Kenangan di Balik Jubel Ibu: Kisah Mengharukan tentang Cinta dan Pengorbanan yang Menginspirasi

Posted on

Kenangan di Balik Jubel Ibu adalah cerita emosional yang memaparkan perjalanan penuh cinta dan pengorbanan seorang ibu bernama Ibu, yang menghadapi penyakit sambil tetap menjadi penopang bagi putrinya, Maya. Dengan detail yang mendalam dan sentuhan sedih yang menyentuh hati, cerita ini mengajak kita merenung tentang kekuatan cinta ibu dan pelajaran hidup yang tak ternilai. Artikel ini akan mengupas makna mendalam dari cerita ini, mengapa kisahnya relevan bagi semua orang, dan bagaimana ia dapat menginspirasi kita untuk menghargai setiap momen bersama keluarga. Siap terharu dan termotivasi?

Kenangan di Balik Jubel Ibu

Aroma Dapur yang Tak Pernah Hilang

Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut melalui celah-celah jendela kayu yang sudah tua di rumah sederhana kami di pinggiran desa. Aku, Maya, duduk di kursi rotan tua di teras depan, memandangi halaman kecil yang dipenuhi tanaman lidah buaya dan bunga kertas yang mulai mekar. Udara pagi terasa sejuk, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Tapi yang paling kuingat dari pagi itu adalah aroma khas dari dapur—bau harum nasi liwet yang dicampur daun salam, serai, dan sedikit santan, masakan khas Ibu yang selalu membuat perutku keroncongan.

Ibu selalu bangun sebelum matahari terbit. Aku sering mendengar langkahnya yang pelan di lantai kayu, suara sutil yang beradu dengan wajan, dan desis kecil saat ia menuangkan air ke dalam panci. Pagi ini tak berbeda. Aku melangkah ke dapur, melihat sosok Ibu yang berdiri di dekat tungku sederhana kami. Rambutnya yang mulai memutih diikat rapi dengan konde kecil, dan jubah batiknya yang sudah pudar terlihat sedikit longgar di tubuhnya yang semakin kurus. Ia tersenyum saat melihatku, tapi matanya, seperti biasa, menyimpan sesuatu yang tak pernah ia ucapkan—lelah yang dalam, tapi penuh cinta.

“Maya, sudah bangun? Ayo, bantu Ibu siapin piring. Nasi liwetnya hampir mateng,” katanya dengan suara lembut, meski ada sedikit serak yang kini sering terdengar. Aku mengangguk, mengambil piring-piring dari rak kayu di sudut dapur. Aku memperhatikan tangan Ibu yang sedikit gemetar saat ia mengaduk nasi. Tangan itu penuh dengan garis-garis halus dan bintik-bintik usia, tapi tetap lincah seperti dulu saat ia mengajakku membuat kue apem di hari-hari libur sekolah.

“Ibu kok nggak istirahat aja? Biar aku yang masak,” kataku, mencoba membujuk. Tapi Ibu hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. “Ibu seneng masak buat kamu, Maya. Lagian, kalau Ibu nggak masak, siapa yang mau bikin nasi liwet seenak ini?” jawabnya, nadanya penuh kebanggaan. Aku hanya diam, tapi di dalam hati, ada sesuatu yang terasa berat. Aku tahu Ibu tak pernah benar-benar sehat sejak dua tahun lalu, ketika dokter di puskesmas desa bilang jantungnya lemah. Tapi Ibu selalu bilang, “Ibu baik-baik aja, kok. Jangan khawatir.”

Kami duduk bersama di meja makan kecil yang terbuat dari kayu jati tua, peninggalan Ayah yang sudah meninggal sepuluh tahun lalu. Nasi liwet disajikan dengan ikan asin kecil dan sambal terasi buatan Ibu, ditambah sepiring lalapan dari kebun belakang. Aroma masakan itu membawa kenangan—kenangan saat aku masih kecil, ketika Ibu sering bercerita tentang masa mudanya sambil kami makan bersama. “Dulu, Ibu suka nyanyi lagu-lagu keroncong sama Ayah di teras. Suara Ayah bagus, lho, Maya,” katanya pagi itu, matanya berbinar mengenang masa lalu. Aku tersenyum, tapi hatiku terasa perih. Aku tahu Ibu rindu Ayah, dan aku tahu betapa berat hidup ini baginya tanpa Ayah.

