Daftar Isi
Selami kisah penuh emosi dalam “Kenangan di Sungai Air Mata”, sebuah cerpen yang menggambarkan perjalanan Kaelan Rimba dalam menemukan kedamaian di tepi Sungai Air Mata. Cerita ini bukan sekadar tentang mandi di sungai, tetapi tentang bagaimana aliran air menjadi cermin kenangan, duka, dan harapan. Dengan detail yang memikat dan emosi yang mendalam, cerpen ini mengajak Anda menyelami makna kehilangan, penyembuhan, dan hubungan tak terucapkan dengan alam. Siapkah Anda terhanyut dalam aliran cerita yang penuh makna ini?
Kenangan di Sungai Air Mata
Panggilan Sungai
Di desa kecil bernama Lembah Rintik, yang tersembunyi di antara perbukitan hijau dan kabut pagi yang lembut, hiduplah seorang pemuda bernama Kaelan Rimba. Ia bukan pemuda biasa; matanya menyimpan kilau seperti air sungai yang memantulkan sinar matahari, dan rambutnya yang ikal seakan menari mengikuti angin. Kaelan dikenal sebagai anak yang pendiam, namun hatinya penuh dengan rahasia dan kenangan yang tak pernah ia bagi dengan siapa pun. Di desa itu, sungai bernama Air Mata mengalir, dinamakan demikian karena airnya begitu jernih hingga konon bisa mencerminkan duka seseorang. Sungai ini bukan sekadar aliran air; ia adalah jiwa desa, tempat anak-anak bermain, orang tua mencuci, dan para pemuda seperti Kaelan mencari ketenangan.
Pagi itu, matahari baru saja muncul di ufuk timur, menyapu kabut dengan sinarnya yang hangat. Kaelan berdiri di tepi Sungai Air Mata, kakinya telanjang menyentuh kerikil-kerikil halus yang dingin. Ia memegang sehelai kain sarung tua milik ayahnya, yang sudah meninggal tiga tahun lalu dalam sebuah kecelakaan di hutan. Sarung itu berwarna hijau pudar, dengan motif burung-burung kecil yang seolah terbang bebas. Kaelan sering memakainya saat mandi di sungai, seolah kain itu membawa kehadiran ayahnya kembali, meski hanya dalam bayangan.
“Ayah bilang, sungai ini punya cerita,” gumam Kaelan pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tenggelam oleh gemericik air. Ia menatap aliran sungai yang berkilau, mencoba mencari bayangan wajahnya sendiri di permukaan air. Namun, yang ia lihat bukan hanya wajahnya, melainkan kenangan-kenangan yang mengalir seperti air itu sendiri—kenangan tentang ayahnya, tentang tawa mereka saat mandi bersama di sungai ini, dan tentang malam-malam ketika Kaelan kecil menangis karena takut kehilangan ayahnya.
Kaelan melangkah ke dalam air. Dinginnya air sungai langsung mencengkeram kakinya, membuatnya menggigil sejenak sebelum tubuhnya mulai terbiasa. Ia menunduk, mencelupkan tangannya ke dalam air, dan merasakan aliran lembut yang menyapu jari-jarinya. Sungai ini selalu terasa hidup baginya, seolah-olah ia bisa berbicara, menyanyikan lagu-lagu lama yang hanya dimengerti oleh mereka yang benar-benar mendengarkan. Kaelan mengambil sabun batangan dari saku sarungnya—sabun buatan ibunya, wangi melati yang lembut namun kuat, mengingatkannya pada pelukan ibunya di malam-malam yang dingin.
Saat ia mulai menggosokkan sabun ke lengannya, pikirannya melayang ke masa kecilnya. Ia teringat hari ketika ayahnya, Darun Rimba, mengajarinya berenang di sungai ini. Kaelan berusia enam tahun, tubuhnya kecil dan ringkih, takut pada air yang tampak begitu dalam dan misterius. “Jangan takut, Kael,” kata ayahnya dengan suara yang dalam namun penuh kehangatan. “Sungai ini seperti hidup. Kalau kamu hormati dia, dia akan menjaga kamu.” Kaelan kecil memegang erat tangan ayahnya, kakinya menggapai-gapai di air, dan tawa mereka menggema di antara pepohonan yang menjulang di tepi sungai.
