Daftar Isi
Jadi, bayangin deh, kamu lagi terjebak dalam dunia yang nggak kamu ngerti sama sekali. Semua yang terjadi terasa seperti petunjuk yang nggak jelas, dan tiba-tiba, kamu dihadapkan sama pilihan yang bisa merubah segalanya.
Gak cuma soal hidup atau mati, tapi soal apa yang siap kamu bayar buat sebuah kebenaran. Nah, ini dia ceritanya—tentang kemarau, emas merah, dan semua misteri yang bakal bikin kamu mikir dua kali sebelum melangkah. Ready buat ngikutin perjalanan yang penuh teka-teki ini?
Kemarau dan Emas Merah
Jejak di Tanah Retak
Duyung Jarak, sebuah desa yang terletak di kaki bukit, kini tampak lebih seperti sebuah desa mati. Tanahnya sudah retak, tak satu pun tanaman yang tumbuh dengan sehat, dan matahari yang menyengat hanya membuat suasana semakin panas. Suhu yang terik itu seakan menembus kulit, membawa perasaan gersang yang menghimpit dada. Sumur-sumur yang biasanya mengalirkan air bersih kini kosong. Para petani yang dulu dengan riang hati menggali tanah kini hanya duduk lesu di bawah naungan pohon yang daunnya pun tak lagi hijau.
Aku duduk di beranda rumahku, menatap jauh ke arah ladang yang mengering, berharap ada angin segar yang bisa membawa kabar baik. Tapi tak ada. Hanya debu yang berterbangan. Tak jauh dari tempatku duduk, Pak Seno, seorang tetua desa yang sudah lama dianggap agak gila, berdiri sambil menatap kosong ke arah bukit yang jauh di sana.
“Apa benar yang kamu bilang, Pak?” tanyaku, mencoba memecah kesunyian yang mencekam.
Pak Seno menoleh perlahan, matanya yang keriput berkilat. “Emas merah itu ada, Raka,” katanya, suaranya pelan tapi tegas, seolah memaksa aku untuk percaya. “Kalau kemarau ini sudah terlalu panjang, ia akan muncul. Bukan cuma untukmu, tapi untuk desa ini.”
Aku mengerutkan kening, tidak sepenuhnya mengerti. “Emas merah?” ulangku, memastikan aku tidak salah dengar. “Apa itu, Pak? Kenapa tidak ada yang pernah mendengarnya sebelumnya?”
Pak Seno menghela napas panjang, seperti menarik ingatan dari masa yang sudah lama terkubur. “Orang-orang di luar desa sudah lama melupakan itu. Tapi di sini, kita tahu. Emas merah bukan seperti emas yang biasa. Ia datang dengan darah dan api. Kalau kamu ingin mencarinya, kamu harus siap dengan apa yang akan kamu temui.”
Kata-kata Pak Seno terus mengganggu pikiranku sepanjang hari. Apa maksudnya? Aku tak bisa membiarkan rasa penasaran ini terus merasuk. Aku harus mencari tahu lebih jauh, apapun risikonya.
Setelah makan malam yang sunyi, aku menemui Darya, sahabatku yang selalu setia mengikuti ide-ide gila ku. Dia sudah mendengar tentang emas merah dari Pak Seno juga. Wajahnya tampak bingung, tapi ada semacam kilatan di matanya yang membuatku tahu, dia pun tertarik.
“Apa yang kita tunggu, Raka?” katanya sambil memeriksa perlengkapan di tasnya. “Malam ini juga kita pergi. Ke Bukit Manglayang.”
Malam itu, kami memulai perjalanan menuju bukit yang terkenal angker. Beberapa warga desa sering berbicara tentang bukit itu, mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa di sana. Banyak yang menganggapnya tempat terlarang, tetapi kami berdua tidak takut. Justru, ketegangan dan rasa ingin tahu yang tak terkatakan mendorong kami untuk melangkah lebih jauh.
Suasana malam itu begitu sunyi. Tidak ada suara hewan, hanya desiran angin yang kadang terdengar menyapu dedaunan kering. Di bawah cahaya bulan purnama, segala sesuatu tampak lebih gelap, lebih misterius. Seiring kami mendekati kaki bukit, kami mulai merasakan adanya sesuatu yang tak beres.
“Tunggu, Darya,” kataku, berhenti sejenak. “Ada yang aneh.”
