Daftar Isi
Hai, pernah gak sih ngerasa pulang tapi malah ngerasa asing? Di cerpen ini, kita bakal nyelam ke dalam hidup Rama, yang pulang setelah sekian lama dan nemuin kenyataan pahit tentang hubungan sama ayahnya. Penuh air mata, tawa, dan pelajaran berharga. Yuk, simak perjalanan emosional ini!
Kembali ke Rumah yang Hilang
Hujan di Persimpangan Jalan
Hujan turun tanpa ampun malam itu. Air mengalir deras di trotoar, menyapu debu, kertas bekas, dan sisa-sisa kehidupan yang terlupakan. Lampu jalanan berpendar redup, berusaha menerangi jalan yang dipenuhi genangan air. Di sudut kota, di depan toko tua yang sudah lama tutup, seorang lelaki tua duduk bersandar di tembok.
Karsa menarik jaket lusuhnya lebih rapat ke tubuhnya. Dingin mulai menusuk tulang, tapi ia tetap diam, memandang kendaraan yang lalu lalang di depannya. Bunyi klakson bersahut-sahutan, tapi semua terdengar jauh di telinganya. Ia hanya ingin bertahan melewati malam, seperti malam-malam sebelumnya.
Beberapa orang berjalan cepat melewatinya, sebagian melirik sekilas, sebagian lain berpura-pura tak melihat. Bagi mereka, Karsa bukan siapa-siapa. Hanya bagian dari kota yang tidak penting, seperti papan reklame usang atau bangku taman yang berkarat.
Tiba-tiba, seorang bocah kecil berlari dari seberang jalan, berusaha menghindari genangan air. Ibunya menarik tangannya dengan kuat.
“Jangan dekat-dekat!” bisik sang ibu dengan suara cemas.
Anak itu mengangguk, tapi matanya masih menatap Karsa lama sebelum akhirnya berjalan menjauh.
Karsa tersenyum tipis. Dulu, ia pernah memegang tangan kecil seperti itu. Tangan yang dulu ia tuntun ke sekolah, tangan yang ia genggam saat sakit, tangan yang dulu begitu hangat saat memeluknya.
Tangan Rama.
Pikiran itu menghantamnya seperti pukulan. Ia mendesah pelan, berusaha mengusir kenangan yang tak pernah benar-benar pergi.
“Pak, ini ada roti.”
Suara itu membuatnya menoleh. Seorang gadis muda berdiri di sampingnya, mengulurkan kantong plastik berisi roti dan sekotak susu. Rambutnya basah karena hujan, wajahnya sedikit cemas.
Karsa menatap roti itu lama sebelum akhirnya menggeleng. “Terima kasih, Nak. Tapi aku tidak bisa menerimanya.”
Gadis itu tampak bingung. “Kenapa?”
Karsa tersenyum tipis. “Bukan karena aku tidak butuh, tapi… entah kenapa, aku masih ingin merasa seperti manusia. Aku ingin beli sendiri kalau bisa.”
Hening. Gadis itu tampak ragu, tapi akhirnya ia mengangguk pelan dan menyimpan kembali kantong plastik itu ke dalam tasnya.
“Tapi kalau suatu hari nanti Bapak lapar, jangan ragu, ya,” katanya sebelum berlari kecil menyeberangi jalan.
Karsa menatap kepergiannya. Ia pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya, dari seseorang yang dulu begitu dekat dengannya.
“Ayah, kalau suatu hari nanti aku sudah besar dan punya banyak uang, aku bakal beliin Ayah makanan enak, ya!”
Suaranya masih melekat dalam ingatan Karsa. Saat itu Rama masih kecil, masih penuh harapan. Tapi janji itu hanya tinggal kata-kata yang tertinggal di masa lalu.
Malam semakin larut. Hujan belum juga reda.
Dari kejauhan, suara mesin mobil terdengar mendekat. Sebuah sedan hitam berhenti di seberang jalan. Lampunya menyorot samar ke trotoar, memperlihatkan siluet seseorang yang duduk diam di dalamnya.
Karsa tidak memperhatikannya. Baginya, itu hanya mobil lain yang melintas, sama seperti ratusan mobil lain yang tak pernah peduli keberadaannya.
Namun, orang di dalam mobil itu tidak segera pergi.
Seseorang duduk diam di balik kaca, menatap Karsa dengan mata yang sulit dibaca. Ada ragu, ada keinginan untuk mendekat, tapi juga ada sesuatu yang tertahan.
Lelaki tua itu tetap tak sadar. Ia sudah terlalu lelah untuk memikirkan siapa yang memerhatikannya. Baginya, malam ini sama saja seperti malam-malam sebelumnya.
