Kematian di Ujung Senja: Penyesalan dan Harapan dalam Kegelapan

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa kayak hidup ini penuh penyesalan yang nggak bisa dibalikin lagi? Kayak, ada sesuatu yang hilang, dan kamu cuma bisa ngeliatin semuanya dari kejauhan. Itu yang dirasain Rafka, di mana semuanya udah berakhir, tapi kenangan buruk itu nggak bisa lepas begitu aja.

Di antara senja yang perlahan menghilang, ia harus menghadapi semua kesalahan yang udah dilakuin, yang seakan nggak ada habisnya. Tapi, gimana kalau kematian itu nggak selalu datang dalam bentuk fisik? Gimana kalau itu datang dalam bentuk perasaan yang perlahan bikin kamu mati dari dalam? Nah, cerpen ini bakal ngebahas tentang itu, tentang gimana penyesalan dan harapan bisa jadi satu, dan gimana kita kadang harus mati dulu untuk bisa hidup lagi.

 

Kematian di Ujung Senja

Bayangan di Balik Senja

Langit sore itu terlukis dengan semburat oranye yang menghitam di ujung cakrawala, seolah menutup hari dengan janji akan sebuah akhir. Rafka berdiri di tepi tebing, tatapannya kosong dan jauh, seperti ada dunia yang tak terjangkau di sana. Angin laut yang dingin menyapu wajahnya, membawa aroma asin yang memaksa kenangan itu kembali. Ia tak bisa menghindar dari bayangannya—bayangan Alena.

Sore ini berbeda dari hari-hari lainnya. Mungkin karena langit yang terasa lebih dekat, atau mungkin karena rindu yang tak tertahankan. Empat tahun sudah sejak kecelakaan itu, sejak senja yang membawa Alena pergi selamanya. Selalu ada sesuatu yang berubah dalam dirinya setiap kali senja tiba. Ia merasa senja bukan lagi sekadar pergantian waktu, tapi semacam pengingat yang keras, yang merobek kenangan dan menempatkannya di antara penyesalan yang tak bisa dilupakan.

“Alena, kenapa kau tidak pernah bisa maafkan aku?” Rafka berbisik pada angin.
Tetapi tentu saja, tak ada jawaban. Hanya deru ombak yang bergulung, menumbuk keras batu-batu besar di bawah tebing. Senja itu, seperti setiap senja lainnya, memberikan ketenangan yang ilusi—sebuah kedamaian yang ia tahu tidak akan pernah datang.

Langit semakin gelap, dan angin semakin tajam. Rafka melangkah maju sedikit, jari-jarinya menggenggam pagar pembatas yang baru saja dipasang, menggantikan yang lama yang hancur dihantam mobilnya. Setiap inci dari tempat ini, setiap batu yang tergeletak, mengingatkan pada insiden itu. Tangan Rafka gemetar, dan hatinya terasa semakin berat.

“Kenapa aku masih di sini? Kenapa aku tidak bisa melupakan semuanya?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Ia merasakan kebingungan yang mendalam, seperti ada sesuatu yang menghantam dirinya tanpa ampun, sesuatu yang lebih menyakitkan dari yang lain. Mungkin itu adalah kenyataan bahwa ia tak bisa bergerak maju. Semua yang ia coba bangun setelah kecelakaan itu berantakan, seperti puing-puing yang terhempas ke dasar jurang.

Tiba-tiba, ia teringat akan Alena—senyum yang pernah mengisi pagi-pagi mereka. Alena yang selalu ada, yang selalu tahu apa yang ia butuhkan meskipun kadang ia tak mengatakannya. Semua kenangan itu seperti serpihan kaca yang terjatuh dan mengiris dirinya.

“Alena…” Rafka memanggil lagi, meskipun ia tahu itu sia-sia. Bayangannya muncul di pikiran, wajahnya yang cantik, mata yang selalu bersinar penuh semangat. Lalu, senyum itu, senyum yang dulu ia anggap biasa. Sekarang, senyum itu hanya menyisakan rasa sesak yang tak bisa diungkapkan.

