Kenangan Manis dan Pahit Masa Sekolah: Cerita Perpisahan yang Tak Terlupakan

Posted on

Gak bisa dipungkiri, masa sekolah itu punya seribu warna, ya. Ada yang manis, ada yang pahit, bahkan kadang keduanya datang barengan! Cuma di masa itu kita bisa merasakan pertemuan dan perpisahan yang nggak bisa kita lupakan.

Baca deh cerita ini, yang penuh dengan kenangan, perpisahan, dan juga kisah yang kadang nggak selalu terucap. Siapa tahu, ceritanya bikin kamu keinget masa sekolahmu sendiri, kan?

 

Kenangan Manis dan Pahit Masa Sekolah

Warna di Bangku Belakang

Hari pertama Aruna di sekolah baru tidak dimulai dengan baik. Ia datang terlambat karena sopirnya salah jalan, lalu saat masuk kelas, semua bangku sudah terisi. Hanya tersisa satu tempat kosong di pojok belakang, di sebelah seorang anak lelaki yang terlihat malas mengangkat wajahnya dari buku.

Dengan ragu, Aruna menarik kursinya dan duduk. Namun, baru saja ia akan mengeluarkan buku, sebuah suara pelan tapi jelas terdengar di sampingnya.

“Kamu suka duduk di belakang?”

Aruna menoleh. Anak lelaki itu masih menunduk, tangannya memainkan ujung kertas bukunya.

“Enggak juga,” jawabnya sekenanya. “Tapi ini satu-satunya tempat kosong.”

Anak lelaki itu mengangguk pelan, lalu kembali diam.

Aruna menatapnya lebih lama. Ia tinggi, dengan rambut berantakan yang sedikit menutupi matanya. Seragamnya rapi, tapi tidak berusaha terlalu keras untuk terlihat sempurna. Ada sesuatu tentangnya yang membuatnya berbeda dari siswa lain di kelas ini.

“Namaku Aruna,” kata Aruna, mencoba mencairkan suasana.

Butuh beberapa detik sebelum anak lelaki itu akhirnya membuka mulut. “Ravi.”

Hanya itu.

Tidak ada tambahan seperti ‘senang kenal sama kamu’ atau ‘kamu anak baru, ya?’. Ia hanya menyebut namanya lalu kembali tenggelam dalam bukunya.

Aruna menghela napas. Oke, ini akan lebih sulit dari yang ia kira.

Hari-hari berikutnya, Ravi tetap seperti itu—pendiam, nyaris tak terlihat, tapi entah kenapa selalu terasa ada. Ia tidak pernah ikut tertawa keras bersama anak-anak lain, tapi Aruna bisa merasakan tatapan matanya ketika ia bicara di depan kelas. Ia tidak banyak bertanya, tapi selalu tahu saat Aruna sedang tidak dalam mood terbaiknya.

Satu kali, saat Aruna lupa membawa bolpoin karena terburu-buru berangkat sekolah, Ravi meletakkan satu di atas mejanya tanpa berkata apa pun.

“Thanks,” kata Aruna, menoleh ke arahnya.

Ravi hanya mengangguk, masih tidak bicara.

“Kenapa sih kamu diem banget?” Aruna akhirnya bertanya setelah berhari-hari berteman dengan keheningan Ravi.

Ravi menutup bukunya perlahan, lalu menatapnya. “Kenapa sih kamu banyak tanya?”

Aruna mendengus. “Karena kamu aneh.”

“Aku?” Ravi menaikkan sebelah alisnya, seolah tidak percaya. “Menurutku justru kamu yang aneh.”

Aruna melipat tangannya di dada. “Kenapa emangnya?”

“Kamu terlalu mencolok.”

Aruna mengerutkan kening. “Maksud kamu?”

Ravi mengedikkan bahu. “Kelas ini kayak lukisan yang monoton. Cuma ada warna-warna netral. Tapi kamu beda. Kamu itu kayak merah terang di tengah warna-warna abu-abu.”

Aruna terdiam. Itu bukan jawaban yang ia harapkan, tapi juga bukan sesuatu yang ingin ia bantah.

Hari-hari berlalu, dan entah bagaimana, mereka mulai terbiasa dengan kehadiran satu sama lain. Aruna tetap cerewet, Ravi tetap pendiam, tapi mereka menemukan cara untuk berkomunikasi dengan bahasa yang hanya mereka pahami.

Di hari-hari saat Aruna kesal karena guru yang terlalu banyak memberi tugas, Ravi selalu mendengarkan keluhannya tanpa menyela. Di hari-hari saat Ravi terlihat lelah, Aruna akan menceritakan sesuatu yang konyol hanya untuk melihat ekspresi bosannya berubah sedikit lebih hidup.

