Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Siapa yang tak tersentuh dengan kisah perjuangan seorang anak SMA yang harus menerima kenyataan pahit kehilangan ibu tercintanya? Artikel ini mengangkat cerita penuh emosi tentang janji terakhir di bawah hujan, janji yang akan terus terpatri dalam hatinya.
Dalam kisah ini, kita akan merasakan bagaimana cinta seorang ibu yang tak lekang oleh waktu bisa mengubah hidup sang anak menjadi lebih baik, bahkan setelah kepergiannya. Persiapkan hati Anda, karena cerita ini akan membawa Anda ke dalam perjalanan emosi yang mendalam, penuh penyesalan, pengorbanan, dan keteguhan hati yang tak terukur.
Kenangan di Bawah Hujan
Di Bawah Langit yang Sama
Suara deru motor dan tawa teman-teman masih menggema di telingaku, meskipun malam semakin larut. Aku dan kawan-kawan baru saja kembali dari kafe favorit kami, tempat biasa kami nongkrong setelah sekolah. Suasananya ramai, penuh obrolan dan lelucon yang kerap kali membuat kami lupa waktu. Di tempat itu, aku merasa seperti tak ada yang perlu dikhawatirkan. Di tempat itu, segalanya terasa ringan.
Aku, Adhil, dikenal sebagai anak gaul di sekolah. Teman-teman sering menyebutku “tukang bikin suasana hidup.” Setiap kali aku masuk kelas, selalu ada yang tersenyum, entah karena cerita konyolku atau caraku berbicara yang terlalu ceplas-ceplos. Kupikir hidup ini sudah cukup sempurna. Teman-teman yang setia, suasana yang seru, bahkan nilai-nilaiku cukup bagus meski aku jarang belajar.
Setelah malam itu, aku pulang dengan motor. Jalanan basah karena hujan yang baru saja reda. Udara dingin menyentuh kulit, tapi aku menikmatinya. Perjalanan pulang ini seperti jeda kecil sebelum aku kembali menghadapi suara lembut yang sering kuabaikan: suara ibu.
Begitu motor berhenti di depan rumah, kulihat lampu ruang tamu masih menyala. Ah, ibu pasti belum tidur lagi. Aku menyandarkan motor, kemudian masuk pelan-pelan, berusaha agar tak ada yang mendengar. Tapi di detik aku membuka pintu, suara langkah kecil yang sudah kukenal sejak kecil terdengar mendekat.
“Adhil, sudah pulang, Nak?” Suara itu lembut tapi penuh kekhawatiran, seperti biasa.
Aku mengangguk, memberi senyum singkat tanpa banyak bicara. Ibu memperhatikan wajahku dengan tatapan yang sulit diartikan—seakan-akan ingin mengatakan sesuatu, tapi memilih untuk diam.
“Sudah makan, Nak?” tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih pelan, seperti takut mengganggu. Aku hanya menggeleng, masih tak ingin memperpanjang obrolan.
“Ibu sudah siapin makanan. Makan dulu, ya, biar enggak tidur dalam keadaan lapar.” Ibu tersenyum kecil sambil beranjak ke dapur. Aku ikut masuk ke ruang makan, meski dalam hati sebenarnya tak terlalu lapar.
Meja makan itu selalu sama—bersih dan rapi, penuh dengan masakan buatan ibu. Setiap malam, ia menyiapkan berbagai hidangan, dari nasi hangat sampai lauk yang aku sukai. Rasanya aku belum pernah sadar betapa sibuknya ibu setiap malam hanya untuk menyiapkan semuanya untukku. Saat aku menyendok makanan, ibu duduk di seberang meja, memperhatikanku dengan senyum kecil di wajahnya. Ia tidak makan, hanya melihatku dalam diam, seolah-olah ia menemukan kebahagiaan dalam melihatku makan dengan lahap.
“Tadi di sekolah bagaimana, Nak? Ada cerita seru?” tanyanya dengan suara yang berusaha terdengar santai.