Ia menatap ke laut, yang tampak begitu gelap dan menakutkan. Laut itu selalu terlihat seperti cermin, mencerminkan segala hal yang ia coba sembunyikan—kekosongan yang besar, penyesalan yang membelenggu. Sesuatu yang terasa tak bisa dipulihkan lagi.

Langkahnya semakin mendekat ke tepi tebing, jantungnya berdegup semakin kencang. Bagaimana kalau ia melompat? Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang akan bisa mengingatnya lagi. Mungkin itulah yang ia inginkan—hilang, menghilang begitu saja tanpa ada yang tahu.

Namun, sebelum ia bisa mengambil langkah berikutnya, angin yang bertiup seolah berbisik di telinganya. Rasanya aneh, seperti ada sesuatu yang menggelitik perasaannya, sesuatu yang lebih dari sekadar angin biasa. Suara itu, tidak nyata, tapi terasa begitu dekat—suara yang selalu ada dalam pikirannya.

“Rafka…”
Suara itu begitu familiar. Lembut dan penuh kasih sayang.

Rafka membeku sejenak. Pandangannya lurus ke depan, tapi ia tidak bisa melihat siapa pun. Tidak ada siapa pun. Hanya senja yang semakin suram, hanya langit yang menghitam, hanya angin yang menerpa wajahnya. Namun, suara itu semakin nyata. Seperti bisikan yang datang langsung dari dalam hatinya, seperti Alena sedang berdiri tepat di belakangnya.

“Alena?”

Hening. Hanya suara angin yang terdengar. Rafka menggigit bibirnya, menahan emosinya. Hatinya terasa sesak. Apakah ini bagian dari rasa bersalahnya yang terus menggerogoti? Apakah ini cuma ilusi yang diciptakannya sendiri? Atau, apakah ini tanda bahwa dirinya tak pernah benar-benar melepaskan?

Dia menoleh perlahan, seolah-olah berharap melihat bayangan itu, berharap melihat Alena di sana, meskipun ia tahu itu tak mungkin. Tapi di kejauhan, di balik gerakan angin, ia melihat sesuatu yang bergerak. Sebuah sosok samar, seperti siluet perempuan yang mengenakan gaun putih panjang.

“A-Alena?” suara Rafka hampir pecah, tak sanggup menahan perasaan yang bergemuruh dalam dadanya. Bayangan itu tak menjawab, hanya berdiri diam. Senyum tipis terlukis di wajahnya yang samar, senyum yang dulu selalu menghiasi wajah Alena, senyum yang seolah memberi harapan, walaupun dalam kenyataan, harapan itu sudah lama sirna.

Rafka terdiam, terperangah. Hatinya berdebar keras, seolah-olah ada getaran yang meresap hingga ke tulang belulangnya. “Apa yang kau coba katakan?” tanyanya dengan suara bergetar.

Bayangan itu perlahan-lahan menghilang, menyatu dengan senja yang sudah hampir sepenuhnya gelap.

“Alena…?” Rafka berbisik lagi, merasa seperti sedang dibekukan oleh rasa takut dan kebingungannya sendiri. Tapi hanya senja yang menjawab, menyebarkan kegelapan yang meresap ke dalam dirinya, seperti menenggelamkan semua yang pernah ia cintai.

Dan ketika bayangan itu hilang sepenuhnya, Rafka merasa kesendiriannya kembali mencekam, lebih dalam dari sebelumnya. Senja itu, seperti setiap senja lainnya, mengingatkannya pada kesalahan yang tak akan pernah bisa diperbaiki.

 

Tebing Berdarah

Langit kini benar-benar kelam, seperti menghimpun semua kesedihan yang tak terungkapkan. Laut di bawah tebing tampak hitam pekat, menyimpan segala sesuatu yang ingin ditenggelamkan. Rafka berdiri terpaku, matanya menatap kosong ke titik yang sama, seperti mencari jawaban yang tak pernah ada.

