak dan waktu mulai memisahkan mereka, perasaan itu tidak pernah hilang begitu saja.

Pagi itu, Alya duduk sendirian di sebuah kafe kecil dekat kampus barunya. Secangkir kopi hangat di depannya tak terlalu menarik perhatiannya. Matanya menatap layar ponsel, menunggu pesan dari teman-temannya. Tapi yang datang hanya pesan otomatis dari grup chat kelas yang sudah tidak aktif lagi setelah lulus. Pesan-pesan itu terasa seperti kenangan yang semakin memudar.

Alya menarik napas panjang, mencoba menghilangkan rasa kosong yang mulai menyelubungi hatinya. Semua yang dia pikirkan dulu seakan menghilang begitu saja. Dulu, dia selalu yakin bahwa persahabatan mereka akan tetap kuat, bahkan setelah mereka lulus dan terpisah. Tapi kenyataannya, semuanya berubah begitu cepat.

Dia memutuskan untuk keluar dari kafe dan berjalan-jalan di sekitar kampus, berharap bisa menemukan sedikit ketenangan. Langkah kakinya membawa dia ke sebuah taman kecil yang terletak di sisi kampus. Pemandangan di sana cukup indah, dengan pepohonan rindang dan bangku-bangku yang sepi. Alya duduk di salah satu bangku itu, menatap langit biru yang terlihat begitu cerah. Namun, meski cuaca begitu indah, hatinya tetap terasa kosong.

Tiba-tiba, sebuah suara familiar terdengar dari belakang. “Alya?”

Alya menoleh, dan matanya langsung bertemu dengan mata Dirga yang juga sedang berjalan mendekat. Dia tampak sedikit kaget, namun wajahnya langsung berubah menjadi senyum hangat yang selalu membuat hati Alya merasa lebih tenang.

“Dirga!” Alya berdiri, merasa sedikit canggung. “Kamu di sini juga?”

Dirga mengangguk dan duduk di sebelah Alya. “Iya, kebetulan lewat. Nggak nyangka bisa ketemu di sini.”

Alya tersenyum tipis, merasa lega karena bisa bertemu Dirga setelah sekian lama. “Aku baru aja pikirin masa-masa di SMA. Rasanya, waktu itu lebih menyenangkan.”

Dirga menatapnya dengan tatapan yang agak serius. “Aku juga. Tapi, kita harus move on, kan? Kita nggak bisa terus hidup di masa lalu.”

Alya tahu apa yang dimaksud Dirga, tapi hatinya tetap terasa berat. “Iya, tapi kadang aku nggak bisa ngerasa kalau kita bener-bener hidup di masa sekarang. Semua perubahan ini terlalu cepat, Dirga.”

Dirga mengangguk pelan. “Perubahan itu memang selalu datang dengan cara yang tak terduga. Tapi itu bukan berarti kita harus melupakan semuanya. Kita tetap punya kenangan, dan itu nggak akan pernah hilang.”

Alya menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Tapi kenangan itu nggak cukup, Dirga. Kenangan nggak bisa bikin kita kembali bareng lagi seperti dulu.”

Dirga tersenyum tipis, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah taman. “Kenangan itu memang cuma kenangan, Alya. Tapi mereka itu punya kekuatan untuk mengingatkan kita bahwa kita pernah bahagia bersama. Kita pernah melalui masa-masa yang nggak bisa dilupakan.”

“Aku masih inget banget, semua yang kita lewatin bareng. Bahkan, setiap hal kecil yang kita lakukan. Itu yang nggak bisa aku lupakan,” Alya berkata, suaranya hampir seperti bisikan. “Aku takut, Dirga. Takut kalau aku mulai kehilangan semuanya.”

Dirga mendengus pelan, lalu menatap Alya dengan penuh pengertian. “Kenangan itu bukan sesuatu yang bisa hilang begitu aja. Kamu harus percaya, Alya. Kita nggak akan pernah benar-benar kehilangan satu sama lain. Meskipun jarak memisahkan, kita akan selalu punya ikatan.”

Alya menundukkan kepala, terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Dirga. “Aku cuma nggak mau semuanya berubah. Aku nggak mau kita jadi orang asing buat satu sama lain.”

