Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasa kalau perbedaan itu malah bikin kita terpecah? Tapi, gimana kalau sebenarnya kita bisa jadi lebih kuat kalau bersatu? Cerpen ini bakal ngajak kamu lihat gimana sebuah kerajaan yang terpecah akhirnya bisa bangkit dan bersatu.
Nggak cuma buat para pemimpin, tapi juga buat orang-orang biasa yang punya harapan buat masa depan yang lebih baik. Penasaran? Yuk, baca cerpen ini dan lihat bagaimana semuanya bisa berubah ketika kita memilih untuk bersatu!
Kekuatan Persatuan
Api yang Memisahkan
Angin kering berhembus dari arah timur, membawa debu halus yang menutupi wajah dan tangan para prajurit yang tengah berbaris rapi di bawah matahari yang terik. Lautan pasir yang membentang di sekeliling mereka memberi kesan bahwa dunia ini seakan tak ada habisnya. Di hadapan mereka, sebuah benteng kokoh berdiri, menyembunyikan rahasia-rahasia lama yang mungkin lebih berharga daripada apapun yang mereka miliki.
Di dalam benteng, sang raja, Raja Vaden dari Asteria, sedang memimpin rapat perang yang sudah berlangsung berhari-hari. Suaranya yang berat dan tegas menggema di ruang yang dipenuhi pasukan dan penasihat. Di meja perundingan, ratusan peta terbuka, menggambarkan strategi untuk merebut batuan yang jatuh dari langit. Batu itu, yang menurut desas-desus, memiliki kekuatan luar biasa, telah menjadi pemicu bagi keretakan antar kerajaan.
“Batu itu milik kita, Asteria akan memimpin,” kata Raja Vaden dengan suara yang menggelegar. “Aku tak peduli apa yang harus dilakukan, kita harus mendahului mereka semua!”
Seorang pria bertubuh tegap, bernama Kael, mengangguk pelan di sudut ruangan. Kael adalah komandan pasukan Asteria yang terkenal dengan kehebatannya dalam bertempur. Namun, matanya yang tajam kini terlihat sedikit lelah, seolah ada sesuatu yang lebih besar yang mengusiknya. “Tapi, Tuan, bukankah kita sudah mengalahkan Velmora di perbatasan? Batu itu seharusnya sudah kita kuasai,” katanya, namun ada keraguan yang terlihat jelas di wajahnya.
Raja Vaden menatapnya tajam. “Kau pikir itu cukup, Kael? Setiap kerajaan ingin kekuasaan yang sama, kita harus mempercepat gerakan kita. Batu itu adalah kunci untuk meraih kejayaan, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun merebutnya dariku.”
Kael menarik napas panjang. Ia tahu bahwa meskipun Raja Vaden tegas, ada bagian dari dirinya yang mulai meragukan jalan yang ditempuh. Namun, sebagai prajurit, tugasnya adalah untuk mengikuti perintah, apapun itu.
Sementara itu, jauh dari benteng Asteria, di desa kecil yang terletak di perbatasan Eldoria, seorang petani muda bernama Yoran mengamati langit yang mendung dengan penuh kekecewaan. Tanah yang dulunya subur kini mulai mengering, dan sungai yang biasa menjadi sumber kehidupan mereka hampir tidak mengalir lagi. Semua ini akibat dari perang yang terus berkecamuk antara kerajaan-kerajaan besar.
Di samping Yoran, ibunya, seorang wanita tua yang selalu mengingatkan tentang harmoni alam, duduk sambil menenun kain. “Yoran, kau tahu apa yang terjadi pada tanah kita. Perang tidak hanya merusak negeri, tapi juga hati manusia,” ujar sang ibu dengan suara lembut.
Yoran memandang ibunya dengan tatapan yang penuh kebingungan. “Aku tahu, Bu. Tapi, jika kita tidak bertindak, bagaimana kita bisa menghentikan semuanya? Mereka—mereka terus berperang, saling membunuh satu sama lain untuk sesuatu yang bahkan mereka sendiri belum tahu apa gunanya,” jawabnya, nada suaranya mengandung frustrasi yang dalam.