“Biasa aja, Bu. Sama teman-teman,” jawabku seadanya. Aku tahu ibu mungkin ingin mendengar lebih banyak, tapi aku terlalu lelah untuk bercerita. Dalam pikiranku, berbagi cerita dengannya seolah-olah tidak sepenting berbagi cerita dengan teman-teman di luar sana.
Ibu hanya mengangguk, tetap tersenyum, meski tatapan matanya terlihat sedikit sendu. Aku tak tahu apa yang ada di benaknya malam itu, namun entah kenapa ada bagian dalam diriku yang merasa bersalah, meski aku tak bisa menjelaskan mengapa. Tapi rasa itu langsung kuhapus dalam hati, berpikir bahwa semua ini hanya perasaanku saja.
Seusai makan, aku masuk ke kamar tanpa berpikir untuk berpamitan. Dalam ruangan yang gelap itu, aku merenung sejenak sebelum akhirnya merebahkan tubuhku di atas kasur. Tanpa kusadari, aku memejamkan mata dengan suara samar ibu yang sedang membereskan meja makan, sendiri, di ruang tengah.
Pagi harinya, ibu sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan sarapan seperti biasa. Aroma nasi goreng tercium dari dapur, membuat perutku langsung keroncongan. Sambil menggosok mata yang masih mengantuk, aku berjalan ke ruang makan dan melihat ibu sedang membalik telur di atas penggorengan.
“Ibu nggak capek masak pagi-pagi terus?” tanyaku sambil mengambil segelas air.
“Kalau buat kamu, ibu nggak pernah capek, Nak,” jawabnya sambil tersenyum. Jawabannya sederhana, tapi tiba-tiba rasanya seperti menghantam dadaku.
Sepanjang makan pagi itu, ibu bercerita tentang kejadian-kejadian kecil di rumah. Tentang tetangga sebelah yang baru saja memelihara kucing, atau tanaman di halaman yang baru saja berbunga. Aku hanya mendengarkan sambil sesekali mengangguk, seperti tak ingin larut dalam obrolan panjang.
Sebelum berangkat ke sekolah, ibu menepuk pundakku. “Hati-hati di jalan, Adhil. Jangan ngebut, ya.”
Aku mengangguk, memasang helm, lalu bergegas pergi tanpa berpikir banyak. Tidak ada perpisahan khusus, tidak ada pelukan, hanya kalimat “Hati-hati di jalan, Nak,” yang selalu diucapkannya setiap pagi. Kalimat sederhana yang sering kuabaikan, tapi diam-diam menghangatkan hatiku setiap kali aku berada jauh dari rumah.
Namun, aku sadar betul, meski aku adalah anak yang ceria di luar, meski aku bisa tertawa lepas dengan teman-teman, ketika aku pulang ke rumah, ada satu sosok yang selalu setia menantiku dalam diam. Seperti malam itu, saat aku datang terlambat dan ibu tetap setia menunggu meski mungkin tubuhnya letih karena seharian bekerja.
Kupikir ibu adalah sosok yang kuat, sosok yang akan selalu ada kapanpun aku butuh. Tapi aku lupa, ibu hanyalah manusia biasa, yang juga punya rasa lelah, yang mungkin kadang ingin bercerita namun memilih untuk menyimpan semuanya sendiri.
Dan di bawah langit yang sama, saat aku berada di luar rumah, ibu selalu berada di dalam, mendoakan keselamatanku, mendoakan keberhasilanku. Tapi aku terlalu sibuk mengejar dunia di luar sana, hingga tak pernah sadar bahwa dunia yang sesungguhnya ada di dalam rumah ini, tempat di mana ibu menungguku dengan penuh kasih setiap malam.
Hari itu terasa biasa, tapi jauh di dalam hatiku, aku tahu ada sesuatu yang berbeda. Seperti firasat halus yang belum kumengerti. Tapi seperti malam-malam sebelumnya, aku memilih untuk mengabaikannya, berangkat sekolah tanpa tahu bahwa perlahan-lahan aku sedang meninggalkan sesuatu yang berharga seseorang yang tak akan selalu ada untukku.