Tanpa ia sadari, di dalam mobil itu, seseorang tengah bergelut dengan pikirannya sendiri.
Seseorang yang dulu pernah meninggalkan… dan kini tak tahu bagaimana harus kembali.
Luka yang Tak Terlihat
Mobil hitam itu masih terparkir di seberang jalan. Hujan terus turun, membasahi aspal dan menambah bias pada cahaya lampu kota. Dari dalam mobil, seorang pria muda duduk diam, jari-jarinya mencengkeram kemudi. Napasnya berat, seakan setiap tarikan udara terasa menusuk dadanya.
Matanya tidak lepas dari sosok lelaki tua di trotoar yang kini menyandarkan kepalanya ke tembok. Jaketnya basah, rambutnya mulai memutih, dan wajah itu—wajah yang dulu begitu akrab—kini terlihat begitu jauh.
Rama menelan ludah.
Berapa tahun sudah berlalu? Lima? Enam? Atau lebih?
Waktu tidak terasa saat seseorang sibuk mengejar sesuatu. Dan ia telah menghabiskan bertahun-tahun untuk lari, bukan hanya dari tempat ini, tapi dari semua yang mengingatkannya pada kehidupan lama yang ia tinggalkan.
Ia pernah bersumpah tidak akan kembali. Tapi kini, di sinilah ia berada.
“Kenapa aku di sini…” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Hujan semakin deras, menambah keraguan yang sudah menumpuk di dadanya. Ia bisa saja menyalakan mesin mobilnya dan pergi—melupakan semua ini seperti yang selalu ia lakukan. Tapi entah kenapa, malam ini berbeda.
Sebuah kenangan tiba-tiba muncul.
“Ayah, kalau aku sudah besar nanti, aku bakal bikin Ayah bangga!”
Karsa tertawa sambil mengacak rambut bocah kecil di depannya. “Aku selalu bangga sama kamu, Rama.”
“Tapi nanti aku bakal punya banyak uang, jadi Ayah gak perlu kerja berat lagi!”
“Kalau kamu sukses nanti, aku cuma mau satu hal,” ujar Karsa, menatap anak itu penuh kasih.
“Apa?”
“Jangan pernah lupa pulang.”
Dada Rama terasa sesak. Ia dulu hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Tidak tahu bahwa kehidupan bisa begitu kejam. Tidak tahu bahwa kenyataan tidak seindah janji-janji yang ia ucapkan.
Ia pernah berpikir bahwa jika ia cukup jauh, cukup sukses, cukup kaya—maka semuanya akan baik-baik saja. Tapi sekarang, saat ia melihat sosok ayahnya duduk sendirian di trotoar yang dingin, ia sadar bahwa semua pencapaian itu terasa hampa.
Ia mengangkat tangannya ke pegangan pintu, berniat turun. Tapi sesuatu menahannya.
Bagaimana kalau Ayah sudah tidak mau melihatnya? Bagaimana kalau ia dianggap pengkhianat?
Tiba-tiba, suara ketukan di kaca mobil mengejutkannya. Seorang anak kecil, basah kuyup, berdiri di luar, menatapnya dengan wajah penasaran. Rama menurunkan kaca sedikit.
“Om, ada uang receh?” suara bocah itu lirih.
Rama terdiam sejenak sebelum mengambil dompetnya dan menyerahkan beberapa lembar uang. “Pakai buat beli makan, ya.”
Bocah itu tersenyum lebar. “Makasih, Om!”
Saat anak itu berlari pergi, Rama memperhatikan cara berjalannya yang ceria, berlari ke arah seorang wanita yang tampak menunggunya di dekat toko.
Ibunya.
Seketika, dadanya terasa semakin berat. Ia dulu juga seperti anak itu—berlari ke pelukan seseorang yang selalu ada untuknya. Seseorang yang kini ia tinggalkan begitu lama.
Ia kembali menatap Karsa di seberang jalan. Lelaki tua itu masih duduk diam, matanya kosong, seakan sudah terlalu terbiasa dengan kehidupan seperti ini.
Saat itulah Rama tahu, ia tidak bisa pergi lagi. Tidak malam ini. Tidak setelah melihat apa yang sudah terjadi.
Ia menarik napas panjang, membuka pintu mobil, dan melangkah keluar.
Langkahnya terasa berat. Bukan karena hujan, bukan karena dingin, tapi karena ketakutan yang ia ciptakan sendiri.
Ia berjalan mendekat, berdiri tepat di depan ayahnya.
