Daftar Isi
Apakah Anda pernah merasa tertekan oleh tantangan di awal tahun sekolah? Dalam cerpen Kelas 10: Air Mata di Balik Bangku Sekolah, Zivandra Quillon, seorang siswa kelas 10 penuh semangat, menghadapi ejekan dan kesepian di SMA Nusantara. Kisah ini penuh emosi, perjuangan, dan keberanian yang menginspirasi, membawa pembaca ke dalam dunia remaja yang mencari identitas. Artikel ini akan mengupas perjalanan Zivandra yang penuh makna, memberikan motivasi bagi siapa saja yang sedang menghadapi rintangan serupa.
Air Mata di Balik Bangku Sekolah
Hari Pertama yang Tak Terlupakan
Pagi itu, udara Desa Kembangwangi terasa dingin, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalaman. Aku, Zivandra Quillon, anak kelas 10 baru di SMA Nusantara, berdiri di depan gerbang sekolah dengan perasaan campur aduk. Usiaku baru saja menginjak enam belas tahun, dan rambut hitamku yang sedikit panjang sengaja kusisir rapi untuk kesan pertama yang baik. Di tangan kananku, aku memegang tas ransel tua warna cokelat yang penuh coretan—peninggalan kakakku yang sudah lulus tahun lalu. Hari ini adalah hari pertama di kelas 10, dan meski aku berusaha tersenyum, dadaku terasa sesak, seperti ada beban tak terucap yang menekanku.
Sekolah itu tampak megah dengan bangunan dua lantai berwarna krem dan lapangan luas yang dipenuhi siswa baru seperti aku. Suara tawa dan bisik-bisik menggema di udara, bercampur dengan derit sepeda motor tua yang dikendarai anak-anak kelas atas. Aku melangkah masuk, mataku menyapu setiap sudut, mencari wajah yang familiar. Tapi tidak ada. Kakakku pernah bilang bahwa kelas 10 adalah dunia baru, tempat di mana teman lama bisa hilang dan musuh baru bisa muncul. Aku tidak yakin apakah itu janji atau peringatan.
Di dalam kelas 10 IPA 2, aku menemukan bangku di dekat jendela—tempat favoritku sejak SMP. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah daun pohon flamboyan di luar, menciptakan pola bayangan di meja kayu yang sudah usang. Aku meletakkan tas di lantai, lalu duduk, tanganku gemetar sedikit saat membuka buku catatan baru yang masih berbau kertas segar. Di depanku, seorang guru wanita paruh baya dengan kacamata tebal masuk, memperkenalkan diri sebagai Ibu Ratna, wali kelas kami. Suaranya tegas, tapi ada kehangatan yang membuatku sedikit tenang.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Saat Ibu Ratna membacakan daftar nama, sebuah suara nyaring dari belakang menginterupsi. “Zivandra Quillon? Itu nama apa sih? Kebanyakan drama!” tawa kecil mengikuti, dan aku menoleh. Seorang anak laki-laki dengan rambut cepak dan seragam yang sedikit kebesaran duduk di baris tengah, dikelilingi oleh dua temannya yang ikut tertawa. Namanya, seperti yang kudengar dari bisik-bisik, adalah Raden Kautsar. Aku merasa wajahku memanas, tapi aku memilih diam, menunduk dan berpura-pura sibuk mencatat.
Hari itu berlangsung berat. Raden dan teman-temannya terus mengolok-olokku, dari nama yang mereka anggap aneh hingga cara berjalanku yang katanya “terlalu pelan”. Aku mencoba mengabaikan, tapi setiap kata seperti jarum kecil yang menusuk egoku. Di sela-sela pelajaran matematika, aku melirik ke luar jendela, memandangi pohon flamboyan yang daunnya mulai berguguran. Aku teringat ibuku, yang selalu bilang bahwa aku harus kuat, bahwa nama Zivandra berarti “kehidupan yang bersinar”. Tapi hari ini, aku merasa nama itu hanya membuatku jadi sasaran.
