Kenangan Ayah dan Kumis Tebalnya: Cerita Cinta yang Tersembunyi

Posted on

Pernah nggak sih, kamu merasa takut banget sama seseorang, cuma buat tahu belakangan kalau rasa takut itu justru jadi kenangan yang paling kamu hargai? Nah, cerita ini tuh tentang Aksa, yang dulu takut banget sama ayahnya karena kumis tebalnya yang kelihatan serem banget.

Tapi ternyata, di balik ketegasan itu, ada cinta yang nggak pernah dia duga. Mau tahu gimana perjalanan Aksa ngerti makna dari cinta yang nggak selalu bisa diungkapkan dengan kata-kata? Yuk, baca sampai habis!

 

Cerita Cinta yang Tersembunyi

Kumis Tebal dan Ketakutanku

Hari itu, Aksa kecil hanya bisa bersembunyi di balik tirai jendela, mengintip bayangan ayah yang tengah berdiri di halaman depan. Angin sore yang sejuk tidak bisa meredakan kegelisahan di dadanya. Suara sepatu kulit ayah yang berat, langkah tegasnya, seperti gong yang bergema di telinga. Setiap langkahnya adalah perintah yang tak bisa dilawan.

“Aksa!” teriak ayah dengan suara yang memecah keheningan sore itu.

Aksa tercekat. Jantungnya berdegup lebih kencang, seperti burung yang terjebak dalam sangkar. Tanpa berpikir panjang, ia berlari menuju ruang belakang, tempat ia biasa bersembunyi jika suasana di rumah mulai menegangkan.

Ayah, dengan kumis tebalnya yang menggelayut di atas bibir, adalah sosok yang selalu menakutkan. Kumis itu bukan hanya sekadar rambut yang tumbuh di atas bibirnya, melainkan simbol dari ketegasan yang menuntut ketaatan. Setiap kali Aksa melanggar aturan, ayahnya akan menatapnya dengan mata tajam, sementara kumis itu bergerak sedikit, seolah-olah memberi peringatan lebih keras daripada kata-kata.

“Aksa, kamu mendengar ayah atau tidak?” suara ayah terdengar semakin dekat.

Aksa tetap bersembunyi di belakang pintu dapur, tubuhnya membeku. Ia bisa mendengar langkah kaki ayah yang semakin mendekat. Keringat dingin mulai mengalir di punggungnya.

Ayahnya, dengan kumis tebal yang kini terlihat lebih mencolok di bawah sinar matahari, adalah orang yang sangat keras. Tidak ada ruang untuk negosiasi. Ayah tak pernah menanyakan pendapatnya, tak pernah peduli dengan perasaannya. Semua yang dia lakukan adalah untuk “mendidik” Aksa menjadi anak yang disiplin.

“Ayooo, keluar!” perintah ayah, kali ini lebih keras dan penuh tekanan.

Aksa tahu apa artinya ini. Ia bisa merasakan gejolak di dalam dirinya—ketakutan, kecemasan, dan juga sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan. Mungkin ada kasih sayang di sana, namun ia sulit melihatnya melalui kedisiplinan yang begitu keras.

Aksa akhirnya keluar dari persembunyiannya, menatap ayah dengan cemas. Namun, tidak seperti yang ia duga, ayah tidak marah. Mata ayah yang tajam itu malah memandangnya dengan penuh kelelahan.

“Kenapa kamu tidak menyiapkan tugasmu?” tanya ayah, suara sedikit lebih tenang.

Aksa mendengus. Tugas sekolah yang selalu menumpuk itu memang membuatnya pusing, namun dia tidak ingin mengatakan itu. Ayah sudah cukup kecewa padanya.

“Maaf, ayah,” Aksa menjawab dengan suara pelan.

Ayah tetap diam, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Kumis tebal itu, yang selalu menjadi sumber ketakutannya, kali ini tampak lebih lembut. Aksa tidak tahu harus berkata apa. Ketika ayah akhirnya berbicara lagi, suaranya tidak lagi keras, melainkan seperti bisikan yang penuh penyesalan.

