Kenangan di Ujung Pelangi: Perjalanan dari SD ke SMP

Posted on

Masuki dunia penuh emosi dan kenangan masa kecil melalui cerpen inspiratif Kenangan di Ujung Pelangi: Perjalanan dari SD ke SMP. Cerita ini mengajak Anda menyelami kisah persahabatan, perpisahan, dan reuni yang menyentuh hati, menggambarkan perjalanan Kaelan dan Pasukan Pelangi menghadapi transisi dari SD ke SMP di desa Lembayung. Dengan narasi yang kaya detail dan penuh makna, cerpen ini menghidupkan nostalgia masa sekolah yang relatable, cocok untuk Anda yang rindu akan tawa, air mata, dan ikatan persahabatan di masa kecil. Simak ulasan lengkapnya dan temukan mengapa cerita ini wajib dibaca untuk mengenang momen indah di hidup Anda!

Kenangan di Ujung Pelangi

Aroma Kapur dan Tawa di Pagi Hari

Langit pagi di desa kecil bernama Lembayung masih menyisakan embun yang menempel di ujung-ujung daun pisang di halaman sekolah. SD Bintang Pelangi, sebuah bangunan sederhana dengan tembok cat putih yang mulai mengelupas, berdiri di tengah sawah yang membentang hijau. Di sinilah aku, Kaelan Arsyad, menghabiskan hari-hari terakhirku sebagai anak kelas enam. Usiaku baru sebelas tahun, tapi rasanya dunia ini penuh dengan rahasia yang menunggu untuk dipecahkan.

Pagi itu, seperti biasa, aku berlari kecil menuju sekolah dengan tas ransel biru tua yang sudah sedikit robek di sisi kanannya. Di saku celanaku, ada sebuah kelereng mata kucing yang kugenggam erat—benda kecil yang selalu kubawa sejak ayah memberikannya sebagai hadiah ulang tahun dua tahun lalu. Kelereng itu bukan sekadar mainan; ia seperti jimat yang mengingatkanku pada ayah, yang kini bekerja jauh di kota dan hanya pulang sebulan sekali.

Di gerbang sekolah, aku disambut oleh suara riuh teman-temanku. Ada Zevanya, gadis berambut ikal yang selalu membawa buku catatan penuh coretan puisi di tasnya. Dia sedang berdiri di dekat tiang bendera, berdebat dengan Ravindra, anak paling genit di kelas yang selalu punya cara untuk membuat semua orang tertawa, meski kadang dengan lelucon yang agak kelewatan. Di sudut lain, ada Lintang, anak pendiam yang lebih suka menggambar di buku tulisnya ketimbang ikut bermain karet atau gobak sodor. Kami berempat adalah geng yang tak terpisahkan, menyebut diri kami “Pasukan Pelangi” karena kami yakin, seperti pelangi, kami punya warna masing-masing yang membuat hidup ini lebih indah.

Hari itu adalah hari terakhir sebelum ujian kelulusan SD. Buah-buahan kegembiraan dan kecemasan bercampur di udara. Bu Guru Siti, guru kelas kami yang berwajah lembut tapi tegas, masuk ke kelas dengan senyum tipis. “Kalian siap untuk ujian besok?” tanyanya sambil menulis soal latihan di papan tulis dengan kapur putih yang sedikit berderit. Aroma kapur itu, entah kenapa, selalu membuatku merasa nyaman, seolah-olah kelas ini adalah rumah keduaku.

Saat istirahat, aku dan Pasukan Pelangi duduk di bawah pohon kersen yang rindang di sudut halaman sekolah. Zevanya membaca puisinya dengan suara pelan, tentang langit yang menangis dan bintang yang bersembunyi. “Ini tentang perpisahan,” katanya, matanya berkaca-kaca. Aku tahu dia sedang memikirkan SMP. Kami semua tahu, setelah lulus SD, kami mungkin tidak akan satu sekolah lagi. Zevanya ingin melanjutkan ke SMP di kota karena ayahnya pindah kerja, sementara aku, Ravindra, dan Lintang kemungkinan akan tetap di desa, masuk ke SMP Bintang Jaya yang letaknya tak jauh dari SD kami.

