Kenangan Seru Falisha: Kembali ke Masa SMP yang Penuh Warna

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Masa SMP memang penuh warna, ya! Buat kamu yang suka nostalgia, cerpen ini bakal membawa kamu ke masa-masa seru bareng sahabat.

Yuk, simak cerita Falisha yang nggak cuma seru tapi juga menginspirasi, tentang persahabatan, perjuangan, dan kenangan indah masa SMP. Artikel ini cocok banget buat kamu yang rindu momen tak terlupakan di bangku sekolah. Jangan sampai ketinggalan!

Kembali ke Masa SMP yang Penuh Warna

Sekilas Senja, Sekilas Kenangan

Senja melukiskan semburat oranye di langit, mewarnai taman sekolah SMA Harapan dengan kehangatan yang menenangkan. Falisha duduk di bangku taman, menikmati suasana sore sambil memainkan gelang di pergelangan tangannya. Gelang itu tampak biasa hanya tali rajut berwarna biru dan putih—tapi baginya, itu adalah jendela menuju masa lalu.

“Fal, kamu di sini aja? Yuk, ke kantin! Anak-anak udah nunggu!” sapa Dina, sahabat dekatnya.

Falisha tersenyum kecil, tapi ia menggeleng. “Nanti aja, Din. Aku lagi pingin sendiri dulu.”

Dina mengangkat bahu, paham betul jika Falisha sedang ingin menikmati waktunya. Setelah Dina berlalu, Falisha kembali tenggelam dalam pikirannya. Gelang di tangannya adalah kenangan dari masa SMP-nya masa yang penuh tawa, kekonyolan, dan, tentu saja, drama kecil-kecilan.

Ia memejamkan mata sejenak. Sosok teman-teman SMP-nya mulai bermunculan di kepalanya. Ada Alif, si ketua kelas yang sering panik kalau tugas belum selesai. Lalu Rani, sahabat setianya yang selalu punya ide kreatif tapi aneh. Dan tentu saja, Yoga, si tukang usil yang hobinya menjahili orang.

Senyum kecil muncul di bibir Falisha. Ingatannya melayang pada satu momen tak terlupakan di SMP hari di mana mereka harus membuat proyek kelompok untuk acara seni sekolah.

Saat itu, kelas 8A dikerahkan untuk menampilkan sebuah drama dalam pentas seni sekolah. Guru mereka, Bu Indah, memberi kebebasan penuh untuk memilih tema. Tapi, alih-alih serius mendiskusikan ide, mereka justru asyik ribut soal peran.

“Aku nggak mau jadi pohon!” seru Rani, wajahnya masam. “Masa aku cuma berdiri doang sepanjang drama?”

Yoga terkekeh. “Justru itu seru, Ran! Kamu bakal jadi pohon paling cantik di hutan!”

Rani melempar pensil ke arah Yoga, tapi meleset. Kelas pun gaduh, penuh tawa. Di tengah kekacauan itu, Falisha mengambil inisiatif.

“Dengerin dulu, dong! Kalau begini terus, kapan kita mulainya?” serunya dengan suara lantang. Semua mata tertuju padanya.

Falisha berdiri di depan kelas, mencoba menyusun strategi. “Kita pilih tema yang gampang aja, misalnya cerita rakyat. Aku usul ‘Timun Mas.’ Gimana?”

Mereka akhirnya sepakat. Tapi itu baru awal dari perjuangan. Latihan drama penuh tantangan, mulai dari skrip yang hilang, kostum seadanya, hingga Yoga yang selalu lupa dialognya.

Di bangku taman, Falisha tertawa kecil mengingat semua itu. Betapa berantakannya latihan mereka, tapi justru di situlah letak keseruannya. Drama itu bukan hanya tentang tampil di atas panggung, tapi juga tentang bagaimana mereka belajar bekerja sama, saling memahami, dan tentu saja, bersenang-senang.

“Fal?”

Suara itu membuyarkan lamunannya. Dina kembali, kali ini membawa dua bungkus teh manis dingin. “Kok senyum-senyum sendiri? Cerita dong, inget siapa?” godanya.

Falisha menerima teh manis itu sambil tertawa. “Cuma inget masa SMP. Dulu kita tuh sering bikin heboh, Din. Kayak dunia ini cuma punya kita.”