Saat aku mengambil suapan pertama, Ibu tiba-tiba terbatuk kecil. Aku menoleh, khawatir, tapi ia cepat-cepat melambaikan tangan. “Nggak apa-apa, cuma sedikit masuk angin,” katanya, tapi wajahnya terlihat pucat. Aku ingin memaksanya istirahat, tapi aku tahu sifat Ibu—keras kepala, selalu ingin melakukan segalanya sendiri demi anak satu-satunya ini. Aku hanya bisa diam, menatap piringku, mencoba menahan perasaan takut yang tiba-tiba muncul di dada.

Setelah makan, Ibu bangkit untuk mencuci piring, tapi aku segera menghentikannya. “Biar aku aja, Bu. Ibu duduk aja di teras, nikmatin angin pagi,” kataku, hampir memohon. Ibu akhirnya menurut, meski dengan sedikit protes. Aku melihatnya berjalan pelan menuju teras, tangannya memegang jubah batiknya yang sedikit terangkat agar tak tersandung. Dari dapur, aku mendengar ia bersenandung pelan—lagu keroncong yang sering ia nyanyikan bersama Ayah dulu. Suaranya tak lagi seindah yang ia ceritakan, tapi bagiku, itu adalah melodi terindah yang pernah ada.

Saat aku selesai mencuci piring, aku bergabung dengannya di teras. Ibu memandang ke kejauhan, ke arah sawah yang terbentang hijau di ujung desa. “Maya, kalau suatu saat Ibu nggak ada, kamu harus janji sama Ibu, ya. Jangan pernah lupain siapa kamu, dan jangan pernah nyerah, meski hidup susah,” katanya tiba-tiba, suaranya pelan tapi penuh makna. Aku tersentak, tak suka mendengar kata-kata itu. “Ibu ngomong apa sih? Ibu bakal sehat terus, kok. Jangan bilang gitu,” kataku, suaraku sedikit gemetar.

Ibu hanya tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. “Ibu cuma mau kamu siap, Nak. Hidup itu nggak selalu mudah, tapi Ibu tahu kamu kuat,” katanya, tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Aku tak bisa menjawab apa-apa. Aku hanya menunduk, merasakan kehangatan tangan Ibu yang mulai terasa dingin. Di dalam hati, aku berdoa, memohon pada Tuhan agar Ibu diberi umur panjang, agar aku tak perlu menghadapi hari tanpa aroma dapur Ibu yang selalu membawa kehangatan itu.

Bayang Hujan dan Rindu

Pagi itu, langit di atas desa kami berubah gelap lebih cepat dari biasanya. Aku terbangun oleh suara rintik hujan yang mulai membasahi atap seng rumah kami, sebuah irama yang biasanya menenangkan tapi kali ini terasa berat. Jam di dinding menunjukkan pukul 06:30 WIB, dan aroma nasi liwet yang biasanya mengisi udara pagi tak tercium. Aku bangkit dari kasur, mengenakan jaket tipis, dan berjalan menuju dapur. Di sana, Ibu duduk di bangku kayu tua, jubah batiknya yang sudah lusuh terlihat basah di bagian lengan—mungkin karena ia baru saja menyiram tanaman di halaman sebelum hujan turun.

“Ibu, kok nggak bilang kalau mau ke luar? Lihat, bajunya basah,” kataku khawatir, sambil mengambil handuk kecil dari rak dapur untuk menyeka lengan Ibu. Ia tersenyum lelet, seperti biasa, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan di wajahnya. “Nggak apa-apa, Maya. Ibu cuma mau pastiin tanaman lidah buaya itu kebagi air sebelum hujan deras,” jawabnya, suaranya serak tapi penuh perhatian. Aku menggeleng, tak habis pikir dengan sifat Ibu yang selalu memikirkan orang lain, termasuk tanaman, sebelum dirinya sendiri.