Firasat di Tengah Hujan
Hari itu sepertinya tak berbeda dari hari-hari biasa. Seusai sekolah, aku langsung menuju kafe favorit bersama gengku. Rutinitas ini sudah seperti ritual wajib. Entah mengapa, rasanya nyaman berada di tengah tawa riuh, canda, dan obrolan tentang hal-hal yang sering kali tak penting.
“Hoi, Adhil! Malam ini cabut sampai larut, yuk!” teriak Raka, salah satu temanku yang memang selalu mengajak untuk nongkrong sampai malam.
Tanpa berpikir dua kali, aku mengiyakan ajakannya. Menurutku, momen seperti ini adalah waktu yang harus dinikmati selama mungkin. Kapan lagi kita bisa bebas begini, tanpa harus memikirkan banyak hal? Begitu pikirku.
Kafe itu penuh dengan suara-suara keras, musik yang menggelegar, dan aroma kopi yang kuat. Aku ikut larut dalam obrolan teman-teman, saling melempar lelucon sampai tawa kami menggema. Namun, di tengah-tengah kebersamaan itu, perasaanku mendadak berubah.
Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa ada yang mengganjal di hati. Seperti ada sesuatu yang hilang atau kurang, meski tak tahu apa. Rasanya aneh. Aku mencoba mengabaikan rasa itu, menganggapnya sekadar perasaan sepele. Tapi semakin malam, perasaan itu malah semakin kuat.
Aku diam sejenak, mengambil ponsel dari saku. Sudah pukul sepuluh malam, dan seperti biasa, belum ada pesan apapun dari rumah. Ibu tak pernah menelpon atau mengirim pesan, dia hanya menunggu. Itu yang selalu kulihat setiap aku pulang larut.
Namun, kali ini beda. Ada sesuatu yang menekan di dadaku, seakan-akan ada yang berbisik agar aku segera pulang. Sekilas terpikirkan wajah ibu, tapi aku buru-buru menepis pikiran itu. Ibu pasti sudah tidur, pikirku. Dia pasti tahu aku akan baik-baik saja dan sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
“Halo, Adhil, kenapa bengong?” Nisa, teman satu gengku, menepuk pundakku dan membuatku kembali ke kenyataan.
“Ah, nggak. Enggak apa-apa kok, cuma kepikiran tugas tadi aja,” kataku berusaha mengalihkan perhatian.
Namun, tak lama kemudian, ponselku tiba-tiba bergetar. Nomor tak dikenal muncul di layar. Aku mengernyitkan dahi, bertanya-tanya siapa yang menelepon selarut ini.
“Halo, dengan Adhil?” Suara di seberang telepon terdengar pelan namun tegas. Suaranya terdengar penuh keraguan, tapi aku bisa merasakan ada kegelisahan di dalamnya.
“Iya, ini saya Adhil. Ini siapa ya?” tanyaku heran.
“Adhil, kamu bisa pulang sekarang? Maaf, Nak, ini saya Pak Hendra, tetangga kamu. Tadi sore ibumu jatuh pingsan. Kami sudah membawanya ke rumah sakit…”
Perkataannya langsung mengguncang hatiku. Seakan-akan jantungku berhenti berdetak. Pikiranku mendadak kosong, hanya ada satu kata yang terngiang: ibu. Tanpa berpikir panjang, aku pamit pada teman-teman dan langsung bergegas ke parkiran, menyalakan motor, dan memacu secepat yang aku bisa menuju rumah sakit.
Di tengah perjalanan, hujan mulai turun deras. Rintik-rintik kecil berubah menjadi hujan lebat yang menghalangi pandangan. Jalanan licin dan gelap, tapi aku tak peduli. Rasa takut, cemas, dan penyesalan bergemuruh dalam dadaku. Kenapa tadi aku tak langsung pulang? Kenapa aku selalu menganggap ibu akan selalu baik-baik saja?
Setiap tetes hujan yang menghantam wajahku terasa menyakitkan. Aku memacu motor lebih cepat, berharap tiba di rumah sakit sebelum semuanya terlambat. Di tengah derasnya hujan dan suara deru motor, bayangan wajah ibu terus muncul di benakku. Bayangan ibu yang selalu tersenyum, bayangan ibu yang selalu setia menunggu kepulanganku di meja makan, bahkan di malam-malam saat aku pulang terlalu larut.