Namun, kenangan itu segera bercampur dengan duka. Tiga tahun lalu, ayahnya pergi ke hutan untuk mencari kayu, seperti biasa. Tapi malam itu, ia tak pernah kembali. Desa gempar, para tetua mengirim kelompok pencari, namun yang mereka temukan hanyalah tubuh Darun yang sudah tak bernyawa, terperosok di jurang dengan luka di kepalanya. Kaelan masih ingat bagaimana ibunya, Mirani, menangis tanpa suara, memeluk sarung hijau milik ayahnya seolah itu satu-satunya yang tersisa dari suaminya. Sejak itu, Kaelan merasa sungai ini bukan lagi tempat tawa, melainkan tempat ia menyimpan duka.
Ia menggosok sabun lebih keras, seolah ingin membersihkan bukan hanya tubuhnya, tetapi juga beban di hatinya. Air sungai mengalir di sekitarnya, membawa busa-busa kecil menjauh, dan Kaelan merasa seolah air itu juga membawa sedikit demi sedikit kesedihannya. Ia menunduk, membiarkan air menyentuh wajahnya, dan untuk sesaat, ia merasa seperti anak kecil lagi, bebas dari luka yang tak terlihat.
Tiba-tiba, suara langkah kaki di kerikil memecah lamunannya. Kaelan menoleh dan melihat Siluna, gadis seusianya yang dikenal sebagai penutur cerita di desa. Rambutnya yang panjang dan hitam legam dikepang rapi, dan matanya selalu tampak menyimpan rahasia. Siluna bukan teman dekat Kaelan, tapi mereka sering bertemu di sungai ini, tempat Siluna suka duduk di batu besar sambil membaca buku tua yang ia temukan di gudang rumah neneknya.
“Kaelan, pagi ini sungainya terlihat lebih jernih, ya?” kata Siluna sambil tersenyum kecil, duduk di batu besar itu dengan kaki menjuntai ke air. Suaranya lembut, namun ada nada penasaran di dalamnya, seolah ia tahu Kaelan sedang memikirkan sesuatu.
Kaelan hanya mengangguk, tak yakin harus menjawab apa. Ia selalu merasa canggung di dekat Siluna, bukan karena ia tak menyukainya, tetapi karena Siluna seolah bisa melihat menembus dinding-dinding yang ia bangun di sekitar hatinya. “Kamu selalu datang ke sini pagi-pagi,” lanjut Siluna, kali ini nadanya lebih serius. “Ada apa dengan sungai ini, Kael? Kamu seperti… mencari sesuatu.”
Kaelan terdiam. Ia memandang air yang mengalir, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Bukan mencari,” akhirnya ia berkata, suaranya pelan. “Hanya… mengingat.”
Siluna tidak bertanya lebih lanjut, tapi tatapannya penuh pengertian. Ia mengambil sehelai daun yang jatuh ke air dan memainkannya di tangannya, seolah memberi Kaelan waktu untuk tenggelam kembali dalam pikirannya. Kaelan kembali mandi, kali ini lebih perlahan, membiarkan air menyapu setiap inci tubuhnya. Ia merasa sungai ini bukan hanya tempat untuk membersihkan diri, tetapi juga tempat untuk berdamai dengan kenangan yang terus menghantuinya.
Saat matahari mulai naik lebih tinggi, sinarnya menerobos celah-celah daun di pepohonan, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di permukaan sungai. Kaelan menutup matanya, mendengarkan suara air, kicau burung, dan angin yang berbisik di antara dedaunan. Untuk sesaat, ia merasa ayahnya ada di sana, berdiri di sampingnya, tersenyum seperti dulu. Tapi ketika ia membuka mata, hanya ada air, kerikil, dan Siluna yang masih duduk di batu besar, menatapnya dengan senyum kecil yang penuh misteri.
Kaelan tahu, sungai ini akan selalu memanggilnya kembali. Bukan hanya untuk mandi, tetapi untuk menemukan potongan-potongan dirinya yang hilang, yang tercecer di antara aliran air dan kenangan yang tak pernah pudar.
Bayang-Bayang di Air
Hari mulai memanas di Lembah Rintik, meski angin pagi masih membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Kaelan Rimba kembali ke Sungai Air Mata keesokan harinya, membawa sarung hijau tua milik ayahnya yang kini terasa seperti bagian dari dirinya. Langit di atasnya berwarna biru lembut, dengan awan-awan tipis yang melayang seperti kapas yang tersapu angin. Sungai itu tampak lebih hidup hari ini, alirannya sedikit lebih deras karena hujan ringan semalam, dan permukaannya memantulkan cahaya matahari dalam kilauan yang hampir menyilaukan. Kaelan berdiri di tepian, menarik napas dalam-dalam, mencium bau segar air yang bercampur dengan aroma tanah dan lumut. Ia merasa sungai ini memanggilnya lagi, bukan hanya dengan suara gemericik air, tetapi dengan sesuatu yang lebih dalam, seperti bisikan kenangan yang tak pernah ia pahami sepenuhnya.