Istirahat pertama tiba, dan aku memutuskan untuk pergi ke kantin, berharap bisa menyendiri sejenak. Tapi nasib berkata lain. Saat aku mengantre membeli sebotol air mineral, Raden dan gengnya muncul lagi, sengaja menabrak bahuku hingga air yang kubeli tumpah ke seragamku. “Ups, maaf ya, Ziva!” katanya dengan nada pura-pura, diikuti tawa temennya. Aku menahan amarah, tanganku mencengkeram botol kosong hingga jari-jari ku memutih. Aku ingin membalas, tapi suara ibuku kembali berbisik di kepalaku: “Jangan jadi seperti mereka, Ziv.”
Kembali ke kelas, aku duduk di bangku yang sama, menatap buku yang tak lagi terasa menarik. Di sudut mataku, aku melihat seorang gadis pendiam dengan kacamata bulat duduk di baris belakang. Namanya, seperti yang kudengar dari Ibu Ratna, adalah Tharissa Lumei. Dia tidak bergabung dengan tawa Raden, malah sibuk menulis sesuatu di buku catatannya. Ada sesuatu dalam tatapannya—seperti dia memahami apa yang kurasakan, meski kami belum pernah bicara.
Pelajaran selesai, dan aku berjalan pulang sendirian, langkahku berat di jalan setapak yang dipenuhi debu. Aku melewati sawah yang mulai menguning, mendengar suara jangkrik yang mulai bernyanyi menjelang sore. Di dalam hatiku, ada rasa sedih yang dalam, bercampur dengan kemarahan pada diriku sendiri karena tidak bisa melawan. Aku ingin pulang dan bersembunyi di kamar, tapi aku tahu besok adalah hari baru—hari di mana aku harus menghadapi dunia kelas 10 lagi, dengan atau tanpa persenjataan emosional yang cukup.
Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak yang redup, aku duduk di meja belajarku, menatap cermin kecil di dinding. Refleksi diriku terlihat lelah, mata cokelatku yang biasanya berbinar kini tampak redup. Aku menggenggam pena, mencoba menulis diari seperti biasa, tapi tanganku berhenti. Air mata mulai mengalir, jatuh ke halaman buku yang masih kosong. Untuk pertama kalinya sejak SMP, aku merasa benar-benar sendirian, dan aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari bayang-bayang ini.
Dua Dunia yang Berbenturan
Pagi kedua di SMA Nusantara datang dengan langit yang cerah, kontras dengan suasana hati yang masih berat di dadaku. Aku, Zivandra Quillon, bangun lebih awal, mencoba mengumpulkan keberanian yang hilang kemarin. Ibuku, dengan apron lusuhnya yang penuh noda tepung, menyapaku dengan senyum hangat sambil menyiapkan sarapan—nasi uduk sederhana dengan irisan telur dadar. “Jangan takut, Ziv,” katanya lembut, matanya yang lelah menatapku penuh harap. Aku mengangguk, tapi dalam hati, aku tahu hari ini tidak akan mudah.
Saat aku tiba di kelas 10 IPA 2, suasana sudah ramai. Siswa-siswa mengobrol dengan riang, beberapa di antaranya membawa buku tebal yang sepertinya belum pernah kubuka. Aku duduk di bangku dekat jendela lagi, tanganku memainkan ujung pena sambil menatap pohon flamboyan di luar. Daun-daunnya yang merah menyala tampak indah, tapi bagiku, itu hanya pengingat akan kesendirianku kemarin. Raden Kautsar masuk bersama gengnya, suaranya yang keras langsung mengisi ruangan. “Eh, Ziva, hari ini bawa air ekstra ya, biar nggak tumpah lagi!” katanya, diikuti tawa temennya. Aku menunduk, berusaha mengabaikan, tapi pipiku terasa panas.
