Kelas Rasa Kata: Gimana Menulis Bisa Bikin Generasi Milenial Lebih Peka, Kuat, dan Nggak Kehilangan Arah!

Posted on

Pernah ngerasa pikiran penuh tapi nggak tau gimana cara nyalurinnya? Atau ngerasa capek banget sama dunia yang serba cepat dan ribut ini? Tenang, kamu nggak sendiri. Di tengah gempuran medsos, tekanan hidup, dan overthinking yang kadang susah dijelasin, ada satu cara simpel tapi powerful buat bertahan dan bangkit: menulis.

Yup, cerpen satu ini — Kelas Rasa Kata — bakal nunjukin ke kamu gimana menulis bisa jadi ruang aman, alat refleksi, sampai sumber kekuatan buat generasi milenial. Bukan cerpen biasa, ini kisah yang relate, dalem, dan bikin kamu mikir, “Eh, kayaknya gue harus mulai nulis juga, deh…”

Kelas Rasa Kata

Di Antara Layar dan Lembar Kosong

Langit Mandasari menggantung rendah sore itu, menyapu kampus dengan warna keperakan yang mengambang di antara musim hujan dan kemarau. Angin berembus pelan dari arah selatan, membawa bau tanah basah yang masih segar dari hujan semalam. Di sudut taman kecil belakang fakultas sastra, di bawah pohon trembesi yang tumbuh malas tapi anggun, seorang pemuda bernama Zafriel duduk menyandarkan punggung pada batangnya yang lebar. Tangan kanannya memegang pena, dan di pangkuannya terbuka buku tulis bergaris yang halaman-halamannya sudah tidak rapi lagi.

Coretan, panah, tanda tanya, dan kalimat-kalimat yang dicoret membentuk semacam peta—bukan peta dunia, tapi peta isi kepala. Ia sedang menulis tentang keresahan. Tentang generasi yang katanya cerdas digital, tapi sering kehilangan kata saat diminta menjelaskan isi pikirannya. Tentang bagaimana dunia mendesak manusia untuk cepat, tapi tidak memberi waktu untuk memahami.

Di depannya, Liona berdiri sambil menggenggam dua gelas kopi plastik. Uapnya belum habis. Ia meletakkan satu gelas di samping Zafriel.

“Kamu tuh ya, sore-sore gini malah nulis,” katanya, duduk di sebelah Zafriel tanpa banyak tanya.

“Daripada scroll TikTok sampe nggak kerasa udah maghrib,” jawab Zafriel santai, sambil menyisipkan kalimat baru ke antara dua paragraf yang belum rampung.

Liona mengangkat alis. “Ya tapi tetep aja, kamu tuh kayak orang zaman batu. Nulis masih di buku tulis.”

Zafriel nyengir. “Terserah. Yang penting kepala aku lebih plong kalo nulis pake tangan. Ada yang beda aja rasanya.”

“Kamu kayak punya ritual sendiri. Kayak biksu menulis,” ujar Liona sambil tertawa kecil, lalu meminum kopinya.

Suasana di taman itu tenang. Hanya suara daun bergesekan pelan dan sesekali langkah sepatu mahasiswa yang lewat buru-buru mengejar kelas sore. Tapi bagi Zafriel, ini waktu yang paling hidup. Bukan karena tamannya indah, tapi karena pikirannya jadi lebih jelas saat tidak teralihkan oleh notifikasi.

“Lio, kamu pernah ngerasa gini nggak?” tanya Zafriel pelan, matanya masih tertuju ke bukunya. “Kita tuh bisa banget ngirim seribu chat, bikin story tiap jam, tapi begitu disuruh nulis satu paragraf yang jujur, malah kayak… kosong.”

Liona berpikir sebentar, lalu mengangguk. “Aku sering banget ngerasa gitu. Kadang aku nggak ngerti gimana cara ngomongin isi kepala aku sendiri. Jadinya cuma diem, atau malah ngetik random terus dihapus.”

Zafriel tersenyum tipis. “Makanya aku nulis. Bukan buat orang lain dulu, tapi buat diri aku sendiri. Kalo nggak ditulis, kadang rasanya kayak beban numpuk di dada.”