Dirga tersenyum dan menyentuh bahu Alya dengan lembut. “Kita nggak akan jadi orang asing, Alya. Kita hanya… berkembang. Mungkin jarak membuat kita jarang bertemu, tapi itu bukan alasan untuk melupakan satu sama lain.”

Alya mengangguk perlahan, merasa sedikit lebih tenang. Meskipun dia tahu persahabatan mereka tidak akan pernah sama lagi, dia bisa merasakan bahwa Dirga benar. Mereka tidak akan pernah sepenuhnya melupakan satu sama lain, karena kenangan itu akan selalu hidup dalam diri mereka, seperti cahaya yang tidak akan pernah padam.

Saat mereka duduk diam, menikmati suasana di taman, beberapa mahasiswa lain berjalan melewati mereka dengan tawa dan cerita mereka sendiri. Terkadang, dunia terasa seperti berputar begitu cepat, sementara mereka hanya bisa mengikuti alurnya. Namun, di tengah-tengah semua perubahan itu, Alya merasa sedikit lebih baik. Dia tahu bahwa meskipun jalan mereka terpisah, Dirga akan selalu ada di dalam hidupnya—dan itu sudah cukup untuk membuatnya merasa lebih kuat.

“Alya, aku percaya kok, kita akan tetap baik-baik aja,” Dirga berkata lagi, dengan suara yang penuh keyakinan. “Masa depan itu bukan sesuatu yang harus kita takuti. Kita harus melihatnya dengan harapan.”

Alya mengangguk sekali lagi, tersenyum tulus. “Semoga saja, Dirga. Semoga saja.”

Dengan langkah perlahan, mereka berdua bangkit dari bangku taman itu dan melanjutkan perjalanan mereka masing-masing, membawa jejak-jejak yang tertinggal, baik yang manis maupun yang pahit. Namun, di antara semuanya, mereka tahu satu hal pasti: kenangan itu tidak akan pernah hilang, dan mereka akan terus melangkah, meskipun arah hidup mereka mulai berbeda.

 

Langkah Baru

Beberapa bulan berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di taman kampus. Alya dan Dirga kini telah menjalani kehidupan baru mereka, masing-masing mengejar impian yang mereka tetapkan, meski tanpa satu sama lain di dekat mereka. Alya semakin sibuk dengan kegiatan di universitasnya, sementara Dirga, yang berada di kota yang berbeda, juga mulai membangun jalannya sendiri. Namun, meski jarak memisahkan mereka, ada sesuatu yang tak pernah benar-benar hilang.

Pagi itu, Alya duduk di meja belajarnya, memandangi layar laptop yang menunjukkan tumpukan tugas kuliah yang belum selesai. Dia menarik napas panjang, merasa seperti baru saja tenggelam dalam kesibukan yang tak ada habisnya. Namun, di tengah kesibukan itu, pikiran tentang Dirga kembali muncul. Meskipun mereka tak sering berkomunikasi seperti dulu, ada kalanya perasaan itu muncul kembali, seperti bayangan yang selalu mengikuti, meski tak tampak jelas.

Dia membuka aplikasi pesan di ponselnya dan memutuskan untuk menulis pesan singkat. Sudah lama mereka tidak saling berbicara, tetapi kali ini, entah mengapa, perasaan itu memaksanya untuk melakukannya.

Dirga, gimana kabarmu? Lama nggak denger kabar dari kamu.

Pesan itu dikirim tanpa banyak berpikir. Dia menatap layar ponselnya, menunggu balasan dengan sedikit cemas. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan itu bisa datang kembali, meskipun mereka telah berusaha melangkah ke arah yang berbeda. Namun, kenyataannya, perasaan itu tak semudah yang mereka kira untuk dilupakan.

Tak lama setelah pesan terkirim, ponselnya bergetar. Sebuah balasan dari Dirga muncul di layar.

Alya, aku baik-baik aja. Kamu gimana?

Alya tersenyum kecil membaca balasan itu. Rasanya seperti kembali ke masa-masa yang lalu, saat mereka selalu berbagi cerita tentang segalanya. Meski hanya pesan singkat, itu terasa cukup untuk membuat hatinya sedikit lebih ringan.

Banyak tugas, ya kamu tahu lah, tugas kuliah. Haha. Tapi… aku juga kangen sama kamu. Kangen ngobrol bareng, seperti dulu.