Pelajaran dimulai dengan mata pelajaran Biologi, diajarkan oleh Pak Dwi, seorang guru tinggi dengan suara serak. Dia menjelaskan tentang siklus hidup tumbuhan, tapi pikiranku melayang ke Tharissa Lumei, gadis pendiam yang kemarin menarik perhatiku. Dia duduk di baris belakang, fokus menulis catatan dengan tangan yang lincah. Aku penasaran, tapi aku terlalu malu untuk mendekatinya. Saat istirahat tiba, aku memutuskan untuk tetap di kelas, membaca buku cerita lama yang kubawa dari rumah, berjudul Petualangan di Hutan Misterius. Buku itu selalu jadi pelarianku, tempat di mana aku bisa jadi pahlawan.
Tapi ketenangan itu terganggu ketika Raden dan temennya, seorang anak bernama Jaka dengan gigi depan yang agak maju, mendekatiku. “Ziva, baca dong ceritanya buat kita!” kata Raden, merebut buku dari tanganku dengan kasar. Aku mencoba merebutnya kembali, tapi Jaka mendorong bahuku hingga aku hampir jatuh dari kursi. “Ayo, jangan takut, kan kamu pinter!” ejeknya lagi. Aku merasa jantungku berdegup kencang, campuran marah dan takut membakar dadaku. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat.
Di tengah kekacauan itu, Tharissa tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya. “Kembalikan bukunya,” katanya dengan suara datar tapi tegas, matanya yang besar di balik kacamata menatap Raden tajam. Untuk sesaat, ruangan menjadi sunyi. Raden tertawa kecil, tapi ada ketidaknyamanan di wajahnya. “Oh, Tharissa mau jadi pahlawan ya?” katanya, tapi dia melempar buku itu ke arahku. Aku menangkapnya dengan susah payah, jari-jariku gemetar. Tharissa duduk kembali tanpa berkata apa-apa, tapi tatapannya memberiku semacam kekuatan yang tak bisa kujelaskan.
Setelah kejadian itu, aku mulai memperhatikan Tharissa lebih banyak. Di kelas, dia selalu duduk sendiri, tapi caranya menjawab pertanyaan guru menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Aku mendengar dari temen lain bahwa dia pindah ke Desa Kembangwangi tahun lalu karena ayahnya pindah kerja, dan dia jarang bergaul karena sifatnya yang pendiam. Aku merasa ada kesamaan di antara kami—keduanya seperti orang asing di kelas ini.
Sore harinya, setelah pelajaran selesai, aku memutuskan untuk berterima kasih padanya. Aku mendekati meja belakang tempat dia sedang merapikan buku. “Tharissa, terima kasih tadi,” kataku, suaraku pelan tapi tulus. Dia menoleh, matanya sedikit melebar sebelum mengangguk kecil. “Nggak apa-apa. Aku nggak suka lihat orang digituin,” jawabnya, lalu kembali fokus pada bukunya. Aku ingin bicara lebih banyak, tapi aku tahu ini langkah pertama yang berarti.
Pulang dari sekolah, aku berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi rumput liar, pikiranku penuh dengan kejadian hari ini. Aku merasa sedikit lega karena Tharissa membantuku, tapi juga takut karena Raden dan gengnya pasti tidak akan berhenti begitu saja. Di rumah, aku duduk di beranda bersama ibuku, menceritakan sedikit tentang hariku—tentu saja, aku sengaja menghindari bagian yang menyakitkan. Ibuku mengelus rambutku, matanya penuh pengertian. “Ziv, kadang kamu harus cari temen yang bisa dukung kamu. Jangan takut buat buka hati,” katanya.