Hujan semakin deras, dan kami memutuskan untuk tinggal di dalam rumah. Aku menyalakan kompor sederhana kami, memutuskan untuk membuat teh hangat untuk Ibu. Sementara menunggu air mendidih, aku memperhatikan Ibu yang duduk di sudut ruang tamu, memandangi foto tua di dinding. Foto itu menunjukkan Ibu dan Ayah di hari pernikahan mereka—Ibu dengan kebaya putih yang elegan, Ayah dengan setelan jas sederhana, keduanya tersenyum bahagia. Di tangan Ibu, ada sebuah bingkai perak kecil yang ia pegang erat, seolah itu adalah harta terakhir yang tersisa darinya.

“Maya, kamu tahu nggak, dulu Ayah sama Ibu sering duduk di teras pas hujan gini. Ayah suka nyanyi lagu ‘Bengawan Solo’ sambil main gitar tua itu,” ceritanya, matanya berkaca-kaca tapi bibirnya tersenyum. Aku mendekat, duduk di lantai di sampingnya, mendengarkan dengan hati-hati. “Ibu kangen banget sama suara Ayah. Setiap hujan, Ibu kayak bisa denger dia nyanyi lagi,” lanjutnya, suaranya pelan, hampir tenggelam oleh suara hujan di luar.

Aku menatap Ibu, merasakan rasa sesak di dada. Aku tahu Ibu tak pernah benar-benar sembuh dari kehilangan Ayah. Setelah Ayah meninggal karena sakit paru-paru sepuluh tahun lalu, Ibu menjadi tulang punggung keluarga. Ia bekerja sebagai penjahit di rumah, menerima pesanan dari tetangga, sambil merawatku yang masih kecil. Tapi tubuhnya yang rapuh kini mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan—batuk yang sering muncul, napas yang kadang tersengal, dan langkah yang semakin lambat.

Saat aku menyuguhkan teh hangat, Ibu mengambilnya dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Nak. Ibu seneng banget punya kamu,” katanya, menatapku dengan mata penuh cinta. Aku tersenyum, tapi di dalam hati, aku merasa bersalah. Aku baru saja lulus SMA bulan lalu, dan meski aku diterima di universitas negeri di kota, aku belum yakin bisa membiayai kuliah tanpa membebani Ibu. Ibu selalu bilang ia punya tabungan, tapi aku tahu tabungan itu tak cukup untuk kebutuhan medisnya yang mungkin datang kapan saja.

Hujan mulai reda saat sore tiba, meninggalkan genangan air di halaman. Ibu bersikeras ingin keluar untuk memeriksa tanaman lagi, dan aku tak bisa melarangnya. Aku mengikutinya, membawa payung tua yang sudah sedikit robek. Di kebun kecil itu, Ibu berjongkok dengan susah payah, memeriksa daun lidah buaya yang basah kuyup. “Ini bisa dipakai buat obat, lho, Maya. Nanti Ibu ajarin kamu cara bikin ramuan,” katanya, suaranya penuh semangat meski tubuhnya terlihat lelet.

Tiba-tiba, Ibu tersandung di lumpur dan hampir jatuh. Aku cepat menahannya, merasa jantungku berdegup kencang. “Ibu, hati-hati! Udah, kita masuk aja,” kataku, hampir memohon. Ibu mengangguk lelet, tapi matanya menunjukkan rasa malu. “Ibu tua banget ya, Nak. Udah nggak bisa gerak cepet kayak dulu,” gumamnya, suaranya penuh penyesalan. Aku memeluknya dari samping, mencoba menghibur. “Nggak, Bu. Ibu tetap kuat. Ibu yang terbaik buat aku,” kataku, air mata hampir jatuh tapi aku tahan.

