Kenangan Masa Lalu yang Tak Bisa Dilupakan: Sebuah Cerita Tentang Penyesalan dan Perpisahan

Posted on

Pernah nggak sih kamu merasa nggak bisa move on, meskipun udah coba sekuat tenaga? Kadang, kenangan masa lalu itu kayak bayangan yang terus ngikutin kita, bahkan saat kita udah bareng orang lain.

Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia penyesalan, perpisahan, dan kenangan yang sulit banget dilupain. Cek deh, siapa tahu kamu pernah ngerasain hal yang sama!

 

Kenangan Masa Lalu yang Tak Bisa Dilupakan

Bayang yang Tak Pernah Pudar

Aku selalu ingat hari itu dengan jelas. Hari pertama kita bertemu di sebuah kafe kecil yang ramai di pinggir jalan. Aku duduk di meja dekat jendela, memandangi hujan yang turun dengan deras, sambil menunggu pesanan yang entah kenapa selalu lama datangnya. Suasana kafe itu sedikit terlalu sibuk untuk ukuran tempat yang seharusnya nyaman, tapi aku suka sekali dengan atmosfernya yang menghangatkan.

Lalu, kamu datang. Tertunduk sedikit, seperti biasa, dengan jaket hitam dan tas selempang yang biasa kamu bawa. Ketika aku pertama kali melihatmu, entah kenapa, rasanya seperti ada sesuatu yang berbeda. Aku hanya melihatmu beberapa detik, namun cukup untuk merasakan bahwa kamu—ya, kamu—akan menjadi bagian dari hidupku. Aku tak bisa menjelaskan perasaan itu, hanya tahu, begitu saja.

“Maaf, boleh duduk?” Tiba-tiba suaramu memecah pikiranku yang sibuk mengamati hujan. Kamu menunjuk ke kursi kosong di depan meja ku.

Aku hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa, membiarkanmu duduk tanpa ada pertanyaan yang lebih. Hujan itu semakin deras, menyentuh kaca jendela dan membentuk jejak-jejak air yang mengalir. Dalam sekejap, ada perasaan hangat yang menyelimuti ruang di sekitar kami, meskipun kita hanya berdua yang ada di sana, diam-diam saling terikat oleh ruang dan waktu.

Kamu memesan kopi, aku memesan teh, dan meskipun kita hanya berbicara sedikit, rasanya dunia hanya berputar di sekitar kami. Setiap kata yang keluar dari mulutmu, setiap tawa kecil yang kamu berikan, membangun kenangan yang tak bisa kuhapus. Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa tenang. Padahal, kamu dan aku tak pernah saling kenal sebelumnya. Tapi itu tidak penting. Apa yang penting adalah saat itu, saat kita berbicara, saat kita berada dalam ruang yang sama, aku merasa seperti ada tempat di dunia ini yang benar-benar membuatku merasa hidup.

Aku tak pernah berani bertanya lebih jauh tentang masa lalumu, atau mungkin aku tidak ingin tahu. Yang jelas, aku tak peduli. Aku hanya ingin tahu siapa kamu di saat itu. Aku hanya ingin menikmati momen kita, tanpa memikirkan apapun yang akan datang.

Hari-hari berlalu, dan kita semakin dekat. Aku mulai merasa ada yang berbeda. Mungkin kamu juga merasakannya. Kita berbagi cerita, tawa, bahkan kadang sedikit canggung, tapi tetap terasa nyaman. Hingga suatu malam, saat kita berjalan pulang setelah menghabiskan waktu berjam-jam berbicara, kamu mendekat dan memegang tanganku dengan lembut.

“Aku merasa… kita sudah saling mengenal sejak lama,” katanya dengan nada pelan, seolah-olah sedang mencari jawaban dari sesuatu yang tidak bisa dia ungkapkan. “Kamu merasa begitu juga, kan?”

Aku mengangguk pelan, merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata itu. Kami berjalan di bawah langit yang penuh bintang, dan dalam sekejap aku merasa semua yang terjadi antara kita adalah takdir. Waktu itu, aku tak pernah berpikir bahwa segala sesuatu yang terasa sempurna itu akan berakhir begitu cepat.