Ibu Yoran tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala. “Kau akan menemukan jawabannya, Nak. Suatu saat nanti, akan ada yang muncul untuk mengingatkan kita semua bahwa kita tidak pernah terpisah.”
Meskipun Yoran tidak sepenuhnya memahami, kata-kata ibunya tetap berbisik di dalam pikirannya, seolah ada sesuatu yang menunggunya untuk menemukan jalan yang berbeda.
Sementara itu, di Velmora, di sebuah ruang laboratorium yang dipenuhi dengan alat-alat canggih dan buku-buku tebal, seorang ilmuwan muda bernama Luthen tengah berkutat dengan penelitiannya. Ia dikenal dengan kecerdasannya dalam menemukan solusi untuk hampir setiap masalah yang muncul, namun kali ini, ia merasa cemas. Batu yang jatuh dari langit itu, yang mereka anggap sebagai temuan luar biasa, bukanlah jawaban untuk semua masalah mereka.
Luthen menatap layar kaca yang menampilkan simulasi energi yang dihasilkan dari batu tersebut. “Ini… tidak mungkin,” gumamnya pada diri sendiri. “Energi yang terkandung dalam batu ini bisa mengubah segalanya. Tetapi, apakah kita siap untuk mengendalikannya? Atau, lebih tepatnya, apakah kita bisa menghindari kehancuran lebih lanjut?”
Tiba-tiba, pintu laboratorium terbuka dengan keras, dan seorang perempuan berpakaian hitam memasuki ruangan. Namanya Riva, seorang prajurit dari Velmora yang datang dengan wajah serius. “Luthen, kau harus ikut denganku. Raja memanggilmu. Ada rapat penting mengenai batu itu.”
Luthen menghela napas. Ia tahu bahwa meskipun ia adalah ilmuwan, kadang-kadang ia terjebak dalam permainan kekuasaan yang dimainkan oleh para raja dan penguasa. “Baiklah,” jawabnya singkat, meskipun hatinya penuh keraguan.
Perang antar kerajaan semakin membesar. Para prajurit, ilmuwan, dan rakyat jelata mulai merasakan dampaknya. Dan meskipun mereka memiliki tujuan yang sama—menguasai batu itu—mereka tidak menyadari bahwa di luar kekuasaan mereka, ada sebuah kekuatan yang lebih besar yang sedang menunggu untuk membuka mata mereka.
Di suatu tempat yang jauh dari peperangan, Selka, seorang pandai besi muda dari Dravenia, sedang mempersiapkan perjalanannya. Ia telah mendengar desas-desus tentang batu itu, dan meskipun ia tidak tahu sepenuhnya tentang apa yang ada di baliknya, ia tahu bahwa ada yang salah dengan semua ini.
Dengan tekad yang kuat, Selka berjanji untuk mencari jawaban. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk seluruh dunia yang kini terperangkap dalam perpecahan yang semakin dalam.
Pemberontakan Tanpa Senjata
Pagi itu, angin mulai berhembus lebih kencang, menggoyangkan dedaunan yang rapuh di sepanjang jalan berbatu. Di tengah perkampungan Eldoria, Yoran berjalan cepat menuju rumahnya, wajahnya penuh tekad. Ia tidak bisa lagi menunggu pasif—rasa cemas dan marah sudah menumpuk di dadanya. Perang ini harus dihentikan, dan ia tahu persis bahwa cara untuk menghentikan semuanya bukanlah dengan berperang.
Sesampainya di rumah, ia menemukan ibunya sedang duduk di kursi rotan, seperti biasa, dengan tenang menenun. “Ibu, aku pergi ke pertemuan itu,” ucap Yoran dengan nada serius.