Darya berhenti di belakangku, mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” tanyanya, melangkah mendekat.
Aku menunjuk ke arah pohon besar yang berdiri kokoh di depan kami. Pohon itu, yang biasanya memiliki daun hijau subur, kini tampak berbeda. Daunnya berwarna merah darah, seakan-akan diselimuti warna yang tidak alami. Aku merasakan bulu kudukku meremang.
“Apa itu?” bisikku.
Darya menatap pohon itu dengan penuh rasa penasaran. “Sepertinya pohon ini… tidak seperti pohon yang lain, ya?” jawabnya. “Pohon ini… sepertinya terhubung dengan emas merah yang dimaksud Pak Seno.”
Tanpa berpikir panjang, kami berdua mendekati pohon tersebut. Di bawahnya, ada sebuah guci kuno yang tergeletak dengan simbol matahari dan bulan yang terukir di permukaannya. Guci itu tampak seperti benda dari zaman dulu, sangat berbeda dengan barang-barang yang kami kenal.
“Ini… ini seperti petunjuk,” kata Darya, matanya berbinar. “Apakah ini yang Pak Seno maksud?”
Aku menatap guci itu dengan rasa ragu. “Tapi kenapa di sini? Bukankah emas merah itu… seharusnya hanya muncul saat kemarau panjang seperti sekarang?”
Darya mengangguk, menatap guci yang ada di tanganku. “Mungkin kita harus mengambilnya. Bisa jadi ini adalah bagian dari pencarian kita.”
Saat tangan Raka menyentuh guci itu, suara gemuruh yang aneh mulai terdengar. Tiba-tiba, tanah di bawah kami bergetar. Pohon dengan daun merah itu mulai berdesir, seolah memberikan peringatan.
“Raka, kita harus pergi sekarang!” teriak Darya, ketakutan.
Tetapi sudah terlambat. Tanah di bawah kami seakan hidup, menggeliat dan mengeluarkan suara yang semakin keras. Kami berdua berlari mundur, tetapi entah mengapa langkah kaki kami terasa sangat berat, seperti ada kekuatan yang menahan.
“Kenapa ini terjadi?” tanyaku, tak bisa mengerti. “Kita cuma mau mencari tahu, Pak Seno benar atau tidak.”
Darya memandangku dengan cemas. “Apa yang kita bangunkan, Raka? Apa kita sudah terlalu jauh?”
Guci itu terlepas dari tanganku dan jatuh ke tanah. Begitu guci pecah, tanah di sekitar kami mulai retak lebih dalam, seakan membuka jalan yang tak terlihat. Dengan satu langkah penuh ketakutan, kami berlari menjauh dari pohon itu, meninggalkan apa yang baru saja kami temui, tapi entah mengapa, aku merasa semakin terikat dengan hal itu.
Namun, saat kami berpaling ke arah desa, hal yang paling mengejutkan terjadi. Sesuatu yang tak bisa kami duga, sesuatu yang bahkan tidak ada di dalam benak kami: air dari sumur yang sudah lama kering, tiba-tiba meluap dengan warna merah, persis seperti darah.
Semuanya semakin menjadi tidak jelas.
Tanda di Bukit Manglayang
Keesokan harinya, kami kembali ke desa, langkah kami terburu-buru, bahkan lebih cepat daripada biasanya. Tidak ada kata yang keluar dari mulut kami setelah kejadian semalam, hanya udara berat yang menyelimuti kami, seolah dunia ini terasa lebih gelap daripada sebelumnya.
Sumur yang dulu kering itu, kini penuh dengan cairan merah yang berkilau. Seolah dunia berbalik arah. Desa yang dulu sunyi dan gersang, kini dipenuhi kecemasan yang mencekam, membuat penduduknya bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Rasa cemas itu juga merasuki hati kami, meskipun kami sudah mencurigai sesuatu yang jauh lebih besar tengah terungkap.
“Raka, apa kita benar-benar harus kembali ke bukit?” Darya bertanya, suaranya terdengar ragu, tetapi juga penuh tekad. Matanya menatapku, menunggu jawaban.
Aku mengangguk pelan, menatap sumur yang masih meluap dengan cairan merah itu. “Kita tidak punya pilihan, Darya. Ini bukan hanya tentang kita lagi. Ini tentang desa.”