Sesampainya di rumah sakit, aku langsung berlari menuju ruang gawat darurat. Aroma obat dan disinfektan menyengat hidungku. Di ruang tunggu, Pak Hendra berdiri dengan raut wajah khawatir.
“Adhil, ibumu sedang ditangani dokter. Kami menemukannya pingsan di rumah tadi sore. Tadi ibu sempat mengeluh pusing, tapi beliau tidak mau mengganggu. Mungkin beliau tidak mau kamu khawatir.”
Aku terdiam, tertegun, bahkan kata-kata pun terasa sulit untuk keluar. Aku hanya bisa berdiri di depan pintu ruang ICU, menanti dokter yang belum juga keluar. Rasanya, detik demi detik berjalan begitu lambat. Aku tak pernah merasa seketakutan ini sebelumnya, tak pernah merasa kehilangan yang begitu dekat seperti sekarang.
Selama ini, aku selalu menganggap bahwa ibu akan selalu ada. Setiap kali aku pergi dan pulang, ibu selalu berada di rumah dengan senyumnya yang tenang. Aku tak pernah berpikir, bahkan sekali pun, bahwa suatu hari aku bisa kehilangan sosoknya. Sosok yang selama ini kurasa tidak akan pernah pergi dari hidupku.
Lama kutunggu hingga akhirnya dokter keluar dari ruang ICU. Wajah dokter itu terlihat serius.
“Adhil, ibu kamu mengalami stroke ringan akibat tekanan darah tinggi yang terlalu lama diabaikan. Kita sudah melakukan yang terbaik untuk menstabilkan kondisinya, tapi ia masih harus menjalani perawatan intensif,” jelas dokter dengan suara lembut.
Kata-kata dokter menghantamku seperti badai. Stroke? Aku bahkan tak tahu ibu memiliki tekanan darah tinggi. Beliau selalu tampak sehat, tak pernah mengeluh kesakitan. Baru sekarang aku menyadari, betapa banyak yang tak kuketahui tentang ibu, tentang segala beban yang mungkin dipikulnya tanpa pernah mengeluh.
Aku melangkah masuk ke ruang ICU, mendekati ranjang tempat ibu terbaring. Wajahnya pucat, matanya terpejam, napasnya teratur namun terdengar lemah. Di sana, di balik kaca besar yang memisahkan kami, aku merasakan penyesalan yang begitu dalam. Seandainya saja aku bisa memutar waktu. Seandainya saja aku lebih sering di rumah, mendengarkan cerita ibu, memberinya lebih banyak waktu dan perhatian. Namun, yang tertinggal kini hanya sesal, dan ibu yang tak sadarkan diri.
Dalam diam, aku menggenggam tangan ibu yang terasa dingin dan kaku. Tangannya tak lagi hangat seperti biasanya, tapi tetap terasa familiar di genggamanku. Dan di tengah keheningan itu, aku hanya bisa menahan air mata yang hampir jatuh.
“Ibu… aku di sini, Bu. Adhil pulang. Adhil ada di sini…” Aku berbisik pelan, berharap ibu bisa mendengarku, meski tak ada tanda-tanda respons darinya.
Hujan masih deras di luar sana, mengetuk jendela ruang ICU seperti mengiringi kepedihan yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Di titik itu, aku merasa benar-benar hancur, merasa kehilangan arah. Baru sekarang aku sadar, bahwa selama ini aku telah mengabaikan seseorang yang paling berharga dalam hidupku.
Di malam itu, dalam hujan yang turun tanpa henti, aku berjanji pada diriku sendiri. Jika ibu bisa kembali sehat, jika ibu bisa membuka matanya dan melihatku sekali lagi, aku akan berubah. Aku akan menjadi anak yang lebih baik, anak yang akan selalu pulang untuknya, anak yang akan membuatnya bangga.