Kaelan melangkah ke dalam air, kali ini lebih berani, membiarkan air mencapai pinggangnya. Dinginnya air membuat kulitnya merinding, tapi ia tak peduli. Ia membuka sarungnya, membasahinya di air, lalu menggosokkannya dengan sabun melati yang sama seperti kemarin. Busa-busa kecil mengapung di permukaan, mengikuti aliran sungai yang lembut, dan Kaelan memperhatikan mereka dengan tatapan kosong. Pikirannya kembali melayang, kali ini ke masa ketika ia dan ayahnya, Darun, menghabiskan sore-sore di sungai ini, bukan hanya untuk mandi, tetapi untuk berbicara tentang hal-hal yang kini terasa seperti mimpi.
“Ayah, kenapa sungai ini disebut Air Mata?” tanya Kaelan kecil suatu sore, saat mereka duduk di batu besar yang kini menjadi tempat favorit Siluna. Darun, dengan rambut basah menempel di dahi dan senyum lebar yang selalu membuat Kaelan merasa aman, menjawab, “Karena sungai ini menyimpan cerita, Kael. Setiap tetes airnya seperti air mata seseorang—bisa dari bahagia, bisa dari sedih. Tapi airnya selalu mengalir, tak pernah berhenti, seperti hidup kita.” Kaelan kecil mengangguk, meski tak benar-benar mengerti, tapi kata-kata ayahnya terukir dalam ingatannya, seperti batu yang tak pernah terkikis oleh air.
Kaelan kini menggosok lengannya lebih keras, seolah ingin menghapus kenangan itu dari kulitnya, tapi juga ingin memeluknya lebih erat. Ia mencelupkan kepalanya ke dalam air, membiarkan aliran dingin membungkus wajahnya. Di bawah air, dunia terasa hening, hanya ada suara gemuruh lembut dari aliran sungai dan detak jantungnya sendiri. Ia membuka mata di dalam air, melihat sinar matahari yang tembus ke dasar sungai, menerangi kerikil-kerikil kecil yang berkilau seperti permata. Untuk sesaat, ia merasa seperti berada di dunia lain, tempat di mana ayahnya mungkin masih ada, menunggunya di tepi sungai dengan tawa hangatnya.
Ketika ia muncul ke permukaan, mengibaskan rambut basah dari wajahnya, ia mendengar suara tawa kecil dari tepian. Siluna ada di sana lagi, kali ini tidak duduk di batu besar, tetapi berdiri di tepi sungai dengan sepasang sandal kayu yang sudah usang. Ia memegang keranjang anyaman yang penuh dengan pakaian untuk dicuci, dan matanya yang penuh rahasia itu menatap Kaelan dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara rasa ingin tahu dan empati.
“Kamu berenang di bawah air tadi, ya?” tanya Siluna, suaranya ringan namun penuh makna. “Keren. Aku selalu takut buka mata di bawah air. Rasanya seperti… melihat sesuatu yang seharusnya nggak kulihat.”
Kaelan tersenyum tipis, pertama kalinya hari ini. “Cuma kerikil dan ikan kecil,” jawabnya, mencoba terdengar santai, tapi suaranya mengkhianati perasaan yang bergolak di dadanya. Ia melangkah lebih dekat ke tepian, air menetes dari tubuhnya, menciptakan riak kecil di permukaan sungai. “Kamu nggak mandi hari ini?”
Siluna menggeleng, lalu duduk di tepi sungai, meletakkan keranjangnya di samping. “Hari ini cuma nyuci. Tapi aku suka lihat sungai pagi-pagi gini. Rasanya seperti dia lagi cerita sesuatu.” Ia memandang air yang mengalir, jari-jarinya memainkan sehelai rumput yang ia petik dari tepian. “Kamu pernah dengar cerita tentang sungai ini? Bukan cuma nama Air Matanya, tapi… cerita yang lain.”