Malam itu, kami duduk bersama di teras, mendengarkan suara jangkrik yang mulai bernyanyi. Ibu bercerita lagi tentang masa kecilnya, tentang bagaimana ia belajar masak dari nenek, dan tentang impiannya yang tak sempat tercapai karena harus menikah muda. Aku mendengarkan dengan seksama, mencatat setiap kata dalam hati. Tapi di tengah ceritanya, Ibu tiba-tiba terbatuk keras, dan batuk itu tak kunjung berhenti. Aku panik, membawakan segelas air, tapi Ibu hanya menggeleng lelet. “Ibu cuma capek, Maya. Besok Ibu istirahat aja,” katanya, tapi wajahnya pucat, dan aku tahu itu lebih dari sekadar kelelahan.

Aku membantunya ke kamar, meletakkannya di ranjang kayu yang sudah usang. Di samping ranjang, ada foto Ibu dan Ayah lagi, tersenyum bahagia di hari pernikahan mereka. Aku menatap Ibu yang tertidur dengan napas tersengal, dan untuk pertama kalinya, aku merasa takut benar-benar kehilangannya. Di dalam hati, aku berjanji akan berusaha lebih keras, mencari cara agar Ibu bisa mendapatkan perawatan yang layak. Tapi malam itu, di bawah bayang hujan yang masih terdengar samar, aku hanya bisa berdoa, memeluk rasa rindu yang mulai tumbuh untuk hari-hari bersama Ibu yang mungkin tak selamanya ada.

Pilihan yang Berat

Pagi itu, sinar matahari yang biasanya lembut terasa menyengat di kulit. Aku terbangun dengan perasaan gelisah, suara batuk Ibu malam tadi masih bergema di kepalaku. Jam di dinding menunjukkan pukul 07:15 WIB, dan aku buru-buru bangkit dari kasur, bergegas menuju kamar Ibu. Pintu kayu yang sudah tua sedikit berderit saat kubuka, dan di sana, Ibu masih terbaring di ranjang, wajahnya pucat dengan napas yang terdengar berat. Jubah batiknya yang dikenakan semalam masih terlihat kusut, dan di samping ranjang, segelas air yang kubawakan malam tadi belum tersentuh.

“Ibu, apa kabar? Ibu harus ke dokter hari ini,” kataku sambil duduk di sisi ranjang, tanganku memegang tangannya yang terasa dingin. Ibu membuka mata perlahan, mencoba tersenyum meski wajahnya menunjukkan kelelahan yang dalam. “Ibu nggak apa-apa, Maya. Cuma butuh istirahat aja,” jawabnya, suaranya serak dan lemah. Tapi aku tahu Ibu berbohong. Batuknya malam tadi bukan batuk biasa, dan napasnya yang tersengal membuatku tak bisa mengabaikan firasat buruk yang muncul di hati.

Aku bersikeras membawanya ke puskesmas desa, meski Ibu terus menolak dengan alasan tak mau merepotkan. “Biaya ke dokter itu mahal, Nak. Ibu minum obat dari warung aja, nanti juga sembuh,” katanya sambil mencoba duduk, tapi tubuhnya terlihat gemetar. Aku menggeleng keras, hampir menangis. “Ibu, aku nggak mau dengar alasan itu. Kita ke dokter sekarang juga. Aku yang atur biayanya,” kataku, nadaku tegas meski di dalam hati aku sendiri bingung bagaimana caranya.

Setelah dibujuk dengan susah payah, Ibu akhirnya setuju. Aku membantunya mengenakan jubah batik yang lebih bersih, lalu memapahnya keluar rumah. Di luar, Pak Slamet, tetangga kami yang punya motor tua, kebetulan sedang menyapu halaman. Aku meminta tolong padanya untuk mengantarkan kami ke puskesmas, dan ia dengan senang hati membantu. Sepanjang perjalanan, Ibu memegang erat tanganku, matanya menatap ke arah sawah yang baru saja dipanen, tapi aku tahu pikirannya sedang berkecamuk—mungkin khawatir tentang biaya, atau mungkin tentang apa yang akan dokter katakan.