Mereka bukan teman dekat seperti anak-anak lain yang sering jalan bareng sepulang sekolah. Mereka hanya duduk berdampingan, berbagi suasana tanpa perlu banyak bicara.

Tapi meskipun begitu, tanpa sadar, mereka mulai menjadi bagian dari dunia satu sama lain.

 

Saputangan Lusuh dan Permen Kecil

Hujan turun lebat di luar jendela kelas, menciptakan irama monoton yang mengisi keheningan di dalam ruangan. Guru sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu, meninggalkan murid-murid dengan tugas yang setengahnya tidak akan mereka kerjakan. Beberapa anak sudah mulai bergurau, sementara yang lain sibuk dengan ponselnya.

Di bangku belakang, Aruna mendengus kesal.

“Padahal aku udah latihan berhari-hari,” gumamnya sambil menekuk tangan di atas meja.

Di sebelahnya, Ravi menoleh sekilas. “Kenapa?”

Aruna menghela napas panjang. “Aku gagal seleksi lomba pidato. Katanya penyampaian aku kurang emosional.”

Ravi tidak langsung merespons. Ia hanya menatap Aruna yang menekuk wajahnya, seperti anak kecil yang tidak dapat hadiah ulang tahun.

“Kurang emosional?” Ravi mengulang kata-kata itu seolah mencerna. “Padahal kamu selalu penuh drama tiap kali cerita sesuatu.”

Aruna mendelik tajam ke arahnya. “Maksudnya?”

Ravi mengedikkan bahu. “Ya… seharusnya justru kamu yang paling gampang menyampaikan emosi, kan?”

Aruna ingin membantah, tapi kata-kata Ravi ada benarnya. Ia memang tipe orang yang ekspresif, tapi entah kenapa saat berdiri di panggung, semua terasa berbeda. Ia merasa kosong. Kata-kata yang ia ucapkan tidak punya makna, hanya barisan kalimat yang dihafal begitu saja.

Saat menyadari Aruna tidak menjawab, Ravi kembali menunduk, seperti menganggap obrolan mereka selesai. Tapi beberapa detik kemudian, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu—selembar saputangan lusuh yang sudah agak kusut.

“Nih.”

Aruna menatap saputangan itu, bingung. “Buat apa?”

“Ya buat kamu,” kata Ravi santai. “Kamu keliatan kayak mau nangis.”

“Aku enggak nangis.”

“Tapi keliatan kayak mau.”

Aruna menatapnya lama, lalu tanpa berkata apa pun, ia mengambil saputangan itu. Ada sedikit aroma yang aneh—campuran sabun cuci dan entah apa. Bukan wangi yang mewah, tapi juga bukan bau yang mengganggu.

Diam-diam, ia tersenyum kecil.

Setelah hari itu, ia tidak pernah mengembalikan saputangan Ravi.

Hari berganti, dan langit tidak selalu kelabu seperti hari itu. Kadang cerah, kadang mendung, tapi hubungan mereka tetap sama. Tidak ada pengakuan sebagai sahabat, tapi mereka selalu duduk di bangku yang sama, berbagi momen-momen kecil yang sering kali hanya mereka berdua yang mengerti.

Aruna mulai menyadari bahwa Ravi punya kebiasaan yang tidak banyak orang tahu. Ia suka mengamati orang dalam diam, lalu diam-diam membantu mereka tanpa mereka sadari.

Seperti ketika Aruna datang ke sekolah dengan wajah kusut karena bertengkar dengan kakaknya. Ia tidak cerita apa pun ke Ravi, tapi saat jam istirahat, ia menemukan permen kecil di atas bukunya.

Aruna mengambilnya, lalu menoleh ke samping. “Ini dari kamu?”

Ravi pura-pura tidak mendengar, fokus ke bukunya.

Aruna menahan senyum. Ia membuka bungkus permen itu dan memasukkannya ke mulut. Rasa manisnya langsung memenuhi lidahnya, seolah menyerap sisa kekesalan yang masih tersisa dalam dirinya.

“Kamu tahu dari mana aku lagi bete?” tanyanya setelah beberapa detik.

“Aku enggak tahu,” jawab Ravi, masih berpura-pura acuh. “Cuma tebak-tebakan aja.”

Aruna menghela napas panjang, tapi kali ini dengan perasaan yang jauh lebih ringan.

Mereka tidak pernah benar-benar bicara tentang hal-hal besar. Tidak pernah ada janji, tidak pernah ada kalimat seperti ‘aku ada buat kamu kapan pun’. Tapi dalam setiap saputangan lusuh dan permen kecil yang Ravi tinggalkan, Aruna tahu.