Karsa mengangkat kepala perlahan. Matanya yang lelah menatap pria muda di depannya, butuh beberapa detik sebelum sorot matanya berubah.
Rama mencoba tersenyum, tapi suaranya bergetar saat berbicara.
“Ayah…”
Karsa diam. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tapi ada sesuatu di matanya—sesuatu yang sulit dijelaskan.
Rama menunggu.
Namun yang keluar dari bibir ayahnya bukan kata-kata yang ia harapkan.
“Kamu siapa?”
Dunia terasa runtuh saat itu juga.
Tak Ada Rumah untuk Pulang
Rama terpaku. Kata-kata ayahnya menusuk lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.
Kamu siapa?
Dada Rama terasa sesak. Hujan terus mengguyur, membasahi jaketnya, meresap ke kulitnya, tapi rasa dingin yang ia rasakan bukan berasal dari hujan. Itu datang dari dalam—dari ketakutan yang selama ini ia pendam.
“Ayah… ini aku, Rama,” suaranya bergetar.
Karsa tidak bereaksi. Matanya yang dulu penuh kehangatan kini kosong, seakan memandang seseorang yang benar-benar asing.
Seseorang yang memang sudah terlalu lama pergi.
Rama menggigit bibir, menahan emosi yang mendesak keluar. Ia berlutut, mencoba menatap ayahnya lebih dekat, berharap menemukan sedikit saja pengakuan dalam sorot matanya.
Tapi tidak ada.
Yang ada hanyalah kelelahan. Kelelahan dari hidup yang terus-menerus menghantam.
“Apa… Ayah lupa sama aku?” Rama bertanya lirih, nyaris tak terdengar.
Karsa masih diam. Namun, sesuatu dalam sorot matanya berubah. Bukan karena mengenali, tapi karena keraguan.
Lalu, samar-samar, bibirnya bergerak.
“Rama…?”
Harapan sekilas muncul di dada Rama. Ia mengangguk cepat, menelan isak yang mulai mengancam keluar.
“Iya, Yah! Ini aku! Aku pulang!”
Namun, harapan itu hancur seketika saat Karsa menggeleng pelan.
“Rama sudah lama mati.”
Rama merasa dunianya berguncang. Ia menatap ayahnya, mencari kepastian bahwa ini hanya lelucon kejam dari hidup. Tapi tidak ada tanda-tanda bahwa ayahnya sedang bercanda.
Hanya ada kesedihan yang dalam.
“Apa… maksud Ayah?” suaranya hampir tidak keluar.
Karsa menatap lurus ke arah jalanan basah, suaranya berat, nyaris berbisik.
“Anak saya… sudah pergi bertahun-tahun lalu. Dia bilang ingin sukses, ingin buat saya bangga.” Ia tersenyum samar, tapi bukan senyum bahagia—itu senyum seseorang yang sudah terlalu lama kehilangan. “Dia gak pernah pulang.”
Rama tidak bisa berbicara.
“Awalnya, saya tunggu.”
Jantung Rama semakin sakit.
“Setiap hari, saya duduk di depan rumah, nunggu dia pulang, sampai lampu jalan menyala.” Karsa menghela napas panjang. “Tapi dia gak pernah datang.”
Rama mengepalkan tangannya. Rasa bersalah semakin menumpuk di dadanya.
“Saya mulai nanya orang-orang… Ada yang bilang dia sukses. Ada yang bilang dia lupa sama saya.”
Karsa tertawa kecil, getir.
“Ada yang bilang, mungkin saya memang bukan bagian dari hidupnya lagi.”
Rama menggeleng kuat, air matanya bercampur dengan air hujan.
“Bukan gitu, Yah! Aku—aku gak pernah lupa sama Ayah!”
Karsa akhirnya menatapnya lagi.
“Kalau gak lupa… kenapa gak pulang?”
Rama terdiam. Tidak ada jawaban yang bisa ia berikan. Tidak ada alasan yang cukup baik untuk membenarkan keputusannya meninggalkan satu-satunya orang yang selalu ada untuknya.
“Saya pernah berpikir… mungkin anak saya sudah mati di tempat yang jauh. Jadi saya berhenti menunggu.” Karsa tersenyum tipis. “Dan sekarang kamu datang… bilang kalau kamu Rama.”
Rama menahan isak.
Karsa menggeleng.
“Maaf, Nak… Tapi anak saya sudah lama mati.”
Rama ingin berteriak, ingin menjelaskan semuanya. Tapi tidak ada kata-kata yang cukup kuat untuk memperbaiki semua yang sudah ia hancurkan.