Kaelan mengerutkan kening, merasa ada sesuatu di nada Siluna yang membuatnya penasaran. “Cerita apa?” tanyanya, kini berdiri di air yang hanya setinggi betis, tangannya masih memegang sarung basah.
Siluna menarik napas dalam-dalam, seolah mempersiapkan diri untuk menceritakan sesuatu yang berat. “Kata nenekku, sungai ini dulu tempat orang-orang desa membuang duka mereka. Bukan cuma air mata, tapi… kenangan, doa, bahkan rahasia. Mereka bilang, kalau kamu mandi di sini dengan hati yang terbuka, sungai bisa menunjukkan sesuatu—bayangan dari masa lalu, atau bahkan masa depan.”
Kaelan terdiam, merasakan bulu kuduknya merinding. Ia tak pernah percaya cerita-cerita mistis, tapi ada sesuatu dalam cara Siluna berbicara yang membuatnya ragu pada ketidakpercayaannya sendiri. “Kamu percaya itu?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Siluna mengangkat bahu, tapi matanya tak lepas dari air sungai. “Aku pernah lihat sesuatu, sekali. Waktu kecil, pas aku main di sini sama kakakku, Viora. Aku lihat bayangan di air, bukan cuma pantulan wajahku, tapi… seperti wajah orang lain. Aku takut, lari pulang, dan nggak balik ke sungai selama berminggu-minggu.” Ia tertawa kecil, tapi ada nada sedih di suaranya. “Viora bilang aku cuma kebanyakan imajinasi, tapi aku tahu yang kulihat itu nyata.”
Kaelan tak tahu harus menjawab apa. Ia memandang air di sekitarnya, mencoba melihat apakah ada sesuatu di sana—bayangan, pantulan, atau apa pun yang Siluna ceritakan. Tapi yang ia lihat hanyalah air jernih, kerikil di dasar sungai, dan wajahnya sendiri yang tampak lelah, dengan lingkaran hitam di bawah mata yang tak pernah hilang sejak ayahnya pergi. Namun, kata-kata Siluna terus bergema di kepalanya, membuatnya bertanya-tanya apakah sungai ini benar-benar menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar air.
Ia kembali mandi, kali ini lebih lambat, seolah mencoba mendengarkan sungai seperti yang Siluna katakan. Ia menggosok sabun ke bahunya, merasakan tekstur kasar kain sarung di kulitnya, dan membiarkan air membilas busa dari tubuhnya. Setiap gerakan terasa seperti ritual, seperti ia sedang berkomunikasi dengan sungai, memintanya untuk menunjukkan sesuatu—apa pun—yang bisa membantunya memahami mengapa ia terus kembali ke tempat ini, mengapa ia tak bisa melepaskan kenangan ayahnya.
Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang, membawa daun-daun kering yang berputar di udara sebelum mendarat di permukaan sungai. Kaelan menatap daun-daun itu, yang mengapung sebentar sebelum tersapu aliran. Ia teringat kata-kata ayahnya lagi: “Sungai ini seperti hidup kita. Ia mengalir, membawa apa yang ringan, dan meninggalkan yang berat di dasarnya.” Kaelan merasa dadanya sesak. Apakah ia bagian yang ringan, yang akan terus tersapu arus? Atau yang berat, yang akan tenggelam dan terlupakan di dasar sungai?
Siluna bangkit dari tepian, mengambil keranjangnya. “Aku mau mulai nyuci,” katanya, suaranya kembali ringan. “Kamu… hati-hati, ya, Kael. Sungai ini baik, tapi kadang dia terlalu jujur.” Ia tersenyum, tapi ada peringatan dalam matanya, seolah ia tahu sesuatu yang tak bisa ia katakan.
Kaelan hanya mengangguk, lalu kembali ke air, membiarkan sungai membungkusnya. Ia tak tahu apakah ia percaya cerita Siluna, tapi satu hal yang pasti: sungai ini bukan sekadar tempat untuk mandi. Ia adalah cermin, tempat ia melihat dirinya sendiri—bukan hanya wajahnya, tetapi juga luka, harapan, dan kenangan yang terus mengalir, seperti air yang tak pernah berhenti.