Dina tertawa. “Ya, namanya juga masa SMP. Kita nggak pernah pusing sama yang berat-berat. Eh, kayaknya seru tuh kalau kita ngumpul lagi sama temen-temen SMP. Kamu kan yang paling akrab sama mereka.”

Usulan Dina membuat mata Falisha berbinar. Ide itu terdengar sangat menarik. “Reuni kecil-kecilan, ya? Hmm… kayaknya aku harus mulai cari kontak mereka lagi.”

Sore itu, Falisha merasa senja memberikan harapan baru. Mungkin reuni kecil ini bisa menjadi penghubung antara masa lalu yang indah dan masa kini yang penuh warna. Ia bertekad untuk mewujudkannya.

 

Pencarian Jejak Masa Lalu

Malam itu, Falisha duduk di meja belajarnya. Di hadapannya terbentang sebuah buku catatan lama yang sampulnya sudah mulai pudar. Buku itu adalah saksi bisu masa SMP-nya, penuh coretan nama, pesan konyol, dan kenangan yang tak ternilai. Ia membuka lembar demi lembar, mencari nama-nama teman yang pernah menghiasi harinya dulu.

Satu nama mencuri perhatiannya: Rani Putri. Di samping nama itu, ada coretan berbentuk hati yang dulu dibuat oleh Rani sendiri. Falisha tertawa kecil mengingat betapa Rani sering menggambar hal-hal lucu di buku itu saat mereka bosan di kelas.

“Aku harus mulai dari dia,” gumamnya.

Tanpa pikir panjang, Falisha membuka ponselnya dan mencari nama Rani di media sosial. Butuh waktu cukup lama sebelum akhirnya ia menemukan akun dengan nama serupa. Akun itu dipenuhi foto-foto estetik, ciri khas Rani yang selalu suka seni dan kreativitas.

Dengan jari yang sedikit ragu, Falisha mengetik pesan:
“Hai, Ran. Masih ingat aku? Falisha, teman SMP-mu dulu. Kalau sempat, balas ya. Aku punya ide seru untuk ngumpul bareng.”

Setelah mengirim pesan, Falisha merasa deg-degan. Apakah Rani masih mengingatnya? Ataukah hubungan mereka sudah terlalu lama terputus? Tapi ia mencoba menenangkan dirinya.

Keesokan harinya, Falisha membuka ponselnya sambil sarapan. Notifikasi pesan muncul. Dari Rani.

“Falisha?! Ya ampun, tentu aku ingat! Gimana kabarmu? Aku senang banget kamu hubungi aku!”

Balasan itu membuat Falisha tersenyum lebar. Obrolan mereka pun berlanjut. Rani tidak hanya ingat, tapi juga sangat antusias ketika Falisha mengusulkan ide reuni kecil-kecilan.

“Aku bantu cari kontak teman-teman lain, ya!” tulis Rani.

Malam itu, mereka membuat daftar nama bersama. Ada Alif, ketua kelas mereka yang kini katanya sudah bekerja di luar kota. Lalu Yoga, si tukang usil, yang menurut kabar terakhir menjadi komika di daerahnya. Ada juga Maya, si kutu buku yang selalu membawa novel ke mana-mana.

Beberapa hari berikutnya, perjuangan Falisha dan Rani dimulai. Mereka berbagi tugas untuk menghubungi satu per satu teman lama. Prosesnya tidak mudah. Ada yang sudah mengganti nomor ponsel, ada yang jarang aktif di media sosial, bahkan ada yang tak bisa ditemukan sama sekali.

“Aduh, Ran. Kalau kayak gini, aku takut nggak bakal lengkap nih,” keluh Falisha suatu malam.

Rani mencoba menenangkan. “Tenang, Fal. Yang penting kita udah usaha. Lagi pula, aku yakin yang bisa datang bakal senang banget ketemu lagi.”

Falisha mengangguk. Meski rasa khawatir menghantui, ia tak mau menyerah.

Hingga akhirnya, tiba hari yang ditunggu-tunggu. Reuni kecil itu diadakan di sebuah kafe sederhana yang punya suasana hangat. Falisha dan Rani tiba lebih awal untuk memastikan semuanya siap.