“Aku nggak mau pisah,” kata Ravindra tiba-tiba, suaranya yang biasanya ceria kini terdengar serak. Dia melemparkan kerikil kecil ke arah genangan air di dekat pohon. “Kalian pernah nggak sih, ngerasa takut sama sesuatu yang belum terjadi?” Aku menatapnya, terkejut. Ravindra, yang selalu punya lelucon di ujung lidahnya, kini terlihat rapuh. Aku ingin bilang sesuatu untuk menghiburnya, tapi kata-kata terasa macet di tenggorokan.

Lintang, yang selama ini diam, tiba-tiba mengeluarkan buku gambarnya. Di halaman terakhir, ada sketsa kami berempat: aku dengan senyum lebar memegang kelereng, Zevanya dengan buku puisinya, Ravindra dengan ekspresi nakal, dan Lintang sendiri dengan pensil di tangan. “Ini buat kita,” katanya pelan. “Supaya kita nggak lupa.” Mataku panas. Aku ingin memeluk mereka semua, tapi aku hanya mengangguk, takut suaraku akan pecah jika bicara.

Sore itu, setelah bel pulang berbunyi, kami berjalan pulang bersama, melewati jalan setapak di antara sawah. Matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat oranye dan ungu. Zevanya tiba-tiba berhenti dan menunjuk ke langit. “Lihat! Pelangi!” katanya. Benar saja, di ujung sawah, sebuah pelangi muncul, samar tapi indah. Kami berlari ke arahnya, tertawa, seolah-olah kami bisa mengejar ujung pelangi itu. Saat itu, aku merasa waktu berhenti. Aku ingin menyimpan momen ini selamanya—tawa kami, aroma tanah basah, dan pelangi yang seolah-olah diciptakan hanya untuk kami.

Tapi, di dalam hati, aku tahu: ini adalah akhir dari sesuatu yang indah, dan awal dari sesuatu yang tak kuketahui. Malam itu, di kamar kecilku yang hanya diterangi lampu minyak, aku memandang kelereng mata kucing di tanganku. Cahayanya memantul di dinding, seperti bintang kecil yang berkedip. Aku berdoa, dengan cara anak-anak yang polos, agar kami—Pasukan Pelangi—bisa tetap bersama, meski hidup akan membawa kami ke jalan yang berbeda.

Hujan di Hari Kelulusan

Hari kelulusan tiba dengan langit yang kelabu. Awan tebal menggantung di atas desa Lembayung, seolah-olah ikut merasakan beban di hati kami. Aku, Kaelan Arsyad, bangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk—antara lega karena ujian SD sudah selesai dan cemas memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Di meja kecil di sudut kamar, kelereng mata kucing milikku berkilau lembut di bawah sinar lampu minyak yang redup. Aku menggenggamnya sebentar, berharap benda kecil itu bisa memberiku keberanian untuk menghadapi hari ini.

Pagi itu, ibuku, yang selalu sibuk menyiapkan sarapan dengan aroma nasi goreng kampung yang menggoda, menatapku dengan senyum hangat. “Kaelan, hari ini hari besar. Bangga sama kamu, ya,” katanya sambil mengelus kepalaku. Aku hanya mengangguk, tak ingin ibu tahu bahwa hatiku sedang dipenuhi kekhawatiran tentang perpisahan dengan Pasukan Pelangi. Aku mengenakan seragam SD-ku untuk terakhir kalinya—kemeja putih yang sudah sedikit kekuningan di kerah dan celana biru yang ujungnya mulai berjumbai. Tas ranselku terasa lebih berat, meski isinya hanya buku catatan dan pensil yang sudah tumpul.

Di SD Bintang Pelangi, suasana hari itu berbeda. Halaman sekolah yang biasanya riuh dengan anak-anak yang bermain karet atau kejar-kejaran kini dipenuhi kursi-kursi plastik yang disusun rapi untuk acara kelulusan. Spanduk sederhana bertuliskan “Selamat Kelulusan Angkatan 2019” tergantung di atas panggung kecil yang terbuat dari kayu. Aku melihat Zevanya sudah duduk di barisan depan, rambut ikalnya diikat rapi dengan pita merah yang jarang ia pakai. Di sebelahnya, Ravindra mengenakan dasi yang sedikit miring, sengaja mungkin, untuk menunjukkan sisi nakalnya. Lintang, seperti biasa, duduk di ujung barisan, memegang buku gambarnya erat-erat seolah itu adalah perisai.