Malam itu, di bawah lampu minyak yang berkedip-kedip, aku menulis di diari lagi. Kali ini, aku menulis tentang Tharissa, tentang keberanian kecilnya yang membuatku merasa tidak sepenuhnya sendirian. Tapi di balik harapan itu, ada ketakutan yang masih mengintai. Aku tahu Raden tidak akan tinggal diam, dan aku harus bersiap untuk hari-hari yang lebih berat di kelas 10. Air mata kembali mengalir saat aku menutup buku, tapi kali ini, ada secercah cahaya di tengah kegelapan—cahaya yang mungkin dinamai Tharissa.
Bayang di Balik Keberanian
Pagi hari di Desa Kembangwangi terasa lebih hangat pada hari ketiga di SMA Nusantara, dengan sinar matahari yang menyelinap melalui celah-celah jendela kamar tidurku. Aku, Zivandra Quillon, bangun dengan perasaan yang sedikit berbeda—ada secercah harapan yang muncul berkat keberanian kecil Tharissa Lumei kemarin. Di meja makan, ibuku menyajikan teh hangat dan roti bakar sederhana, matanya menatapku dengan penuh perhatian. “Semangat ya, Ziv. Hari ini pasti lebih baik,” katanya, suaranya lembut namun penuh keyakinan. Aku mengangguk, meski dalam hati aku masih merasa gelisah tentang apa yang menanti di kelas.
Saat tiba di kelas 10 IPA 2, suasana sudah mulai akrab bagiku, tapi juga semakin menegangkan. Raden Kautsar dan gengnya—Jaka serta seorang anak lain bernama Dimas yang selalu diam—sudah berada di dalam, berbisik dan sesekali melirik ke arahku dengan senyum menyamping. Aku mengabaikan mereka, memilih duduk di bangku dekat jendela seperti biasa, tanganku sibuk mengatur buku dan pena. Tharissa masuk beberapa menit kemudian, membawa tas kain sederhana yang terlihat lusuh. Dia mengangguk kecil padaku saat lewat, dan itu cukup untuk membuatku merasa sedikit lebih berani.
Pelajaran hari itu dimulai dengan Bahasa Indonesia, diajarkan oleh Bu Sari, guru dengan suara melodius yang selalu membawa buku puisi. Saat dia meminta kami membuat pantun, aku mencoba fokus, tapi pikiranku terus terganggu oleh tatapan Raden. Di tengah sesi, Raden tiba-tiba berdiri, mengangkat tangan. “Bu, boleh nggak Zivandra baca pantunnya? Katanya dia pinter, kan?” katanya dengan nada mengejek, diikuti tawa kecil dari Jaka dan Dimas. Aku merasa wajahku memerah, tanganku gemetar memegang kertas pantun yang baru kuselesaikan.
Bu Sari, dengan senyum tipis, menatapku. “Zivandra, mau coba?” tanyanya. Aku ingin menolak, tapi tatapan Tharissa dari baris belakang memberiku dorongan. Dengan suara yang hampir tersendat, aku membaca pantunku:
Daun kering jatuh ke tanah,
Angin bertiup membawa harapan,
Hati kecil penuh kebimbangan,
Tapi kuat bertahan di perjalanan.
Kelas terdiam sejenak, lalu Bu Sari mengangguk penuh apresiasi. “Bagus, Zivandra. Ada makna mendalam di situ.” Tapi sebelum aku bisa merasa lega, Raden menyela, “Wah, puitis banget! Kayak penyair desa!” Tawa temennya menggema, dan aku menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.
Istirahat tiba, dan aku memutuskan untuk keluar ke halaman sekolah, mencari udara segar di bawah pohon beringin besar. Tharissa mengikutiku, langkahnya pelan tapi pasti. “Zivandra, kamu nggak perlu takut sama mereka,” katanya, matanya menatapku dengan serius. “Mereka cuma suka cari perhatian.” Aku menatapnya, terkejut dengan keberaniannya. “Tapi aku nggak tahu cara melawan,” aku akui, suaraku pelan. Tharissa tersenyum tipis. “Kamu sudah melawan tadi, dengan pantunmu. Itu langkah pertama.”