Kami berdua tahu, bahwa cairan merah itu adalah awal dari sebuah tanda. Tanda yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Kami harus kembali ke Bukit Manglayang, meskipun hati kami penuh dengan rasa takut yang tidak terkatakan.
Langkah kami terasa semakin berat seiring semakin dekat dengan bukit. Desa di belakang kami semakin kecil, sementara suasana di sekitar kami semakin sepi. Bahkan angin yang biasanya berhembus dengan lembut kini terasa berat dan kering, tak sebanding dengan angin malam yang kami rasakan kemarin.
Ketika sampai di kaki bukit, kami berhenti. Tanah yang sebelumnya retak semakin membesar, membuka celah-celah yang dalam. Sisa-sisa retakan itu menyerupai jalur yang mengarah ke dalam bukit, seolah mengundang kami untuk melangkah lebih jauh.
“Haruskah kita masuk ke dalam?” tanya Darya dengan suara serak. “Apa yang sebenarnya kita cari di sini, Raka?”
Aku menatapnya, berpikir sejenak. “Aku juga tidak tahu, Darya. Tapi kalau kita tidak melanjutkan, kita tidak akan pernah tahu jawabannya.”
Dengan tekad yang sama, kami mulai mendaki bukit yang gelap dan curam. Langkah kami terasa berat, seolah setiap langkah mengundang lebih banyak misteri yang belum terpecahkan. Namun semakin kami mendaki, semakin banyak tanda yang muncul di sepanjang jalan. Tiba-tiba, kami melihat ukiran aneh di batu-batu besar yang tersebar di sekitar jalur bukit.
“Perhatikan itu,” kata Darya, sambil menunjuk ke salah satu ukiran di batu besar yang terletak di sisi jalan. Ukiran itu tampak sangat tua, seperti ukiran dari zaman yang jauh di belakang kami.
“Sepertinya ini… simbol matahari dan bulan?” aku bertanya, merasa bingung. Tanda itu mirip dengan ukiran yang ada pada guci semalam, di tempat pohon merah.
Darya mengangguk pelan. “Ya, sepertinya itu adalah petunjuk. Mungkin kita harus mencarinya lebih dalam.”
Kami melanjutkan perjalanan, mengikuti jejak ukiran yang semakin banyak di sepanjang jalan. Setiap langkah membawa kami lebih dekat ke puncak bukit. Akhirnya, kami sampai di sebuah gua besar yang tersembunyi di balik bebatuan. Pintu gua itu tampak seperti sebuah celah alami, namun ada sesuatu yang aneh di sana. Cairan merah yang keluar dari tanah tadi, kini mulai menetes dari dinding gua.
“Apa ini?” Darya bertanya dengan suara gemetar, matanya terfokus pada cairan yang kini menetes di sekitar kami.
Aku menatap gua itu dengan curiga. “Sepertinya ini bukan tempat biasa. Tapi kita harus masuk. Ini mungkin petunjuk terakhir.”
Kami memasuki gua itu dengan hati-hati. Di dalamnya, suasananya sangat gelap, hanya sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah batu. Namun, di dalam gelap itu, kami bisa melihat sesuatu yang berkilauan di kejauhan.
Di tengah gua, ada sebuah altar yang dikelilingi oleh batu besar. Di atas altar itu, tergeletak sebuah benda yang menyala dengan cahaya merah yang menyilaukan—sebuah batu besar, berwarna merah darah, berkilau seperti emas. Batu itu terletak di atas sebuah piringan batu yang tampak sangat tua. Di sekelilingnya, ukiran yang sama—matahari dan bulan—terlihat jelas.
“Apakah ini… emas merah?” Darya berbisik, matanya terbuka lebar. “Raka, kita menemukannya.”
Aku mengangguk, meskipun rasa tak percaya masih menghinggapi. “Tapi kenapa ada di sini? Apa yang akan terjadi kalau kita menyentuhnya?”
Kami berdiri mematung, seolah tidak tahu harus berbuat apa. Kami sudah berada di tempat yang tepat, di depan batu yang dicari-cari, namun ada semacam perasaan yang mengganggu. Ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang lebih besar dari sekadar emas merah.
Ketika aku melangkah lebih dekat, sesuatu yang aneh terjadi. Batu itu bergetar pelan, dan suara berdengung mulai terdengar dari dalam gua. Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar dari dalam kegelapan, menggetarkan dinding gua.
