Keluarga Broken Home: Mencari Kebahagiaan di Tengah Retakan

Posted on

Hai, kamu pernah ngerasa hidup di keluarga yang berantakan? Kayak rumah yang udah berantakan, tapi di dalamnya masih ada harapan dan cerita seru?

Nah, cerpen ini bakal ngebahas gimana sih rasanya hidup di tengah segala keributan itu. Sementara orang lain mungkin udah nyerah, ada satu keluarga yang justru belajar untuk menemukan kebahagiaan di antara semua retakan. Yuk, simak ceritanya!

 

Keluarga Broken Home

Rintik di Balik Jendela

Langit pagi itu masih kelabu ketika Mirza keluar dari kamar dengan mata sedikit bengkak. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak. Suara pertengkaran yang tak henti-hentinya antara Ayah dan Ibu kembali memenuhi rumah sempit itu, membuat hatinya semakin berat. Ketika melangkah menuju ruang tengah, ia bisa melihat sisa-sisa dari perdebatan semalam: piring yang belum dicuci, meja makan yang tak tersentuh, dan perasaan sesak yang menggantung di udara.

“Kak Mirza,” suara pelan dari belakang mengejutkannya. Lala berdiri di ambang pintu kamarnya, masih mengenakan piyama bermotif bunga yang sudah agak usang. Matanya terlihat sayu, mungkin dia juga mendengar semuanya tadi malam.

“Kamu udah bangun? Kenapa enggak tidur lagi?” tanya Mirza, meski ia sudah tahu jawabannya.

“Aku mimpi buruk,” jawab Lala dengan suara pelan, “kakak juga denger mereka berantem, kan?”

Mirza menelan ludahnya, berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa sakit di hadapan adik kecilnya itu. “Iya, Lala. Tapi mereka enggak apa-apa. Cuma lagi ngobrol aja… agak keras, tapi enggak ada apa-apa, kok.”

Lala hanya diam, tapi Mirza tahu bahwa adiknya itu sudah semakin paham dengan situasi rumah mereka. Anak sekecil itu tidak seharusnya mengerti apa itu perpisahan, namun realitas telah menempanya dengan cara yang kasar.

Sambil berusaha mengalihkan perhatian, Mirza berjalan menuju dapur dan mulai menyiapkan sarapan seadanya. Beberapa roti tawar dan selai kacang adalah pilihan terbaik yang ada. Ibu biasanya yang selalu menyiapkan sarapan lengkap, tapi belakangan ini, hampir semuanya berubah. Semakin sering Ibu dan Ayah beradu mulut, semakin sering juga Mirza mengambil alih peran orang dewasa di rumah ini.

Ketika mereka duduk di meja makan, Lala hanya mengaduk-aduk gelas susunya, tampak enggan meminum.

“Besok kamu mau makan apa, Lala?” Mirza mencoba memulai obrolan, berharap bisa sedikit mencairkan suasana.

“Entahlah… kalau bisa, aku mau makan bareng Ibu sama Ayah. Biar kita kayak dulu lagi,” jawabnya polos. Kalimat sederhana itu menohok hati Mirza. Bagaimana caranya menjelaskan pada seorang anak bahwa apa yang dia inginkan sudah hampir mustahil?

“Aku juga mau, Lala. Tapi mungkin Ibu sama Ayah lagi butuh waktu untuk sendirian dulu,” Mirza berusaha menjelaskan dengan lembut.

“Kalau mereka pisah, kita tinggal sama siapa?” Lala bertanya lagi, kali ini dengan nada takut yang begitu jelas.

Mirza terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Ini pertama kalinya Lala menyinggung soal perpisahan. Mungkin di pikirannya yang sederhana, dia sudah menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

“Kita masih tinggal bareng, Lala,” jawab Mirza akhirnya. “Aku sama kamu, kita selalu bareng. Itu yang penting, kan?”