Satu per satu teman lama mulai berdatangan. Ada Alif yang membawa oleh-oleh dari luar kota, Yoga yang langsung menghidupkan suasana dengan candaan khasnya, dan Maya yang masih setia membawa buku.

Saat melihat mereka berkumpul lagi, Falisha merasa hatinya hangat. Perjuangan mereka tidak sia-sia. Masa lalu yang dulu terasa jauh kini seakan hadir kembali di hadapannya.

“Hei, ini mirip kayak dulu, ya? Waktu kita kerja bareng buat drama Timun Mas,” celetuk Yoga.

Mereka semua tertawa, mengingat betapa kacaunya latihan mereka waktu itu. Tapi justru dari kekacauan itulah, persahabatan mereka semakin erat.

Malam itu, setelah semua orang pulang, Falisha duduk sendiri di kafe yang mulai sepi. Ia memandang gelang biru putih di tangannya, yang kini terasa lebih berarti. Masa lalu memang tidak bisa kembali, tapi ia tahu, kenangan itu akan selalu menjadi bagian dari dirinya.

“Terima kasih, Ran,” ucapnya pelan saat Rani datang menghampirinya.

Rani tersenyum. “Nggak ada yang perlu terima kasih, Fal. Ini semua karena kamu mau menghidupkan lagi persahabatan kita.”

Falisha tersenyum, merasa lega. Perjuangannya mencari jejak masa lalu kini berbuah manis. Ia tak sabar untuk melihat ke mana kenangan ini akan membawanya selanjutnya.

 

Menghidupkan Kembali Kenangan yang Terlupa

Hari reuni itu akhirnya tiba. Falisha bangun lebih awal dengan semangat yang tidak biasa. Ia mematut diri di depan cermin, mengenakan dress sederhana berwarna biru langit—warna favoritnya sejak SMP. Ada sedikit rasa gugup yang bercampur antusias. Bagaimana kalau teman-teman sudah banyak berubah? Bagaimana kalau mereka tidak ingat kenangan yang dulu?

“Falisha, kamu bisa,” gumamnya pada bayangan di cermin.

Di perjalanan menuju kafe, Falisha memutar playlist lagu-lagu lama yang sering mereka nyanyikan saat SMP. Lagu-lagu itu seperti mesin waktu, membawa pikirannya kembali ke hari-hari penuh tawa dan kegilaan masa SMP.

Ketika tiba di kafe, ia mendapati Rani sudah menunggu di depan pintu. “Fal! Kamu cantik banget hari ini,” sapa Rani dengan senyum lebar.

“Ah, biasa aja, Ran. Kamu juga, kok, kelihatan fresh,” jawab Falisha sambil memeluk Rani erat.

Mereka berdua masuk ke dalam, memastikan dekorasi kecil yang mereka siapkan sudah tertata rapi. Tidak ada pesta besar, hanya beberapa balon warna-warni dan meja panjang dengan kursi-kursi kosong yang siap menyambut teman-teman lama.

Satu per satu teman-teman mereka mulai berdatangan. Alif adalah yang pertama. Mantan ketua kelas itu datang dengan senyum lebar dan membawa sekotak brownies dari kota tempatnya tinggal sekarang.

“Wah, ketua kelas kita udah sukses, ya,” goda Rani.

Alif tertawa kecil. “Amin. Tapi kalau nggak ada kalian waktu itu, aku nggak bakal bisa jadi ketua kelas yang bener.”

Tak lama kemudian, Yoga datang. Ia langsung membawa suasana ceria dengan leluconnya. “Jadi, siapa yang dulu paling sering kena hukuman bareng aku? Angkat tangan!” serunya sambil tertawa.

Maya datang belakangan, dengan buku tebal di tangannya seperti biasa. “Aku nggak nyangka kalian masih ingat aku,” katanya sambil tersenyum malu.

“Mana mungkin lupa, May. Kamu kan si kutu buku kebanggaan kita,” jawab Falisha.

Melihat teman-teman berkumpul kembali membuat Falisha merasa hangat. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, ada ikatan tak terlihat yang tetap menyatukan mereka.

Acara dimulai dengan obrolan santai. Mereka saling berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing, mengenang masa-masa SMP, dan tertawa atas kenangan yang dulu terasa biasa saja, tapi kini begitu berarti.