Ibunya menoleh, matanya menatapnya dengan lembut, namun jelas ada kekhawatiran di sana. “Apa yang akan kamu lakukan di sana, Nak? Itu bukan tempatmu. Peperangan bukan untuk orang seperti kita.”
Yoran menundukkan kepalanya, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara lagi. “Aku tidak ingin perang. Aku tidak ingin melihat tanah ini hancur lebih lama lagi. Aku akan berbicara dengan mereka—dengan siapa pun yang mau mendengarkan. Aku ingin mereka tahu bahwa tidak ada yang perlu diperjuangkan dengan darah. Mereka harus berhenti, Ibu.”
Dengan perlahan, sang ibu meletakkan kain tenunannya. Ia berdiri, mendekatkan wajahnya ke wajah Yoran, dan menghela napas panjang. “Kau sudah dewasa. Tapi ingatlah, Nak, bukan hanya dengan kata-kata kita bisa menyelesaikan semua ini. Ada saatnya keberanian itu diuji dengan cara yang tak terduga. Hati-hatilah.”
Yoran mengangguk tanpa menjawab. Dengan langkah pasti, ia meninggalkan rumahnya, bertekad untuk mengubah nasib tanah airnya.
Di Velmora, Luthen tengah duduk dengan gelisah di ruang rapat kerajaan. Tangan gemetar menahan gelas berisi air, namun pikirannya jauh dari ketenangan. Batu yang mereka sebut “kekuatan” itu kini menjadi fokus utama kerajaan. Para pejabat dan penasihat kerajaan berkumpul di sekelilingnya, berdiskusi keras tentang bagaimana mereka akan memanfaatkannya untuk mengalahkan kerajaan lainnya.
Raja Velmora, Raja Caelum, berdiri di depan mereka, wajahnya penuh kekuasaan. “Kita harus memastikan bahwa tidak ada kerajaan yang menghalangi jalan kita. Batu ini adalah milik kita. Kita yang berhak menggunakannya untuk mencapai kejayaan.”
Luthen menatap batu itu yang tergeletak di tengah ruangan, dan rasa tidak nyaman semakin merasuk ke dalam dirinya. “Tuan, aku ingin menekankan bahwa batu ini tidak dapat kita kendalikan sepenuhnya. Jika kita salah langkah, bukan kejayaan yang kita dapatkan, tapi kehancuran. Saya rasa, kita harus berhati-hati.”
Namun, kata-kata Luthen hanya menjadi angin lalu. Raja Caelum menatapnya tajam, “Apa kau meragukan kita, Luthen? Kita sudah sampai sejauh ini! Tidak ada waktu lagi untuk keraguan. Batu itu harus dimanfaatkan sekarang juga!”
Luthen tahu bahwa ia hanya seorang ilmuwan. Di hadapan kekuasaan, suaranya seringkali dianggap tidak lebih dari bisikan. Tapi kali ini, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia hadapi. Dengan hati yang penuh kebingungan, ia berdiri dan keluar dari ruangan rapat, meninggalkan para pejabat yang sibuk dengan rencana mereka.
Sementara itu, di Asteria, Kael berdiri di atas tebing tinggi, menatap luasnya medan pertempuran yang sudah ditinggalkan. Di kejauhan, pasukannya bersiap untuk menyerang lagi, siap menghadapi pasukan Velmora yang akan datang. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Seiring dengan datangnya matahari yang terbenam, Kael merasakan sesuatu yang berbeda. Ia tak pernah menyukai perang ini, meskipun ia selalu berada di garis depan. Semua peperangan ini terasa sia-sia. Mengapa mereka harus terus bertarung hanya untuk sebuah batu yang bahkan tak mereka pahami dengan benar?
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Seorang prajurit muda dari Asteria, seorang anak yang selalu tampak bersemangat, berjalan menghampirinya. “Komandan Kael, kami siap untuk maju. Perintah apa selanjutnya?”
Kael menoleh dan melihat semangat anak muda itu. “Tidak ada perintah,” jawabnya, suara yang berat, penuh keraguan. “Kita akan berhenti.”
