Daftar Isi
Nikmati kisah penuh emosi dalam Kenangan Pasir dan Ombak: Petualangan Emosional di Pantai, sebuah cerpen yang mengajak Anda menyelami perjalanan empat sahabat di Pantai Selumbra. Dengan latar pantai tersembunyi yang memukau, cerita ini menghadirkan perpaduan sempurna antara petualangan, luka masa lalu, dan harapan baru yang akan menggugah jiwa Anda. Siapkah Anda terhanyut dalam bisikan ombak dan kenangan yang tak terlupakan?
Kenangan Pasir dan Ombak
Panggilan Laut yang Tak Terduga
Langit pagi di kota kecil Tegalwangi masih diselimuti kabut tipis, menyisakan aroma tanah basah dari hujan semalam. Aku, Svarna Lintang, duduk di beranda rumah tua peninggalan kakek, menatap secangkir teh melati yang uapnya menari pelan di udara. Di usia 27 tahun, hidupku terasa seperti perahu kecil yang terombang-ambing di tengah laut tanpa arah. Pekerjaan sebagai penulis lepas di majalah lokal memberiku kebebasan, tapi juga ketidakpastian yang kadang membuat dadaku sesak. Aku merindukan sesuatu—entah apa—yang bisa mengisi kekosongan di hatiku.
Pagi itu, sebuah pesan singkat dari Kirana Vespera, sahabatku sejak masa sekolah, mengubah segalanya. “Svarna, ayo ke pantai! Pantai Selumbra, tiga hari dari sekarang. Aku butuh temen, dan aku tahu kamu juga butuh ini.” Kirana selalu punya cara untuk membuat ide-ide impulsifnya terdengar seperti petualangan hidup. Pantai Selumbra, sebuah pantai tersembunyi di ujung selatan pulau, bukan tempat yang sering dikunjungi. Namanya saja terdengar seperti rahasia yang disimpan oleh ombak. Aku ragu, tapi ada sesuatu dalam nada Kirana—campuran antusiasme dan sedikit keputusasaan—yang membuatku tak bisa menolak.
“Dua malam saja, ya?” tanyaku lewat telepon, suaraku setengah ragu.
“Tiga malam, Svarna! Kita bikin kenangan. Aku jem, kamu jem, kita semua jem!” Kirana tertawa, tapi aku tahu ada beban di balik tawanya. Dia baru saja putus dari tunangannya, dan meski dia tak pernah cerita detail, aku bisa merasakan lukanya.
Hari itu, aku mulai mengemas tas. Baju-baju sederhana, kamera polaroid tua peninggalan ibu, dan buku catatan kecil yang selalu kubawa untuk menuliskan apa saja yang terlintas di kepala. Aku juga membawa gelang kulit dengan liontin kecil berbentuk kerang, peninggalan terakhir dari ibuku yang meninggal tiga tahun lalu. Gelang itu selalu mengingatkanku pada liburan terakhir kami ke pantai saat aku masih remaja—kenangan yang kini terasa seperti mimpi yang kabur.
Perjalanan menuju Pantai Selumbra dimulai dengan penuh semangat. Kirana menjemku dengan mobil tua kesayangannya, sebuah jeep hijau zaitun yang dia panggil “Bujel”. Di kursi belakang, ada dua teman lain yang ikut: Zevran Arga, seorang musisi jalanan dengan rambut ikal acak-acakan dan senyum yang selalu membuat orang nyaman, serta Liora Samudra, seorang ilustrator freelance yang pendiam tapi punya tatapan mata yang seolah bisa membaca jiwa seseorang. Kami berempat, seperti sekumpulan jiwa-jiwa yang tersesat, mencari sesuatu di antara pasir dan ombak.
Perjalanan selama enam jam dari Tegalwangi ke Selumbra penuh dengan tawa dan lagu-lagu akustik yang dinyanyikan Zevran dengan gitar mininya. Kirana bercerita tentang rencananya membuka kafe kecil di kampung halamannya, meski aku tahu itu cuma cara dia mengalihkan pikiran dari patah hati. Liora, seperti biasa, lebih banyak mendengarkan, sesekali mencoret-coret sketsa di buku gambarnya. Aku sendiri menatap jalan yang membentang, hutan-hutan kecil dan sawah yang kami lewati, sambil bertanya-tanya apa yang menantiku di pantai itu.