Acara dimulai dengan sambutan dari Kepala Sekolah, Pak Darmawan, yang suaranya serak tapi penuh semangat. “Kalian adalah bintang-bintang yang akan bersinar di mana pun kalian berada,” katanya. Aku ingin mempercayai kata-kata itu, tapi pikiranku terus melayang ke Zevanya, yang sebentar lagi akan pindah ke kota. Aku membayangkan hari-hari tanpa puisinya yang penuh makna, tanpa candaan Ravindra yang kadang menyebalkan, dan tanpa sketsa-sketsa Lintang yang selalu membuatku kagum.

Saat nama-nama lulusan dipanggil satu per satu, aku merasakan jantungan di dadaku. Ketika namaku disebut, “Kaelan Arsyad,” aku melangkah ke panggung dengan kaki yang terasa seperti terbuat dari timah. Bu Guru Siti menyerahkan piagam kelulusan dengan senyum yang hangat, tapi matanya berkaca-kaca. “Kaelan, jangan lupa belajar keras di SMP, ya,” bisiknya. Aku hanya mengangguk, takut suaraku akan pecah jika aku membuka mulut.

Setelah acara selesai, hujan mulai turun. Bukan hujan deras, tapi gerimis yang lembut, seperti air mata langit. Kami, Pasukan Pelangi, memutuskan untuk tidak langsung pulang. Kami berlindung di bawah pohon kersen yang sama, tempat kami biasa menghabiskan waktu istirahat. Zevanya membuka buku puisinya dan membaca dengan suara yang gemetar:

Hujan di ujung pelangi,
Menyapu tawa yang pernah ada,
Kita berdiri di persimpangan,
Antara kenangan dan mimpi yang tak pasti.

Aku melihat air mata mengalir di pipi Zevanya, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan menunduk. Ravindra, yang biasanya tak pernah kehabisan kata, hanya diam, memainkan ranting kecil di tangannya. Lintang mengeluarkan sketsa baru dari buku gambarnya—gambar kami berempat berdiri di bawah pelangi, tapi kali ini ada hujan di latar belakang. “Ini hari ini,” katanya pelan. “Aku ingin ingat ini selamanya.”

Aku merasa ada sesuatu yang tercekat di tenggorokanku. “Kalian nggak boleh lupa aku, ya,” kataku tiba-tiba, suaraku lebih keras dari yang kuinginkan. Zevanya menatapku, lalu memelukku erat. “Kaelan, kita nggak akan lupa. Janji.” Ravindra dan Lintang ikut bergabung dalam pelukan itu, dan untuk pertama kalinya, aku tak malu menangis di depan mereka. Hujan makin deras, tapi kami tak peduli. Kami berdiri di sana, basah kuyup, memeluk kenangan yang tahu-tahu terasa begitu rapuh.

Sore itu, saat kami akhirnya berpisah di ujung jalan setapak, Zevanya menyerahkan buku puisinya kepadaku. “Simpan ini, Kaelan. Tulis sesuatu di dalamnya kalau kamu kangen.” Aku mengangguk, tak bisa berkata apa-apa. Di tanganku, kelereng mata kucing terasa dingin, basah oleh hujan. Aku memandang punggung Zevanya yang perlahan menghilang di tikungan jalan, dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa masa kecilku benar-benar telah berakhir.

Malam itu, di kamarku, aku membuka buku puisi Zevanya. Di halaman pertama, ada tulisan tangannya: “Untuk Kaelan, jangan takut mengejar pelangi, meski hujan datang.” Aku menutup buku itu dan memeluknya erat, berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan menjaga kenangan ini, apa pun yang terjadi di SMP nanti.