Rahasia di Dasar Sungai
Langit di Lembah Rintik berubah kelabu menjelang siang, dengan awan-awan tebal yang bergulung seperti asap di atas perbukitan. Kaelan Rimba kembali ke Sungai Air Mata, kali ini dengan langkah yang lebih berat, seolah kakinya menolak untuk melangkah namun hatinya terus menariknya ke tepi sungai. Sarung hijau tua milik ayahnya tergantung di pundaknya, sudah sedikit basah karena gerimis pagi yang tak kunjung reda. Sungai itu tampak berbeda hari ini; airnya tak lagi jernih seperti kemarin, melainkan sedikit keruh, membawa sedikit lumpur dari hulu setelah hujan semalam. Gemericik airnya terdengar lebih dalam, seperti lagu yang lebih muram, dan Kaelan merasa ada sesuatu yang berubah—bukan hanya di sungai, tetapi juga di dalam dirinya.
Ia berdiri di tepian, memandang aliran air yang mengalir lambat, membawa daun-daun kering dan ranting-ranting kecil. Kata-kata Siluna kemarin masih bergema di kepalanya, tentang sungai yang menyimpan rahasia, tentang bayangan di air yang bukan sekadar pantulan. Kaelan tak pernah percaya cerita-cerita mistis desa, tapi ada bagian dalam dirinya yang mulai goyah, terutama setelah ia merasa sungai ini memang berbicara kepadanya, meski dalam bahasa yang tak ia mengerti. Ia melepas sandal jeraminya, merasakan kerikil basah di telapak kakinya, dan melangkah ke dalam air. Dinginnya air kali ini terasa lebih tajam, seperti jarum-jarum kecil yang menusuk kulitnya, tapi ia tak mundur. Ia membutuhkan sungai ini, meski ia tak tahu mengapa.
Kaelan membuka sarungnya, membasahinya di air, dan mulai menggosok tubuhnya dengan sabun melati yang sudah mulai menipis. Aroma melati yang lembut menyebar, bercampur dengan bau tanah basah dan lumut yang melekat di tepi sungai. Ia menggosok lengannya dengan gerakan mekanis, tapi pikirannya melayang, kembali ke kenangan yang tak pernah ia biarkan pergi. Ia teringat malam sebelum ayahnya, Darun, pergi ke hutan untuk terakhir kalinya. Mereka duduk di beranda rumah, ditemani lampu minyak yang berkedip-kedip. Darun memegang tangan Kaelan, yang saat itu berusia enam belas tahun, dan berkata, “Kael, kalau suatu hari aku nggak ada, jangan lupa sungai ini. Dia akan menjaga kamu, seperti aku menjaga kamu.” Kaelan tertawa saat itu, menganggap kata-kata ayahnya hanya lelucon, tapi kini, setiap kata itu terasa seperti beban yang menekan dadanya.
Air sungai mengalir di sekitar pinggangnya, dan Kaelan menunduk, mencoba melihat pantulan wajahnya di permukaan air yang keruh. Tapi yang ia lihat bukan wajahnya sendiri. Untuk sesaat, ia seperti melihat siluet samar—bukan wajah ayahnya, tapi sesuatu yang lain, seperti bayangan seseorang yang berdiri di tepi sungai, menatapnya. Ia mengedipkan mata, mengguncang kepalanya, dan bayangan itu hilang, digantikan oleh riak-riak kecil di permukaan air. Jantungannya berdegup kencang, dan ia merasa bulu kuduknya berdiri. “Siluna benar?” gumamnya pada diri sendiri, suaranya tenggelam oleh suara air. “Apa sungai ini… beneran menunjukkan sesuatu?”
Ia mencelupkan kepalanya ke dalam air, membiarkan dunia di atas permukaan lenyap. Di bawah air, ia merasa lebih tenang, seolah semua beban di dadanya ikut larut. Ia membuka mata, meski air yang keruh membuat pandangannya buram. Cahaya matahari yang redup menembus air, menciptakan pola-pola aneh di dasar sungai, dan Kaelan melihat sesuatu yang membuatnya terhenti. Di antara kerikil dan lumpur, ada sesuatu yang berkilau, kecil namun mencolok, seperti logam yang tersapu air. Ia muncul ke permukaan, menarik napas panjang, lalu menyelam kembali, tangannya meraba-raba dasar sungai dengan hati-hati.