Ketika kami akhirnya tiba di Pantai Selumbra, matahari sudah condong ke barat, mewarnai langit dengan semburat oranye dan ungu. Pantai itu sungguh berbeda dari bayanganku. Bukan seperti pantai-pantai ramai dengan payung warna-warni atau penjaja makanan. Selumbra adalah hamparan pasir putih yang luas, dikelilingi tebing-tebing rendah yang ditumbuhi semak liar. Ombaknya bergulung dengan ritme yang menenangkan, namun ada sesuatu di udara—aroma garam bercampur dengan sesuatu yang tak bisa kudeskripsikan, seperti bisikan kenangan lama.
Kami mendirikan tenda di dekat sebatang pohon kelapa yang condong ke arah laut, seolah ingin menyapa ombak. Zevran langsung sibuk menyalakan api unggun, sementara Liora mengeluarkan peralatan masak sederhana untuk membuat makan malam. Kirana, dengan topi jerami lebar yang sedikit konyol, berlari ke tepi air, menendang-nendang ombak kecil sambil tertawa. Aku berdiri di tepi pantai, membiarkan air dingin menyapu kakiku. Gelang kerang di pergelangan tanganku terasa hangat, seolah ibuku ada di sini, berbisik melalui angin laut.
Malam itu, kami duduk mengelilingi api unggun, makan ikan bakar dan jagung rebus yang disiapkan Liora. Zevran memainkan gitarnya, menyanyikan lagu-lagu lama yang entah kenapa membuat hatiku perih. Kirana bercerita tentang masa kecilnya, tentang bagaimana dia pernah tersesat di pantai saat berlibur bersama keluarganya. “Aku pikir aku bakal diculik ombak,” candanya, tapi matanya berkaca-kaca. Aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu yang lebih dalam, mungkin tentang tunangannya, atau tentang dirinya sendiri yang sedang mencari jalan pulang.
Aku sendiri tak banyak bicara. Aku hanya mendengarkan, menatap api yang menari-nari, dan merasakan sesuatu bergerak di dalam dadaku. Pantai ini, dengan kesunyiannya yang aneh, seolah memanggil sesuatu dari dalam diriku—kenangan, luka, atau mungkin harapan yang sudah lama kubury. Saat aku memandang ke arah laut yang gelap, di bawah langit penuh bintang, aku merasa seperti berdiri di ujung dunia. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa hidup.
Tapi malam itu, tanpa aku sadari, adalah awal dari sesuatu yang akan mengubah caraku memandang hidup. Pantai Selumbra bukan hanya tempat untuk berlibur—ia adalah cermin yang akan memaksaku menghadapi diriku sendiri, luka-lukaku, dan orang-orang di sekitarku yang membawa cerita mereka masing-masing.
Bisikan di Balik Ombak
Pagi di Pantai Selumbra menyapa kami dengan lembut, seperti pelukan dari alam. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah tenda, membangunkanku dari mimpi yang samar tentang ibuku—suaranya yang lembut, tangannya yang menggenggamku saat kami berjalan di tepi pantai bertahun-tahun lalu. Aku membuka mata, merasakan aroma garam laut bercampur dengan embun pagi. Di luar, suara ombak yang bergulung pelan bagaikan lagu pengantar yang tak pernah berhenti. Aku menggosok mata, mencoba mengusir sisa-sisa mimpi itu, tapi perasaan rindu itu tetap menempel seperti pasir di kulitku.
Saat aku keluar dari tenda, aku melihat Liora sudah duduk di atas tikar kecil, sketsa pensil di tangannya bergerak cepat di atas kertas. Dia menggambar tebing-tebing yang mengelilingi pantai, dengan detail yang begitu hidup hingga aku hampir bisa mendengar desau angin di antara semak-semaknya. “Pagi, Svarna,” sapanya tanpa menoleh, suaranya lembut tapi penuh perhatian. Aku hanya mengangguk, masih terlalu terjebak dalam pikiranku sendiri untuk menjawab.