Kamu membuatku merasa aman. Kamu tahu bagaimana caranya mengerti tanpa banyak bicara. Seakan kita sudah saling mengenal tanpa harus menjelaskan semuanya. Tapi, apa yang tidak aku sadari adalah, dalam hatiku, bayanganmu sudah mulai mengambil tempat yang lebih besar dari yang seharusnya.

Dan saat itu, aku mulai merasa takut. Takut jika semua ini hanyalah ilusi. Takut jika aku terlalu berharap lebih. Tapi, yang lebih menakutkan adalah perasaan itu terus tumbuh, mengikatku, bahkan ketika aku mencoba untuk melepaskan. Kenangan tentangmu semakin menembus dinding pikiranku, membekas lebih dalam, bahkan saat aku sudah berusaha keras untuk tidak lagi mengingatmu.

Aku mencoba untuk tidak terbawa perasaan. Aku bertemu Arian setelah beberapa bulan berlalu. Arian—seorang pria baik, perhatian, dan selalu berusaha menyenangkanku. Dia berusaha untuk mengisi kekosongan yang kurasakan, mencoba untuk menjadi yang terbaik untukku. Aku tahu itu, dan aku berusaha untuk memberi kesempatan. Dia tidak seperti kamu, tapi dia selalu ada. Dan aku pikir itu cukup.

Namun semakin aku menghabiskan waktu dengannya, semakin aku merasa ada yang hilang. Setiap kata yang keluar dari mulut Arian selalu terhenti di tenggorokanku, tak bisa aku jawab dengan tulus. Senyumnya, meskipun manis, tidak bisa membuatku merasa nyaman sepenuhnya. Aku terus saja teringat padamu, meskipun aku tak pernah berniat untuk kembali padamu. Kenangan tentangmu, yang sudah menjadi bagian dari pikiranku, tak bisa kuhapus begitu saja.

Suatu malam, saat Arian mengajakku berjalan-jalan di taman, aku mendapati diriku terdiam begitu lama. Aku tidak mendengarkan apa yang dia katakan. Aku hanya berpikir tentangmu. Tentang bagaimana rasanya berada di dekatmu. Tentang bagaimana rasanya memegang tanganmu. Aku merasa sangat bersalah, tapi aku tidak bisa menghindari perasaan itu.

“Apa kamu baik-baik saja?” Arian menatapku khawatir. “Kamu terlihat jauh.”

Aku tersadar dari lamunanku dan memaksakan senyum. “Ya, aku hanya capek sedikit. Maafkan aku.”

Tapi Arian tahu ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa ada jarak antara kami. Dan aku tahu itu. Semakin lama, aku semakin sadar bahwa aku tidak bisa terus berpura-pura. Aku sudah mulai membandingkannya denganmu, dan itu sangat tidak adil baginya.

Arian layak mendapatkan lebih. Tapi aku, aku hanya bisa terjebak dalam kenangan yang tak bisa aku lepaskan.

 

Di Balik Setiap Senyum

Hari-hari berlalu tanpa terasa, dan semakin banyak momen yang terjadi di antara Arian dan aku. Namun, meskipun aku berada di sampingnya, hatiku tetap kosong. Begitu banyak yang dia lakukan untukku—memberiku perhatian, mendengarkan setiap ceritaku, berusaha membuatku bahagia—tapi entah kenapa aku merasa seolah aku tidak sepenuhnya hadir dalam hubungan itu. Arian selalu tersenyum, selalu berbicara dengan lembut, dan selalu berusaha menyenankan. Tapi di setiap senyumannya, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang dulu ada di matamu.

Aku menghindar dari kenyataan. Aku mencoba menipu diriku sendiri dengan berpikir bahwa Arian cukup baik untukku. Dia berbeda dari kamu, itu benar. Tapi dia juga orang yang bisa membuatku merasa dihargai, setidaknya itu yang aku yakini saat itu. Meskipun begitu, bayangmu selalu menghantui, bahkan dalam percakapan biasa dengan Arian. Ketika dia berkata, “Kamu cantik malam ini,” aku hanya bisa teringat betapa kamu dulu bisa mengatakan itu dengan cara yang berbeda, yang membuatku merasa lebih dari sekadar kata-kata. Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa tanpa harus berkata banyak.