Di puskesmas, suasananya ramai dengan ibu-ibu yang membawa anak kecil dan beberapa lansia yang duduk di bangku tunggu. Aku mendaftarkan Ibu, dan setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya nama Ibu dipanggil. Dokter Ani, seorang dokter muda yang ramah, memeriksa Ibu dengan teliti. Aku duduk di sudut ruangan, jantungku berdegup kencang saat dokter memasang stetoskop di dada Ibu, lalu memeriksa tekanan darahnya. Ekspresi Dokter Ani berubah serius, dan aku tahu ada kabar yang tak ingin kudengar.

“Bu, jantung Ibu semakin lemah. Batuk dan sesak napas ini tanda-tanda gagal jantung yang memburuk. Ibu harus dirujuk ke rumah sakit di kota untuk pemeriksaan lebih lanjut,” kata Dokter Ani dengan nada lembut tapi tegas. Aku merasa dunia berhenti berputar. Ibu menunduk, tangannya mencengkeram jubahnya, dan aku bisa melihat air mata kecil menggenang di sudut matanya. “Dok, apa nggak bisa diobati di sini aja? Kami… kami nggak punya banyak biaya,” gumam Ibu, suaranya hampir tak terdengar.

Dokter Ani menghela napas, lalu menatapku. “Maya, aku tahu ini berat, tapi kalau kondisi Ibu dibiarkan, bisa membahayakan nyawanya. Aku akan bantu urus rujukan biar bisa pakai BPJS, tapi kalian harus segera ke rumah sakit,” katanya. Aku mengangguk lelet, mencoba menahan air mata yang sudah di ujung mata. Aku tahu BPJS akan membantu, tapi perjalanan ke kota, biaya hidup di sana, dan kebutuhan lain tetap jadi beban besar. Aku baru saja lulus SMA, belum punya pekerjaan, dan tabungan Ibu yang sedikit itu pasti tak cukup.

Sepulang dari puskesmas, aku dan Ibu duduk di teras rumah. Hujan semalam meninggalkan udara yang sejuk, tapi hatiku terasa panas dan sesak. Ibu memandang ke arah kebun kecil kami, matanya kosong. “Maya, Ibu minta maaf ya, udah bikin kamu repot,” katanya tiba-tiba, suaranya penuh penyesalan. Aku memeluknya erat, tak peduli air mataku akhirnya jatuh. “Ibu nggak boleh bilang gitu. Ibu nggak pernah repotin aku. Aku yang harusnya minta maaf, karena aku belum bisa bantu Ibu lebih banyak,” kataku, suaraku pecah.

Malam itu, aku tak bisa tidur. Aku duduk di meja kecil di kamarku, menatap surat penerimaan kuliah yang kuterima beberapa bulan lalu. Aku diterima di Universitas Negeri di kota, jurusan Sastra Indonesia—mimpi yang selama ini kukejar. Tapi kini, aku dihadapkan pada pilihan yang berat: mengejar mimpiku atau menunda kuliah untuk bekerja demi biaya pengobatan Ibu. Aku tahu Ibu akan marah jika aku menunda kuliah, tapi aku juga tak bisa membayangkan Ibu berjuang sendirian dengan kondisinya yang memburuk.

Aku mengambil buku catatan kecilku, mencoret-coret rencana. Mungkin aku bisa mencari pekerjaan paruh waktu di kota sambil kuliah, atau mungkin aku bisa menjual sebagian tanah kecil yang kami miliki di belakang rumah. Tapi setiap rencana itu terasa penuh risiko, dan aku takut salah langkah. Di tengah kebingunganku, aku mendengar suara batuk Ibu lagi dari kamar sebelah, dan hatiku semakin teriris. Aku berlari ke kamarnya, melihat Ibu yang mencoba duduk dengan susah payah, wajahnya penuh keringat dingin.