Beberapa detik kemudian, Dirga membalas.

Aku juga. Ada yang kurang kalau nggak ada kamu di sini. Tapi, kita harus tetap jalan, kan?

Alya membaca pesan itu dengan perlahan. Terkadang, kata-kata sederhana bisa berarti lebih dari yang kita duga. Terkadang, perasaan yang sudah lama terpendam bisa muncul kembali, meskipun keduanya tahu bahwa hidup mereka kini berada di jalur yang berbeda.

Iya, kita harus tetap jalan. Tapi, aku nggak akan lupa masa-masa itu, Dirga. Semua kenangan itu… nggak bakal hilang begitu aja.

Aku juga. Kenangan itu tetap ada di sini, Alya. Dan aku yakin, kita bakal selalu bawa itu ke mana pun kita pergi.

Alya merasa ada kehangatan dalam kata-kata Dirga, seolah ada pengingat bahwa meskipun mereka berbeda, mereka tidak akan pernah benar-benar terpisah. Mungkin jalannya tidak akan pernah sama lagi, tetapi kenangan akan selalu menjadi jembatan yang menghubungkan mereka.

Setelah beberapa pesan balasan, mereka mengakhiri percakapan itu, tetapi Alya merasa sedikit lebih tenang. Ada sebuah perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan, sebuah harapan yang entah berasal dari mana, bahwa meskipun hidup membawa mereka ke tempat yang berbeda, mereka tetap akan ada satu sama lain, meskipun tidak selalu berdekatan.

Beberapa minggu kemudian, Alya kembali ke rumah orang tuanya untuk liburan akhir tahun. Saat berjalan ke taman rumah, sebuah suara familiar terdengar dari belakang.

“Alya?”

Dia menoleh dan mendapati Dirga berdiri di sana, memegang sebuah buku di tangannya. Wajahnya tampak cerah, dan senyum itu kembali mengingatkan Alya pada banyak hal.

“Dirga? Kamu di sini?” Alya sedikit terkejut, tetapi juga merasa senang melihatnya.

“Lagi pulang ke rumah. Kebetulan lewat sini, jadi mampir sebentar,” jawab Dirga dengan santai, meskipun matanya tak bisa menyembunyikan rasa senangnya bertemu lagi.

Alya tersenyum, menatap Dirga dengan mata yang penuh arti. “Kayaknya kita emang nggak bisa jauh-jauh, ya.”

Dirga tertawa ringan. “Mungkin nggak. Tapi, kamu tahu, kita bisa tetap jalan meskipun nggak selalu bareng.”

Alya mengangguk, merasakan kehangatan yang sama seperti dulu. “Aku tahu. Kita akan selalu punya kenangan itu, Dirga. Kenangan yang nggak bisa dihapus.”

Mereka duduk di bangku taman, berbicara tentang segala hal yang telah terjadi selama beberapa bulan terakhir. Tidak ada lagi kecanggungan, hanya kebersamaan yang kembali terasa nyaman, seperti seharusnya.

Waktu terus berjalan, membawa mereka ke kehidupan yang lebih dewasa. Namun, meskipun jalan hidup mereka terpisah, mereka tahu bahwa kenangan bersama akan selalu menyatukan mereka. Hari-hari SMA mereka mungkin sudah berakhir, tetapi sebuah perjalanan yang baru, yang penuh dengan tantangan dan harapan, baru saja dimulai.

Alya dan Dirga saling memandang, senyum mereka berbicara lebih banyak dari kata-kata. Tidak ada yang tahu apa yang akan datang di masa depan, tetapi satu hal yang pasti: mereka akan terus berjalan, dengan kenangan itu tetap terjaga dalam hati masing-masing.

 

Dan meskipun hidup ngebawa mereka ke arah yang berbeda, Alya dan Dirga tahu satu hal—kenangan itu nggak bakal pernah hilang. Semua tawa, semua cerita, semua momen yang mereka bagi selama SMA bakal selalu jadi bagian dari diri mereka, nggak peduli seberapa jauh jarak memisahkan.

Begitulah, kadang kita nggak perlu terus berada di sisi orang yang kita sayang buat nginget bahwa mereka selalu ada di hati, karena kenangan itu cukup untuk bikin semuanya terasa dekat lagi.

Leave a Reply