Arian sering mengajak aku untuk pergi keluar, berusaha membuat aku merasa lebih terbuka, lebih hidup. Tapi aku hanya bisa tersenyum kecil, merasa terjebak dalam kebohongan yang sudah kuucapkan pada diri sendiri. Aku pikir, mungkin ini hanya perasaan sesaat. Mungkin aku hanya perlu sedikit waktu untuk benar-benar merasa nyaman. Tapi semakin lama aku berpikir, semakin jelas bahwa aku tidak bisa terus-terusan menipu diriku sendiri.

Suatu malam, saat kita berdua duduk di taman, aku terdiam lama setelah Arian bercerita tentang pekerjaannya. Aku memandang bulan yang sedang terbit, begitu terang dan indah. Tapi di dalam hati, aku tidak bisa melepaskan perasaan bahwa ada sesuatu yang hilang. Seseorang yang dulu ada di sampingku, yang selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa utuh.

Arian mendekat, menatapku dengan cemas. “Kamu nggak denger ya?” tanyanya dengan nada sedikit kecewa.

Aku tersadar, dan berusaha tersenyum. “Maaf, aku lagi… sedikit berpikir. Kamu cerita apa tadi?”

Arian menghela napas pelan, lalu mengangkat bahunya. “Gak apa-apa. Kamu terlihat jauh. Aku cuma khawatir.”

Aku ingin mengatakan bahwa aku baik-baik saja, bahwa semua ini hanya perasaan sementara, tapi entah kenapa kata-kata itu terasa begitu berat. Aku tidak bisa berpura-pura lagi. Setiap kali aku melihat Arian, aku hanya bisa berpikir tentang bagaimana dulu aku merasa begitu nyaman denganmu, bagaimana kamu bisa membuat aku merasa sangat hidup tanpa harus berusaha. Aku ingin melupakanmu, aku ingin sekali. Tapi semakin aku mencoba, semakin sulit rasanya. Kenangan itu seperti bayangan yang selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi.

“Arian,” aku mulai, suaraku terdengar lebih lembut dari yang aku inginkan. “Aku… aku nggak bisa terus seperti ini.”

Arian menatapku, wajahnya menunjukkan kebingungannya. “Apa maksud kamu?”

Aku menunduk, merasa malu atas apa yang akan kuungkapkan. “Aku… aku masih belum bisa melepaskan masa lalu. Aku selalu teringat padanya. Itu membuat aku nggak bisa memberi yang terbaik untuk kamu.”

Arian diam, hanya menatapku dengan mata penuh kekecewaan. Aku bisa merasakan betapa berat kata-kata itu, dan betapa menyesalnya aku mengucapkannya. Tapi aku juga tahu, kalau aku terus berada di sini, aku hanya akan menyakiti dia lebih dalam.

“Aku… aku nggak tahu harus gimana lagi, Arian,” aku melanjutkan, suaraku serasa pecah. “Aku nggak mau terus membuat kamu merasa seperti ini.”

“Jadi… kamu ingin pergi dariku?” Arian akhirnya bertanya, suaranya terdengar patah. Ada kepedihan yang tak bisa dia sembunyikan di dalamnya. “Kamu nggak bisa berhenti memikirkan dia, kan?”

Aku hanya bisa mengangguk pelan, hatiku terasa berat. Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku ingin mencoba, bahwa aku bisa belajar untuk mencintainya seperti aku mencintaimu. Tapi aku tahu itu tidak mungkin. Kenangan itu terlalu kuat, terlalu mendalam. Aku sudah terperangkap dalam bayang-bayangmu.

Arian menundukkan kepala, berusaha menahan emosinya. “Aku nggak tahu harus bilang apa lagi. Aku benar-benar mencoba. Tapi aku nggak bisa bersaing dengan bayangannya, ya?”

Aku ingin memeluknya, ingin meminta maaf, ingin memberinya alasan yang tepat. Tapi tidak ada kata-kata yang cukup untuk memperbaiki semua ini. Aku hanya bisa mengangguk, dan merasakan ada sesuatu yang robek di dalam hatiku.