Kirana dan Zevran masih terlelap di tenda masing-masing, jadi aku memutuskan untuk berjalan sendiri ke tepi pantai. Pasir masih dingin di bawah kakiku, dan air laut yang menyapu pergelangan kakiku terasa seperti sapuan kuas yang lembut. Aku memandang ke cakrawala, tempat langit dan laut bertemu dalam garis tipis yang seolah menyimpan rahasia. Gelang kerang di pergelangan tanganku terasa lebih berat pagi ini, seolah membawa beban kenangan yang tak pernah kuceritakan pada siapa pun.
Aku duduk di atas batu besar yang licin oleh lumut laut, menatap ombak yang datang dan pergi. Tiba-tiba, sebuah ingatan melintas—liburan terakhir bersama ibuku di pantai kecil dekat rumah, saat aku berusia empat belas tahun. Dia mengajakku mencari kerang, tertawa saat aku tersandung ombak, dan berkata, “Laut selalu punya cara untuk bicara, Svarna. Dengarkan, dan kamu akan menemukan jawaban.” Aku tak pernah benar-benar mengerti apa maksudnya saat itu, tapi sekarang, di Pantai Selumbra, aku merasa laut benar-benar berbisik. Hanya saja, aku belum tahu apa yang ingin dikatakannya.
Kegaduhan dari arah tenda mengalihkan perhatianku. Kirana, dengan rambut acak-acakan dan kaus longgar yang sedikit basah karena embun, berlari ke arahku sambil berteriak, “Svarna! Ayo, kita cari sarapan di desa terdekat! Zevran bilang ada warung kecil yang jual nasi pecel enak banget!” Tawanya penuh semangat, tapi aku bisa melihat bayangan di matanya—sesuatu yang dia coba sembunyikan di balik keceriaannya. Aku tersenyum kecil dan mengangguk, berjalan kembali ke perkemahan.
Perjalanan ke desa kecil bernama Karangwuni memakan waktu sekitar dua puluh menit dengan Bujel, jeep tua Kirana yang berderit setiap kali melewati jalan berbatu. Desa itu sederhana, dengan rumah-rumah berdinding kayu dan atap genteng yang sudah memudar warnanya. Warung yang dimaksud Zevran ternyata adalah sebuah gubuk kecil dengan papan nama sederhana bertuliskan “Warung Bu Sari”. Aroma nasi hangat dan bumbu pecel langsung menyambut kami begitu kami masuk. Bu Sari, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat, menyapa kami seperti kami adalah anak-anaknya sendiri.
Kami duduk di bangku kayu panjang, memesan nasi pecel dan teh manis panas. Zevran, dengan caranya yang selalu santai, mulai bercanda dengan Bu Sari, membuat wanita itu tertawa hingga matanya berkerut. “Anak-anak kota jarang mampir ke sini,” kata Bu Sari sambil menuang teh. “Pantai Selumbra bukan tempat yang ramai, tapi orang bilang, laut di sana punya cerita.” Aku menoleh mendengar itu, merasa jantungan sedikit lebih cepat. “Cerita apa, Bu?” tanyaku, tak bisa menahan rasa ingin tahu.
Bu Sari tersenyum misterius, seolah menyimpan rahasia yang terlalu berat untuk diucapkan. “Orang-orang tua di desa bilang, laut Selumbra bisa membawa kenangan. Kadang, orang yang datang ke sana pulang dengan hati yang lebih ringan… atau lebih berat.” Dia tertawa kecil, lalu kembali ke dapur, meninggalkan kami dengan pertanyaan yang menggantung.
Sepanjang sarapan, pikiranku melayang ke ucapan Bu Sari. Aku memperhatikan teman-temanku: Kirana, yang berusaha keras tampak ceria tapi sesekali menatap piringnya terlalu lama; Zevran, yang selalu punya senyum di wajahnya tapi matanya menyimpan kesedihan yang tak pernah dia ceritakan; dan Liora, yang diam-diam mencatat sesuatu di buku sketsanya, seolah mencoba menerjemahkan dunia ke dalam garis-garis pensil. Kami semua membawa luka masing-masing, dan entah kenapa, aku merasa Pantai Selumbra tahu itu.