Hatinya masih berdebar kencang, seolah baru saja terbangun dari mimpi buruk yang tak berkesudahan. Bayangan itu—Alena—menghilang begitu saja, tapi ia tak bisa mengusirnya dari pikirannya. Sesuatu dalam dirinya, sebuah dorongan gelap, memaksanya untuk tetap tinggal di sini, di tempat yang penuh kenangan, di tempat yang telah merenggut hidupnya.

Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya, tapi udara yang ia hirup hanya semakin membuatnya sesak. Senja yang tadinya membawa ketenangan kini hanya menjadi pengingat akan segala kegagalan yang telah ia lakukan. Kematian Alena. Kecelakaan yang terjadi karena keputusannya untuk memacu mobil dalam keadaan buruk. Semua itu berputar dalam pikirannya, tak berhenti.

“Kenapa aku tidak bisa melupakanmu?” suara Rafka tergerus oleh angin, hampir tak terdengar.

Tapi meski tak ada yang menjawab, dia tahu. Semua yang ia rasakan, semua penderitaannya, adalah akibat dari pilihannya sendiri. Kenangan itu tak akan pernah lepas. Alena, dengan segala tawa dan canda yang dulunya begitu hidup, sekarang hanya menjadi kenangan pahit yang menghantui setiap langkahnya.

Rafka berbalik, menatap pagar pembatas yang baru. Pagar itu seolah menjadi simbol dari segala sesuatu yang telah diperbaiki, namun tak mampu menyembuhkan. Dia bisa merasakan getirnya. Betapa tidak ada yang bisa menggantikan apa yang hilang.

Langkahnya terasa berat ketika ia bergerak menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan, mobil yang sama dengan yang ia kendarai ketika kecelakaan itu terjadi. Itu seolah menjadi monumen bisu dari semua kesalahannya. Dia bisa merasakan aroma kenangan yang menempel di dalamnya, suara tawa Alena yang tertinggal di ruang kosong.

Dia duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya menggenggam setir dengan kuat, hampir seperti ingin menghancurkannya. Rafka menundukkan kepalanya, menekan wajahnya ke telapak tangan. “Alena, maafkan aku…”

Tiba-tiba, sebuah suara memanggilnya dari luar mobil.

“Rafka…”

Dia mendongak, dan di sana, di jendela mobil, seberkas cahaya senja yang memudar terlihat samar-samar. Itu bukan bayangan Alena, bukan suara yang sudah ia kenal. Namun, sesuatu dalam dirinya tahu, sesuatu yang terasa lebih dekat dari sekadar kehadiran fisik. Seolah ada seseorang yang mengamatinya dari tempat yang jauh, tapi penuh dengan pemahaman yang tak terucapkan.

Di luar mobil, berdiri seorang wanita muda, mengenakan gaun hitam panjang yang mengalir lembut di bawah angin sore. Wajahnya tak begitu jelas, namun ada sesuatu yang aneh di matanya—sebuah kilasan kenangan yang tak bisa dijelaskan.

“Siapa kamu?” Rafka bertanya pelan, dengan suara yang masih tersisa gemetar.

Wanita itu tidak menjawab, hanya berdiri diam di sana. Namun, ada sesuatu dalam sikapnya, sesuatu yang membuat Rafka merasa seperti ada benang merah yang menghubungkannya dengan dunia yang sudah lama hilang.

Dia membuka pintu mobil dan melangkah keluar, tubuhnya bergetar, namun ia memaksakan diri untuk maju. Setiap langkah menuju wanita itu terasa seperti berjalan melalui kabut yang tebal—terasa berat dan penuh misteri. Ketika ia semakin dekat, wanita itu tetap diam, hanya menatap Rafka dengan tatapan yang dalam dan penuh pertanyaan.

“Apa yang kau inginkan dariku?” Rafka bertanya, nada suaranya mengandung ketegangan yang jelas.

Wanita itu menggelengkan kepalanya, tetapi senyum di wajahnya begitu tipis dan penuh makna. Ia melangkah maju, menjauhkan jarak di antara mereka, dan seolah memberi isyarat agar Rafka mengikutinya.