Namun, malam itu tetap menyisakan ketakutan, karena aku tahu, penyesalan saja tidak akan bisa mengembalikan waktu yang sudah berlalu.
Sepi Tanpa Senyuman Ibu
Seminggu sudah berlalu sejak malam penuh badai itu. Seminggu penuh ketakutan, doa, dan penyesalan yang terus menghantui setiap langkahku. Seminggu sejak ibu terbaring tanpa daya di rumah sakit, dan aku hanya bisa menatapnya dengan hati yang terus terasa berat.
Hari-hariku berubah total. Biasanya, aku adalah anak yang sibuk di luar rumah, menghabiskan waktu bersama teman-teman. Kini, aku lebih sering duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit, menanti dokter datang membawa kabar yang kuharapkan—kabar bahwa ibu akan segera pulih. Setiap hari kulihat ibu terbaring di ranjang rumah sakit, dengan selang infus yang menggantung dan monitor yang mengawasi setiap detak jantungnya. Begitu sunyi dan jauh dari senyum hangat yang biasanya menyambutku di rumah.
Kadang, dalam diam, aku berharap ini semua hanya mimpi buruk, berharap bisa bangun dan melihat ibu kembali tersenyum padaku. Namun kenyataannya selalu sama: ruangan putih, deru mesin rumah sakit, dan sosok ibu yang terbaring diam.
Suatu pagi, ketika aku sedang duduk di samping ranjang ibu, seorang perawat masuk dan tersenyum ramah kepadaku.
“Mas Adhil, hari ini dokter bilang ibu sudah bisa sedikit digerakkan. Kalau Mas ingin, Mas bisa mencoba berbicara dengan ibu atau membantunya menggerakkan tangan,” katanya.
Hatiku berdesir. Ada sedikit harapan di dalam kata-katanya, harapan kecil bahwa mungkin ibu bisa mendengarku, bahwa mungkin ia bisa merasakan kehadiranku.
“Terima kasih, Mbak,” jawabku pelan, sambil menatap wajah ibu yang pucat. Aku mengulurkan tangan dan menggenggam jari-jarinya yang kurus. Rasanya dingin, tak lagi sehangat yang kuingat. Dalam hati, aku menahan tangis, berusaha kuat, meski nyatanya perasaan hancur tak bisa kutahan.
“Bu, ini Adhil, Bu. Ibu dengar, kan?” suaraku bergetar. Entah ibu bisa mendengar atau tidak, aku tak tahu. Namun, tetap saja, aku bicara seolah-olah ia bisa mendengar.
“Adhil kangen sama ibu… Aku janji, Bu, kalau ibu mau sembuh, aku akan berubah. Aku akan pulang lebih awal, aku akan cerita ke ibu setiap hari tentang semua hal yang terjadi… Aku akan jadi anak yang baik, Bu.”
Di luar, hujan rintik-rintik mulai turun lagi, mengetuk jendela rumah sakit dengan ritme pelan. Hujan itu mengingatkanku pada malam saat semuanya berubah, malam yang selalu terasa menyakitkan bila kuingat. Di balik suara tetesan hujan, aku merasakan kesepian yang menusuk, kesepian yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Untuk pertama kalinya, aku merasa betapa berartinya kehadiran ibu, betapa rumah selalu penuh kehangatan hanya karena ada sosok ibu di sana.
Setiap hari, aku duduk di samping ranjang ibu, berbicara dan berharap ia bisa mendengar setiap kata yang kuucapkan. Kadang aku bercerita tentang sekolah, tentang teman-temanku, atau tentang hal-hal kecil yang biasanya kuceritakan sambil lalu. Aku ingin membayar semua waktu yang telah kulewatkan, semua kesempatan yang telah kulewatkan untuk membuatnya merasa dihargai. Tapi semua itu terasa terlambat.
Suatu sore, setelah hampir dua minggu tanpa tanda-tanda perubahan, dokter datang menghampiriku di ruang tunggu. Dari raut wajahnya, aku tahu ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.