Langkah Pertama di Dunia Baru

Musim panas setelah kelulusan SD terasa seperti jeda panjang yang penuh dengan keheningan. Desa Lembayung masih sama—sawah yang hijau, suara burung pipit di pagi hari, dan aroma tanah basah setiap kali hujan turun. Tapi bagi aku, Kaelan Arsyad, dunia terasa berbeda. Zevanya sudah pindah ke kota sebulan lalu, membawa serta buku puisinya yang kini kusimpan di laci meja kamarku. Aku sering membukanya, membaca ulang kata-kata yang ia tulis, tapi setiap kali melakukannya, ada rasa sesak yang sulit dijelaskan. Kelereng mata kucing, jimat kecilku, masih setia menemaniku, berkilau di bawah sinar lampu minyak saat malam tiba.

Hari pertama di SMP Bintang Jaya tiba lebih cepat dari yang kuinginkan. Pagi itu, aku mengenakan seragam baru—kemeja putih yang masih kaku dan celana abu-abu yang terasa sedikit kebesaran. Ibuku, dengan mata berbinar, mengatur kerah bajuku sambil berkata, “Kaelan, ini langkah baru. Jadilah anak yang kuat, ya.” Aku hanya tersenyum kecil, tapi di dalam hati, aku merasa seperti sedang melangkah ke hutan asing tanpa peta.

SMP Bintang Jaya berbeda dari SD Bintang Pelangi. Gedungnya lebih besar, dengan dua lantai dan koridor panjang yang bau catnya masih menyengat. Murid-muridnya datang dari berbagai desa di sekitar Lembayung, membuat halaman sekolah penuh dengan wajah-wajah asing. Aku mencari-cari Ravindra dan Lintang di antara kerumunan, berharap kehadiran mereka bisa membuatku merasa sedikit lebih aman. Akhirnya, aku melihat Ravindra di dekat lapangan basket, masih dengan senyum nakalnya, meski aku bisa melihat ada sedikit ketegangan di matanya. “Kaelan! Akhirnya ketemu!” serunya, menepuk pundakku keras. Lintang berdiri di dekatnya, memegang buku gambar yang sama, tapi wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya.

Kami bertiga ditempatkan di kelas yang sama, 7A, sebuah kelegaan kecil di tengah lautan ketidakpastian. Tapi tanpa Zevanya, Pasukan Pelangi terasa pincang. Ruang kelas baru kami dipenuhi wajah-wajah baru, beberapa di antaranya terlihat percaya diri, sementara yang lain, seperti aku, tampak bingung dan canggung. Guru pertama yang masuk adalah Bu Wulan, guru matematika yang berbicara dengan nada tegas dan cepat. Dia langsung membagikan buku pelajaran yang tebal dan berat, membuatku tiba-tiba rindu pada buku pelajaran SD yang penuh gambar warna-warni.

Di jam istirahat, kami bertiga duduk di bangku kayu di dekat kantin sekolah. Aroma bakpao dan teh manis dari warung kecil di sudut halaman mengingatkanku pada hari-hari di SD, tapi suasananya berbeda. Ravindra mencoba menghibur dengan bercerita tentang anak kelas 7B yang katanya sudah membuat masalah di hari pertama karena mencuri kapur dari ruang guru. Tapi tawanya terdengar dipaksakan, dan aku tahu dia juga merindukan Zevanya. Lintang, seperti biasa, hanya diam, menggambar sesuatu di buku gambarnya. Aku melirik sketsanya—sebuah pohon kersen dengan empat sosok kecil di bawahnya, tapi salah satu sosok digambar dengan pensil yang lebih samar, seolah-olah mulai memudar.

“Kalian dengar kabar dari Zevanya?” tanyaku, berusaha terdengar santai meski hatiku berdebar. Ravindra menggeleng. “Dia cuma bilang sekolah barunya besar dan ramai. Katanya dia kangen kita.” Lintang mengangguk pelan, tapi tak mengatakan apa-apa. Aku merogoh saku dan menggenggam kelereng mata kucing, berharap itu bisa mengusir rasa kosong di dadaku.

Hari-hari berikutnya di SMP terasa seperti menaiki perahu di tengah ombak. Pelajaran lebih sulit, tugas menumpuk, dan aku harus beradaptasi dengan guru-guru baru yang tak semuanya selembut Bu Guru Siti. Tapi yang paling sulit adalah menghadapi kenyataan bahwa Pasukan Pelangi tak lagi utuh. Aku mulai menulis di buku puisi Zevanya, bukan puisi seperti yang dia buat, tapi catatan-catatan kecil tentang hari-hariku. “Hari ini aku lupa rumus luas lingkaran. Ravindra ketahuan nyanyi di kelas. Lintang gambar pohon lagi,” tulisku suatu malam, di bawah cahaya lampu minyak yang mulai redup.