Liona menatap halaman buku Zafriel. Ada satu kalimat yang belum selesai ditulis: “Menulis adalah jalan pelan untuk mengenal diri di tengah dunia yang serba buru-buru…”

“Aku suka kalimat itu,” ujar Liona pelan. “Tapi kamu nggak takut dibilang kuno? Soalnya sekarang kan orang maunya yang cepet, yang visual, yang instan.”

Zafriel menyandarkan kepala ke batang pohon. Ia tertawa kecil, bukan karena geli, tapi karena pertanyaan itu terlalu sering ia dengar.

“Justru karena semua serba cepat, kita perlu hal yang lambat. Kalo semuanya instan, gimana caranya kita bisa belajar mikir dalam?” jawabnya.

Liona tidak langsung membalas. Tapi dari sorot matanya, terlihat bahwa ia sedang mencerna. Dalam diam, ia membuka tasnya dan mengeluarkan buku catatan tipis berwarna biru tua. Buku itu sudah lama dibawa-bawa tapi nyaris tak pernah disentuh.

“Ajarin aku nulis, Zaf. Tapi jangan yang ribet-ribet. Aku pengen bisa ngungkapin isi kepala aku juga.”

Zafriel tersenyum lebar. “Gampang. Mulai dari satu kalimat jujur hari ini. Nggak usah mikirin bagus atau enggak. Tulis aja.”

Liona membuka halaman pertama. Tangannya ragu. Tapi setelah menatap langit yang mulai berubah oranye, ia mulai menulis: “Hari ini aku pengen mulai jujur sama diri aku sendiri.”

Zafriel menoleh dan membaca cepat dari samping. “Tuh kan, udah keren.”

Matahari tenggelam perlahan di balik gedung-gedung kampus. Cahaya keemasan menyelinap di sela-sela daun trembesi yang menjuntai seperti tirai. Suasana sore berubah jadi keheningan yang menyenangkan. Tanpa banyak bicara, mereka berdua menulis. Dua anak muda yang menolak ikut arus terlalu cepat, dan memilih menemukan diri mereka perlahan, huruf demi huruf.

Dari luar, mungkin itu cuma dua mahasiswa yang duduk di taman. Tapi di dalamnya, sesuatu sedang berubah—perlahan dan sunyi. Bukan revolusi besar, tapi langkah pertama dari kebiasaan yang akan membentuk masa depan mereka.

Dan sore itu, lembar kosong bukan lagi musuh. Ia jadi sahabat yang mau mendengar, bahkan ketika dunia seolah tak sempat peduli.

Tinta yang Membentuk Jiwa

Minggu-minggu setelah sore di bawah pohon trembesi itu, kebiasaan menulis yang awalnya cuma milik Zafriel mulai menyebar perlahan seperti air yang menembus pori tanah. Liona yang biasanya hanya aktif di media sosial mulai membawa buku catatan ke mana pun ia pergi. Di dalamnya tersimpan potongan-potongan hari yang ditulis tanpa rapi, tapi jujur. Beberapa teman dekatnya ikut tertarik, lalu mulai ikut duduk menulis setiap sore. Mereka menyebutnya “sesi diam-diaman produktif,” meskipun diam mereka bukan kosong—melainkan penuh isi.

Di luar kebiasaan itu, Zafriel sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih besar. Bukan sekadar proyek iseng atau tugas kuliah biasa. Di dinding kamarnya, tertempel sketsa garis besar untuk sebuah esai panjang bertema “Generasi Milenial dan Peradaban Literasi.”

Bukan karena ia haus penghargaan. Tapi karena sejak kecil, ia menyimpan keresahan tentang bagaimana kata-kata—yang dulu jadi alat membebaskan—kini diperlakukan hanya sebagai caption estetik atau status instan.

Setiap malam, ia duduk di depan meja kecilnya, menyalakan lampu belajar, dan menulis berlembar-lembar dengan tulisan tangan sebelum akhirnya diketik ke laptop. Ia menulis dengan perlahan tapi pasti, seperti seseorang yang sedang merangkai jembatan dari pulau pikirannya ke daratan luas bernama pemahaman.