Kembali ke pantai, kami menghabiskan siang dengan berenang dan bermain di air. Kirana, seperti anak kecil, berlari mengejar ombak, sementara Zevran mencoba mengajari Liora cara bermain ukulele dengan lagu-lagu sederhana. Aku mengambil kamera polaroidku dan mulai memotret—ombak yang pecah di batu karang, senyum Kirana yang setengah dipaksakan, tangan Liora yang penuh tinta saat menggambar, dan Zevran yang menatap laut dengan ekspresi yang sulit kuterjemahkan. Setiap jepretan terasa seperti menangkap fragmen waktu, sesuatu yang mungkin tak akan pernah kembali.
Sore itu, saat matahari mulai tenggelam, kami memutuskan untuk menjelajahi sisi lain pantai, di mana tebing-tebing kecil membentuk gua-gua alami. Liora yang memimpin, dengan langkah hati-hati tapi penuh rasa ingin tahu. Di dalam salah satu gua, kami menemukan dinding yang penuh dengan ukiran—nama-nama, tanggal, dan pesan-pesan pendek yang ditinggalkan pengunjung sebelum kami. Ada yang menulis “Aku akan kembali” dengan tanggal sepuluh tahun lalu, ada pula yang hanya mengukir gambar hati yang sudah memudar.
Kirana tiba-tiba berhenti di depan sebuah ukiran kecil yang bertuliskan “Untuk yang kutinggalkan, maaf – R, 2018.” Dia menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Aku ingin tahu cerita di balik ini.” Suaranya bergetar, dan aku tahu dia sedang memikirkan tunangannya, atau mungkin keputusannya untuk meninggalkan hubungan itu. Aku ingin memeluknya, tapi aku tahu Kirana bukan tipe yang suka dikasihani. Jadi, aku hanya berdiri di sisinya, membiarkan keheningan berbicara.
Malam itu, kami kembali ke api unggun. Zevran memainkan lagu yang lebih pelan, sebuah melodi yang terasa seperti pelukan. Liora mulai bercerita, untuk pertama kalinya, tentang kakaknya yang hilang dalam kecelakaan laut dua tahun lalu. “Aku ke sini karena aku pikir… mungkin aku bisa merasakan dia di laut ini,” katanya, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak. Aku merasakan sesak di dadaku, dan tanpa sadar, tanganku menyentuh gelang kerang di pergelanganku. Aku ingin bercerita tentang ibuku, tentang rasa bersalahku karena tak bisa mengucapkan selamat tinggal dengan benar, tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokanku.
Saat malam semakin larut, aku berjalan sendiri ke tepi pantai, membiarkan air laut menyapu kakiku. Aku menutup mata, mendengarkan ombak, dan untuk sesaat, aku merasa ibuku ada di sana, di antara bisikan laut. Pantai Selumbra, dengan semua rahasianya, seolah sedang membuka luka-luka kami satu per satu—bukan untuk menyakiti, tapi untuk menyembuhkan. Dan di malam itu, aku tahu bahwa perjalanan ini masih menyimpan banyak cerita yang belum terungkap.
Bayang-Bayang di Balik Cahaya
Cahaya fajar di Pantai Selumbra menyelinap perlahan, membelah kabut tipis yang melayang di atas pasir. Aku, Svarna Lintang, terbangun dengan perasaan aneh—seperti ada beban yang sedikit lebih ringan di dadaku, tapi juga kegelisahan yang belum kujelaskan. Malam sebelumnya, setelah mendengar cerita Liora tentang kakaknya, aku tak bisa tidur nyenyak. Gambar ibuku, dengan senyum lembutnya di tepi pantai bertahun-tahun lalu, terus muncul di pikiranku. Gelang kerang di pergelanganku terasa seperti jangkar, menahanku pada kenangan yang ingin kulepaskan sekaligus kugenggam erat.