“Maya… Ibu nggak apa-apa, Nak. Balik tidur aja,” katanya, tapi aku tahu ia berbohong lagi. Aku duduk di sampingnya, memeluknya erat, dan malam itu, aku berjanji pada diri sendiri bahwa aku akan melakukan apa saja untuk Ibu. Pilihan yang berat itu harus segera kuputuskan, tapi di dalam hati, aku tahu bahwa Ibu adalah segalanya bagiku—dan aku tak akan membiarkan bayang-bayang penyakit itu merenggutnya dariku tanpa perlawanan.

Pelukan Terakhir dan Janji Abadi

Hari itu, tanggal 15 Mei 2024, langit di atas desa kami terlihat cerah, tapi hatiku dipenuhi awan gelap. Pukul 10:12 pagi WIB, aku dan Ibu sudah berada di rumah sakit di kota, setelah menempuh perjalanan panjang dari desa dengan angkutan umum. Aku memapah Ibu dengan hati-hati, tangannya yang dingin mencengkeram lenganku erat, seolah takut terlepas. Jubah batiknya yang sederhana terlihat kontras dengan suasana rumah sakit yang steril—bau obat dan suara langkah cepat para perawat membuatku semakin gelisah. Ibu hanya diam, tapi matanya penuh ketakutan yang disembunyikan di balik senyum kecil yang dipaksakan.

Setelah proses administrasi yang melelahkan dengan BPJS, Ibu akhirnya dibawa ke ruang pemeriksaan. Dokter spesialis jantung, dr. Hartono, seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal, memeriksa Ibu dengan serius. Aku berdiri di sudut ruangan, tanganku mencengkeram tas kecil yang berisi pakaian ganti Ibu, jantungku berdegup kencang menanti hasilnya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, dokter menoleh padaku, ekspresinya penuh empati tapi tegas. “Maya, kondisi Ibu sudah sangat kritis. Gagal jantungnya sudah stadium lanjut. Kami akan lakukan yang terbaik, tapi Ibu perlu perawatan intensif, dan… kita harus siap untuk segala kemungkinan,” katanya, suaranya pelan tapi menusuk.

Aku merasa dunia runtuh di bawah kakiku. Aku menatap Ibu, yang kini terbaring di ranjang pasien, wajahnya pucat dengan selang oksigen di hidungnya. Matanya menatapku, dan aku tahu ia mendengar apa yang dokter katakan. “Maya… Ibu nggak apa-apa, Nak. Jangan takut,” gumamnya, suaranya lemah tapi penuh cinta. Aku tak bisa menahan air mata lagi. Aku berlutut di samping ranjangnya, memeluk tangannya, dan menangis seperti anak kecil. “Ibu harus sembuh, Bu. Aku nggak bisa kalau Ibu nggak ada,” kataku, suaraku pecah.

Hari-hari berikutnya terasa seperti kabut tebal. Ibu dirawat di ruang ICU, dan aku hanya boleh menjenguknya beberapa jam sehari. Aku menyewa kamar kos sederhana di dekat rumah sakit, membayar dengan uang tabungan Ibu yang tersisa. Setiap malam, aku duduk di ranjang kos yang berderit, menatap surat penerimaan kuliahku, dan akhirnya memutuskan: aku akan menunda kuliah. Aku mulai mencari pekerjaan kecil-kecilan di kota, menjadi pelayan di sebuah warung makan, demi menutupi biaya hidup dan obat-obatan tambahan Ibu yang tak sepenuhnya ditanggung BPJS. Aku tahu Ibu akan marah jika tahu keputusanku, tapi aku tak punya pilihan lain.