“Adhil,” kata dokter dengan nada hati-hati. “Kami telah melakukan yang terbaik untuk ibumu. Namun, kondisi beliau sangat lemah dan pemulihannya mungkin membutuhkan waktu yang sangat panjang. Ibumu sangat membutuhkan istirahat dan perawatan intensif.”
Aku terdiam. Kata-kata dokter seperti pukulan keras yang menghancurkan setiap harapan yang kubangun. Aku mengangguk pelan, meski hatiku berteriak menolak. Rasanya, aku ingin menangis sekeras mungkin, tapi aku menahan diri. Aku tahu itu tak akan mengubah apapun.
Seminggu kemudian, dengan kondisi ibu yang masih lemah, dokter menyarankan agar ibu dirawat di rumah. Mereka bilang, perawatan di rumah dengan suasana yang lebih akrab mungkin akan lebih baik untuknya. Aku pun setuju, meski dalam hati aku merasa takut. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada ibu di rumah? Bagaimana aku bisa memastikan dia benar-benar mendapat perawatan terbaik?
Namun, setelah semuanya dipersiapkan, ibu akhirnya dibawa pulang. Rumahku terasa asing tanpa tawa ibu, tanpa sapaan lembutnya setiap kali aku pulang. Kini, yang terdengar hanyalah suara alat-alat medis sederhana yang mengiringi setiap napasnya. Aku melihat tubuhnya yang kurus, wajahnya yang tampak lelah, tapi tetap dengan senyum lembut yang selalu terpancar, seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Setiap hari, aku merawat ibu dengan tanganku sendiri, membantunya makan, memijat tangannya yang kaku, dan bercerita tentang apapun yang bisa kuingat. Kadang, aku menangis diam-diam, berusaha menyembunyikan air mata agar ibu tak melihat betapa hancurnya aku. Aku ingin terlihat kuat, ingin ibu tahu bahwa aku siap menjaga dan merawatnya, meskipun setiap hari terasa seperti perjuangan berat.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa kelelahan. Malam-malam terasa panjang dan sepi, dan di setiap malam, aku hanya bisa duduk di samping ibu, berharap ada keajaiban yang bisa membuatnya sembuh. Setiap kali hujan turun, hatiku terasa semakin berat. Aku merasakan kehangatan ibu perlahan menjauh, dan aku tak bisa melakukan apapun untuk menghentikannya.
Di satu malam yang dingin, ketika hujan turun deras, aku terbangun dari tidur ringan karena suara batuk pelan ibu. Aku segera menghampirinya dan mendapati wajahnya yang pucat, tapi ada seutas senyum yang lembut di bibirnya.
“Adhil… jangan khawatir, Nak. Ibu baik-baik saja,” katanya pelan.
Air mataku akhirnya tumpah. Aku tak bisa menahan lagi perasaan yang selama ini kusimpan. “Bu, jangan tinggalkan aku. Adhil janji akan jadi anak yang baik. Ibu sembuh, ya? Ibu janji akan sehat, kan?” Aku hampir tak bisa bicara, suaraku tertelan dalam tangis yang tak terbendung.
Ibu mengangguk lemah, mengusap pipiku dengan tangannya yang dingin. “Ibu selalu di sini, Adhil… di hati kamu.” Kata-katanya begitu pelan, namun terpatri dalam hatiku.
Dan malam itu, aku duduk di samping ibu, menggenggam tangannya erat seolah tak ingin melepaskannya. Aku berjanji, apapun yang terjadi, aku akan selalu menghargai setiap detik bersamanya, meski aku tahu waktu kami tak akan lama. Aku menyadari bahwa kehilangan ibu adalah ketakutan terbesarku, dan tanpa ibu, rumah tak lagi berarti.
Di malam itu, dalam kesunyian yang menyesakkan dan diiringi suara hujan, aku tahu aku tak akan pernah bisa mengembalikan semua yang telah hilang. Namun, aku tetap berharap ibu bisa merasakan cinta dan penyesalan yang selama ini tak pernah kuungkapkan.