“Jangan sentuh itu!” suara itu berteriak, serak dan penuh peringatan. “Emas merah bukan untuk manusia. Ambillah, dan kalian akan membayar harga yang tak terbayangkan.”
Darya dan aku saling berpandangan, tak tahu apa yang harus dilakukan. Suara itu, yang terdengar seperti datang dari dalam batu itu sendiri, menggetarkan jiwa kami. Tapi sebelum kami bisa berpikir lebih lanjut, cahaya merah dari batu itu semakin terang, membuat kami terperangkap dalam kilatan yang sangat kuat.
Semua menjadi gelap.
Cincin Waktu yang Hilang
Gelap. Seolah seluruh dunia berhenti bergerak, terhenti dalam sekejap mata. Kami terperangkap dalam kekosongan yang tak bisa dijelaskan, tubuh kami seperti melayang, hilang dalam dimensi yang tidak kami kenal. Rasa panik merayap di dada, namun kami tidak bisa bergerak, tidak bisa berteriak, tidak bisa apa-apa.
Kemudian, sebuah suara lagi, lebih keras kali ini, memecah keheningan itu. Seperti dentingan logam yang dipukul bertubi-tubi, menggetarkan setiap saraf yang ada dalam tubuh kami. “Waktumu telah tiba,” suara itu bergema, membalut segala yang ada di sekitar kami. “Emas merah telah dipilih.”
Tanpa bisa memproses kata-kata itu, kami mendapati diri kami kembali berada di tengah gua, seolah waktu telah berputar kembali, namun semuanya terasa berbeda. Gua itu sepi, gelap, hanya diterangi oleh kilauan cahaya merah yang masih memancar dari batu besar di altar. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berubah—di sekitar batu itu, tampak sebuah cincin perak kecil, tergeletak di atas lantai batu yang keras. Cincin itu memancarkan aura yang aneh, seakan mengundang kami untuk mendekat.
“Raka,” suara Darya terdengar terputus-putus, seperti bisikan yang menyentuh telinga. “Apa yang terjadi? Apakah kita… apakah kita sedang berhalusinasi?”
Aku menggenggam dadaku, mencoba menenangkan diri. “Aku juga bingung, Darya. Tapi… kita harus menemukan jawaban.”
Langkah kami berhati-hati, namun ketegangan semakin menekan. Setiap langkah kami terasa semakin berat, seolah dunia ini semakin sulit untuk dipahami. Cincin itu, meskipun hanya benda kecil, terasa seperti pusat dari segala sesuatu yang terjadi. Ada dorongan kuat untuk mengambilnya, tetapi juga sebuah perasaan yang menghalangi, seolah ada kekuatan yang lebih besar sedang mengawasi.
“Apa cincin itu?” tanya Darya, mendekati benda itu dengan langkah lambat.
Aku menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu. Tapi ada sesuatu yang tidak beres. Semuanya terasa tidak nyata.”
Saat jarak kami semakin dekat, cincin itu bergetar pelan, seakan merespon keberadaan kami. Perlahan, aku membungkuk dan mengambilnya, merasakan dinginnya perak yang mencengkram jari-jari tangan. Cincin itu ringan, namun terasa begitu kuat, seolah-olah menyimpan kekuatan yang luar biasa.
Tiba-tiba, cincin itu berkilau terang, dan suara itu kembali terdengar, semakin keras, semakin dekat.
“Kalian telah membuka jalan,” suara itu menggema. “Namun, jalan itu tidak akan memberi kalian jawaban tanpa pengorbanan.”
Aku merasakan tubuhku menggigil, namun entah kenapa, aku tidak bisa melepaskan cincin itu. Rasanya seperti cincin itu kini menjadi bagian dari diriku, menghubungkan kami dengan sesuatu yang lebih besar. Sebuah dorongan kuat muncul di dalam diriku—aku harus tahu, aku harus menemukan apa yang ada di balik semua ini.
“Sekarang kita tahu apa yang harus kita lakukan,” kataku dengan suara rendah, menyadari bahwa langkah kami kini menuju takdir yang lebih besar. “Kita harus mencari tahu mengapa cincin ini ada di sini, apa yang sebenarnya terjadi.”