Ia tahu bahwa tanpa perlu banyak kata, Ravi selalu ada.

 

Flamboyan yang Merontokkan Kelopaknya

Waktu berlalu begitu cepat. Kelas dua belas sudah dimulai, dan rasa gugup menghantui setiap langkah Aruna. Tidak hanya soal ujian, tapi juga soal perpisahan. Sebentar lagi, ia akan menghadapi kenyataan yang sudah lama ia coba hindari—kenyataan bahwa ia dan Ravi mungkin akan berpisah, seperti dua bintang yang terpisah oleh jarak yang tak bisa dijembatani.

Hari itu, saat bel berbunyi dan anak-anak berlarian keluar kelas, Aruna menatap langit yang mulai memerah, mengingatkan pada pohon flamboyan di halaman sekolah yang sedang berbunga. Ada sesuatu tentang pohon itu—sesuatu yang terasa begitu familiar, seolah ia selalu menjadi latar belakang dari kenangan yang membekas.

Ia berjalan perlahan ke arah pohon itu, dan seperti biasa, Ravi sudah duduk di bawahnya. Tak ada kata sambutan, hanya tatapan tajamnya yang menyambut Aruna dengan keheningan.

“Kenapa di sini?” Aruna bertanya, meski sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Ravi selalu memilih tempat yang jauh dari keramaian, tempat di mana hanya pohon dan angin yang menemani.

“Tenang,” jawab Ravi singkat.

Aruna duduk di sebelahnya. Mereka berdua terdiam, memandangi daun-daun flamboyan yang mulai gugur, jatuh satu per satu ke tanah. Cuaca terasa semakin dingin, namun tidak ada satu pun dari mereka yang beranjak.

“Aruna,” Ravi mulai berbicara, suaranya lembut, hampir seperti bisikan.

Aruna menoleh. “Apa?”

“Kenapa kamu harus pergi?”

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ravi, dan sesaat, Aruna merasa dunia di sekitarnya berhenti bergerak. Ia menelan ludahnya, berusaha menenangkan perasaannya yang mulai kacau.

“Karena itu sudah jalannya,” jawabnya akhirnya. “Aku nggak bisa terus di sini. Aku punya mimpi sendiri.”

Ravi mengangguk, meskipun wajahnya tetap terlihat penuh tanya. “Aku juga punya mimpi,” katanya pelan, seakan menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri.

Aruna menatapnya, mencoba menafsirkan kata-kata itu. Tapi kemudian, Ravi mengambil satu kelopak bunga flamboyan yang jatuh dan menyodorkannya pada Aruna.

“Ini untuk kamu,” kata Ravi singkat.

Aruna terkejut, memandangi kelopak bunga merah yang indah itu sejenak sebelum menerimanya. “Apa maksudnya?”

“Kadang, ada hal-hal yang harus kita lepaskan. Tapi itu bukan berarti kita melupakan,” jawab Ravi.

Aruna diam, memeluk kelopak bunga itu dengan kedua tangannya, seperti memeluk kenangan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia ingin mengatakan sesuatu—sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata biasa. Tapi bibirnya terasa kelu.

Saat itu, mereka tidak perlu berkata banyak. Diam mereka lebih dari cukup.

Matahari mulai tenggelam di balik cakrawala, mengubah langit menjadi warna oranye yang menyatu dengan merah bunga flamboyan. Sementara itu, Aruna merasakan seolah-olah waktu berjalan lebih lambat, memberi mereka kesempatan terakhir untuk saling berbagi ruang.

“Jangan lupakan aku, Ravi,” bisik Aruna akhirnya, suaranya hampir tenggelam dalam angin sore yang berhembus pelan.

Ravi menatapnya, dan meskipun tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, Aruna bisa merasakan jawabannya dalam tatapan mata itu. Sebuah janji tak terucap yang akan selalu ada, meskipun mereka tak lagi berada di tempat yang sama.

Pohon flamboyan itu terus menggugurkan kelopak-kelopaknya, satu per satu, seperti kenangan yang perlahan-lahan mengalir dalam alur waktu yang tak bisa dihentikan. Dan Aruna tahu, itu adalah akhir yang tidak akan pernah mereka inginkan, namun harus diterima.

 

Sepotong Senja yang Tertinggal

Pagi itu, langit tidak terlihat secerah biasanya. Langit kelabu, seperti perasaan Aruna yang sudah mengisi ruang di dadanya sejak beberapa hari terakhir. Semua persiapan telah selesai—ia sudah mempersiapkan segala hal, mengemas barang-barangnya, dan menyusun kata-kata untuk perpisahannya. Tapi hatinya tetap kosong.