Janji dalam Kesendirian
Hari demi hari, aku terus menjalani rutinitas yang melelahkan. Setiap pagi dan sore, aku selalu ada di samping ibu, menggenggam tangannya, berbicara dengannya, berharap bisa merasakan kembali kehangatan dari sosoknya yang begitu kurindukan. Setiap malam terasa semakin berat; melihat ibu yang terbaring lemah tanpa daya di tempat tidur membuatku merasa seakan-akan tak ada lagi hal yang benar-benar pasti dalam hidup ini.
Aku yang dulu begitu bebas, yang selalu merasa dunia adalah tempat bermain, kini mulai merasa bahwa kehidupan ini jauh lebih rumit. Rumah yang dulunya penuh tawa dan suara ibu kini begitu sunyi, sepi, dan dingin. Aku hanya ditemani dengan suara alat medis yang terus memantau kondisi ibu dan sesekali suara hujan yang mengetuk jendela.
Suatu malam, hujan turun lagi dengan deras. Aku duduk di samping tempat tidur ibu, menatapnya yang terbaring diam. Perlahan, kurasakan jari-jarinya mulai bergerak lemah, seolah mencoba meraih sesuatu.
“Bu?” aku memanggilnya dengan harapan bahwa mungkin kali ini, ibu akan merespon dengan lebih kuat.
Matanya terbuka perlahan, dan untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, kulihat senyum kecil di wajahnya yang lemah. Mata ibu masih sayu, tetapi ada kedalaman di sana, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang belum pernah diucapkannya. Hatiku berdesir, dan aku mencoba menahan perasaan yang membuncah di dadaku.
“Adhil…,” suaranya terdengar pelan, nyaris tak terdengar di tengah suara hujan yang mengetuk jendela. Aku merunduk lebih dekat, memastikan bahwa aku bisa menangkap setiap kata yang ia ucapkan.
“Ibu… ibu ingin kamu bahagia, Nak. Ibu ingin melihat kamu kuat dan bisa menjalani hidup dengan baik,” katanya pelan, penuh usaha. Kalimat-kalimatnya terasa berat, seakan setiap kata membutuhkan tenaga besar untuk keluar.
Aku menahan air mata yang mendesak. “Ibu, jangan ngomong kayak gitu. Adhil butuh ibu, Bu. Aku nggak tahu gimana caranya jalanin hidup kalau ibu nggak ada.”
Ibu tersenyum lembut, dengan tatapan yang terasa hangat. “Nak, hidup ini akan terus berjalan, dan ibu… mungkin tak selamanya bisa mendampingi kamu. Tapi ibu percaya, kamu akan menjadi anak yang kuat, anak yang tahu apa artinya cinta, apa artinya keluarga…”
Aku tak mampu berkata-kata. Aku hanya bisa menggenggam tangan ibu erat, merasakan kehangatan yang perlahan mulai memudar dari jari-jarinya. Aku ingin menyangkal semua yang ia katakan, tetapi aku tahu ibu berkata jujur. Di dalam lubuk hati terdalam, aku tahu apa yang akan terjadi.
Malam itu, dalam kesunyian yang mencekam, ibu memintaku untuk berjanji.
“Adhil, berjanjilah… jika suatu hari ibu pergi, kamu akan tetap melanjutkan hidup dengan penuh cinta. Jangan pernah tinggalkan apa yang ibu ajarkan padamu. Cintai dirimu, hormati orang-orang di sekitarmu… dan selalu ingat, ibu akan selalu ada di sini,” katanya sambil meletakkan tangannya di dadaku, di atas hatiku.
Aku tak sanggup menahan tangis lagi. Air mataku tumpah tanpa bisa kubendung. “Ibu, aku janji… aku janji akan jadi anak yang baik. Aku janji akan selalu ingat semua yang ibu ajarkan. Tapi, Bu, jangan pergi dulu…”
Ibu tersenyum lagi, kali ini dengan senyum yang sangat damai, seakan-akan ia telah melepaskan semua beban di hatinya. “Ibu tahu kamu akan baik-baik saja, Nak. Ibu tahu kamu kuat.”