“Aku cuma ingin kamu tahu, hidup ini butuh disiplin. Kalau kamu tidak belajar dengan keras, kamu akan menyesal nanti,” kata ayah, matanya menatap lurus ke depan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

Aksa terdiam. Ada perasaan aneh yang muncul di dadanya—campuran antara bingung, takut, dan sedikit penyesalan. Ayah selalu seperti itu. Keras di luar, namun ia tahu di dalam hati ayah menginginkan yang terbaik untuknya. Namun, itu semua terasa begitu sulit untuk diterima.

“Aku tidak bisa selalu ada di sampingmu, Aksa. Kamu harus belajar bertanggung jawab,” lanjut ayah, melangkah menuju meja di sudut ruangan.

Aksa memandang punggung ayah yang tegap, dengan kumis tebal yang tidak pernah bisa dilupakan. Meskipun ia tak bisa menanggalkan ketakutannya, ia juga mulai merasakan sesuatu yang lebih dalam—sebuah perasaan yang belum bisa ia sebutkan. Cinta? Mungkin. Tapi untuk anak seumurnya, itu terlalu rumit untuk dipahami.

“Ayah,” Aksa memanggil pelan.

Ayah berhenti sejenak, kemudian menoleh ke arah Aksa.

“Aku… aku akan berusaha lebih baik,” kata Aksa dengan suara yang lebih mantap.

Ayah mengangguk perlahan, tanpa ekspresi yang terlalu berlebihan. Kumis tebal itu tampak bergoyang sedikit saat ia berbicara.

“Baik. Jangan membuatku kecewa.”

Aksa hanya bisa mengangguk, merasa ada banyak hal yang belum bisa ia pahami tentang ayah. Tetapi satu hal yang ia tahu pasti: ayah adalah orang yang paling berperan dalam hidupnya. Tak peduli seberapa besar ketakutannya, ia tahu bahwa tanpa ayah, hidupnya tak akan sama.

Tapi hari itu, Aksa hanya bisa melihat ayahnya pergi menuju ruang kerjanya, dengan langkah yang berat. Kumis tebal itu masih ada, menyelimuti bibirnya, seolah memberikan penegasan tentang apa yang baru saja dikatakan.

Aksa berdiri di sana, menatap pintu yang tertutup rapat. Tanpa sadar, ia merindukan sosok yang selalu membuatnya takut, tapi juga memberi rasa aman di balik itu semua.

 

Di Balik Pukulan, Ada Kasih Sayang

Minggu-minggu setelah kejadian itu, Aksa mulai merasa ada yang berubah. Ayahnya, yang dulu tampak seperti batu yang tak bisa digoyahkan, kini sedikit lebih tenang. Tentu saja, masih ada ketegasan yang menggema dalam setiap ucapannya, namun Aksa bisa merasakan ada ruang untuk berbicara lebih terbuka. Setiap malam, setelah makan malam yang jarang sekali diisi percakapan ringan, Aksa dan ayah sering duduk bersama di teras depan.

“Aksa, kenapa kamu selalu melamun?” tanya ayah suatu malam, sambil menghirup kopi hitamnya yang pekat.

Aksa menoleh, sedikit terkejut. Biasanya, ayah tidak terlalu peduli dengan hal-hal kecil seperti itu. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda.

“Aku… aku cuma mikirin tugas-tugas sekolah, ayah,” jawab Aksa, sedikit gugup.

Ayah menatapnya sejenak, lalu mengangguk, menatap ke luar rumah, menuju langit malam yang dipenuhi bintang-bintang yang seakan tak terhitung jumlahnya. Kumis tebal itu bergerak-gerak saat dia berbicara lagi.

“Kamu tahu, hidup ini kadang memang nggak adil. Kamu harus bekerja keras, belajar lebih giat, dan kadang—” ayah berhenti sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat, “—kadang kamu akan merasa semua ini tidak sebanding dengan apa yang kamu dapatkan. Tapi percayalah, semua usaha itu akan membawa hasilnya.”

Aksa terdiam, mencerna kata-kata ayah. Ada kehangatan dalam suara ayah malam itu, yang jarang terdengar. Biasanya, kata-kata ayah selalu terdengar seperti perintah atau ancaman, tetapi malam ini, ada kedalaman yang tak biasa.