“Aku… aku nggak bisa terus seperti ini,” akhirnya aku berkata dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Kita… kita butuh waktu, Arian.”

Dengan kata-kata itu, aku tahu aku sudah melukainya, dan aku tidak tahu apakah aku bisa memperbaikinya lagi. Arian tidak berkata apa-apa lagi, hanya berdiri dan melangkah pergi perlahan. Aku tetap di sana, terdiam di tempatku, merasakan bahwa aku telah kehilangan sesuatu yang berharga. Aku kehilangan kesempatan untuk bersama Arian, hanya karena bayangmu yang terus menghantui langkahku.

Saat itu, aku merasa lebih sendirian daripada sebelumnya. Aku ingin lari, ingin melupakan semuanya, tapi aku tahu, kenangan tentangmu sudah terlalu dalam tertanam. Dan kini, aku terjebak di antara dua dunia—dunia yang sudah pergi dan dunia yang tak bisa kulanjutkan.

Aku duduk di bangku taman, menatap bulan yang kini tampak lebih redup. Aku tak tahu berapa lama aku diam di sana, hanya merasa kosong, hampa, dan tak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Semua terasa seperti permainan waktu yang tidak bisa kupecahkan.

 

Saat Semua Menjadi Hampa

Malam-malam setelah percakapan itu, aku merasa seperti terperangkap dalam ruang kosong. Ada perasaan sepi yang membungkus hatiku, menghalangi aku untuk benar-benar melangkah ke depan. Arian pergi dengan luka di hatinya, dan aku, meski ingin mengubah semuanya, tahu bahwa tidak ada jalan kembali. Aku menghabiskan hari-hariku dengan berpura-pura baik-baik saja, bekerja, bertemu orang-orang, seakan semuanya normal. Tapi di dalam diri, ada kekosongan yang terus menggerogoti.

Kehidupan berjalan seperti biasa, tapi terasa begitu hampa. Setiap kali aku berpapasan dengan Arian, aku merasakan jarak yang semakin lebar di antara kami. Senyumannya yang dulu terasa tulus kini hanya sebuah formalitas, dan aku tak bisa lagi menatap matanya tanpa merasa bersalah. Semua yang terjadi adalah hasil dari keegoisanku, dan meskipun aku berusaha membenarkannya, aku tahu bahwa aku tidak bisa lagi berpura-pura.

Pagi itu, aku duduk di kafe favoritku, mencoba menenangkan pikiranku dengan secangkir kopi panas. Di luar jendela, hujan mulai turun perlahan, membasahi jalanan dengan keheningan yang menenangkan. Aku merasa lelah, tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Rasanya seperti aku tidak punya tempat lagi untuk berpulang, seperti aku berjalan dalam lingkaran yang tak pernah berhenti.

Tiba-tiba, teleponku bergetar. Nama Arian muncul di layar. Hatiku berdebar. Aku tahu ini bukan pertemuan yang diharapkan, dan aku takut sekali dengan apa yang akan dia katakan. Aku mengangkatnya dengan ragu.

“Hallo?” suaraku terdengar lebih cemas daripada yang aku inginkan.

“Ada yang perlu dibicarakan,” kata Arian, suaranya terasa datar, tidak ada kehangatan yang biasanya ada di sana. Aku tahu, ini adalah saat di mana semuanya harus dijelaskan, meskipun aku tak tahu bagaimana cara menjelaskannya.

“Apa maksudmu, Arian?” aku bertanya dengan lembut, berusaha menahan perasaan yang mulai meluap.

“Aku pikir kita harus benar-benar berpisah, Tessa,” jawabnya pelan. “Aku nggak bisa terus hidup dengan bayangannya terus ada di antara kita. Aku merasa seperti aku cuma bayangan di kehidupanmu.”

Seketika itu, aku merasa dunia ini berhenti berputar. Kalimat itu mengiris hatiku. Aku bisa merasakan kepergiannya dengan jelas, seolah dia sudah pergi jauh lebih dulu tanpa aku menyadarinya. Aku ingin melawan, ingin mengatakan bahwa aku masih bisa memperbaiki semuanya, bahwa aku bisa mencintainya dengan cara yang pantas. Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokanku, seperti batu besar yang menghalangi suaraku untuk keluar.