Jari-jarinya akhirnya menyentuh benda itu—dingin, keras, dan kecil. Ia menggenggamnya, lalu berenang ke permukaan, berdiri di air yang setinggi pinggang. Di telapak tangannya, ia melihat sebuah liontin perak kecil, berbentuk burung kecil dengan sayap terbuka, mirip dengan motif di sarung ayahnya. Hatinya berdegup kencang. Ia ingat liontin ini. Ayahnya selalu memakainya, menggantungkannya di leher dengan tali kulit sederhana. Darun bilang itu adalah hadiah dari kakek Kaelan, sesuatu yang dibuat oleh tangan leluhur mereka, simbol kebebasan dan harapan. Tapi liontin itu hilang bersama ayahnya di hutan, atau begitulah yang Kaelan pikir selama ini.
“Keren, apa itu?” Suara Siluna memecah keheningan, membuat Kaelan tersentak. Ia tak menyadari Siluna sudah ada di tepi sungai, kali ini tanpa keranjang cucian, hanya berdiri dengan tangan di pinggang dan mata penuh rasa ingin tahu. Rambutnya basah, mungkin karena gerimis, dan ia mengenakan baju sederhana berwarna biru tua yang sedikit pudar.
Kaelan menatap liontin di tangannya, lalu menoleh ke Siluna. “Ini… punya ayahku,” katanya, suaranya serak, seolah kata-kata itu sulit keluar. “Aku pikir hilang di hutan. Tapi… kenapa ada di sini?”
Siluna melangkah mendekat, kakinya menyentuh air di tepi sungai. Ia mencondongkan tubuh, memandang liontin itu dengan mata menyipit. “Mungkin sungai yang bawa ke sini,” katanya, nadanya setengah bercanda, tapi ada ketulusan di dalamnya. “Aku bilang kan, sungai ini punya cara sendiri untuk cerita.”
Kaelan menggenggam liontin itu erat-erat, merasakan logam dingin di telapak tangannya. Ia tak tahu harus percaya apa. Bagaimana liontin ini bisa sampai di dasar sungai? Apakah arus dari hutan membawanya? Atau ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih besar dari logika yang ia pahami? Ia memandang air yang mengalir, mencoba mencari jawaban di riak-riak itu, tapi sungai hanya diam, menyimpan rahasianya seperti biasa.
Siluna duduk di tepi sungai, kakinya kini menyentuh air. “Kael, kamu pernah dengar cerita tentang orang-orang yang ninggalin sesuatu di sungai ini?” tanyanya, suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Kata nenekku, dulu, kalau seseorang kehilangan orang yang mereka sayang, mereka bakal bawa sesuatu milik orang itu ke sungai. Mereka percaya sungai akan jaga benda itu, dan suatu hari, benda itu bakal kembali ke orang yang paling membutuhkannya.”
Kaelan menatap Siluna, matanya penuh keraguan tapi juga harapan. “Kamu bilang ini… ayahku yang ninggalin ini di sini?” tanyanya, suaranya gemetar. “Buat aku?”
Siluna mengangkat bahu, tapi matanya penuh kelembutan. “Aku cuma bilang apa yang nenekku ceritain. Tapi lihat, Kael. Kamu yang nemuin itu, di antara semua orang di desa ini. Mungkin sungai tahu kamu butuh sesuatu untuk inget ayahmu.”
Kaelan menunduk, memandang liontin di tangannya. Ia merasa air mata menggenang di matanya, tapi ia menahannya, tak ingin Siluna melihatnya. Ia melangkah keluar dari air, duduk di samping Siluna, dan memegang liontin itu seperti harta yang tak ternilai. Sungai terus mengalir di depan mereka, membawa rahasia yang tak pernah ia ungkap sepenuhnya. Kaelan merasa ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya—bukan hanya duka, tapi juga secercah harapan, seolah liontin ini adalah pesan dari ayahnya, pesan yang mengatakan bahwa ia tak pernah benar-benar pergi.
Gerimis mulai reda, dan sinar matahari pucat menembus awan, menerangi sungai dengan cahaya lembut. Kaelan menggenggam liontin itu lebih erat, lalu memasukkannya ke saku sarungnya. Ia tahu, sungai ini belum selesai bercerita. Dan ia akan kembali, lagi dan lagi, untuk mendengarkan apa yang ingin sungai katakan.