Tanpa sadar, Rafka mengikuti langkah wanita itu, meskipun dalam hatinya, rasa takut dan penasaran bercampur aduk. Wanita itu berjalan menuju ujung tebing, di tempat yang sama di mana Rafka tadi berdiri, menatap laut yang tampaknya begitu jauh, seperti dunia yang tak terjangkau.

Rafka merasa seolah ada sesuatu yang harus ia hadapi di sini, sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Apa yang ada di hadapannya bukan hanya bayangan masa lalu, bukan sekadar kenangan yang tak bisa diubah. Ada sesuatu yang harus ia temukan. Sesuatu yang bisa memungkinkannya untuk akhirnya melepaskan diri dari rasa bersalah yang menghimpitnya.

“Kenapa kau membawa aku ke sini?” suara Rafka terdengar berat, penuh kebingungannya.

Wanita itu menoleh dan mengangkat tangannya, menunjuk ke arah laut yang gelap. “Ada yang harus kamu lihat, Rafka.”

Dia hanya diam sejenak, memandang laut yang bergulung, seakan menunggu sesuatu yang tak ia pahami. Rasanya aneh, seperti sesuatu yang mendalam sedang terjadi, sesuatu yang melampaui pemahamannya.

“Tapi aku tidak ingin melihat apa pun,” jawabnya perlahan, hampir terdengar seperti desahan hati yang lelah. “Aku hanya ingin semuanya berakhir.”

Wanita itu mendekat, mendongak menatap Rafka dengan mata yang penuh pengertian. “Kadang, untuk berakhir, kita harus melihat semuanya dulu. Begitu kita menghadapinya, baru kita bisa melangkah ke depan.”

Rafka terdiam, merasakan kata-kata itu menembus ke dalam dirinya. Tanpa sadar, ia menoleh ke laut, seolah ada sesuatu yang memanggilnya. Sesuatu yang lebih kuat dari penyesalan, lebih kuat dari rasa takut. Sesuatu yang akan mengubah segala hal.

Namun, ketika ia melihat ke laut, gelombang yang datang semakin besar. Laut itu seolah mengamuk, seperti ingin menelan semuanya, menenggelamkan segala yang ada di atasnya. Begitu menakutkan, begitu nyata, seolah memberi peringatan akan sesuatu yang akan datang.

Rafka merasa tubuhnya bergetar. Ada sesuatu yang mengalir melalui dirinya, sebuah dorongan untuk maju, untuk menghadapi apa yang selama ini ia hindari. Tapi apakah ia siap?

 

Langkah yang Terhenti

Angin malam bertiup semakin kencang, menggulung udara dingin yang menusuk. Lautan di bawah tebing mengamuk, seakan merasa dihantam oleh kekosongan yang melingkupi Rafka. Ia merasa seperti terjebak dalam lingkaran tanpa akhir, di mana waktu berhenti bergerak dan hanya kenangan pahit yang terus mengusik. Semakin ia berusaha untuk menjauh, semakin ia merasa terhisap dalam dunia yang tak bisa ia lupakan.

Wanita itu tetap berdiri di sana, di pinggir tebing, dengan mata yang penuh misteri. Senja telah menghilang sepenuhnya, menggantikan tempatnya dengan gelap yang pekat, hanya diterangi oleh sedikit cahaya rembulan. Namun, ada satu hal yang tidak bisa disembunyikan: ketegangan yang semakin meningkat di antara mereka, seperti sebuah rahasia yang siap terbongkar.

“Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” Rafka bertanya, suaranya kini penuh ketegasan, meski hatinya berdebar hebat. Ia tak bisa lagi menahan perasaan takut yang semakin mendalam, namun ada dorongan kuat untuk tetap berdiri di sini, menunggu jawaban yang akan mengubah segala hal.