“Arian,” aku mencoba berbicara, tapi suara aku tertahan. “Aku nggak mau… aku nggak mau kita berakhir seperti ini.”

Arian terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berbicara lagi, suaranya serasa mengalir dengan kelelahan. “Aku nggak tahu harus bilang apa lagi, Tessa. Aku sudah mencoba, tapi aku nggak bisa terus hidup dengan bayangannya ada di depan aku setiap hari.”

Aku bisa merasakan kepedihan dalam kata-katanya, dan itu semakin memperdalam rasa sesal yang aku rasakan. Betapa egoisnya aku selama ini. Betapa aku telah menghancurkan seseorang yang begitu baik padaku hanya karena bayangan masa lalu yang tak kunjung hilang.

“Aku… aku minta maaf,” jawabku dengan suara parau. “Aku nggak bermaksud seperti ini. Aku benar-benar nggak bermaksud menyakiti kamu.”

“Tak apa,” kata Arian dengan nada datar. “Tapi aku rasa ini yang terbaik untuk kita berdua.”

Setelah itu, percakapan kami berakhir dengan begitu saja. Tidak ada ucapan panjang, hanya kesepian yang mengisi ruang telepon dan hati kami. Aku merasa seolah aku sudah kehilangan segala-galanya, dan entah bagaimana, ini terasa lebih menyakitkan daripada saat aku masih bersama kamu. Kenapa aku baru sadar bahwa aku telah membuat kesalahan besar begitu terlambat?

Aku menutup telepon dan meletakkannya di meja. Tanganku gemetar, dan aku merasa pusing. Segalanya terasa begitu kacau, dan aku tidak tahu bagaimana harus melangkah lagi. Aku terlalu lama terjebak dalam kenangan tentangmu, terlalu lama terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu yang sekarang hanya membuatku terluka.

Aku menatap hujan yang masih turun deras di luar, seolah langit pun ikut menangis bersamaku. Semua yang aku miliki sekarang adalah penyesalan. Tidak ada yang bisa memperbaiki ini. Semua kesempatan sudah hilang, dan aku hanya bisa menyesal, bertanya-tanya apakah aku akan bisa melupakan semuanya dan menerima kenyataan bahwa Arian—pria yang baik dan penuh kasih—sudah pergi karena kesalahan besar yang aku buat.

Kapan aku bisa berhenti memikirkanmu? Kapan aku bisa benar-benar melepaskanmu dari hatiku?

Kenyataan itu semakin membenamkan aku dalam kesedihan yang lebih dalam. Aku duduk terdiam, menunggu hujan berhenti. Tapi aku tahu, seperti hati ini yang terus terperangkap, hujan pun takkan berhenti dalam waktu dekat.

 

Menghadapi Kenyataan

Sudah beberapa minggu berlalu sejak percakapan itu, namun bayang-bayang Arian tetap mengikutiku seperti hantu yang tak bisa pergi. Aku mencoba untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan, mencoba menghindari keramaian yang membuatku merasa lebih kosong, tapi setiap malam, aku terbangun dalam heningnya kamar, memikirkan semua yang telah hilang. Kenangan tentang Arian tak pernah benar-benar pergi, seperti jejak yang tertinggal di pasir, meski ombak sudah menghantamnya, jejak itu tetap ada.

Aku berjalan melintasi jalan-jalan kota yang dulu sering kami lewati bersama. Dulu, setiap sudut tempat ini terasa penuh dengan cerita kami. Kami akan berbicara tentang impian-impian kami, bercanda, merencanakan masa depan. Tapi semua itu sekarang hanya menjadi kenangan yang terasa semakin kabur seiring berjalannya waktu. Aku tahu aku harus melangkah, harus melepaskan diri dari masa lalu, tapi entah kenapa, setiap kali aku mencoba untuk bergerak maju, aku merasa seolah ada sesuatu yang menahanku di tempat ini.

Suatu pagi, aku menerima sebuah surat. Di dalamnya, ada beberapa kata yang membuat jantungku berhenti sejenak. Itu adalah surat dari Arian. Dalam surat itu, ia menulis tentang bagaimana ia akhirnya memutuskan untuk benar-benar pergi, mengucapkan selamat tinggal. Ia mengatakan bahwa dia telah memaafkanku, meskipun aku tahu, maaf itu tidak akan mengubah apapun. Maaf tidak akan mengembalikan waktu, tidak akan membuat semuanya kembali seperti dulu.