Lala mengangguk, tapi raut wajahnya tetap terlihat muram. Keadaan di rumah sudah terlalu sering membuatnya merasa tidak aman, dan Mirza tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk melindungi adiknya dari semua kekacauan ini.

Sementara itu, di luar kamar, suara langkah Ayah terdengar menuju pintu depan. Ia mengenakan jaket tebal, raut wajahnya tampak kusut seperti habis begadang. Matanya bertemu dengan Mirza sebentar, dan ada sekilas rasa bersalah yang terpancar.

“Ayah mau ke mana?” tanya Mirza, berusaha menahan kekesalannya agar tidak mempengaruhi nada suaranya.

“Ke kantor, Mir. Ada kerjaan yang harus diselesaikan,” jawab Ayah dengan nada datar.

“Apa nanti malam Ayah pulang?” Mirza bertanya lagi, meski sudah tahu kemungkinan jawabannya.

Ayah menghela napas pelan, sambil memasang sepatu dengan gerakan lelah. “Lihat nanti, ya. Ayah coba enggak terlalu larut.”

Jawaban yang sama seperti setiap hari. Mirza sudah hafal jawaban itu sampai di luar kepala. Namun, kali ini ia merasa lebih berat. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—entah itu karena semakin jelasnya jarak yang terbentang antara mereka, atau karena rasa tanggung jawab sebagai kakak yang semakin berat dipikulnya.

Setelah Ayah pergi, rumah terasa hening. Mirza menoleh ke Lala yang kembali terdiam, pandangannya tertuju ke luar jendela. Hujan gerimis mulai turun, seperti menggambarkan suasana hati mereka yang kelabu.

“Kamu mau ngapain hari ini, La?” Mirza bertanya, berharap bisa mengalihkan pikirannya dari segala masalah yang menumpuk.

Lala mengangkat bahu. “Enggak tahu… mungkin nonton TV aja.”

Mirza mengangguk pelan, lalu beranjak mengambil remote TV. Hari itu, mereka berdua duduk di sofa dengan tayangan kartun yang berkedip-kedip di layar. Namun, pikiran Mirza terus berputar, mencoba mencari jalan keluar dari semua kekacauan ini. Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana caranya membuat Lala tetap bahagia di tengah badai yang tak henti-hentinya melanda keluarga mereka?

Beberapa jam kemudian, suara mobil terdengar berhenti di depan rumah. Mirza melirik ke luar jendela dan melihat sosok yang sudah sangat dia kenal. Ibu. Dengan langkah cepat, Ibu masuk ke dalam rumah, wajahnya terlihat lelah namun berusaha menampilkan senyum kecil.

“Lala! Ibu pulang, sayang,” panggil Ibu dengan nada ceria yang terdengar dipaksakan.

Lala langsung berlari dan memeluk Ibu erat-erat. Namun, Mirza tahu di balik pelukan itu ada banyak perasaan yang tak terucap.

“Ibu masak apa buat kita hari ini?” tanya Lala dengan antusias. Namun, pertanyaan itu tidak dijawab langsung. Ibu hanya tersenyum, menatap Mirza sejenak, lalu melepaskan pelukan Lala.

“Ibu enggak bisa lama-lama, sayang. Ibu cuma mampir sebentar buat lihat kalian,” kata Ibu lembut, tapi kata-katanya menusuk dalam hati Mirza.

“Kenapa?” Lala langsung terlihat kecewa. “Ibu enggak makan bareng kita?”

“Ibu ada urusan, sayang. Tapi minggu depan, Ibu janji kita makan bareng, ya?”

Janji lagi. Janji yang sama yang mungkin akan terulang terus-menerus tanpa pernah ditepati. Namun, Mirza memilih diam. Lala masih terlalu kecil untuk mengerti kebohongan-kebohongan kecil seperti itu.

Setelah Ibu pergi, keheningan kembali menyelimuti rumah itu. Mirza menatap adiknya yang duduk di sudut ruangan, memandangi boneka kesayangannya. Tatapan kosong itu membuat hati Mirza semakin hancur. Dia tahu, Lala mulai merasa bahwa keluarga mereka tidak akan pernah sama lagi.