Wanita itu menatapnya, dengan tatapan yang seolah tahu segalanya, namun tetap membisu. Ada sesuatu yang membuat Rafka merasa bahwa ia harus menunggu, meskipun tak tahu apa yang akan datang. “Kamu sudah cukup lama menghindar, Rafka,” suara wanita itu terdengar sangat pelan, seperti bisikan yang hanya untuk dirinya. “Tapi tak ada yang bisa melarikan diri dari kenyataan.”

Rafka menelan ludah. Kalimat itu merasuk jauh ke dalam jiwanya, seperti petir yang menyambar langit yang gelap. Semua perasaan bersalah yang selama ini ia simpan mulai meledak tanpa bisa ia bendung. Ia menatap laut yang liar di bawah sana, seakan berharap ada sesuatu yang bisa menghapus semuanya, sesuatu yang bisa membawanya pergi dari semua rasa sakit ini.

“Kenapa aku harus melihatnya?” tanya Rafka, suaranya terdengar penuh kebingungannya. “Kenapa aku harus menghadapi semua yang sudah terjadi?”

Wanita itu bergerak perlahan mendekat, langkahnya tenang namun penuh makna. “Karena hanya dengan menghadapi masa lalu, kamu bisa mengubahnya.”

Tiba-tiba, semuanya terasa begitu sunyi. Hanya suara ombak yang menghantam batu di bawah tebing yang terdengar jelas, tetapi di dalam dada Rafka, ada getaran yang lebih keras, lebih menyesakkan. Seolah seluruh dunia sedang menatapnya, menunggu ia mengambil langkah yang tepat.

“Kamu ingin aku untuk menghadapinya, ya?” Rafka berusaha menekan rasa gentar dalam dirinya, berbicara dengan kekuatan yang sudah hampir habis. “Tapi aku takut… aku takut aku tidak bisa.”

Wanita itu mengangguk, sekali lagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya tatapan itu yang berbicara, sebuah tatapan yang mengerti segala perasaan yang menggerogoti hati Rafka, yang memahami bagaimana beban itu semakin besar setiap detik berlalu.

Rafka merasakan kakinya gemetar. Sepertinya, tak ada lagi jalan keluar dari kesalahan besar yang telah ia buat. Ia teringat kejadian itu—malam yang penuh kecepatan dan kegilaan. Alena tertawa di sampingnya, tak peduli dengan peringatan yang diberikan. Dia memaksa untuk mengemudi lebih cepat, lebih liar, sampai akhirnya mobil itu kehilangan kendali dan terbalik, menabrak pembatas jalan. Sesuatu yang tak terelakkan.

Rafka menarik napas dalam, mencoba mengingat detik-detik terakhir itu, mencoba merasakan kembali kehadiran Alena di sampingnya. “Aku… aku yang memulai semuanya,” bisiknya pelan, hampir tak terdengar. “Aku yang menyebabkan dia pergi.”

Wanita itu mengulurkan tangan, menepuk pelan bahu Rafka. “Tidak. Kamu hanya salah langkah. Semua orang membuat kesalahan. Tapi tidak semua orang berani menghadapinya.”

Hati Rafka semakin sesak. Ada sesuatu yang menggerakkan dirinya, dorongan yang membawanya ke tempat ini, ke tebing ini. Ia tahu, entah mengapa, wanita ini adalah bagian dari jawabannya. Bagian dari proses panjang untuk menerima segala penyesalan dan berani melepaskannya.

Namun, meskipun ada dorongan untuk maju, ada juga ketakutan yang menahan setiap langkahnya. Ia takut jika ia melangkah lebih jauh, jika ia membuka hatinya lebih dalam, maka semua itu akan menghancurkannya. Semua kenangan, semua penyesalan, semua rasa bersalah yang sudah menggerogoti dirinya.

“Jadi apa yang harus aku lakukan?” Rafka bertanya, kali ini suara itu terdengar seperti suara yang mencari kelegaan, bukan hanya sebuah pertanyaan kosong.

Wanita itu memandangnya dengan penuh kehangatan. “Langkah pertama adalah menerima kenyataan, Rafka. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan.”