Aku keluar dari tenda lebih awal dari yang lain, membawa buku catatanku dan kamera polaroid. Ombak pagi ini lebih tenang, seolah laut sedang menarik napas panjang sebelum berbicara lagi. Aku duduk di pasir, menuliskan beberapa baris tentang apa yang kurasakan—tentang rindu, tentang rasa bersalah yang tak pernah kubicarakan, tentang ibuku yang pergi terlalu cepat. Tapi kata-kata itu terasa kurang, seperti hanya setengah dari apa yang ingin kukatakan. Aku menutup buku, mengambil kamera, dan memotret cakrawala yang mulai memerah. Jepretan itu menghasilkan gambar buram, tapi entah kenapa, ketidaksempurnaan itu terasa pas.
Zevran adalah yang pertama bangun setelahku. Dia keluar dari tenda dengan rambut ikal yang semakin acak-acakan, membawa gitar mininya. Tanpa banyak bicara, dia duduk di sampingku, memetik beberapa nada pelan yang menyatu dengan suara ombak. “Kamu nggak banyak bicara semalam,” katanya tiba-tiba, matanya menatap laut. “Tapi aku tahu kamu bawa cerita, Svarna.” Aku tersenyum kecil, tak yakin harus menjawab apa. Zevran punya cara untuk melihat seseorang tanpa membuat mereka merasa telanjang, tapi pagi ini, aku masih ingin menyimpan ceritaku sendiri.
Kirana dan Liora akhirnya bergabung dengan kami, membawa aroma kopi instan yang mereka seduh dengan air panas dari termos. Kirana, dengan kaus oversized dan topi jerami yang sama konyolnya, tampak lebih ceria hari ini, tapi aku bisa melihat lingkaran gelap di bawah matanya. Liora, seperti biasa, membawa buku sketsanya, tapi kali ini dia menunjukkan gambar yang dia buat semalam: sebuah sketsa pantai dengan sosok samar di kejauhan, berdiri di tengah ombak. “Ini kakakku,” katanya pelan. “Aku membayangkan dia masih di sini, entah bagaimana.” Suaranya penuh kerinduan, dan aku merasakan sesak yang sama di dadaku.
Hari itu, kami memutuskan untuk menjelajahi lebih jauh ke arah utara pantai, di mana terdapat laguna kecil yang tersembunyi di balik tebing. Jalan menuju laguna tidak mudah; kami harus melewati jalur berbatu yang licin dan semak-semak yang mencakar kaki. Kirana memimpin dengan semangat, seolah ingin melupakan sesuatu dengan setiap langkah. Zevran mengikuti di belakang, sesekali bersiul atau bercanda untuk meringankan suasana. Liora dan aku berjalan lebih pelan, dia dengan buku sketsanya, aku dengan pikiranku yang berkelana.
Laguna itu seperti permata yang tersembunyi. Airnya jernih, memantulkan langit biru dan tebing-tebing yang mengelilinginya. Di tengah laguna, ada sebuah batu besar yang menonjol, permukaannya dipoles halus oleh air selama bertahun-tahun. Kami melepas sepatu dan masuk ke air, yang ternyata hangat dan menenangkan. Kirana langsung melompat ke tengah, cipratan airnya membuat kami tertawa. Zevran mulai berenang, sementara Liora duduk di tepi batu, kakinya menggantung di air, sketsa pensilnya kembali bergerak.
Aku berenang ke arah batu besar, memanjatnya dengan hati-hati, dan duduk di sana sendirian untuk beberapa saat. Dari ketinggian itu, aku bisa melihat seluruh laguna dan pantai di kejauhan. Angin membawa aroma garam dan sesuatu yang manis, mungkin dari bunga liar di tebing. Tiba-tiba, aku teringat sebuah cerita yang pernah ibuku ceritakan—tentang laguna di pantai yang konon bisa “mendengar” harapan seseorang. “Kalau kamu berbisik ke air,” katanya, “laguna akan menyimpan rahasiamu.” Aku tersenyum kecil, merasa konyol, tapi tanpa sadar, aku menunduk dan berbisik, “Aku ingin memaafkan diriku sendiri karena tak bisa menyelamatkanmu, Bu.”