Namun, Mirza bertekad. Dia tidak bisa membiarkan Lala merasa sendirian. Meski dunia di sekitarnya perlahan hancur, dia harus berdiri tegak. Bagi Lala, bagi dirinya sendiri.

Dan mungkin, bagi harapan kecil yang masih tersisa di rumah mereka.

 

Di Antara Derai Hujan

Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi suasana di rumah Mirza masih sama. Sepi, sunyi, dan hampa. Lala semakin sering menyendiri, tenggelam dalam dunianya sendiri, dan Mirza semakin merasa terbebani dengan tanggung jawab yang seharusnya tak perlu ia pikul di usia semuda itu. Di sekolah, semuanya berjalan seperti biasa. Namun, di rumah, seolah waktu bergerak dalam ritme yang berbeda—lebih lambat, lebih berat.

Sore itu, hujan turun deras. Mirza baru saja pulang dari sekolah, masih mengenakan seragam yang sudah basah karena tak sempat membawa payung. Saat membuka pintu, ia mendapati rumah kosong. Hanya ada suara tetesan air yang terus-menerus dari atap bocor di dapur.

“Lala? Kamu di mana?” panggil Mirza, suaranya menggema di antara dinding yang dingin.

Tak ada jawaban. Mirza segera melepas sepatu dan berjalan ke kamar adiknya. Pintu kamar itu sedikit terbuka, dan di dalamnya, Lala duduk di atas tempat tidur dengan selimut tebal membungkus tubuhnya. Di tangannya, boneka kelinci yang sudah lusuh digenggam erat.

“Lala, kenapa kamu enggak keluar?” Mirza bertanya sambil masuk dan duduk di sampingnya.

Lala menoleh pelan, matanya masih bengkak seolah habis menangis. “Aku kangen sama Ibu,” jawabnya dengan suara serak.

Mirza menunduk. Dia tahu betul bahwa adiknya sedang memendam perasaan yang sama sekali tidak mudah. Mereka belum bertemu Ibu lagi sejak hari terakhir Ibu mampir sebentar. Mirza sendiri mulai merasakan kekosongan, tapi dia tak pernah ingin menunjukkannya di depan Lala. Dia harus kuat, setidaknya di hadapan adiknya.

“Kenapa Ibu enggak pernah datang lagi, kak?” tanya Lala tiba-tiba, suaranya bergetar penuh rasa khawatir. “Ibu beneran pergi, ya?”

Mirza menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Enggak, Lala. Ibu cuma sibuk. Tapi Ibu pasti sayang sama kita. Mungkin dia… butuh waktu buat beresin masalahnya dulu.”

Lala menatapnya, matanya berkilat penuh harapan. “Tapi Ayah sama Ibu enggak akan pisah, kan?”

Pertanyaan itu menohok hati Mirza. Dia sendiri tak tahu pasti jawabannya. Setiap kali Ayah pulang, mereka nyaris tak pernah bicara lagi soal Ibu, seolah masalah ini tak pernah ada. Ayah tenggelam dalam pekerjaannya, meninggalkan Mirza dan Lala dalam kebingungan yang tak terjawab.

“Enggak tahu, Lala,” Mirza akhirnya jujur. “Aku enggak tahu apa yang bakal terjadi. Tapi aku janji, apa pun yang terjadi, aku selalu ada buat kamu.”

Lala diam, tapi pelan-pelan ia merangkak mendekat dan memeluk Mirza erat-erat. Mirza membalas pelukannya, membiarkan adiknya menumpahkan semua ketakutannya dalam pelukan itu. Dalam hatinya, ia bertekad untuk tidak membiarkan Lala merasa sendirian. Meski dunia mereka sedang runtuh, ia akan selalu jadi tempat berlindung bagi adiknya.

Setelah beberapa saat, Mirza menarik napas panjang dan menepuk punggung Lala. “Eh, gimana kalau kita bikin kue sore ini? Kamu mau bantu aku?”