Di sisi lain, Liona yang diam-diam memerhatikan proses itu mulai ikut terlibat. Suatu malam, ia datang ke kamar kos Zafriel membawa dua bungkus nasi goreng dan minuman botol.

“Ini buat kamu. Biar nggak lupa makan,” katanya sambil meletakkannya di meja, lalu menarik kursi kayu dan duduk tanpa diundang.

Zafriel menoleh dari layar laptop. “Makasih, kamu jadi asisten pribadi nih sekarang?”

Liona tertawa kecil. “Nggak. Aku penasaran aja. Kamu tuh nulis apa sih, sampe segitunya serius?”

Zafriel menutup laptopnya sebentar. Di atas tumpukan kertas yang belum sempat dirapikan, tergeletak selembar halaman dengan judul yang dicetak tebal: “Tinta yang Membentuk Jiwa.”

“Judulnya keren,” gumam Liona.

“Bukan buat keren-kerenan, tapi emang itu inti semuanya,” jawab Zafriel sambil menyandarkan tubuh ke kursi.

Liona membaca cepat paragraf pembuka. Kalimatnya lugas tapi dalam. Isinya bukan sekadar kritik, tapi refleksi dari banyak momen kecil yang sering kali luput: anak-anak muda yang kehilangan keberanian untuk menyuarakan isi kepala karena terlalu lama hidup dalam reaksi cepat dan budaya visual.

“Aku nulis ini karena aku yakin kita tuh sebenarnya punya banyak hal penting di kepala, tapi nggak tahu gimana cara ngungkapinnya,” kata Zafriel. “Dan menurut aku, menulis itu latihan terbaik buat belajar menyampaikan.”

Liona mengangguk perlahan. “Aku juga ngerasain. Setelah mulai nulis, aku baru sadar banyak hal yang selama ini cuma muter di kepala aku kayak film rusak. Tapi pas ditulis, semuanya jadi jelas. Terasa lebih… nyata.”

Zafriel tersenyum. “Itu dia. Nulis itu bukan cuma soal bikin artikel bagus atau jadi penulis terkenal. Tapi soal belajar jujur, belajar berpikir, belajar menyusun makna. Dan kalau banyak orang bisa mulai dari situ, aku yakin peradaban kita bisa jadi lebih waras.”

Esai itu akhirnya selesai dua hari sebelum tenggat. Dikirim dengan sedikit ragu, tapi tanpa beban. Zafriel tahu kemenangannya bukan soal lolos atau tidak dalam lomba, tapi soal bagaimana proses menulis itu sendiri telah mengubah cara pandangnya.

Di kampus, beberapa dosen mulai memperhatikan perubahan kecil. Mahasiswa yang biasanya diam di kelas kini berani bertanya. Beberapa bahkan mulai menulis opini di papan pengumuman fakultas. Liona mengunggah satu paragraf dari buku catatannya ke Instagram, dan tak disangka, responsnya luar biasa.

Zafriel tidak merasa bangga, tapi merasa yakin. Bahwa mungkin, hanya mungkin, kebiasaan kecil yang selama ini ia anggap remeh bisa jadi percikan api untuk sesuatu yang lebih besar.

Suatu sore, setelah kelas berakhir, seorang dosen senior dari jurusan ilmu komunikasi menghampiri Zafriel di tangga gedung lama.

“Kamu Zafriel, ya?” tanya dosen itu, wajahnya penuh rasa ingin tahu.

“Iya, Pak.”

“Esai kamu dibaca oleh dosen tamu dari universitas luar. Katanya tulisannya jujur dan berisi. Kamu pernah belajar menulis di mana?”

Zafriel mengangkat bahu. “Cuma sering nulis sendiri, Pak.”

Dosen itu tersenyum. “Kalau begitu, saya mau ajak kamu jadi mentor di program literasi semester depan. Kita butuh orang yang bisa ngajak mahasiswa berpikir lewat tulisan.”

Zafriel menelan ludah pelan. Bukan karena gugup, tapi karena tak menyangka bahwa kebiasaan sunyi yang dulu dianggap tak penting, kini justru dipanggil ke panggung yang lebih besar.