Aku duduk di kursi ruang tamu, menatap surat itu dengan kosong. Air mataku menetes, bukan hanya untuk Arian, tapi juga untuk diriku sendiri. Untuk segala kebodohan yang telah kulakukan, untuk segala penyesalan yang tidak bisa aku perbaiki. Aku menginginkan kesempatan kedua, tapi kesempatan itu sudah hilang.

Aku meletakkan surat itu, lalu berjalan keluar rumah menuju taman yang dulu sering kami kunjungi. Sekarang, taman itu terasa asing bagiku. Di sana tidak ada lagi tawa yang menghiasi setiap sudutnya, tidak ada lagi suara Arian yang menggema di antara pepohonan. Semua itu telah menghilang, dan yang tersisa hanya aku yang mencoba untuk memahami bagaimana caranya hidup tanpa bayangan masa lalu yang terus menghantui.

Di bangku taman, aku duduk dengan kepala tertunduk. Sesuatu di dalam diriku terasa patah, entah itu harapan atau keinginan untuk melupakan. Aku tidak tahu lagi. Satu-satunya hal yang aku tahu adalah bahwa aku harus berhenti mencari alasan untuk kembali ke masa lalu, dan mulai menerima kenyataan bahwa itu sudah berakhir. Bahwa Arian sudah tidak lagi ada di sisiku, dan aku tidak bisa lagi memperbaikinya.

Aku merasa kehilangan, merasa terjebak dalam kenyataan yang tak bisa aku ubah. Aku ingin berbicara padanya, ingin mengatakan bahwa aku benar-benar menyesal, ingin meminta maaf sekali lagi. Tapi itu hanya akan menjadi kebohongan belaka. Aku sudah mengorbankan segala sesuatu, termasuk kesempatan untuk bahagia bersamanya.

Dan di situlah aku berada sekarang—sendirian, dengan kenangan yang terus mengelilingi, mencoba untuk melanjutkan hidup tanpa bisa benar-benar melepaskan apa yang telah hilang. Aku sudah terlambat untuk memperbaiki semuanya. Waktu tidak bisa diputar kembali, dan aku hanya bisa menerima bahwa ini adalah akhir dari semuanya.

Saat matahari mulai tenggelam, aku bangkit dari bangku taman dan berjalan perlahan pulang. Langkahku terasa berat, seolah setiap langkah menambah rasa sesal yang tak kunjung hilang. Kenangan itu, meskipun terus mengganggu, akan selalu menjadi bagian dari diriku. Tidak ada yang bisa mengubah itu.

Di luar jendela rumahku, langit perlahan berubah warna, seolah mencerminkan perasaan yang ada di dalam hatiku. Aku tak bisa mengubah masa lalu, dan aku tak tahu bagaimana melupakan, tapi aku tahu satu hal—aku harus terus hidup. Meski berat, meski penuh penyesalan, hidup harus terus berjalan.

Dan saat malam datang, aku duduk sendirian, menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit, aku tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir. Tetapi malam ini, malam yang penuh kesendirian, aku harus mulai belajar untuk berdamai dengan kenyataan. Aku harus menerima bahwa hidup akan selalu penuh dengan kehilangan, dan yang bisa kita lakukan hanyalah belajar untuk melepaskan.

Dengan itu, aku menutup mata, mencoba merelakan semua yang sudah berlalu.

 

Jadi, ya, kadang hidup emang nggak selalu berjalan sesuai rencana. Kita bisa nyakitin orang tanpa sengaja, terus ngerasa kesepian di tengah keramaian. Kenangan nggak akan pernah bisa diubah, tapi kita masih punya kesempatan buat belajar dari semua itu.

Semoga cerpen ini ngingetin kamu, kalau meskipun perpisahan itu menyakitkan, hidup harus tetap lanjut. Dan siapa tahu, ada pelajaran baru yang bisa diambil di setiap langkah yang kita ambil.

Leave a Reply