Lala menatapnya dengan mata yang masih sembab. “Kue? Aku… bisa?”

“Tentu aja bisa. Kita kan tim yang hebat!” kata Mirza sambil tersenyum, mencoba mencerahkan suasana. “Lagipula, aku butuh asisten chef yang jago. Kamu mau, kan?”

Lala mulai tersenyum tipis. “Oke, aku bantu.”

Mereka pun bergegas ke dapur. Dengan bahan seadanya, Mirza mulai mencari-cari apa yang bisa mereka buat. Tepung, telur, gula, dan margarin adalah bahan utama yang ada di lemari. Mirza tidak terlalu pandai memasak, tapi ini bukan soal hasil—lebih pada bagaimana membuat adiknya sedikit melupakan semua masalah di rumah.

Saat mereka mulai mencampur adonan, tawa kecil mulai terdengar. Mirza sengaja menumpahkan sedikit tepung di wajah Lala, membuat adiknya tertawa keras sambil membalas dengan menaburkan tepung di kepala Mirza. Sejenak, semua ketegangan yang membelit keluarga mereka hilang. Mereka tertawa, bermain dengan adonan kue yang berantakan di meja.

“Kakak berantakkan banget!” Lala tertawa sambil menunjuk ke arah Mirza yang sudah penuh tepung di rambutnya.

“Heh, kamu juga! Lihat, tuh! Kamu kayak abis dilempar karung tepung,” balas Mirza sambil tertawa.

Hujan masih deras di luar, tapi suasana di dapur itu terasa hangat. Mirza bisa melihat secercah kebahagiaan di wajah adiknya, meski hanya sementara. Saat kue akhirnya masuk ke dalam oven, Lala tampak puas dengan hasil kerja mereka.

“Kayaknya enak,” gumam Lala sambil memperhatikan oven yang mulai mengeluarkan aroma manis.

“Iya, harusnya sih gitu,” jawab Mirza. “Ini pertama kali kita bikin kue sendiri, kan?”

“Iya. Terakhir kali bikin kue, Ibu yang bantuin…” suara Lala sedikit melembut ketika menyebut nama Ibu, dan sejenak, keheningan kembali menyelimuti mereka.

Mirza merasa ada sesuatu yang ingin Lala katakan, tapi adiknya menahannya. Mungkin dia takut kalau pembicaraan tentang Ibu hanya akan membuat suasana kembali muram. Mirza memutuskan untuk tidak memaksanya bicara lebih jauh.

Beberapa menit kemudian, kue yang mereka buat akhirnya matang. Meski bentuknya sedikit aneh dan tak sempurna, Lala tampak sangat bangga dengan hasilnya.

“Kak, kamu yang coba dulu!” kata Lala sambil menyodorkan sepotong kecil kue.

Mirza menggigit perlahan. Rasa manis dan lembut terasa di lidahnya. Meski sederhana, kue itu terasa spesial—bukan karena rasanya, tapi karena momen yang mereka bagi bersama.

“Kamu hebat, La. Ini enak banget!” kata Mirza sambil tersenyum lebar.

Lala tersenyum lebar. “Aku juga suka. Besok kita bikin lagi, ya?”

Mirza mengangguk. “Kapan pun kamu mau.”

Malam itu, setelah Lala tertidur, Mirza duduk sendirian di ruang tamu, mendengar suara hujan yang masih berderai di luar. Pikirannya melayang ke arah masa depan yang tak pasti. Bagaimana jika Ibu benar-benar tidak kembali? Bagaimana jika Ayah dan Ibu benar-benar berpisah? Apa yang akan terjadi pada dirinya dan Lala?

Namun, di balik semua ketakutan itu, Mirza tahu satu hal. Apa pun yang terjadi, dia akan tetap ada untuk Lala. Mereka sudah melalui banyak hal bersama, dan dia tidak akan membiarkan Lala merasakan kesedihan seorang diri.