Saat aku mengangkat kepala, aku melihat Kirana berenang mendekat. Dia memanjat batu dan duduk di sampingku, rambutnya basah menempel di wajahnya. “Kamu ngomong sama siapa?” tanyanya, nadanya setengah bercanda. Aku menggeleng, tak ingin berbagi terlalu banyak. Tapi Kirana, seperti biasa, tak membiarkanku diam. “Svarna, aku tahu kamu lagi mikirin sesuatu. Aku juga.” Dia menarik napas panjang, lalu berkata, “Aku putus sama tunanganku karena aku takut. Takut kalau aku nggak cukup baik buat dia, atau buat siapa pun. Tapi di sini… entah kenapa, aku merasa bisa mulai lagi.”
Aku menatapnya, terkejut dengan keterbukaannya. Untuk pertama kalinya, aku merasa harus membalas kejujurannya. “Aku… aku merasa bersalah soal ibuku,” kataku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh suara air. “Dia sakit, dan aku nggak bisa berbuat apa-apa. Aku bahkan nggak sempat bilang aku sayang dia.” Air mata mengalir tanpa kusadari, dan Kirana menggenggam tanganku tanpa berkata apa-apa. Keheningan di antara kami terasa seperti pelukan.
Sore itu, kami kembali ke perkemahan dengan hati yang sedikit lebih terbuka. Zevran, yang biasanya ceria, tampak lebih pendiam. Saat kami duduk di sekitar api unggun malam itu, dia akhirnya berbicara. “Aku pernah kehilangan seseorang juga,” katanya, memetik gitarnya pelan. “Adikku. Dia… overdosis, dua tahun lalu. Aku pikir bermain musik di mana-mana bisa bikin aku lupa, tapi ternyata cuma bikin aku lari.” Dia tersenyum pahit, dan untuk pertama kalinya, aku melihat kerapuhan di balik senyumnya yang selalu cerah.
Liora, yang duduk di sampingku, menatap api unggun. “Aku bikin sketsa kakakku setiap hari supaya aku nggak lupa wajahnya,” katanya tiba-tiba. “Tapi kadang, aku takut aku cuma menggambar bayangan, bukan dia.” Suaranya penuh keraguan, dan aku merasa ingin menjangkau mereka semua—Kirana, Zevran, Liora—dan memberi tahu mereka bahwa mereka tidak sendiri.
Malam itu, kami berbagi cerita lebih banyak dari sebelumnya. Api unggun menyala terang, tapi laut di kejauhan terasa semakin dalam, seolah menyerap setiap kata yang kami ucapkan. Aku menggenggam gelang kerangku, merasa ibuku entah bagaimana mendengarkan. Pantai Selumbra, dengan segala misterinya, seolah menjadi saksi bisu dari luka-luka kami, tapi juga harapan yang mulai tumbuh di antara kami. Dan saat aku menatap bintang-bintang di atas, aku tahu bahwa perjalanan ini belum selesai—ada sesuatu yang masih menunggu kami di hari terakhir.
Ombak yang Membawa Pulang
Hari terakhir di Pantai Selumbra terasa seperti lukisan yang belum selesai—setiap warna, setiap sapuan kuas, penuh makna yang masih ingin kuterjemahkan. Pagi itu, udara terasa lebih segar, dengan angin laut yang membawa aroma garam dan bunga liar dari tebing. Aku, Svarna Lintang, terbangun dengan perasaan campur aduk: ada kelegaan dari cerita-cerita yang kami bagi malam sebelumnya, tapi juga ketakutan bahwa perjalanan ini akan berakhir dan aku harus kembali ke kehidupan yang penuh ketidakpastian. Gelang kerang di pergelanganku terasa seperti pengingat—bahwa aku membawa ibuku, dan lukaku, ke mana pun aku pergi.