Malam itu, aku tertidur di samping ranjang ibu, masih menggenggam tangannya. Aku berdoa agar ibu bisa bertahan, berdoa agar Tuhan memberiku waktu lebih lama untuk berada di sampingnya. Namun, hatiku tahu, bahwa malam itu adalah malam terakhir aku bisa merasakan kehadirannya.
Pagi harinya, aku terbangun oleh sinar matahari yang masuk melalui jendela. Suara hujan telah berhenti, dan suasana pagi terasa begitu tenang, seolah dunia menunggu dengan penuh harap. Aku membuka mataku perlahan, dan mendapati ibu terbaring di sana dengan senyum lembut di wajahnya yang damai.
Namun, ketika kulihat lebih dekat, aku tahu ibu telah pergi. Jari-jarinya yang dingin dan wajahnya yang tenang menandakan bahwa ia telah berpulang dengan damai, meninggalkan segala rasa sakit yang pernah ia rasakan.
Aku terdiam, tertegun, dan seketika seluruh dunia terasa runtuh di hadapanku. Air mataku mengalir deras, namun aku tetap memeluk ibu, menciumi tangannya, dan berbisik dengan suara bergetar.
“Ibu, terima kasih untuk semuanya. Aku akan selalu ingat… dan aku akan selalu mencintai ibu.”
Aku tahu bahwa ibu telah menjalani hidupnya dengan penuh cinta, telah memberikan segala yang ia miliki untukku, dan aku bersyukur telah menjadi anaknya. Meski rasa kehilangan ini begitu besar, aku tahu ibu tak ingin aku terpuruk dalam kesedihan.
Setelah pemakaman, rumah kembali sunyi, bahkan lebih sunyi dari sebelumnya. Aku duduk sendirian di ruang tamu, merasakan kehangatan ibu yang masih terasa di sudut-sudut rumah ini. Sekarang aku benar-benar sendiri, tak ada lagi yang menungguku pulang, tak ada lagi senyum hangat yang menyambutku di meja makan. Tapi aku tahu, aku tak boleh berhenti di sini.
Hari-hari terasa berat, tetapi dalam keheningan itu, aku mencoba untuk kuat. Aku mencoba memenuhi janjiku pada ibu, janjiku untuk menjalani hidup dengan baik, untuk menghargai setiap momen, dan untuk mencintai orang-orang yang berarti dalam hidupku.
Aku mulai mengubah cara pandangku terhadap hidup. Aku pulang tepat waktu, aku lebih peduli pada keluarga, pada orang-orang yang selama ini selalu ada untukku. Aku bahkan mulai ikut serta dalam kegiatan sosial, berusaha memberikan sedikit kebaikan untuk orang lain seperti yang ibu ajarkan.
Waktu berlalu, dan meski rasa sakit kehilangan ibu tak pernah benar-benar hilang, aku merasa seolah ibu selalu ada di sini, di dalam hatiku. Setiap kali aku merasa sendiri, aku menutup mata dan membayangkan senyuman ibu, membayangkan kehangatan yang selalu ia berikan. Ibu mungkin telah pergi, tetapi cintanya tak akan pernah hilang dari hidupku.
Dan kini, setiap kali hujan turun, aku teringat malam-malam yang kuhabiskan di samping ibu. Aku selalu teringat janji yang kubuat pada malam terakhir bersamanya, janji untuk menjadi anak yang baik, untuk selalu menjaga cinta dan menghargai setiap orang di sekitarku.
Aku tahu, ibu melihatku dari tempatnya sekarang, dan aku akan selalu berusaha membuatnya bangga.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerita ini mengajarkan kita bahwa cinta dan pengorbanan seorang ibu selalu hidup dalam diri kita, meski ia telah pergi. Perjalanan Adhil bersama ibunya menyadarkan kita untuk menghargai setiap momen bersama orang yang kita cintai dan memenuhi janji-janji yang kita buat untuk mereka. Saat kita kehilangan, janji yang terucap di tengah hujan mungkin akan menjadi pengingat untuk tetap kuat dan terus menjalani hidup dengan cinta dan kebaikan, seperti yang diajarkan ibu kita.