Hidup di keluarga broken home memang tak pernah mudah, tapi Mirza mulai memahami bahwa tidak selamanya itu berarti kesedihan. Ada cara lain untuk menemukan kebahagiaan di antara retakan yang ada, dan bagi Mirza, kebahagiaan itu adalah Lala.

 

Di Tengah Badai yang Meninggalkan Jejak

Keesokan harinya, langit tetap kelabu meskipun hujan sudah reda. Udara terasa lembab, dan sinar matahari yang menembus awan hanya menyisakan bias pucat di dinding rumah. Mirza bangun lebih pagi dari biasanya. Dia duduk di meja makan, menatap kosong pada segelas air yang sudah dingin. Di belakang pikirannya, bayangan Ayah terlintas—sosok yang selalu hadir, namun terasa jauh.

Pintu kamar Lala terbuka pelan. Dengan rambut yang masih acak-acakan dan mata yang sedikit sembab, gadis kecil itu berjalan menghampiri meja makan. Mirza menyapanya dengan senyum tipis.

“Pagi, La,” kata Mirza sambil mengusap punggung Lala yang duduk di sebelahnya.

“Pagi, Kak. Kamu enggak sekolah hari ini?” tanya Lala pelan.

Mirza terdiam sejenak. “Kayaknya enggak. Aku mau nunggu Ayah pulang.”

“Ayah pulang hari ini?” Mata Lala berbinar, penuh harapan yang segera membuat Mirza merasa bersalah. Ayah memang bilang akan pulang, tapi ia tak tahu pasti kapan atau apakah Ayah benar-benar akan meluangkan waktu untuk mereka.

“Iya, mungkin sore nanti,” jawab Mirza, mencoba menyembunyikan keraguannya.

Lala tersenyum tipis, meski masih ada kesedihan yang tak terungkap jelas. Gadis itu tampak lebih tenang setelah mereka menghabiskan waktu bersama kemarin. Namun, Mirza tahu, semua itu hanyalah pereda sementara dari luka yang lebih dalam.

Setelah sarapan sederhana yang disiapkan Mirza, mereka memutuskan untuk keluar sejenak. Udara yang segar setelah hujan membuat suasana sedikit lebih cerah, meski awan masih menggantung tebal di langit.

Mereka berjalan menyusuri trotoar di sepanjang jalan kecil dekat rumah. Setiap langkah, Lala berusaha mencari percakapan kecil untuk mengalihkan pikirannya dari kekhawatiran tentang Ibu dan Ayah. Namun, di sisi lain, Mirza tetap merasa berat. Perasaan bertanggung jawab dan ketidakpastian yang terus membayangi membuatnya semakin tertekan.

Di tengah perjalanan, Lala berhenti di depan sebuah toko roti kecil. Matanya menatap rak kaca di etalase yang dipenuhi berbagai kue dan roti segar. Mirza melihatnya, kemudian tersenyum kecil.

“Kamu nggak mau masuk? Mungkin kita bisa beli kue buat cemilan,” kata Mirza.

Lala mengangguk pelan. Mereka masuk ke dalam toko, disambut oleh aroma manis yang segera mengisi udara. Pemilik toko, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, menyapa mereka.

“Hai, mau beli apa, anak-anak?” tanyanya dengan suara yang hangat.

Mirza melirik ke arah Lala yang tampak bingung memilih. Setelah beberapa detik, Lala menunjuk sebuah kue bolu kecil dengan hiasan krim di atasnya.

“Kue itu, Kak,” katanya pelan.

Mirza mengeluarkan uang dari kantongnya dan membayar. Setelah itu, mereka duduk di bangku di depan toko, menikmati kue yang baru dibeli. Lala menggigit perlahan, menikmati setiap suapannya dengan wajah yang tampak sedikit lebih ceria.

Namun, di tengah momen kecil kebahagiaan itu, ponsel Mirza berbunyi. Pesan dari Ayah.

Ayah belum bisa pulang hari ini. Ada urusan di kantor. Kamu jaga Lala baik-baik, ya.