Ia menatap ayahnya yang kini terlihat lebih tua, lebih lelah, lebih hancur.
Semua karena dirinya.
Rama menarik napas panjang, berusaha menelan rasa sakit yang mencengkeram dadanya.
Lalu, dengan suara bergetar, ia berkata,
“Ayah mau pulang sama aku?”
Karsa terdiam lama. Hanya suara hujan yang terdengar.
Kemudian, perlahan, ia menggeleng.
“Gak ada rumah untuk pulang, Nak.”
Hujan semakin deras. Tapi untuk Rama, rasanya dunia sudah terlalu sunyi.
Hujan di Tanah yang Asing
Rama berdiri kaku di bawah hujan, membiarkan dinginnya menusuk kulit. Kata-kata ayahnya terus terngiang di kepalanya.
Gak ada rumah untuk pulang, Nak.
Dunia seakan berhenti. Segalanya menjadi kabur di matanya—lampu jalan yang remang-remang, suara hujan yang menghantam aspal, dan sosok ayahnya yang berdiri di hadapannya dengan tubuh yang kurus dan wajah yang penuh garis lelah.
“Ayah… maksudnya apa?” Rama akhirnya bersuara, meski suaranya nyaris tak terdengar.
Karsa menatap jalanan yang basah, lalu mengangkat dagunya ke arah rumah bobrok di seberang jalan—rumah yang dulu penuh cahaya dan tawa. Kini, jendelanya pecah, cat temboknya mengelupas, atapnya bocor di beberapa bagian.
“Itu bukan rumah lagi,” kata Karsa datar. “Hanya sisa-sisa yang ditinggalkan waktu.”
Rama menelan ludah. Ia tahu betul rumah itu. Ia tumbuh besar di sana. Di sanalah ibunya mengajarinya membaca, di sanalah ia tidur nyenyak dalam pelukan orang tuanya, di sanalah ia berjanji akan kembali setelah berhasil mengubah nasib.
Tapi kini, rumah itu hanyalah puing-puing kenangan.
Rama menoleh pada Karsa. “Ayah tinggal di mana sekarang?”
Karsa tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. “Di mana saja. Kadang di masjid, kadang di emperan toko.”
Dada Rama semakin sesak. Ia ingin melakukan sesuatu—apa saja—untuk mengubah semua ini.
“Aku gak bisa biarin Ayah hidup begini.”
Karsa menghela napas. “Hidup saya gak bergantung sama kamu, Nak.”
“Tapi—”
“Saya udah terbiasa.”
Kata-kata itu menampar Rama lebih keras daripada yang bisa ia bayangkan.
Ia menunduk, membiarkan air matanya bercampur dengan air hujan yang terus mengguyur.
“Jadi… Ayah gak mau ikut sama aku?” tanyanya lirih.
Karsa menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Nak… pulang itu bukan cuma soal tempat.”
Rama mengernyit. “Maksud Ayah?”
Karsa menarik napas panjang. “Pulang itu soal hati. Kalau hati udah jauh, mau kemanapun, tetap aja asing.”
Rama tidak tahu harus berkata apa. Ia sudah kembali, tapi rasanya… ia tetap kehilangan segalanya.
Hujan masih turun deras. Di antara suara derasnya air, Karsa melangkah mundur, bersiap pergi.
“Tunggu, Yah!” Rama panik, takut jika kali ini ayahnya akan benar-benar menghilang.
Karsa menoleh, menatapnya sekali lagi. Lalu, dengan suara yang pelan tapi begitu dalam, ia berkata,
“Hati-hati di jalan, Nak.”
Kemudian, ia berbalik dan berjalan menjauh.
Rama terpaku. Kakinya ingin berlari, ingin mengejar, ingin menahan ayahnya untuk tetap tinggal.
Tapi… sesuatu dalam dirinya tahu, tidak ada yang bisa ia lakukan lagi.
Ayahnya sudah lama kehilangan rumah. Dan kini, ia juga merasa sama—sendirian di tanah yang dulu ia sebut rumah.
Hujan terus mengguyur.
Tapi bagi Rama, yang basah bukan hanya tubuhnya.
Melainkan hatinya yang sudah lama kehilangan tempat untuk pulang.
Jadi, gimana? Hidup emang penuh lika-liku, ya? Terkadang kita ngerasa jauh dari rumah, padahal yang kita cari itu bukan cuma tempat, tapi juga hati. Semoga cerpen ini bisa bikin kamu mikir, dan inget buat selalu menghargai orang-orang terdekat. Jangan lupa, meskipun hidup keras, harapan itu selalu ada di ujung jalan. Keep shining!