Tapi, ketenangan itu segera pecah ketika Aksa teringat pada beberapa minggu lalu. Pukulannya, meskipun jarang, selalu ada. Dan pada saat itu, Aksa merasa seperti dunia akan berakhir. Seperti saat dia melupakan tugas matematika yang sangat penting dan tahu bahwa hukuman dari ayah akan sangat berat.

Hari itu akhirnya datang juga. Aksa tahu betul, begitu ia melangkah ke ruang tamu dan melihat ayah berdiri dengan ekspresi yang tidak terbaca, dia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.

“Aksa,” suara ayah terdengar berat. “Kamu tahu apa yang terjadi kalau kamu nggak serius dalam pelajaran, kan?”

Aksa menelan ludah. Kali ini, dia benar-benar tidak bisa mengelak. Kumis tebal itu seakan menatapnya dengan tajam, lebih tajam daripada yang pernah ia rasakan sebelumnya.

“Ayah, aku… aku janji nggak akan lagi.” Suara Aksa terdengar parau, seakan setiap kata yang ia ucapkan seberat batu.

Ayah diam sejenak, seolah menilai apakah kata-kata Aksa kali ini benar-benar tulus. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, ayah menghela napas panjang dan memandang Aksa dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

“Ini bukan tentang janji atau kata-kata kosong. Ini tentang tindakan, Aksa. Aku ingin kamu belajar untuk menghadapinya, bukan lari dari masalah.”

Aksa menunduk, merasa sesak di dada. Tetapi saat ayah menatapnya lagi, kali ini tatapannya tidak tajam. Ada rasa lelah yang terlihat di mata ayah, seperti sudah terlalu banyak bertarung dengan dunia dan menginginkan anaknya untuk belajar bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.

“Aku nggak akan memukul kamu kali ini, Aksa. Tapi kamu harus tahu, hidup ini nggak akan mudah. Terkadang, kita harus mengalami pukulan—baik fisik maupun mental—untuk tahu betapa berharganya sesuatu.”

Mendengar itu, Aksa merasa ada sesuatu yang meresap dalam dirinya. Sebuah kesadaran baru mulai tumbuh, perlahan tapi pasti. Ayahnya, yang selalu tampak keras, tidak seburuk yang dia bayangkan. Mungkin, justru pukulan dan ketegasan ayah yang membentuk dirinya menjadi seseorang yang lebih tangguh.

Saat malam tiba, Aksa duduk di ruang tamu, menatap ayah yang tengah menonton televisi dengan raut wajah yang lebih santai dari biasanya. Kumis tebal itu, yang selalu terlihat begitu menakutkan, kini tampak lebih akrab. Aksa tak lagi merasa takut, melainkan mulai mengerti. Ayah, dengan semua kekerasan dan kedisiplinannya, sebenarnya hanya berusaha membuatnya siap menghadapi dunia luar.

“Ayah,” Aksa memanggil, suaranya kini lebih ringan.

Ayah menoleh, memandangnya dengan alis yang sedikit terangkat.

“Terima kasih,” kata Aksa, sedikit ragu, tetapi cukup kuat untuk disampaikan.

Ayah terdiam sejenak, kemudian tersenyum tipis, senyuman yang jarang muncul. Kumis tebal itu bergerak perlahan, seperti memberikan persetujuan.

“Jangan lupa, Aksa. Ini baru permulaan. Aku akan selalu ada di sini untuk memastikan kamu nggak jatuh terlalu dalam.”

Aksa merasa sebuah beban ringan di dadanya. Dalam kata-kata ayah, dia merasa ada harapan baru, ada jembatan yang mulai menghubungkan mereka—dari yang semula tampak seperti jurang tak teratasi, menjadi sebuah saluran komunikasi yang lebih terbuka.

Ternyata, pukulan dan ketegasan yang dia terima bukan untuk menghancurkannya, melainkan untuk mengajarkannya bagaimana bangkit.

 

Menyadari Cinta yang Terpendam

Waktu berlalu begitu cepat. Aksa mulai merasa bahwa setiap detik yang ia habiskan bersama ayah semakin memperdalam pemahamannya tentang pria itu. Ayah yang dulu begitu menakutkan kini terasa lebih manusiawi. Mungkin karena Aksa mulai mengerti bahwa di balik setiap kata yang keras, ada cinta yang tak bisa diungkapkan dengan mudah.