Kirana sudah bangun, sibuk menyeduh kopi di atas kompor kecil sambil bersenandung. Rambutnya yang basah oleh embun pagi menempel di dahinya, dan untuk pertama kalinya, senyumnya terasa tulus, bukan topeng untuk menyembunyikan luka. Zevran duduk di dekat api unggun yang masih menyisakan bara, memetik gitarnya dengan nada-nada pelan yang terasa seperti doa. Liora, seperti biasa, sudah asyik dengan buku sketsanya, menggambar sesuatu yang tampak seperti ombak yang bergulung di bawah langit penuh bintang. Kami semua tampak lebih ringan, tapi juga lebih rapuh, seolah Pantai Selumbra telah membuka lapisan-lapisan jiwa kami yang selama ini tersembunyi.
“Ayo kita ke mercusuar tua itu sebelum pulang,” usul Kirana tiba-tiba, matanya berbinar. “Bu Sari bilang ada mercusuar di ujung utara pantai. Katanya pemandangannya luar biasa, dan… entah kenapa, aku merasa kita harus ke sana.” Ada nada mendesak dalam suaranya, seperti dia juga merasakan bahwa perjalanan ini belum lengkap tanpa satu petualangan terakhir. Aku mengangguk, dan yang lain setuju. Kami mengemas beberapa barang—kamera polaroidku, buku sketsa Liora, gitar Zevran, dan beberapa botol air—lalu berjalan menyusuri pantai menuju utara.
Perjalanan ke mercusuar memakan waktu hampir satu jam. Jalannya lebih sulit dari ke laguna kemarin, dengan batu-batu besar yang licin dan semak berduri yang menghalangi. Tapi pemandangan di sepanjang jalan membuatnya sepadan: tebing-tebing rendah yang ditumbuhi lumut hijau, ombak yang memecah dengan buih putih, dan burung-burung laut yang melayang di atas kami. Kirana memimpin dengan langkah penuh semangat, sesekali berhenti untuk mengambil batu kerang yang berkilau di pasir. Zevran bercerita tentang mimpinya membuat album musik yang terinspirasi dari laut, sementara Liora diam-diam memotret pemandangan dengan ponselnya, mungkin untuk referensi sketsa berikutnya. Aku berjalan di belakang, mencatat detail-detail kecil di buku catatanku: suara ombak, aroma udara, dan perasaan aneh bahwa laut sedang menunggu kami.
Mercusuar tua itu berdiri di ujung tanjung, setengah runtuh tapi masih gagah. Dindingnya yang dulunya putih kini dipenuhi lumut dan retakan, dengan pintu besi yang berkarat di bagian bawah. Tangga spiral di dalamnya terlihat rapuh, tapi Kirana, dengan keberaniannya yang khas, bersikeras kami naik. “Kalau nggak sekarang, kapan lagi?” katanya, matanya penuh tantangan. Dengan hati-hati, kami menaiki tangga, setiap derit besi membuat jantungku berdegup kencang. Tapi begitu sampai di puncak, semua rasa takut itu lenyap.
Pemandangan dari atas mercusuar adalah sesuatu yang tak akan pernah kulupakan. Laut membentang tak berujung, dengan ombak yang bergulung seperti lukisan hidup. Di kejauhan, kabut tipis melayang di atas air, membuat cakrawala tampak seperti perbatasan antara dunia nyata dan mimpi. Angin bertiup kencang, membawa suara laut yang terasa seperti nyanyian kuno. Kami berdiri di sana, terdiam, seolah tak ingin merusak momen itu dengan kata-kata.
Liora tiba-tiba membuka buku sketsanya dan menunjukkan gambar yang dia buat pagi ini: sosok kakaknya, berdiri di tepi laut, dengan ombak yang seolah memeluknya. “Aku pikir… aku bisa melepasnya sekarang,” katanya pelan, air mata mengalir di pipinya. “Aku nggak perlu takut lupa wajahnya. Dia ada di sini.” Dia menunjuk dadanya, dan aku merasakan sesak yang sama di hatiku. Zevran, yang biasanya penuh canda, meletakkan tangannya di bahu Liora, matanya berkaca-kaca. “Adikku juga,” katanya. “Aku pikir dia bakal suka tempat ini.”