Mirza menatap layar ponselnya beberapa detik, mencoba mencerna pesan singkat itu. Harapannya untuk melihat Ayah hari ini pupus begitu saja. Ia tahu, Lala pasti akan kecewa lagi. Perlahan, Mirza menyimpan ponselnya ke dalam saku, lalu menarik napas panjang.

“Ayah enggak pulang hari ini,” kata Mirza, memecah keheningan yang tak terhindarkan.

Lala yang sedang mengunyah kue langsung berhenti. Matanya memandang kosong ke arah kue yang masih di tangannya. “Kenapa, Kak?”

“Dia bilang ada urusan di kantor,” jawab Mirza, suaranya rendah. Ia berharap bisa memberi jawaban yang lebih melegakan, tapi kenyataan selalu terasa lebih menyakitkan.

Lala diam untuk beberapa saat. “Ayah enggak mau ketemu kita, ya?”

Pertanyaan itu membuat Mirza terdiam, tak tahu harus berkata apa. Dia tahu ini bukan soal Ayah tak mau bertemu, tapi lebih pada keadaan yang semakin membuat jarak di antara mereka terasa tak terjembatani. Ayah terlalu larut dalam pekerjaannya, sementara Mirza dan Lala semakin terjebak dalam dunia yang tak lagi utuh.

“Bukan begitu, La. Ayah cuma… sibuk,” kata Mirza, mencoba menenangkan adiknya. “Tapi aku yakin Ayah sayang sama kita. Cuma… mungkin Ayah juga lagi bingung, sama kayak kita.”

Lala menunduk, dan Mirza bisa melihat air mata mulai menggenang di sudut matanya. Dia merasa gagal menjaga Lala dari rasa sakit ini, tapi dia juga tahu tak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubah kenyataan yang ada.

Saat mereka melanjutkan perjalanan pulang, langit yang kelabu mulai berubah menjadi gelap. Hujan rintik-rintik mulai turun lagi, dan suasana menjadi semakin dingin. Di dalam rumah, kehangatan yang mereka coba ciptakan seolah hilang begitu saja. Kue yang mereka buat kemarin sudah tinggal sisa, dan kesunyian kembali merajai rumah itu.

Malam semakin larut, dan Mirza duduk di ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Lala sudah tertidur, meski tadi malam gadis itu menangis dalam diam sebelum akhirnya menyerah pada rasa lelah. Mirza tahu Lala sedang berjuang keras untuk tetap kuat, tapi semakin hari, ia juga merasakan bagaimana beban itu makin menekan.

Pikirannya melayang pada Ibu. Apakah Ibu juga merindukan mereka? Atau sudah terlalu sibuk dengan kehidupan barunya? Mirza hanya bisa bertanya-tanya. Yang jelas, kehidupan mereka yang dulu sudah tak mungkin kembali. Semua telah berubah, dan Mirza terpaksa harus menerima kenyataan itu, meskipun ia belum siap.

Ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Dengan cepat, Mirza bangkit dan membuka pintu. Di depannya, berdiri sosok yang tak ia duga. Ternyata Ayah.

“Ayah?” kata Mirza, suaranya penuh keterkejutan.

Ayah tampak lelah, wajahnya sedikit kusut, dan kemejanya basah terkena gerimis. Namun, senyumnya sedikit terangkat, meski rautnya tak sepenuhnya meyakinkan.

“Mirza, maaf Ayah baru bisa pulang sekarang,” katanya sambil masuk. “Ayah memang ada urusan tadi, tapi… Ayah kangen sama kalian.”

Mirza terdiam beberapa saat. Perasaan lega bercampur marah membuncah di dadanya, tapi dia menahan semuanya. Sekarang bukan saatnya marah, dia tahu itu.

“Ayah… Lala lagi tidur,” kata Mirza, suaranya datar. “Dia nungguin Ayah tadi.”

Ayah menghela napas panjang, seolah tahu betul apa yang ingin Mirza katakan tapi tak mampu diungkapkan. “Ayah tahu… Maafkan Ayah.”