Darya menatap cincin itu dengan cemas, matanya penuh keraguan. “Tapi, Raka… kalau itu memang petunjuk, apakah kita siap untuk apa yang akan datang? Mungkin ini semua sudah direncanakan.”
Aku menggenggam cincin itu lebih erat. “Tidak ada cara lain, Darya. Kita sudah terjebak dalam ini, dan kita tidak bisa mundur. Kita harus terus maju.”
Saat aku mengangkat kepala, sesuatu yang aneh terjadi. Sebuah cahaya merah yang lebih terang dari sebelumnya memancar keluar dari cincin, membuat gua itu dipenuhi oleh kilatan yang membutakan. Seolah alam semesta ini menelan kami ke dalam dirinya.
Lalu, gua itu berubah. Dinding-dinding batu mulai retak, dan tanah di bawah kaki kami bergoncang. Tanah bergerak, membentuk celah-celah yang lebih dalam, mengarah ke sebuah lorong bawah tanah yang belum pernah kami lihat sebelumnya.
“Raka, ada sesuatu di sana,” Darya berteriak, menunjuk ke arah lorong yang terbuka lebar.
Aku mengangguk, tetapi tidak bisa berbicara. Suara yang tadi berbisik kini terdengar lebih jelas. “Pilih jalanmu, atau semua akan hancur,” kata suara itu dengan kekuatan yang luar biasa. “Keberanian kalian akan diuji, dan takdir kalian akan ditentukan.”
Darya menarik napas dalam-dalam, matanya penuh keraguan, namun di balik itu, ada tekad yang semakin kuat. “Kita sudah sampai sejauh ini, Raka. Kita tidak bisa mundur sekarang.”
Aku mengangguk setuju. “Kita tidak akan mundur.”
Kami melangkah menuju lorong yang gelap, dengan cincin itu sebagai satu-satunya penerang jalan kami. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah kami semakin jauh dari kenyataan, menuju sebuah dunia yang tidak kami pahami.
Tiba-tiba, lantai di bawah kami bergetar, dan dari dalam kegelapan, muncul sosok yang tidak dapat dijelaskan. Seperti bayangan, namun lebih nyata daripada itu. Sosok itu mengangkat tangan, menunjuk ke arah kami, dan berkata dengan suara yang dalam dan menakutkan.
“Keputusan kalian sudah dibuat. Sekarang, saatnya untuk membayar harga.”
Harga yang Tak Terbayangkan
Sosok itu berdiri di tengah lorong yang gelap, tak terlihat jelas namun terasa begitu nyata. Suara berat dan mendalamnya menggema di sekeliling kami, menembus tulang dan hati. Ia tidak tampak seperti manusia, lebih seperti entitas yang lahir dari kegelapan, dari sebuah dunia yang jauh lebih tua dan lebih dalam daripada yang bisa kami pahami. Tubuhnya, jika bisa disebut tubuh, bersinar samar, dipenuhi oleh cahaya yang berputar-putar, menciptakan bayangan yang membuat seluruh lorong itu bergetar.
Darya dan aku terdiam, tidak bisa bergerak. Setiap kata yang keluar dari mulut sosok itu seperti cambuk yang menyentuh jiwa kami. “Kalian telah datang jauh sekali,” katanya, suaranya seperti bisikan angin yang terperangkap di antara batu dan tanah. “Namun keberanian kalian hanya akan menguji sejauh mana kalian sanggup membayar harga.”
Aku merasakan dingin merayap di sekujur tubuhku, sementara Darya berdiri di sampingku, napasnya tercekat. “Apa maksudmu dengan ‘harga’?” tanyaku, suaraku terdengar lebih rendah dari yang aku harapkan. “Kami hanya ingin tahu apa yang terjadi di sini. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di desa kami?”
Sosok itu tertawa, namun bukan tawa yang menenangkan. Tawa itu penuh dengan penderitaan dan peringatan. “Kalian sudah melihat tanda-tanda itu. Kalian sudah merasakan kehadiran Emas Merah. Sekarang, kalian harus memilih. Ambil apa yang kalian inginkan, dan kalian akan membayar dengan apa yang tak terbayangkan.”
Aku merasakan cincin di tanganku semakin panas, seperti ada sesuatu yang terhubung di dalamnya. Semakin kuat energi itu, semakin aku merasa terpecah antara rasa ingin tahu dan perasaan takut yang membelenggu.