Suatu sore, saat Aksa sedang membaca buku di ruang tamu, ayah masuk dengan ekspresi yang berbeda dari biasanya. Kali ini, ayah tidak membawa pekerjaan atau masalah rumah, hanya duduk di kursi favoritnya, di depan jendela, dengan pandangan kosong. Kumis tebalnya yang selalu terlihat seperti pertanda keseriusan, kali ini tampak lebih lembut, seperti sebuah tanda kelelahan yang tak bisa disembunyikan lagi.

“Ayah, kamu baik-baik saja?” Aksa bertanya, sedikit khawatir.

Ayah menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia biasanya tidak pernah menunjukkan sisi lemah atau perasaan yang lebih dalam kepada anak-anaknya. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Mungkin, usia sudah mulai membawa banyak perubahan pada dirinya, atau mungkin, hanya ada saat-saat ketika seseorang butuh berbicara.

“Aku cuma capek, Aksa. Dunia ini kadang terlalu berat untuk dipikul sendiri,” jawab ayah dengan suara serak.

Aksa merasa sesuatu yang aneh. Suara ayah tidak seperti biasanya—keras dan penuh otoritas—tetapi kali ini, terdengar lebih rapuh, lebih manusiawi. Tiba-tiba, Aksa merasa cemas. Ia tidak tahu harus berkata apa.

“Ayah…” Aksa mulai ragu. “Aku… aku ingin berterima kasih.”

Ayah menatapnya, tanpa berkata apa-apa, hanya mengangkat alis. Ada sedikit rasa penasaran di balik tatapannya.

“Berterima kasih karena sudah selalu ada untukku,” lanjut Aksa, suaranya lebih pelan. “Aku tahu selama ini aku selalu kesal dengan aturan-aturan yang ayah buat, dan aku pikir ayah terlalu keras. Tapi… sekarang, aku mulai mengerti.”

Ayah diam, menatap Aksa seperti sedang menilai apakah kata-kata Aksa benar-benar tulus. Kumis tebal itu bergerak-gerak, dan Aksa bisa merasakan getaran yang halus di udara, seakan setiap kata yang terucap antara mereka berdua membawa bobot yang lebih dalam daripada yang pernah mereka bicarakan sebelumnya.

“Apa yang kamu mengerti?” tanya ayah akhirnya, suaranya lebih tenang.

“Aku mengerti kenapa ayah selalu keras, kenapa ayah tidak pernah membiarkan aku untuk mudah menyerah atau mengambil jalan pintas. Karena ayah tahu, kalau aku tidak kuat sekarang, dunia akan lebih kejam lagi nanti,” jawab Aksa, matanya sedikit berkaca.

Ayah memandangnya lama, kemudian tersenyum tipis, senyum yang sangat jarang muncul. Senyum yang bukan senyum kemenangan, tetapi senyum yang penuh dengan rasa bangga dan kasih sayang yang akhirnya bisa terlihat, meski samar. Kumis tebal itu bergerak pelan, dan Aksa merasakan, untuk pertama kalinya, ayahnya tidak lagi tampak seperti sosok yang menakutkan.

“Kadang, kita perlu membuat keputusan yang sulit, Aksa. Mungkin aku tidak bisa selalu ada untukmu, tapi aku ingin kamu tahu—aku ingin yang terbaik untukmu. Tidak ada yang lebih penting bagi seorang ayah selain melihat anaknya tumbuh jadi orang yang kuat dan mandiri.”

Aksa terdiam. Perasaan hangat menyelimutinya, seolah-olah ada lapisan tipis es yang selama ini melapisi hatinya mulai mencair. Selama ini, ia selalu berpikir ayahnya hanya peduli pada dirinya seperti seorang tentara yang ingin melatih prajuritnya. Tetapi sekarang, Aksa merasa ada banyak lapisan dalam hubungan mereka yang belum pernah ia pahami sebelumnya.

“Ayah…” Aksa mulai terisak.

Ayah menoleh, kali ini dengan pandangan yang lebih lembut. Ia bisa merasakan perasaan yang terpendam dalam suara Aksa.