Kirana, yang selama ini berusaha kuat, tiba-tiba menangis. “Aku nggak tahu kenapa aku takut mulai lagi,” katanya, suaranya parau. “Tapi di sini, aku merasa… aku bisa. Aku nggak harus jadi sempurna untuk orang lain.” Dia memeluk Liora, dan Zevran bergabung, membuat kami bertiga tertawa di tengah air mata. Aku berdiri di samping, ingin bergabung tapi masih terjebak dalam dunianku sendiri.
Lalu, tanpa sadar, aku berbicara. “Aku nggak pernah bilang ke ibuku betapa aku menyayanginya,” kataku, suaraku gemetar. “Aku pikir aku punya waktu, tapi… dia pergi begitu saja. Aku cuma ingin dia tahu aku nggak marah, aku cuma… rindu.” Air mata mengalir, dan untuk pertama kalinya, aku tak berusaha menyembunyikannya. Kirana menarikku ke dalam pelukan kelompok itu, dan kami berdiri di sana, di puncak mercusuar, membiarkan angin laut mengeringkan air mata kami.
Sebelum turun, aku mengeluarkan kamera polaroidku dan mengambil foto terakhir: kami berempat, berdiri di tepi mercusuar, dengan laut yang luas sebagai latar belakang. Gambar itu buram, tapi entah kenapa, itu terasa sempurna—seperti kami, penuh kekurangan tapi utuh dalam kebersamaan. Aku juga melepas gelang kerang dari pergelanganku dan meletakkannya di tepi mercusuar, di samping batu kecil yang kutaruh sebagai penanda. “Terima kasih, Bu,” bisikku. “Aku akan baik-baik saja.”
Kembali ke perkemahan, kami mengemas tenda dengan suasana yang berbeda. Ada tawa, tapi juga keheningan yang penuh makna. Zevran memainkan lagu terakhir di gitarnya, sebuah melodi yang terasa seperti perpisahan sekaligus awal baru. Liora memberikan sketsa kecil kepada masing-masing dari kami—gambar pantai dengan siluet kami berempat, sebuah kenangan yang akan selalu kami bawa. Kirana, dengan senyum yang kini lebih tulus, berkata, “Kita harus balik ke sini lagi, ya? Tapi kali ini, kita bawa cerita baru.”
Perjalanan pulang dengan Bujel terasa lebih ringan. Kami bernyanyi, bercanda, dan sesekali diam untuk meresapi apa yang telah kami alami. Pantai Selumbra, dengan ombaknya yang berbisik dan pasirnya yang menyimpan cerita, telah menjadi lebih dari sekadar destinasi. Ia adalah tempat di mana kami menghadapi luka-luka kami, menemukan keberanian untuk melangkah, dan belajar bahwa kadang, melepas bukan berarti melupakan, tapi membiarkan cinta tetap hidup dalam bentuk lain.
Saat kami meninggalkan pantai, aku menoleh ke belakang sekali lagi. Laut tampak berkilau di bawah matahari sore, seolah mengucapkan selamat tinggal. Aku tersenyum, merasa bahwa ibuku, entah di mana, juga tersenyum kembali. Dan di dalam hatiku, aku tahu bahwa Pantai Selumbra akan selalu memanggilku kembali—bukan untuk mencari jawaban, tapi untuk mengingatkan bahwa aku sudah menemukannya.
Kenangan Pasir dan Ombak bukan sekadar cerita, melainkan cerminan perjalanan batin yang mengajarkan kita tentang keberanian melepas luka dan merangkul harapan. Pantai Selumbra menjadi saksi bisu bagaimana empat jiwa menemukan kedamaian di tengah ombak dan pasir, mengingatkan kita bahwa setiap perjalanan bisa menjadi awal baru. Jangan lewatkan kisah ini yang akan meninggalkan jejak di hati Anda, seperti pasir yang menempel setelah berjalan di tepi laut.
Terima kasih telah menyelami keindahan dan emosi dalam Kenangan Pasir dan Ombak. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menemukan petualangan dan kedamaian dalam perjalanan hidup Anda sendiri. Sampai jumpa di cerita berikutnya, dan jangan lupa dengarkan bisikan laut dalam hati Anda!