Aliran yang Tak Berhenti
Hari-hari di Lembah Rintik berlalu dengan ritme yang lambat, namun bagi Kaelan Rimba, setiap pagi di tepi Sungai Air Mata terasa seperti perjalanan menembus waktu. Liontin perak berbentuk burung kecil kini selalu ia bawa, tergantung di lehernya dengan tali kulit baru yang ia buat sendiri dari sisa-sisa tali di gudang rumah. Logam dingin itu terasa seperti jangkar, menahannya pada kenangan ayahnya, Darun, sekaligus memberinya kekuatan untuk melangkah maju. Pagi ini, langit di atas desa cerah, dengan sinar matahari yang menyelinap di antara dedaunan, menciptakan bercak-bercak cahaya yang menari di permukaan sungai. Airnya kembali jernih, seolah gerimis dan lumpur dari hari-hari sebelumnya tak pernah ada, dan gemericiknya terdengar seperti lagu yang penuh harapan.
Kaelan berdiri di tepi sungai, kakinya menyentuh kerikil-kerikil halus yang masih basah oleh embun. Sarung hijau tua milik ayahnya terlipat rapi di tangannya, dan sabun melati yang kini tinggal sepertiga batang terasa lebih berharga dari sebelumnya. Ia melangkah ke dalam air, merasakan dingin yang sudah familiar menyapa kulitnya, dan mulai mandi dengan gerakan yang lebih tenang dari biasanya. Setiap kali air membilas sabun dari tubuhnya, ia merasa seperti sedang melepaskan sesuatu—bukan kenangan, tapi beban yang selama ini ia pikul tanpa sadar. Liontin di lehernya bergoyang lembut, mengikuti gerakan tubuhnya, dan Kaelan merasa ayahnya ada di sana, tak hanya dalam ingatan, tetapi dalam setiap tetes air yang mengalir di sekitarnya.
Hari ini, ia tak sendiri. Siluna muncul dari balik pepohonan, kali ini membawa sebuah buku tua dengan sampul kulit yang sudah usang. Ia mengenakan kain tenun berwarna ungu tua dengan motif bunga-bunga kecil, dan rambutnya dibiarkan tergerai, berkilau di bawah sinar matahari. “Kael, kamu nggak pernah bosan ke sini, ya?” katanya sambil tersenyum, duduk di batu besar favoritnya. Suaranya ringan, tapi ada nada hangat yang membuat Kaelan merasa nyaman, seperti sungai itu sendiri.
Kaelan menggosok sabun ke bahunya, lalu menoleh ke Siluna. “Sungai ini… kayak rumah,” jawabnya, suaranya pelan tapi penuh keyakinan. “Aku nggak tahu kenapa, tapi setiap kali aku ke sini, rasanya seperti semua jadi lebih jelas.” Ia memandang liontin yang berkilau di dadanya, lalu menambahkan, “Apalagi sekarang.”
Siluna membuka bukunya, tapi matanya tetap tertuju pada Kaelan. “Liontin itu… bikin kamu beda,” katanya, nadanya penuh rasa ingin tahu. “Kamu nggak cuma mandi sekarang. Kayaknya kamu… nyanyi bareng sungai.”
Kaelan tertawa kecil, suara yang jarang ia keluarkan akhir-akhir ini. “Nyanyi? Aku nggak bisa nyanyi, Sil,” katanya, tapi ada kelembutan di matanya. Ia mencelupkan kepalanya ke air, membiarkan aliran membungkusnya, dan ketika ia muncul kembali, ia merasa seperti telah menarik napas baru. “Tapi mungkin kamu benar. Sungai ini kayak punya lagu sendiri, dan aku cuma ikut dengar.”
Siluna menutup bukunya, lalu melangkah ke tepi sungai, kakinya menyentuh air. “Aku mau cerita sesuatu,” katanya, suaranya tiba-tiba serius. “Waktu aku kecil, aku pernah kehilangan sesuatu di sungai ini. Kalung kecil, pemberian kakakku, Viora, sebelum dia pergi ke kota dan nggak balik lagi.” Matanya memandang air, seolah mencari sesuatu di dalamnya. “Aku nangis berhari-hari, bukan cuma karena kalung itu, tapi karena aku merasa Viora ninggalin aku. Nenek bilang, kalau sungai ambil sesuatu, dia bakal kasih sesuatu yang lain sebagai gantinya. Aku nggak percaya dulu, tapi sekarang… aku lihat kamu nemuin liontin itu, dan aku mulai mikir, mungkin nenekku benar.”
Kaelan terdiam, tangannya berhenti menggosok sabun. Ia melangkah mendekati Siluna, air berriak di sekitar kakinya. “Kamu pikir sungai ini… ngasih aku liontin ini buat apa?” tanyanya, suaranya penuh keraguan tapi juga harapan.