Kami duduk di bawah pohon, berbagi roti yang dibawanya dari rumah. Dia bercerita tentang kehidupannya—tentang ayahnya yang bekerja sebagai petani di desa baru ini, dan ibunya yang sakit-sakitan. “Aku pindah ke sini karena nggak punya pilihan,” katanya, matanya sedikit redup. “Tapi aku belajar buat kuat, buat keluargaku.” Kata-katanya menyentuhku, membuatku merasa bahwa kesendirianku bukanlah sesuatu yang istimewa—banyak orang punya beban sendiri.
Hari itu berlanjut dengan ketegangan yang lebih terasa. Raden dan gengnya tidak berhenti mengganggu, bahkan membuang penghapusku ke lantai saat pelajaran Fisika. Tapi kali ini, aku tidak diam. Dengan dorongan dari Tharissa, aku meminta penghapusku kembali dengan suara yang sedikit gemetar. Raden tertawa, tapi akhirnya melemparnya padaku. Itu kemenangan kecil, tapi cukup untuk membuatku merasa sedikit lebih percaya diri.
Sore harinya, saat aku pulang, aku berjalan menyusuri jalan setapak dengan langkah yang lebih ringan. Aku menceritakan kejadian hari ini pada ibuku, dan untuk pertama kalinya, aku menyebut nama Tharissa. Ibuku tersenyum lebar. “Dia temen baik, Ziv. Pegang erat,” katanya. Malam itu, di bawah lampu minyak, aku menulis di diari lagi, mencatat tentang Tharissa dan keberanian yang mulai tumbuh di dadaku. Tapi aku tahu, pertarungan dengan Raden belum selesai—bayang-bayang ketakutan masih mengintai, menunggu saat yang tepat untuk muncul lagi.
Cahaya di Ujung Lorong
Pagi hari di Desa Kembangwangi pada hari Senin, 9 Juni 2025, terasa istimewa, seolah langit biru yang cerah membawa janji baru. Aku, Zivandra Quillon, bangun dengan semangat yang sedikit lebih besar dibanding hari-hari sebelumnya. Jam di dinding menunjukkan pukul 06:00 WIB, dan suara ayam berkokok di kejauhan bercampur dengan aroma teh hangat yang disiapkan ibuku. Hari ini adalah hari keempat di SMA Nusantara, dan setelah tiga hari penuh tantangan, ada dorongan kecil di dadaku—mungkin karena kehadiran Tharissa Lumei, teman baru yang memberiku kekuatan tak terduga.
Di kelas 10 IPA 2, suasana pagi itu terasa berbeda. Raden Kautsar dan gengnya—Jaka dan Dimas—masuk dengan wajah yang sedikit canggung, mungkin karena keberanian kecilku kemarin saat meminta penghapusku kembali. Aku duduk di bangku dekat jendela, tanganku memegang buku catatan yang sudah penuh coretan, dan Tharissa mengangguk kecil padaku saat dia melewati baris depan. Pelajaran dimulai dengan Kimia, diajarkan oleh Pak Hadi, guru dengan suara khas yang selalu membuat kami terjaga. Tapi fokusku terpecah ketika Raden tiba-tiba berdiri, mengangkat tangan dengan sikap yang penuh tantangan.
“Pak, boleh nggak kita adain debat kecil? Misalnya, Zivandra sama aku,” katanya, matanya menatapku dengan senyum licik. Pak Hadi, yang awalnya terkejut, akhirnya setuju, menganggap ini kesempatan bagus untuk melatih kemampuan berbicara. Tema yang dipilih adalah “Keberanian Adalah Kunci Sukses”. Aku merasa jantungku berdegup kencang, tapi tatapan Tharissa dari belakang memberiku dorongan. “Kamu bisa, Ziv,” bisiknya pelan sebelum aku berdiri.