Malam itu, mereka duduk bersama di ruang tamu. Suasana canggung melingkupi mereka, namun kehadiran Ayah setidaknya memberi sedikit kelegaan bagi Mirza. Meskipun semua masih tak jelas dan hubungan mereka masih retak, malam ini, setidaknya mereka bisa duduk bersama di satu ruangan, menunggu waktu berjalan, meski tanpa banyak kata.

Di balik perasaan yang tak tersampaikan, Mirza mulai memahami bahwa hidup di keluarga broken home memang tak selamanya menyakitkan. Ada momen-momen kecil yang bisa mengobati luka besar—dan mungkin, dengan waktu, luka itu akan sembuh. Tapi untuk sekarang, yang bisa ia lakukan adalah bertahan dan tetap ada untuk Lala.

 

Semburat Cahaya di Tengah Retakan

Pagi datang dengan keheningan yang berbeda. Suara burung-burung yang biasanya menyambut matahari kini terasa sayup, seolah ikut merasakan ketegangan yang tak terucap dalam rumah itu. Lala masih terlelap di kamar, sementara Mirza dan Ayah duduk di ruang tamu, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Ayah memandang ke arah lantai, sementara Mirza menatap lurus ke luar jendela, melihat embun yang mulai menguap perlahan.

Ayah akhirnya memecah keheningan. “Mirza, Ayah tahu semua ini berat buat kamu dan Lala. Dan Ayah… Ayah juga nggak bisa ngelakuin semuanya dengan benar. Tapi Ayah pengen kita tetap bersama, walaupun situasi kita udah nggak sama lagi.”

Mirza menoleh, menatap Ayahnya. Perasaan di dalam dirinya masih berputar, antara ingin marah, kecewa, dan lega karena akhirnya bisa duduk bersama Ayah lagi. Namun, kata-kata Ayah yang keluar sekarang terasa lebih jujur, lebih dekat. Mirza mendengar ketulusan di dalam suara itu, sesuatu yang jarang ia rasakan akhir-akhir ini.

“Ayah, kita cuma pengen… ngerasain kehadiran Ayah,” kata Mirza pelan. “Aku tahu Ayah kerja keras buat kita, tapi kadang kita butuh lebih dari sekedar uang. Lala masih kecil, dia nggak ngerti kenapa semua jadi begini.”

Ayah mengangguk pelan. “Ayah ngerti. Makanya Ayah coba pulang lebih sering sekarang. Mungkin nggak selalu, tapi Ayah akan berusaha lebih baik.”

Ucapan itu terdengar seperti janji yang rapuh di telinga Mirza, tapi ia memilih untuk percaya. Setidaknya, untuk kali ini, Ayah tampak benar-benar ingin memperbaiki keadaan. Di balik semua rasa kecewa, masih ada harapan kecil yang bersembunyi dalam hati Mirza—harapan bahwa mungkin, di tengah retakan yang ada, mereka masih bisa menemukan jalan untuk kembali utuh, atau setidaknya, lebih baik dari sebelumnya.

Lala akhirnya terbangun. Gadis itu keluar dari kamar dengan mata setengah terbuka, dan begitu melihat Ayah duduk di ruang tamu, wajahnya langsung berubah. Senyum lebar merekah di wajahnya, membuat suasana yang tegang sedikit mencair.

“Ayah! Ayah sudah pulang!” seru Lala sambil berlari dan memeluk Ayahnya dengan erat. Wajahnya yang polos langsung memancarkan kebahagiaan, meski ia tak tahu betapa rapuhnya situasi yang sedang terjadi di antara mereka.

Ayah membalas pelukan Lala dengan lembut. “Iya, Ayah pulang. Maaf ya kemarin Ayah nggak bisa pulang cepat.”

Lala tersenyum lebar, tidak mempedulikan penjelasan Ayah. Baginya, yang penting Ayah sudah ada di sana sekarang, duduk bersama mereka. Hal kecil seperti itu sudah cukup bagi Lala. Melihat momen itu, Mirza merasa sedikit lebih tenang. Di tengah keretakan keluarga mereka, ada sisi-sisi yang masih bisa diperbaiki.