Malam itu, saat hujan turun pelan dan aroma tanah membumbung di udara, Zafriel menulis satu kalimat baru di halaman kosong bukunya:

“Perubahan besar selalu dimulai dari keberanian menulis satu kalimat jujur.”

Dan di luar jendela, dunia mungkin tidak berubah seketika. Tapi di dalam kamar sempit itu, satu jiwa sedang tumbuh dengan keyakinan baru—bahwa tulisan bisa jadi awal dari peradaban yang lebih baik.

Kelas di Bawah Pohon Trembesi

Taman belakang fakultas sastra, tempat yang dulu sepi dan hanya sesekali disambangi mahasiswa yang butuh sinyal kuat, kini mulai berubah wajah. Meja-meja lipat dan kursi plastik mulai bermunculan saban sore, bukan untuk bazar atau kampanye kampus, melainkan untuk sesuatu yang lebih sunyi tapi berdampak: sesi menulis terbuka yang diberi nama Kelas Rasa Kata.

Tidak ada formalitas. Tidak ada keharusan ikut. Siapa pun boleh datang, duduk, dan mulai menulis. Tidak harus bagus. Tidak harus rapi. Yang penting jujur. Itu satu-satunya aturan.

Zafriel tak menyangka inisiatif kecilnya bersama Liona berkembang sejauh ini. Awalnya hanya lima orang. Minggu depannya jadi sepuluh. Kini, setiap sore, dua puluh hingga tiga puluh mahasiswa dari jurusan berbeda datang dan saling bertukar cerita lewat tulisan. Mereka tidak bersaing, tidak saling menilai. Mereka belajar mengenali diri—lewat kata yang ditulis, bukan hanya diucap.

Di antara mereka, ada yang menulis puisi patah hati, catatan harian penuh keresahan kuliah daring, bahkan ada yang baru pertama kali nulis tapi berani membagikan hasilnya ke depan teman-teman. Semua mendapat ruang, tak ada yang dihakimi.

Sore itu, langit mendung tipis menggelayut di atas trembesi yang sudah mulai menggugurkan daun-daunnya. Zafriel berdiri di depan lingkaran kursi, membawa papan tulis kecil yang ditopang di atas tripod murah. Di tangannya, sepotong kapur putih.

“Gue tau kalian nggak pengen ceramah,” katanya, disambut tawa kecil dari peserta.

“Tapi hari ini kita bahas sesuatu yang penting banget: kenapa nulis itu bukan cuma soal gaya, tapi soal bertahan. Bertahan dari dunia yang kadang terlalu ramai tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan.”

Liona duduk di antara peserta, mencatat. Wajahnya fokus, tak seperti dulu saat dia lebih sibuk melihat notifikasi daripada isi pikirannya sendiri.

Seorang mahasiswa teknik, Bram, mengangkat tangan. “Zaf, tapi jujur aja, kadang gue nulis tuh malah bikin makin bingung. Kayak, makin ditulis makin kerasa kacau isi kepala gue.”

Zafriel mengangguk pelan. “Wajar. Nulis itu bukan alat buat bikin semuanya beres dalam satu malam. Tapi nulis bikin kita sadar. Apa yang bikin kacau, apa yang penting, apa yang selama ini cuma numpuk di bawah sadar.”

Dia berhenti sebentar, menatap ke arah buku catatannya sendiri.

“Gue dulu juga nulis karena bingung. Dan ternyata, bingung itu awal yang bagus. Karena dari situ, kita belajar menyusun satu per satu.”

Suasana hening sejenak. Lalu seseorang mulai bertepuk tangan. Disusul yang lain. Tapi bukan tepuk tangan meriah, melainkan tepuk tangan pelan—seperti pengakuan diam-diam bahwa mereka juga sedang berjuang memahami diri lewat kata.

Beberapa minggu kemudian, kampus mengadakan Literasi Week. Biasanya acara ini sepi peminat, tapi tahun ini berbeda. Kelas Rasa Kata membuka booth, memajang hasil tulisan para peserta dalam bentuk zine—buku kecil fotokopian yang dilipat tangan, dihias seadanya tapi penuh isi hati. Pengunjung yang membaca sering kali tertahan di halaman tertentu. Ada yang senyum-senyum sendiri, ada juga yang tiba-tiba diam lama.