“Kenapa kamu menangis, Aksa?”

Aksa menyeka air matanya dengan cepat, malu dengan emosinya yang tiba-tiba muncul begitu saja.

“Karena… karena aku nggak tahu kalau aku sangat merindukanmu, ayah. Aku merasa seperti nggak pernah benar-benar mengerti ayah.”

Ayah terdiam, sejenak menatap Aksa dengan mata yang penuh perasaan. Lalu, dengan perlahan, ia berdiri dan mendekat.

Aksa merasa tubuhnya tergetar. Ayah yang selalu tampak dingin dan tegas kini berdiri di depannya dengan ekspresi yang penuh kehangatan, meskipun tetap ada kekuatan yang tak bisa hilang begitu saja. Ayah menepuk kepala Aksa, lembut.

“Maafkan aku, Aksa. Mungkin aku terlalu keras. Tapi itu karena aku ingin kamu tahu betapa berartinya kamu. Aku ingin kamu kuat, anakku.”

Kata-kata itu, meskipun sederhana, membekas begitu dalam di hati Aksa. Untuk pertama kalinya, dia merasa seperti ada sesuatu yang menghubungkan mereka lebih dari sekadar hubungan ayah dan anak. Ada kasih sayang yang begitu dalam dan tulus, meskipun kadang sulit untuk diungkapkan.

Kumis tebal ayah yang selama ini menjadi simbol kekuatan dan ketegasan, kini terasa lebih dekat dengan Aksa. Ayahnya, yang dulu tampak seperti dinding yang tidak bisa ditembus, kini seperti gunung yang membantunya berdiri lebih tegak, meskipun kadang harus melewati banyak rintangan.

“Terima kasih, ayah,” kata Aksa, kali ini tanpa rasa takut atau ragu.

Ayah tersenyum lagi, lebih lebar, seperti memberi restu kepada Aksa untuk terus tumbuh dan menemukan jalan hidupnya sendiri. Kumis tebal itu, yang pernah membuat Aksa takut, kini hanya terlihat seperti bagian dari kenangan yang tak terlupakan—kenangan akan ayah yang sangat ia cintai.

 

Akhir yang Terlambat, Cinta yang Abadi

Sejak hari itu, hubungan Aksa dengan ayahnya semakin dekat. Meskipun masih ada banyak hal yang belum sempat ia ungkapkan, ia merasa lebih tenang mengetahui bahwa ayahnya selalu di sisinya, meski tak pernah secara langsung mengungkapkan betapa besar perhatiannya. Kini, Aksa sudah memulai hidupnya sebagai seorang dewasa, melangkah lebih pasti. Setiap langkahnya terasa lebih ringan, seolah ada semangat yang tak tampak namun tetap hadir, memberi dorongan tanpa henti.

Namun, hidup memang tak bisa diprediksi. Suatu pagi yang cerah, saat Aksa sedang di luar rumah menyiapkan sarapan, telepon genggamnya berdering. Suara di ujung telepon itu membuat hatinya terhenti sejenak.

“Aksa, kamu di mana? Ayah… Ayah terjatuh,” kata suara itu, suara dari seorang kerabat.

Aksa merasakan dunia tiba-tiba berputar. Dalam sekejap, segala kenangan tentang ayahnya, tentang kumis tebal yang dulu menakutkan, dan tentang segala ketegasan yang pernah membuatnya merasa tertekan, kini menjadi bayangan yang semakin kabur. Aksa berlari keluar rumah, bergegas menuju rumah sakit, jantungnya berdegup kencang, dan di setiap langkahnya, pikirannya hanya tertuju pada ayah.

Sesampainya di rumah sakit, ia langsung menuju ruang IGD, di mana ayah terbaring tak berdaya. Meski tubuh ayah masih ada di sana, Aksa tahu bahwa detik itu adalah momen yang telah lama datang—sesuatu yang ia tak pernah siap untuk hadapi.

Ayah, pria yang selalu tampak kuat dan tegas, kini tak mampu berbicara, tak mampu bergerak. Kumis tebalnya yang selalu menjadi simbol kekuatan, kini tampak seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam. Aksa merasakan ada sesuatu yang hilang, ada bagian dari dirinya yang tak akan pernah kembali.