Rafka menutup mata sejenak, merasakan hawa malam yang dingin meresap ke dalam dirinya. Ia tahu, ini adalah ujian terakhir. Sebuah ujian yang akan membawanya pada satu titik: apakah ia bisa melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu, ataukah ia akan terus terhimpit oleh rasa bersalah yang tidak pernah terhapus.

Ketika ia membuka mata, wanita itu sudah menghilang, hanya menyisakan bayangan samar di balik kabut malam. Rafka berdiri sendiri di ujung tebing, tatapannya kosong, namun dalam hatinya, ada sebuah keyakinan baru yang mulai tumbuh. Ini adalah awal dari perjalanan panjang untuk menerima kenyataan. Mungkin jalan itu akan penuh dengan derita, namun tidak ada jalan lain yang bisa diambil lagi.

Bahkan jika itu berarti ia harus menatap kembali malam yang penuh penyesalan itu.

 

Kematian yang Terlahir Kembali

Langit malam semakin gelap, dengan bintang-bintang yang tersembunyi di balik awan hitam pekat. Lautan di bawah tebing bergulung-gulung, menderu keras seolah menandakan sebuah pertempuran besar antara kekuatan alam dan kehendak manusia. Di antara riuhnya, hanya ada kesunyian yang semakin mendalam di dalam hati Rafka. Kakinya masih terpaku di tempatnya, tak bergerak, meskipun seluruh dunia seakan terus berputar.

Dia merasakan angin menyapu wajahnya, membawa serta aroma asin dari lautan yang jauh di bawah. Sesuatu terasa berbeda malam ini—lebih berat, lebih nyata. Ada rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, perasaan yang terperangkap di antara penyesalan dan harapan yang semakin pudar. Rafka tahu, ini adalah saat di mana ia harus benar-benar menerima apa yang terjadi, apa yang telah ia lakukan.

“Ini saatnya,” suara itu, suara yang dikenalnya, kembali terdengar dalam pikirannya. Itu adalah suara yang sama yang membimbingnya sepanjang jalan gelap ini, suara yang mengingatkannya akan kesalahan yang tidak pernah bisa dilupakan.

Tapi, kali ini, suara itu berbeda. Tidak ada lagi ketegasan, tidak ada lagi kesan penuh pengertian. Yang ada hanya kesendirian yang menyesakkan, kesedihan yang mencekik. Rafka menarik napas dalam, berusaha untuk menenangkan dirinya. Namun, setiap detik berlalu, ia merasa semakin terjepit oleh perasaan yang semakin menumbuk hatinya.

Ia menundukkan kepala, menatap tanah di bawah kaki, mencoba mencari pegangan dalam kegelapan. Namun tidak ada yang bisa ia temukan. Hanya ada ruang kosong yang menantinya, ruang yang dipenuhi oleh kesalahan yang tak bisa dihapuskan.

Suddenly, suara wanita itu kembali bergema dalam benaknya, begitu jelas seolah mengisi seluruh ruang di sekitarnya. “Kamu tidak bisa terus menyalahkan dirimu. Semua yang terjadi sudah berlalu. Itu bukan salahmu. Kamu hanya manusia yang juga bisa salah.”

Tetapi, Rafka tahu, meskipun itu benar, ia tidak bisa menghapus perasaan bersalah yang semakin dalam menggerogoti. Semua itu bukan hanya tentang kesalahan yang telah dilakukan, tetapi juga tentang apa yang ia lewatkan—sebuah hidup yang bisa saja ia jalani berbeda. Jika saja ia bisa berbuat lebih banyak, jika saja ia bisa menghindari tragedi itu, jika saja ia tidak begitu egois…

Ada perasaan aneh yang mulai merayap masuk ke dalam dirinya. Perasaan yang tidak ia mengerti, perasaan yang mengaburkan segala yang ada. Rafka merasa seolah-olah dirinya sedang mati perlahan-lahan. Bukan fisiknya, tetapi jiwanya. Setiap detik berlalu, ia merasa semakin hilang, semakin jauh dari segala yang pernah ia impikan. Seolah kematian bukanlah akhir, melainkan sebuah proses yang tidak terlihat, tetapi jelas terasa.