Seorang dosen psikologi bahkan datang mendekat dan berkata, “Saya baru sadar, ternyata mahasiswa kita menyimpan banyak cerita yang nggak pernah tersampaikan di ruang kelas.”

Zafriel hanya tersenyum. “Mereka cuma butuh ruang. Dan waktu.”

Dari sudut ruangan, Liona berdiri sambil memegang hasil tulisannya sendiri yang kini jadi favorit pengunjung. Ia tidak menyangka kalimat-kalimatnya yang sederhana tentang kesepian dan kecemasan bisa begitu mengena.

“Zaf, aku nulis ini awalnya buat diri aku sendiri. Tapi ternyata, orang lain juga butuh ngebaca itu,” katanya ketika mereka duduk di luar gedung, menghirup udara sore yang masih hangat.

“Karena tulisan yang jujur selalu nyambung ke hati orang lain, Lio. Apalagi kalau ditulis dari luka yang nggak ditutup-tutupin.”

Beberapa minggu setelah acara itu, Kelas Rasa Kata tak lagi sekadar kumpulan sore hari. Ia menjelma jadi gerakan kecil. Sebuah komunitas yang perlahan-lahan menular ke fakultas lain, bahkan ke sekolah-sekolah yang diajak kerja sama oleh kampus.

Zafriel dan Liona mulai diundang ke diskusi literasi, ke pelatihan menulis kreatif, ke webinar yang biasanya mereka hindari karena terlalu formal. Tapi kali ini beda—karena mereka tidak membawa teori, melainkan cerita.

Malam-malam mereka kini tidak hanya berisi tulisan pribadi, tapi juga tumpukan email dari siswa SMA yang minta dibaca puisinya, pesan dari mahasiswa luar kota yang ingin mengadakan Kelas Rasa Kata di tempat mereka, dan sesekali undangan dari instansi pendidikan yang ingin tahu: apa sebenarnya kekuatan dari menulis jujur?

Zafriel tetap tenang. Ia tidak berubah jadi selebritas literasi. Ia tetap suka duduk di bawah pohon trembesi, memulai setiap sore dengan halaman kosong dan secangkir kopi.

Dan di sana, saat langit tak lagi biru tapi belum sepenuhnya gelap, ia tahu satu hal: bahwa kata-kata yang ditulis dengan niat bisa membentuk lebih dari sekadar kalimat.

Mereka bisa membentuk jiwa. Dan jiwa-jiwa yang saling menulis, bisa membentuk peradaban.

Ketika Kata Menjadi Peradaban

Tiga bulan setelah Literasi Week, taman belakang fakultas sudah tak lagi disebut “taman belakang.” Sebuah papan kecil dari kayu jati bertuliskan Taman Rasa Kata berdiri sederhana di dekat pohon trembesi, hadiah dari pihak kampus yang akhirnya mengakui bahwa perubahan tidak selalu lahir dari ruang kuliah ber-AC atau auditorium besar—kadang justru dari lingkaran kecil yang tak bersuara tapi konsisten.

Di tempat yang sama, kini sudah ada jadwal rutin sesi menulis, diskusi buku, dan bahkan kelas belajar jurnalistik praktis yang dipandu langsung oleh mahasiswa. Mahasiswa yang dulunya pasif kini mengajukan topik sendiri. Yang dulu takut salah kini berani bertanya. Yang biasanya tak bicara di forum publik, sekarang bisa bicara lewat tulisan yang dibacakan dengan suara gemetar tapi yakin.

Zafriel duduk di bangku panjang, mengenakan jaket abu-abu yang sudah mulai usang di bagian siku. Di sebelahnya, Liona menyesap teh hangat dari termos kecil yang selalu dibawanya sejak musim hujan mulai datang.

“Ini gila sih,” gumam Liona sambil memandang anak-anak yang sedang sibuk menulis di bawah tenda kecil di sisi taman. “Siapa sangka dari iseng nulis bareng jadi kayak gini.”

Zafriel tersenyum pelan. “Bukan iseng, Lio. Kita cuma mulai dari kebiasaan kecil yang dianggap remeh. Tapi ternyata, itu yang justru penting.”