Prajurit muda itu tampak bingung. “Apa maksudmu, Komandan? Perang ini belum selesai.”
Kael menghela napas panjang. “Perang ini seharusnya tidak pernah dimulai. Kita telah membunuh banyak orang, kita telah menghancurkan banyak tanah, dan kita bahkan tidak tahu apa yang sedang kita perjuangkan. Aku tidak ingin perang ini berlanjut.”
Anak muda itu terdiam, menatap Kael dengan mata yang penuh kebingungan dan rasa tidak percaya. Namun, setelah beberapa detik yang terasa lama, ia perlahan-lahan mengangguk. “Kau benar, Komandan. Tapi bagaimana kita menghentikannya?”
Kael menatap anak muda itu, berharap ada jawabannya, meskipun ia sendiri tidak tahu pasti. “Kita harus mencari cara lain. Aku tidak tahu apa yang bisa dilakukan, tapi aku yakin ada jalan yang lebih baik dari pertumpahan darah.”
Di tempat yang jauh dari medan perang, di sebuah desa kecil yang tenang, Selka berjalan dengan cepat, matanya penuh tekad. Ia tahu bahwa dirinya bukan seorang pejuang, bukan juga seorang raja atau ilmuwan. Tapi ada satu hal yang ia miliki—keberanian untuk menghadapi kenyataan.
Dengan langkah pasti, ia melangkah menuju tempat yang tak biasa, tempat di mana semua kerajaan bertemu untuk berbicara—di sebuah tanah netral yang dikenal dengan nama Silvaris. Di sana, para pemimpin kerajaan akan menghadapi kenyataan yang selama ini mereka hindari: bahwa perpecahan yang mereka ciptakan adalah jalan menuju kehancuran, dan hanya persatuan yang bisa menyelamatkan mereka.
Selka tidak tahu bagaimana ia akan berhasil meyakinkan mereka. Tapi satu hal yang ia tahu, ia tidak bisa membiarkan negeri ini hancur lebih lama lagi.
Langkah Keberanian
Pagi itu, desa Silvaris tampak lebih sepi dari biasanya. Jalanan yang biasanya dipenuhi pedagang dan pejalan kaki kini hanya dihiasi oleh bayang-bayang dari pohon-pohon besar yang mengelilingi tanah netral ini. Selka berdiri di ujung jalan, matanya melirik ke arah gedung pertemuan yang menjulang di depan, tempat di mana seluruh pemimpin kerajaan dijadwalkan untuk berkumpul. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia tahu ini adalah langkah yang harus diambil.
Dalam hati, ia mengingat kata-kata ibunya: “Selalu ada keberanian di dalam hati mereka yang tahu kebenaran.”
Selka melangkah mantap, tanpa ada rasa gentar. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak kembali dengan tangan hampa. Meskipun ia hanya seorang wanita dari desa kecil, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya—keberanian itu datang bukan dari kekuatan fisik, melainkan dari hati yang tahu mana yang benar.
Di dalam gedung pertemuan, suasana penuh ketegangan. Raja Caelum duduk di meja besar, bersama para penasihat dan jenderal-jenderalnya. Luthen berdiri di sudut ruangan, matanya fokus pada setiap gerakan yang ada, berusaha mengamati suasana dengan seksama. Dia tahu, sebuah pertemuan seperti ini tidak akan berjalan dengan mudah. Semua orang sudah terlanjur terjebak dalam kebanggaan dan ambisi pribadi.
Ketika pintu besar dibuka, dan Selka melangkah masuk, semua mata langsung tertuju padanya. Ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi, dan udara yang sebelumnya panas terasa semakin berat. Para pemimpin yang hadir tampak terkejut, tidak mengira bahwa seorang wanita muda dari desa akan datang ke tengah-tengah mereka.
“Siapa kamu?” tanya Raja Caelum, suaranya berat, namun di baliknya ada nada penasaran yang tak bisa disembunyikan.