Suatu sore, setelah pulang sekolah, aku mendapat surat dari Zevanya. Amplopnya sederhana, dengan tulisan tangannya yang rapi di bagian depan. Aku membukanya dengan tangan gemetar, dan di dalamnya ada selembar kertas dengan puisi baru:

Di kota yang penuh lampu,
Aku mencari pelangi di antara gedung,
Tapi hanya bayang kalian yang kutemukan,
Di sudut hati, di ujung mimpi.

Di bawah puisi itu, dia menulis: “Kaelan, jangan lupa pelangi kita. Aku akan kembali suatu hari.” Air mataku jatuh ke kertas, membuat tinta birunya sedikit luntur. Aku merasa dia begitu jauh, tapi kata-katanya membuatnya terasa begitu dekat. Aku mengambil kelereng mata kucing dan memandangnya lama. Cahayanya memantul di dinding kamarku, seperti bintang kecil yang menolak padam.

Malam itu, aku menulis balasan untuk Zevanya, menceritakan tentang SMP, tentang Ravindra yang masih usil, tentang Lintang yang semakin pendiam, dan tentangku yang masih mencoba menemukan tempatku di dunia baru ini. Aku mengakhiri suratku dengan janji: “Zev, kita akan ketemu lagi di ujung pelangi. Tunggu aku.” Aku melipat surat itu dengan hati-hati, berharap kata-kataku bisa sampai kepadanya, membawa sedikit kehangatan dari Lembayung ke kota yang jauh.

Pelangi Setelah Badai

Waktu berlalu seperti air di sungai kecil yang mengalir di belakang desa Lembayung, tak terasa sudah setahun sejak aku, Kaelan Arsyad, melangkah ke dunia SMP Bintang Jaya. Kini aku duduk di kelas 8A, dengan seragam yang sudah pas di badan, meski kemeja putihku mulai sedikit usang di siku. Kelereng mata kucing masih setia di saku celanaku, meski warnanya sedikit memudar karena terlalu sering kugosok dengan jari. Buku puisi Zevanya, yang kini penuh dengan catatan-catatanku, menjadi teman setia di malam-malam ketika rindu pada Pasukan Pelangi terasa tak tertahankan.

Hari-hari di SMP tak lagi terasa asing, tapi ada lubang kecil di hati yang tak pernah benar-benar terisi. Ravindra masih menjadi badut kelas, meski kini ia mulai serius dengan basket dan sering terlihat di lapangan setelah jam sekolah. Lintang tetap pendiam, tapi sketsa-sketsanya kini lebih hidup, penuh dengan detail yang membuatku takjub. Ia mulai menggambar pemandangan kota, seolah mencoba membayangkan dunia tempat Zevanya berada. Aku sendiri menemukan ketertarikan baru pada pelajaran sastra, terutama karena Bu Wulan, yang ternyata tak seketat dulu, sering memuji karangan esai yang kutulis tentang kenangan masa kecil.

Namun, di balik rutinitas baru ini, ada kerinduan yang terus menggerogoti. Surat-surat dari Zevanya masih datang, meski kini lebih jarang karena kesibukannya di sekolah barunya. Setiap suratnya selalu diakhiri dengan puisi pendek, dan aku selalu membalas dengan cerita-cerita kecil tentang Lembayung, tentang pohon kersen yang kini mulai berbuah, tentang Ravindra yang hampir jatuh saat mencoba memanjat tembok sekolah, dan tentang Lintang yang mulai berani berbicara di depan kelas. Tapi aku tak pernah menulis tentang betapa aku takut kami akan semakin menjauh, takut kenangan kami akan memudar seperti warna kelerengku.

Suatu sore di akhir musim hujan, ketika langit Lembayung kembali cerah, aku mendapat kabar yang tak pernah kuduga. Ravindra berlari ke rumahku, napasnya tersengal, wajahnya penuh keringat. “Kaelan! Zevanya pulang! Dia di SD Bintang Pelangi sekarang!” Aku terpaku, tak percaya. Kelereng di sakuku terasa hangat saat kugenggam erat. Tanpa banyak bicara, aku dan Ravindra berlari menuju SD, diikuti Lintang yang membawa buku gambarnya seperti selalu.