Debat itu berlangsung sengit. Raden berargumen dengan nada sombong, mengatakan keberanian hanyalah soal kekuatan fisik dan popularitas. Aku, dengan suara yang awalnya gemetar, membalas bahwa keberanian sejati ada dalam menghadapi ketakutan dan bangkit dari kegagalan—mengambil inspirasi dari pantunku sendiri dan perjuangan Tharissa. Kelas terdiam, dan untuk pertama kalinya, aku melihat ekspresi kaget di wajah Raden. Pak Hadi akhirnya menyimpulkan bahwa argumanku lebih mendalam, dan tepuk tangan kecil menggema di kelas. Tharissa tersenyum, dan itu terasa seperti kemenangan besar bagiku.
Tapi kemenangan itu tidak bertahan lama. Istirahat tiba, dan saat aku berjalan ke halaman dengan Tharissa, Raden mendekat dengan wajah penuh amarah. “Kamu pikir menang debat berarti apa, Ziva?” katanya, mendorong bahuku hingga aku tersandung. Tharissa segera melangkah maju, tapi sebelum dia bisa bicara, aku berdiri tegak. “Cukup, Raden. Aku nggak takut sama kamu lagi,” kataku, suaraku tegas meski tanganku gemetar di balik saku. Untuk sesaat, Raden terdiam, lalu berbalik pergi dengan Jaka dan Dimas yang tampak bingung.
Kejadian itu menjadi titik balik. Setelah hari itu, Raden mulai menjauh, meski kadang masih melirik dengan tatapan tidak puas. Tharissa dan aku semakin dekat, sering belajar bersama di perpustakaan atau duduk di bawah pohon beringin saat istirahat. Dia bercerita lebih banyak tentang mimpinya menjadi dokter, terinspirasi dari ibunya yang sakit, dan aku berbagi cerita tentang kakakku yang selalu jadi idola. Persahabatan itu seperti sinar matahari yang menghangatkan hari-hariku yang kelabu.
Bulan berlalu, dan pada akhir semester pertama, aku berhasil naik peringkat di kelas, bahkan dipilih sebagai ketua kelompok proyek sains. Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam dan langit Desa Kembangwangi berubah menjadi jingga, Tharissa mengajakku ke ladang di belakang sekolah. Di sana, kami duduk di rumput, menatap bintang yang mulai muncul. “Ziv, kamu udah berubah,” katanya, matanya berbinar. “Dari anak yang takut, jadi orang yang berani.” Aku tersenyum, mengingat air mata yang pernah jatuh di halaman buku diari.
Malam itu, di bawah lampu minyak di rumah, aku menulis di diari untuk terakhir kalinya tentang kelas 10. Aku menulis tentang Raden yang akhirnya diam, tentang Tharissa yang jadi sahabatku, dan tentang diriku yang menemukan keberanian di balik bangku sekolah. Air mata mengalir lagi, tapi kali ini bukan dari kesedihan—melainkan dari kelegaan dan harapan. Aku tahu perjalanan ini belum selesai, tapi aku tidak lagi sendirian. Di ujung lorong kelas 10, aku menemukan cahaya—cahaya yang akan membawaku menuju hari-hari yang lebih cerah.
Kisah Zivandra dalam Kelas 10: Air Mata di Balik Bangku Sekolah mengajarkan bahwa di balik setiap tetes air mata ada kekuatan untuk bangkit dan bersinar. Cerita ini menunjukkan bagaimana persahabatan dan keberanian dapat mengubah hari-hari kelabu menjadi penuh harapan, menginspirasi remaja untuk menghadapi tantangan dengan hati terbuka. Jadilah seperti Zivandra, yang menemukan cahaya di ujung lorong sekolahnya sendiri.
Terima kasih telah menyelami kisah inspiratif Zivandra bersama kami! Semoga artikel ini memberi Anda semangat baru untuk menghadapi hari-hari sekolah. Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar dan ajak teman-teman untuk membaca cerita ini. Sampai jumpa di artikel motivasi berikutnya!