Darya, yang tak bisa lagi menahan kecemasannya, berbicara dengan suara bergetar. “Apa yang harus kami bayar? Apakah ada jalan keluar dari ini?”
Sosok itu mendekat, dan meskipun tubuhnya tidak bergerak, aku merasakan kehadirannya semakin nyata, semakin menguasai udara di sekitar kami. “Harga tidak selalu berupa darah atau nyawa. Terkadang, harga adalah kehilangan, atau sesuatu yang jauh lebih berharga—sesuatu yang kalian anggap tak ternilai. Kalian berdua sudah memilih, dan kalian harus siap menanggung konsekuensinya.”
Aku menatap Darya, mencoba menemukan jawaban di matanya. Namun yang terlihat hanya ketakutan yang sama seperti yang kurasakan. “Kita harus terus maju,” kataku dengan tegas, meski dalam hati aku juga meragu. “Kita sudah jauh. Kita tidak bisa mundur.”
Darya menarik napas panjang dan mengangguk. “Kita harus mencari tahu kebenarannya. Kalau tidak, kita tidak akan tahu apa yang menanti.”
Sosok itu tidak berkata lagi, namun dari matanya yang gelap, aku bisa merasakan bahwa ia tahu kami sudah membuat keputusan. Ia mengangkat tangannya dan sebuah pintu terbuka di hadapan kami. Pintu itu tampak seperti celah yang muncul tiba-tiba, mengarah ke kegelapan yang lebih dalam. Seperti jalan yang mengarah ke takdir yang tak terhindarkan.
Kami melangkah ke dalam, tubuh kami terasa ringan, tetapi hatiku terasa lebih berat dari sebelumnya. Pintu itu menutup di belakang kami, dan cahaya dari cincin merah yang kupegang memudar, digantikan oleh gelap yang pekat. Kami berjalan, langkah kami terhenti ketika suara berat itu terdengar lagi, namun kali ini lebih jelas, lebih menggema.
“Untuk setiap pilihan, ada pengorbanan yang tak terbayangkan,” suara itu memperingatkan. “Dan Emas Merah, adalah saksi bagi setiap perjalanan yang telah kalian pilih.”
Kegelapan itu semakin tebal, namun di ujung jalan kami, tampak sebuah cahaya yang jauh lebih terang dari yang pernah kami lihat. Kami mendekat, dan di sana, di tengah cahaya itu, ada sebuah altar besar yang penuh dengan ukiran yang serupa dengan yang kami lihat di batu-batu besar tadi. Di atas altar itu, tergeletak sebuah benda yang lebih besar dari Emas Merah, seolah benda itu merupakan kunci terakhir dari segala misteri yang kami cari.
Cahaya itu semakin terang, dan tanpa berpikir panjang, kami berjalan maju, masing-masing dengan tekad yang sama—untuk menemukan jawaban, meskipun itu berarti harus membayar harga yang tak terbayangkan. Begitu kami mendekati altar itu, suara yang sama terdengar lagi, kali ini seperti sebuah keputusan yang harus diambil.
“Apakah kalian siap?” suara itu bergema, penuh dengan misteri yang tak terpecahkan. “Karena pilihan kalian akan mengubah segalanya.”
Aku menatap benda itu, merasakan detak jantungku semakin cepat. Sementara itu, Darya berdiri di sampingku, tak bisa berkata-kata. Kami tahu bahwa ini adalah ujian terakhir, dan bahwa apapun yang terjadi setelah ini, tak ada yang akan sama.
Dengan hati yang berat dan langkah yang mantap, kami melangkah maju untuk menghadapi harga yang harus dibayar. Namun, entah apa yang menanti di ujung jalan itu, kami tidak bisa kembali lagi.
Karena takdir sudah ditentukan—dan semuanya bergantung pada pilihan kami.
Dan akhirnya, pilihan itu datang. Mungkin kita nggak pernah siap untuk apa yang bakal datang setelahnya, tapi perjalanan ini udah jadi bagian dari takdir yang harus dijalani.
Kadang, untuk mencari kebenaran, kita harus siap bayar harga yang nggak terbayangkan. Sekarang, pertanyaannya, apakah kamu siap melangkah lebih jauh, meski tak tahu apa yang bakal terjadi setelahnya?