Siluna memandangnya, matanya penuh kelembutan yang jarang ia tunjukkan. “Mungkin buat ngingetin kamu bahwa ayahmu nggak pernah bener-bener pergi. Atau mungkin… buat ngasih tahu kamu bahwa hidup harus terus mengalir, kayak sungai ini.” Ia tersenyum kecil, tapi ada air mata di sudut matanya, berkilau seperti tetesan air sungai.
Kaelan merasa sesuatu bergeser di dalam dadanya. Ia memandang air yang mengalir, liontin di lehernya terasa hangat meski logamnya dingin. Ia teringat malam-malam ketika ia duduk di tepi sungai ini sendirian, menangis tanpa suara, merasa dunia telah merenggut ayahnya darinya. Tapi sekarang, dengan liontin ini, dengan kata-kata Siluna, dan dengan sungai yang terus mengalir, ia mulai merasa bahwa duka bukanlah akhir. Ia melangkah keluar dari air, duduk di samping Siluna, dan untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ia merasa ringan, seperti daun yang mengapung di permukaan sungai.
“Kael,” kata Siluna tiba-tiba, suaranya hampir berbisik. “Coba lihat ke air. Beneran lihat.”
Kaelan mengerutkan kening, tapi ia mematuhi. Ia mencondongkan tubuh, memandang permukaan sungai yang jernih. Untuk sesaat, ia hanya melihat pantulan wajahnya sendiri, dengan rambut basah menempel di dahi dan liontin yang berkilau di lehernya. Tapi kemudian, seperti dalam mimpi, ia melihat sesuatu yang lain—bayangan samar, bukan wajah ayahnya, tapi wajahnya sendiri, jauh lebih tua, dengan senyum yang penuh kedamaian. Di samping bayangan itu, ada sosok lain, buram namun familiar, seperti Siluna, tapi dengan rambut yang lebih pendek dan mata yang lebih bijaksana. Bayangan itu hanya muncul sejenak sebelum hilang, digantikan oleh riak air yang diciptakan angin.
Kaelan menoleh ke Siluna, jantungannya berdegup kencang. “Kamu lihat itu?” tanyanya, suaranya gemetar.
Siluna mengangguk pelan, matanya lebar dan penuh keajaiban. “Aku bilang kan, sungai ini jujur,” katanya. “Dia nggak cuma nunjukin masa lalu, tapi juga… mungkin apa yang bakal datang.”
Kaelan tak tahu apakah ia percaya pada apa yang baru saja ia lihat, tapi ia tahu satu hal: sungai ini telah memberinya lebih dari sekadar tempat untuk mandi. Ia telah memberinya kenangan, harapan, dan mungkin, sekilas tentang masa depan. Ia bangkit, mengambil sarungnya, dan menggantungkannya di pundak. “Sil, terima kasih,” katanya, suaranya penuh keikhlasan. “Buat cerita-cerita kamu. Buat… ada di sini.”
Siluna tersenyum, kali ini tanpa air mata. “Sungai yang bawa kita ke sini, Kael. Kita cuma ikut alirannya.”
Matahari kini tinggi di langit, menyinari Sungai Air Mata dengan cahaya emas. Kaelan melangkah menjauh dari tepian, liontin di lehernya berkilau, dan hatinya, untuk pertama kalinya, terasa penuh. Sungai itu terus mengalir, membawa duka, harapan, dan rahasia-rahasia yang tak pernah berhenti. Dan Kaelan tahu, ia akan kembali, bukan hanya untuk mandi, tapi untuk mendengarkan lagu sungai, lagu yang kini menjadi bagian dari dirinya.
“Kenangan di Sungai Air Mata” bukan hanya sebuah cerpen, melainkan sebuah pengalaman emosional yang mengajarkan kita bahwa bahkan di tengah duka, ada harapan yang mengalir seperti air sungai. Kisah Kaelan dan Sungai Air Mata mengingatkan kita akan kekuatan alam dalam menyembuhkan luka batin dan menghubungkan kita dengan kenangan yang tak pernah pudar. Jangan lewatkan cerita ini yang akan meninggalkan jejak di hati Anda, seperti riak air yang terus mengalir.
Terima kasih telah menyusuri aliran Kenangan di Sungai Air Mata bersama kami. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menemukan makna dalam momen-momen sederhana di sekitar Anda. Sampai jumpa di cerita berikutnya, dan jangan lupa berbagi pengalaman Anda di kolom komentar!