Beberapa minggu berlalu sejak malam itu, dan meski keadaan tak langsung berubah secara drastis, ada perbaikan kecil yang terjadi. Ayah mulai sering pulang lebih awal, walau tak selalu. Mirza dan Lala juga mulai menemukan ritme baru dalam hidup mereka. Rutinitas yang sebelumnya terasa membosankan kini menjadi lebih hangat, meski masih ada saat-saat ketika kerinduan pada kebersamaan keluarga yang utuh melanda.

Suatu sore, mereka bertiga duduk bersama di ruang tamu, menonton acara televisi yang sederhana namun menghibur. Lala tertawa kecil setiap kali ada adegan lucu, sementara Mirza sesekali ikut tersenyum. Ayah yang duduk di tengah mereka tampak lebih santai, meski wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kelelahan.

“Ayah, kapan kita bisa liburan lagi kayak dulu?” tanya Lala tiba-tiba, suaranya terdengar polos namun penuh harapan. Ia mengingat momen-momen saat mereka sekeluarga pergi ke pantai bersama, sebelum semua berubah.

Ayah tersenyum kecil. “Mungkin nggak sekarang, sayang. Tapi suatu saat nanti kita pasti bisa liburan lagi, janji.”

“Kayak dulu lagi?” tanya Lala dengan mata berbinar.

Ayah menatap Lala dengan lembut, lalu melirik Mirza sejenak sebelum menjawab, “Mungkin nggak akan persis kayak dulu, tapi kita bisa bikin kenangan baru.”

Mirza menatap Ayah, ada sedikit rasa haru yang mulai muncul. Mungkin mereka tak akan pernah kembali ke masa lalu yang sempurna, tapi itu tak apa-apa. Mereka masih bisa bergerak maju. Bahkan jika hidup mereka kini penuh dengan retakan, retakan itu tak selamanya membuat segalanya hancur. Kadang, melalui retakan-retakan itu, cahaya baru bisa masuk dan memberi harapan baru.

Hari itu berlalu dengan hangat, meski sederhana. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang cukup lama, Mirza merasa sedikit lebih damai. Dia tahu, perjalanan mereka sebagai keluarga masih panjang dan tak selalu mudah, tapi setidaknya sekarang, mereka berusaha bersama.

Malamnya, ketika semua sudah kembali ke kamar masing-masing, Mirza duduk di tempat tidurnya, merenung sejenak. Di luar, angin bertiup pelan, membawa hawa dingin yang menyelimuti rumah. Tapi untuk pertama kalinya, rumah itu tidak terasa kosong.

Mirza mengambil napas dalam-dalam, lalu tersenyum kecil. Keluarga mereka mungkin tak sempurna lagi, tapi kini ia bisa melihat bahwa “tak sempurna” bukan berarti buruk. Di tengah-tengah retakan dan kekurangan, ada kehangatan yang mulai muncul kembali. Dan meskipun butuh waktu, Mirza yakin mereka akan baik-baik saja.

Dia menatap langit-langit kamar, membiarkan pikirannya melayang dengan perasaan yang jauh lebih ringan. Hidup di keluarga broken home memang tak selamanya menyakitkan—kadang, di dalam keretakan itu, ada kekuatan untuk bangkit dan menemukan kebahagiaan dengan cara yang baru.

 

Jadi, siapa bilang keluarga broken home itu selamanya menyakitkan? Kadang, di balik semua kesedihan dan keributan, ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil.

Seperti dalam cerita ini, kita bisa menemukan kebahagiaan dengan cara yang berbeda, meski semua terasa tak sempurna. Ingat, hidup itu kayak puzzle—meski ada beberapa potongan yang hilang, kita tetap bisa menciptakan gambar yang indah. Selamat mencari kebahagiaan di tengah retakan, ya!

Leave a Reply