“Masih ingat drama Timun Mas waktu itu?” tanya Yoga tiba-tiba.

Semua langsung tertawa. “Kamu jadi raksasanya, Yog! Dan kamu lupa dialog pas tampil,” kata Alif sambil menahan tawa.

“Dan Falisha yang menyelamatkan kita semua dengan improvisasinya,” tambah Rani.

Falisha ikut tertawa. “Ah, itu karena kalian bikin aku terpaksa berpikir cepat. Tapi seru banget, kan?”

Obrolan itu membawa mereka pada ide untuk mencoba melakukan sesuatu bersama seperti dulu. “Gimana kalau kita bikin project kecil? Nggak perlu besar-besaran, tapi sesuatu yang bikin kita ngerasa kayak balik ke SMP,” usul Falisha.

Semua setuju. Setelah berdiskusi, mereka memutuskan untuk membuat video pendek tentang kenangan SMP mereka. Yoga yang kini jadi komika mengusulkan konsep cerita lucu, sementara Maya menawarkan ide cerita dari novel yang pernah ia baca. Alif dengan pengalamannya di manajemen langsung mengambil alih sebagai koordinator.

Hari-hari berikutnya, mereka berkumpul untuk syuting. Lokasi pertama adalah sekolah SMP mereka dulu. Falisha merasa nostalgia membanjiri hatinya saat melangkah melewati gerbang sekolah. Kelas yang dulu mereka gunakan, lapangan tempat mereka bermain, semuanya seakan menyimpan cerita mereka.

“Kita udah banyak berubah, ya,” kata Maya sambil memandang bangunan sekolah.

“Tapi hati kita masih sama,” jawab Falisha sambil tersenyum.

Syuting berjalan penuh perjuangan. Cuaca yang berubah-ubah dan jadwal yang padat membuat mereka harus berkompromi. Tapi setiap kali ada kesulitan, tawa dan semangat mereka mengalahkan semuanya.

Yoga mengingatkan, “Hei, kita dulu pernah bikin drama tanpa properti yang cukup. Ini sih masih mending!”

Semua tertawa. Kenangan masa SMP memberikan mereka kekuatan untuk terus melanjutkan.

Saat video selesai, mereka mengadakan pemutaran perdana di kafe tempat reuni. Semua teman-teman lama yang tidak sempat hadir sebelumnya juga diundang.

Ketika layar mulai menampilkan video, suasana langsung dipenuhi tawa dan haru. Video itu bukan hanya cerita, tapi juga cerminan perjalanan mereka sebagai sahabat.

Falisha memandang sekeliling. Melihat wajah-wajah yang dulu ia kenal begitu dekat membuatnya menyadari betapa berharganya kenangan dan persahabatan ini.

“Terima kasih, semuanya,” katanya pelan, air mata haru mengalir di pipinya.

Hari itu, Falisha merasa perjuangannya untuk menghidupkan kembali masa lalu telah membawa kebahagiaan yang tidak tergantikan. Mereka mungkin telah berubah, tapi kenangan akan masa SMP mereka akan selalu abadi di hati.

 

Sahabat, Masa Kini, dan Masa Depan

Setelah pemutaran video, suasana di kafe berubah menjadi haru. Semua yang hadir tampak tersenyum sambil menyeka air mata kecil yang menetes di sudut mata mereka. Video yang dibuat oleh Falisha dan teman-temannya telah berhasil menghidupkan kembali kenangan indah yang sempat terlupakan.

“Fal, kamu keren banget,” bisik Rani sambil memeluk Falisha erat.

Falisha tersenyum lembut. “Aku nggak sendiri, Ran. Kita semua yang bikin ini terjadi.”

Suasana penuh kehangatan itu membuat Falisha merenung. Meski mereka telah menempuh jalan hidup yang berbeda, persahabatan yang mereka bangun di masa SMP tetap menjadi bagian yang tak tergantikan dalam hidup mereka.

Beberapa hari setelah reuni, Falisha merasa hatinya masih dipenuhi rasa hangat. Tapi ia juga mulai merasa ada hal lain yang belum terselesaikan. Di suatu sore yang tenang, ia memutuskan untuk menelepon Yoga.