Setiap kali menjenguk, aku membawa bingkai perak kecil yang berisi foto Ibu dan Ayah di hari pernikahan mereka. Aku meletakkannya di samping ranjang Ibu, berharap itu bisa memberinya semangat. “Ibu, lihat, Ayah senyum buat Ibu,” kataku suatu hari, mencoba tersenyum meski hatiku hancur. Ibu menoleh perlahan, matanya berkaca-kaca. “Ibu kangen Ayah, Maya. Kalau Ibu pergi, Ibu bakal ketemu Ayah lagi,” katanya, suaranya hampir seperti bisikan. Aku menggeleng keras, memeluk tangannya. “Jangan bilang gitu, Bu. Ibu harus sembuh, kita masih harus masak nasi liwet bareng,” kataku, air mataku jatuh ke tangannya.

Tapi Tuhan punya rencana lain. Pagi tanggal 20 Mei 2024, aku mendapat telepon dari rumah sakit saat sedang bekerja di warung. “Maya, segera ke sini. Kondisi Ibu memburuk,” kata perawat di ujung telepon. Aku berlari secepat mungkin, tak peduli keringat membasahi wajahku atau sepatuku yang penuh debu. Saat sampai di ruang ICU, Ibu sudah tak sadarkan diri, napasnya sangat lemah, dan monitor di samping ranjangnya menunjukkan garis yang hampir datar. Aku berlutut di sampingnya, memegang tangannya, dan berdoa dengan seluruh jiwa.

“Ibu, jangan tinggalin aku. Aku belum bisa balas semua kebaikan Ibu,” kataku, suaraku penuh isak. Tiba-tiba, Ibu membuka matanya perlahan, seolah mendengar doaku. Ia menatapku dengan mata penuh cinta, tangannya yang lemah menggenggam tanganku. “Maya… Ibu sayang kamu. Jangan… nyerah ya, Nak. Ibu… bangga sama kamu,” katanya, suaranya terputus-putus. Aku memeluknya erat, merasakan kehangatan terakhir dari tubuhnya, dan saat itu, aku tahu ini adalah pelukan terakhir kami.

Tak lama setelah itu, Ibu menghembuskan napas terakhirnya, meninggalkanku dengan kenangan yang tak akan pernah pudar. Aku menangis sejadi-jadinya, tapi di tengah kesedihan itu, aku merasa ada kekuatan baru yang muncul di hatiku—janji untuk melanjutkan hidup seperti yang Ibu inginkan. Aku membawa pulang bingkai perak kecil itu, bersama jubah batik Ibu yang masih berbau harum tubuhnya, dan meletakkannya di samping ranjangku.

Beberapa bulan kemudian, aku kembali ke desa, membawa abu Ibu untuk dimakamkan di samping makam Ayah. Di bawah pohon kamboja yang rindang di pekuburan desa, aku berjanji pada Ibu dan Ayah bahwa aku akan mengejar mimpiku, menjadi penulis seperti yang Ibu selalu dukung. Aku membuka buku catatan kecilku, menulis: “Ibu, terima kasih atas cinta dan pengorbananmu. Aku akan hidup dengan bangga, membawa nama Ibu di setiap langkahku.”

Sore itu, angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah yang mengingatkanku pada dapur Ibu. Aku tersenyum kecil, merasa Ibu dan Ayah sedang menatapku dari atas sana, bernyanyi “Bengawan Solo” bersama seperti dulu. Dan di dalam hati, aku tahu, cinta Ibu akan selalu menjadi cahaya yang membimbingku, meski ia kini hanya tinggal kenangan di balik jubah batiknya yang sederhana.

Kenangan di Balik Jubel Ibu mengingatkan kita bahwa cinta ibu adalah pilar yang tak tergoyahkan, bahkan di tengah cobaan terberat. Kisah Maya dan Ibunya mengajarkan nilai pengorbanan, keberanian, dan harapan yang bisa kita bawa dalam kehidupan sehari-hari. Jadilah inspirasi seperti Ibu, yang meski pergi meninggalkan kenangan, tetap menyala sebagai cahaya bagi anaknya. Ambil waktu untuk menghargai dan mendukung ibu atau figur penting dalam hidupmu hari ini—karena setiap momen berharga.

Leave a Reply