Ketika sampai di halaman SD Bintang Pelangi, aku melihatnya—Zevanya, berdiri di bawah pohon kersen yang dulu menjadi tempat kami. Rambut ikalnya kini lebih panjang, dan ia mengenakan jaket biru yang tak pernah kulihat sebelumnya. Tapi senyumnya, senyum yang penuh kehangatan, sama seperti dulu. Aku merasa waktu berputar balik, membawaku kembali ke hari-hari ketika kami berlari mengejar pelangi. “Kaelan! Ravindra! Lintang!” serunya, berlari ke arah kami. Kami berpelukan, tawa dan air mata bercampur, sementara aroma tanah basah dan bunga kersen memenuhi udara.

Zevanya menceritakan bahwa keluarganya kembali ke Lembayung karena ayahnya mendapat pekerjaan baru di kota tetangga. Ia akan melanjutkan sekolah di SMP Bintang Jaya mulai semester depan. “Aku kangen kalian,” katanya, matanya berkaca-kaca. “Kota itu besar, tapi tak ada pelangi seperti di sini.” Lintang, yang biasanya tak banyak bicara, tiba-tiba menyerahkan buku gambarnya. Di halaman terakhir, ada sketsa baru: kami berempat di bawah pohon kersen, dengan pelangi yang cerah di langit. “Ini untukmu,” katanya pelan. Zevanya memeluknya erat, dan aku melihat air mata jatuh di pipinya.

Malam itu, kami duduk bersama di tepi sawah, seperti dulu. Matahari tenggelam, mewarnai langit dengan semburat oranye dan ungu, dan sebuah pelangi muncul lagi, lebih jelas dari yang pernah kulihat. Ravindra, dengan suara yang kembali ceria, berkata, “Pasukan Pelangi nggak akan pernah bubar, kan?” Kami tertawa, dan Zevanya mengangguk. “Nggak akan. Kita janji di ujung pelangi.”

Aku mengeluarkan kelereng mata kucing dari saku dan memandangnya. Cahayanya memantul di bawah sinar bulan, seperti bintang kecil yang tak pernah padam. Aku menyerahkan buku puisi Zevanya kembali kepadanya. “Aku udah nulis banyak di sini,” kataku. “Sekarang giliranmu lagi.” Ia tersenyum, membuka buku itu, dan menulis sesuatu dengan cepat. Ketika ia menunjukkannya padaku, aku membaca:

Pelangi tak pernah pergi,
Ia hanya bersembunyi di balik hujan,
Dan kita, di ujungnya,
Akan selalu menemukan jalan pulang.

Aku menutup buku itu, merasa hati yang tadinya kosong kini penuh. Pasukan Pelangi kembali utuh, dan meski aku tahu perjalanan ke depan tak akan selalu mudah, aku yakin kami akan menghadapinya bersama. Malam itu, di bawah langit Lembayung yang berkilau, aku belajar bahwa kenangan tak pernah benar-benar hilang—ia hanya menunggu di ujung pelangi, siap untuk ditemukan lagi.

Kenangan di Ujung Pelangi: Perjalanan dari SD ke SMP bukan sekadar cerita, melainkan cerminan emosi universal tentang persahabatan, perubahan, dan harapan yang selalu menemukan jalan kembali. Cerpen ini mengingatkan kita bahwa, seperti pelangi setelah hujan, kenangan indah akan selalu bersinar di hati, tak peduli seberapa jauh waktu membawa kita. Jadilah bagian dari perjalanan emosional ini dan biarkan kisah Kaelan, Zevanya, Ravindra, dan Lintang menginspirasi Anda untuk menghargai setiap momen berharga dalam hidup.

Terima kasih telah menyelami keindahan Kenangan di Ujung Pelangi bersama kami! Jangan lupa bagikan cerita ini kepada teman-teman Anda dan tulis kenangan masa kecil Anda sendiri di kolom komentar. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan teruslah mengejar pelangi dalam setiap langkah hidup Anda!

Leave a Reply