“Yog, kamu sibuk nggak?” tanya Falisha.

“Nggak kok, Fal. Ada apa?” jawab Yoga.

“Aku pengen ngobrol. Tentang masa depan kita, tentang apa yang bisa kita lakukan bersama,” kata Falisha dengan nada serius.

Yoga setuju untuk bertemu, dan mereka memilih sebuah taman kecil di dekat rumah mereka sebagai tempat diskusi.

“Jadi, apa rencanamu, Fal?” tanya Yoga sambil menyeruput kopi yang ia bawa.

Falisha menatap lurus ke depan. “Aku pengen kita nggak cuma berhenti di video itu. Aku pengen kita bikin sesuatu yang lebih besar, yang bisa membawa dampak positif untuk orang lain. Mungkin kita bisa buat acara untuk anak-anak SMP di sekolah kita dulu, biar mereka juga punya kenangan indah kayak kita.”

Yoga terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan senyum lebar. “Aku suka ide itu. Tapi kita butuh semua teman untuk mewujudkannya.”

Falisha mulai menghubungi teman-temannya satu per satu. Sebagian besar langsung setuju, meskipun beberapa harus meyakinkan diri karena kesibukan masing-masing. Maya, yang selalu teliti, menawarkan diri untuk membuat konsep acara. Alif, dengan pengalamannya di organisasi, mulai mengurus perizinan dan logistik.

“Ini bakal jadi lebih besar dari yang kita bayangkan,” kata Alif dengan nada semangat di salah satu pertemuan mereka.

Hari-hari persiapan diwarnai dengan tawa, kerja keras, dan kadang-kadang, perdebatan kecil. Namun, semua itu hanya semakin mempererat ikatan mereka.

Hari acara akhirnya tiba. Sekolah SMP mereka tampak ramai dengan siswa-siswa yang antusias mengikuti kegiatan yang mereka adakan. Ada berbagai lomba, mulai dari seni, olahraga, hingga drama kecil.

Falisha memimpin salah satu sesi storytelling. Ia bercerita tentang masa-masa SMP mereka, perjuangan mereka melewati tantangan kecil, dan bagaimana kenangan itu membentuk diri mereka yang sekarang.

“Jadi, kalian semua yang di sini, jangan pernah anggap enteng masa SMP kalian. Setiap tawa, setiap air mata, akan jadi bagian dari cerita hidup kalian yang tak tergantikan,” kata Falisha menutup ceritanya.

Sesi itu diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari para siswa. Falisha melihat wajah-wajah ceria itu, merasa lega bahwa pesan mereka telah tersampaikan.

Saat acara selesai, mereka duduk bersama di aula yang kosong. Falisha menatap teman-temannya satu per satu.

“Kita berhasil,” katanya sambil tersenyum.

“Iya, Fal. Dan ini semua berkat kamu yang nggak pernah menyerah,” jawab Rani sambil menepuk bahunya.

Falisha menggeleng pelan. “Nggak, Ran. Ini berkat kita semua. Karena kita percaya pada kenangan kita, dan karena kita mau membaginya dengan orang lain.”

Malam itu, mereka berpisah dengan hati yang penuh rasa syukur. Falisha menyadari bahwa meski masa lalu adalah harta berharga, masa kini dan masa depan juga perlu dirangkai dengan perjuangan dan kebersamaan.

Persahabatan mereka, yang dulu hanya sekadar tawa dan kenakalan masa SMP, kini telah tumbuh menjadi sesuatu yang jauh lebih bermakna. Kenangan indah itu tidak hanya mereka simpan untuk diri sendiri, tetapi juga menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.

Dan bagi Falisha, itu adalah kemenangan terbesar.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerita Falisha ini mengingatkan kita bahwa masa SMP bukan hanya soal belajar di kelas, tapi juga tentang menjalin kenangan dengan sahabat, belajar menghadapi tantangan, dan menikmati momen-momen sederhana yang begitu berarti. Jadi, buat kamu yang rindu suasana sekolah atau lagi mencari inspirasi, semoga kisah ini membawa senyuman dan kehangatan di hati. Yuk, bagikan cerita ini ke teman-temanmu biar mereka juga bisa bernostalgia bareng!

Leave a Reply