Dengan gemetar, Aksa mendekat, menggenggam tangan ayah yang dingin. Ia menatap wajah itu, berharap bisa menemukan jejak kehangatan yang dulu ia rasakan. Namun, saat ia menatap mata ayah yang sudah tertutup, ia sadar bahwa apa yang ia cari tak lagi ada.

“Ayah, aku… aku nggak sempat bilang terima kasih lebih banyak. Aku nggak sempat bilang aku rindu, aku nggak sempat bilang aku mencintaimu,” kata Aksa, suaranya penuh sesak.

Tetesan air matanya jatuh, menetes ke tangan ayah yang kini terasa semakin dingin. Seolah itu adalah cara tubuhnya mengucapkan selamat tinggal pada seorang pria yang dulu begitu besar pengaruhnya dalam hidupnya. Tangan Aksa menggenggam erat, seolah tak ingin melepaskan segala kenangan yang pernah ada.

“Ayah… kamu nggak tahu betapa berartinya kamu. Aku ingin menjadi seperti kamu, walau kadang aku takut sama kumismu, tapi aku tahu itu hanya tanda cinta yang kamu nggak bisa ungkapkan dengan kata-kata. Aku ingin kamu tahu kalau aku bisa mengerti sekarang.”

Detik-detik itu terasa sangat lama, seakan waktu berhenti. Suasana di ruang rumah sakit yang sepi hanya diisi oleh suara detakan jam dinding dan suara napas Aksa yang semakin tercekat. Ia tahu, ini adalah saat terakhirnya bisa bersama ayah. Tapi dalam keheningan itu, ada satu hal yang Aksa yakini—bahwa meskipun ayahnya sudah tak ada lagi di dunia ini, kasih sayang dan kekuatan yang diberikan ayah kepadanya akan tetap hidup.

Ia menatap sekali lagi wajah ayah yang kini lebih tenang. Kumis tebal itu, yang dulu mengingatkannya pada rasa takut, kini hanya meninggalkan kenangan yang penuh dengan pengertian dan cinta yang tulus. Semua rasa takut yang dulu ada, kini sudah lenyap. Yang tersisa hanya perasaan syukur atas segala pengajaran yang diberikan ayah selama ini.

Aksa menundukkan kepalanya, berbisik dengan suara pelan, “Terima kasih, Ayah. Aku akan terus maju. Aku akan tetap jadi orang yang kuat, seperti yang kamu harapkan.”

Di luar jendela, matahari mulai tenggelam, memancarkan cahaya hangat yang menyentuh hati Aksa, memberi rasa damai yang tiba-tiba mengisi ruang kosong di dalam dirinya. Mungkin ayahnya sudah pergi, tetapi semangat hidup yang dia tanamkan di dalam diri Aksa akan tetap ada, terus hidup dalam setiap langkah yang ia ambil ke depan.

Dan meskipun kumis tebal itu kini hanya menjadi kenangan, bagi Aksa, itu adalah kenangan terindah yang tak akan pernah hilang, karena cinta ayah tak pernah benar-benar hilang. Itulah warisan yang akan terus ia bawa dalam setiap perjalanan hidupnya.

Aksa meninggalkan ruang rumah sakit itu dengan langkah yang lebih mantap, meski hatinya penuh rasa kehilangan. Namun, di dalamnya, ia tahu bahwa ia sudah belajar—bahwa cinta seorang ayah, meskipun tak selalu tampak dengan cara yang kita inginkan, akan selalu ada, bahkan ketika kita tak lagi bisa merasakannya.

 

Jadi, siapa sangka kan? Ketakutan kita terhadap seseorang bisa jadi kenangan yang akhirnya jadi pelajaran hidup yang berharga. Aksa mungkin nggak sempat bilang semuanya ke ayahnya, tapi dia belajar satu hal penting.

Cinta nggak selalu datang dengan cara yang kita harapkan, tapi itu selalu ada, bahkan setelah orang yang kita cintai pergi. Jangan pernah ragu untuk menghargai setiap detik bersama orang yang kita sayang, karena waktu nggak pernah nunggu.

Leave a Reply