Ia merasakan matanya mulai basah, bukan karena air mata, tetapi karena kehampaan yang membanjiri setiap bagian dalam dirinya. Semua kenangan buruk yang ia simpan rapat-rapat kini datang kembali, seperti kilasan film yang tak bisa dihentikan. Alena, wajahnya yang begitu cerah, tawa itu, dan malam yang penuh dengan kesalahan yang tidak bisa diperbaiki. Rafka mengingat betul bagaimana ia melihat Alena terkulai di sampingnya, darah merah yang menggenang di sekitar mereka.

“Jika saja aku bisa mengubahnya,” bisiknya pelan, hampir tidak terdengar. “Jika saja aku bisa mencegahnya.”

Namun, dalam hening malam ini, Rafka sadar bahwa semua penyesalan itu hanyalah angin. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan, tidak ada yang bisa mengembalikan waktu. Semua itu sudah menjadi bagian dari masa lalu, sesuatu yang tak bisa ditarik kembali.

Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan setiap helaannya terasa semakin berat. Perlahan, dia melangkah maju, seakan ada sesuatu yang menariknya ke depan. Lautan di bawah masih bergelora, namun ada rasa tenang yang datang dalam diri Rafka. Sesuatu yang dulu ia tak mengerti, kini perlahan mulai terasa.

“Aku akan berhenti menyalahkan diriku,” ujarnya pelan, seperti sebuah janji yang mulai terucap dari lubuk hatinya yang paling dalam. “Aku akan melepaskannya.”

Tapi, meskipun ia mulai merasakan beban itu sedikit demi sedikit terangkat, ia tahu bahwa hal-hal yang telah terjadi tidak akan pernah bisa benar-benar dilupakan. Penyesalan akan selalu ada, tetapi sekarang ia merasa lebih siap untuk hidup dengan kenangan itu. Mungkin itu adalah harga yang harus ia bayar untuk belajar tentang apa artinya menjadi manusia.

Rafka menatap langit yang gelap, merasakan angin laut yang menderu mengusap wajahnya. Sekarang, ia tahu. Mungkin kematian tidak selalu datang dalam bentuk fisik. Kadang, ia datang dalam bentuk rasa yang menggerogoti, rasa yang perlahan-lahan menghancurkan, menghanyutkan dalam penyesalan. Tetapi, mungkin juga ada harapan yang tersembunyi dalam kegelapan. Harapan yang bisa tumbuh dari kenangan buruk dan penyesalan, membimbingmu untuk keluar dari bayang-bayang dan melangkah maju.

Dengan itu, Rafka melangkah menjauh dari tebing, meninggalkan kegelapan yang dulu menyelimuti hatinya. Langkahnya berat, tetapi ada sedikit cahaya yang mulai mengisi hatinya. Mungkin jalan itu masih panjang, dan mungkin ada banyak hal yang harus ia hadapi, tetapi sekarang ia tahu—tidak ada lagi yang bisa ia hindari.

Ia telah mati, tetapi dalam cara yang berbeda. Kini, ia telah terlahir kembali.

 

Jadi, mungkin kadang kita perlu mati dulu untuk bisa ngerasain hidup lagi, kan? Rafka udah ngalamin itu. Dia ngelaluin penyesalan yang bikin sakit, tapi akhirnya dia sadar—gak ada yang bisa dipaksain, apalagi mengubah yang udah terjadi. Hidup itu kayak senja yang pasti ada akhirnya, tapi di setiap detiknya, kita belajar sesuatu.

Mungkin nggak ada cara untuk bener-bener lupain semuanya, tapi ada cara buat ngelepasin dan mulai lagi. Jadi, kalau kamu ngerasa terjebak dalam kesalahan atau penyesalan, inget aja—kamu nggak sendirian. Setiap orang punya ceritanya sendiri, dan terkadang, kita harus berdamai dulu dengan diri sendiri supaya bisa bangkit lagi.

Leave a Reply