Liona menoleh. “Kamu tahu nggak, kemarin aku dapat pesan dari anak SMA di Cirebon. Dia bilang, gara-gara baca zine yang kita kirim, dia mulai nulis surat ke ibunya sendiri buat pertama kali.”

Zafriel mengangguk pelan, matanya tetap ke arah langit yang mendung tapi belum hujan. “Dan itu jauh lebih berarti dari seribu likes.”

Di tengah percakapan mereka, suara langkah kaki menghampiri. Bram, mahasiswa teknik yang dulu selalu mempertanyakan fungsi menulis, kini berdiri di depan mereka dengan setumpuk kertas di tangan.

“Zaf, Lio… gue udah selesai nulis e-book tentang pengalaman gue ngelewatin semester paling kacau dalam hidup. Lo mau baca dulu sebelum gue kirim ke dosen?”

“Pasti,” jawab Zafriel sambil menerima kertas itu. “Lo makin gila aja sekarang. Teknik tapi nulis kayak sastrawan.”

Bram tertawa. “Gue sadar, selama ini gue cuma ngerti rumus. Tapi nggak ngerti cara nyeritain hidup gue sendiri. Baru setelah nulis, semuanya kayak klik di kepala gue.”

Liona menepuk pundak Bram. “Berarti lo udah lulus duluan dari satu hal: lulus dari rasa malu buat jujur.”

Mereka bertiga tertawa kecil. Tapi bukan tawa biasa. Ada perasaan lega, bangga, dan sedikit tak percaya bahwa semua ini tumbuh dari satu kalimat pertama di buku catatan lusuh.

Beberapa bulan kemudian, di sebuah konferensi pendidikan nasional, seorang rektor menyampaikan pidatonya di atas panggung besar. Di antara slide berisi data dan grafik, terselip satu foto: sebuah taman kecil dengan pohon besar di tengahnya, dikelilingi anak-anak muda yang duduk bersila sambil menulis.

Ruang konferensi yang biasanya kaku mendadak hening.

“Saya ingin menunjukkan bahwa literasi bukan hanya soal angka, bukan sekadar proyek kebijakan,” ujar sang rektor. “Literasi sejati tumbuh dari tempat-tempat seperti ini. Dari anak-anak muda yang menulis bukan karena disuruh, tapi karena mereka sadar: kata-kata adalah bentuk paling awal dari kesadaran diri dan kemerdekaan berpikir.”

Di layar, nama Kelas Rasa Kata terpampang jelas. Dan meski Zafriel tidak ada di ruangan itu, namanya disebut dalam ucapan terima kasih, bersama Liona dan seluruh penggerak awal gerakan kecil itu.

Di Taman Rasa Kata, sore itu sunyi. Angin bergerak pelan, menggoyang dedaunan tua. Di bangku kayu panjang, Zafriel duduk sendirian, membuka buku catatan barunya. Di halaman pertama, ia menulis:

“Kalau membaca adalah jendela dunia, maka menulis adalah pintu untuk mengenali siapa kita sebenarnya.”

Dan di luar sana, dunia mungkin masih bising, cepat, penuh distraksi. Tapi selama masih ada yang mau menulis—jujur, pelan, dan konsisten—selama itu pula peradaban akan tetap menemukan jalan pulangnya.

TAMAT.

Jadi, kalau selama ini kamu mikir nulis itu cuma buat yang jago ngerangkai kata atau sastrawan kampus doang, buang jauh-jauh pikiran itu. Nulis itu buat siapa aja — buat kamu yang lagi cari arah, yang lagi belajar jujur sama diri sendiri, atau yang cuma pengen ngasih jeda buat isi kepala yang riuh. Cerpen Kelas Rasa Kata ini bukan cuma cerita, tapi ajakan.

Ajakan buat mulai nulis, sekecil apa pun. Karena dari satu kalimat yang jujur, bisa lahir kesadaran baru. Dan dari sana, generasi ini bisa tumbuh jadi lebih kuat, lebih peka, dan nggak gampang goyah sama dunia yang kadang nggak ngasih ruang buat berhenti sebentar.

Leave a Reply