Hari itu, Aruna tidak berangkat sendirian. Di sampingnya, ada orang tuanya yang terlihat sedikit lebih tenang dari biasanya, seolah mencoba menenangkan perasaan Aruna yang gelisah. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Perpisahan ini bukan hanya tentang meninggalkan rumah, tapi juga tentang meninggalkan sesuatu yang lebih berharga—kenangan yang ia tidak tahu kapan akan dilupakan.

Di sekolah, suasana terasa aneh. Semua teman-teman sudah melanjutkan rutinitas mereka, bahkan ada yang sudah melupakan bahwa Aruna akan pergi. Mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan kehadiran satu sama lain, atau mungkin mereka juga tahu bahwa kehidupan harus terus berjalan.

Namun bagi Aruna, itu adalah hari yang terasa begitu berat. Hari terakhir di sekolah. Hari terakhir ia akan melihat pohon flamboyan yang selalu memberi warna pada setiap kenangan yang ia miliki.

Ketika bel terakhir berbunyi, Aruna berjalan keluar dari kelas, menahan perasaan yang mulai menggebu. Di halaman sekolah, ia melihat Ravi sudah berdiri di bawah pohon flamboyan, seperti biasanya. Kali ini, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, hanya senyuman tipis yang bisa Aruna tangkap.

“Ravi,” panggil Aruna, suaranya terdengar agak gemetar.

Ravi menoleh, matanya yang tajam itu terlihat lebih dalam dari biasanya. Sepertinya dia tahu apa yang akan terjadi, dan tak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk menghentikan waktu.

“Aruna,” jawab Ravi, suaranya rendah, namun dalam.

Aruna berjalan mendekat, memandangnya tanpa berkata apa-apa. Tidak ada lagi perasaan canggung di antara mereka. Hanya ada keheningan yang mengisi ruang di antara mereka.

“Lihat,” kata Ravi, menunjuk ke pohon flamboyan yang kini mulai rontokkan kelopak-kelopaknya. “Kelopak-kelopak ini akan terus jatuh, tapi pohon ini tetap berdiri. Mungkin ini yang akan terjadi pada kita.”

Aruna menunduk, mengamati kelopak-kelopak yang jatuh perlahan, menyentuh tanah dengan lembut. “Aku… aku nggak ingin melupakan kamu, Ravi.”

Ravi hanya tersenyum, senyum yang entah mengapa terasa begitu sedih. “Kamu nggak perlu melupakan. Kadang, kita hanya perlu memberi ruang untuk hal-hal baru.”

Aruna merasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Ia ingin mengatakan banyak hal, tapi kata-kata itu terasa seperti sudah terbungkam dalam kesunyian yang begitu dalam. Ia menarik napas panjang.

“Aku nggak tahu kapan kita akan bertemu lagi,” ujar Aruna, suaranya hampir hilang ditelan angin.

“Suatu saat nanti, kita pasti akan bertemu,” jawab Ravi. “Tapi mungkin kita nggak akan sama lagi.”

Aruna menatap wajah Ravi, mencoba menyimpan tiap detailnya—seperti pohon flamboyan yang selalu memberikan warna yang indah setiap kali mereka bertemu. Tapi kali ini, ia tahu bahwa waktunya sudah habis.

Ravi mengambil sesuatu dari sakunya—selembar kertas kecil yang dilipat rapi. “Ini buat kamu. Kalau kamu merasa aku cuma tinggal kenangan, baca ini,” katanya, menyerahkan kertas itu pada Aruna.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Ravi berbalik, meninggalkan Aruna di bawah pohon flamboyan yang masih berdiri kokoh, meski kelopaknya terus jatuh. Aruna memegang kertas itu erat-erat, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh.

Ketika ia membuka kertas itu, hanya ada satu kalimat tertulis di sana:

“Kamu adalah warna yang selalu aku ingat, meskipun segala sesuatu berubah.”

Aruna tersenyum, meski air mata mengalir perlahan di pipinya. Ia tahu, apa pun yang terjadi, kenangan tentang Ravi dan pohon flamboyan ini akan selalu hidup dalam dirinya. Seperti senja yang tak pernah benar-benar hilang, hanya tertinggal sebagai kenangan yang tak akan pernah pudar.

 

Nah, itu dia ceritanya! Gimana, seru gak? Masa sekolah memang penuh dengan cerita—entah itu yang bikin senyum atau yang bikin nangis. Tapi yang pasti, kenangan itu nggak pernah bisa hilang. Jadi, jangan takut untuk hidupin setiap momen, karena masa sekolah bakal selalu jadi bagian dari cerita hidup yang tak tergantikan!

Leave a Reply