Selka tidak gentar. “Aku Selka, dari desa kecil di luar sana. Aku datang untuk berbicara tentang masa depan kita,” jawabnya dengan suara lantang namun tenang.
Luthen, yang sejak tadi hanya diam menyaksikan, kini bergerak lebih dekat. Ia mengenal Selka, pernah berbicara dengannya saat masih muda, dan ia tahu bahwa perempuan ini bukan orang biasa. Ada sesuatu dalam diri Selka yang tak dapat dipandang sebelah mata.
“Apa yang bisa seorang perempuan seperti kamu bicarakan tentang masa depan kerajaan?” sergah seorang jenderal yang duduk di sisi Raja Caelum.
Namun Selka hanya tersenyum kecil. “Kita semua berbicara tentang masa depan kerajaan, bukan? Tapi apa yang kita bicarakan? Kekuatan? Kekuasaan? Apa arti semua itu jika kita menghancurkan satu sama lain untuk itu?”
Raja Caelum menatapnya dengan tajam. “Jangan terlalu berani, anak muda. Ini adalah urusan negara.”
“Tapi aku bukan hanya seorang anak muda,” jawab Selka dengan suara yang tidak bergetar. “Aku adalah suara dari orang-orang yang sudah lelah dengan pertumpahan darah, yang tak punya apapun selain tanah dan keluarga mereka. Kami juga memiliki hak untuk hidup damai.”
Kata-kata Selka menggema di ruangan itu. Semua yang hadir merasa seolah ada sesuatu yang terbangun, sebuah kesadaran yang tak bisa diabaikan begitu saja. Luthen menatapnya, mata penuh harapan. Ini adalah saat yang ditunggunya, namun ia tahu, ini adalah awal dari perjalanan yang lebih panjang dan lebih berbahaya.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya Raja Caelum, suara raja yang biasanya penuh kekuatan kini terdengar ragu.
“Persatuan,” jawab Selka tegas. “Sudah terlalu lama kita hidup dalam bayang-bayang kebanggaan masing-masing. Sudah saatnya kita berdiri bersama, meski berasal dari kerajaan yang berbeda, meski memiliki latar belakang yang berbeda. Batu itu bukanlah segalanya. Kita lebih dari itu.”
Seorang penasihat kerajaan mengernyitkan dahi. “Kamu ingin kita berhenti memperjuangkan kekuasaan yang telah kita raih selama bertahun-tahun? Apakah kamu tahu betapa banyak yang sudah kami korbankan untuk sampai sejauh ini?”
Selka menatapnya dengan serius. “Aku tahu. Tapi apakah kalian tahu apa yang sudah kalian korbankan selain darah dan nyawa? Tanah yang hancur, anak-anak yang kehilangan orang tua mereka, keluarga yang kehilangan segalanya. Apa gunanya kekuasaan jika tidak ada yang tersisa untuk dikuasai?”
Tanya jawab itu membuat suasana semakin memanas. Para pemimpin yang hadir mulai saling berbisik, saling berpandangan. Selka bisa melihat kecemasan di wajah mereka, dan ia tahu bahwa kata-katanya mulai menembus pertahanan mereka.
Luthen akhirnya berbicara, suaranya lembut namun penuh penekanan. “Selka benar. Kita tidak bisa terus begini. Tidak ada kemenangan yang berarti jika kita kehilangan jiwa kita dalam prosesnya.”
Raja Caelum menatap Luthen, kemudian kembali menatap Selka. “Apakah kamu punya solusi? Apa yang kamu usulkan agar kita berhenti begitu saja?”
Selka menghela napas, menatap semua orang yang ada di ruang itu. “Bukan soal berhenti, Raja Caelum. Ini soal bagaimana kita memulai lagi. Kita harus menemukan jalan yang berbeda—sebuah jalan yang tidak bergantung pada perpecahan. Tanpa persatuan, kita hanya akan terus terjerat dalam lingkaran kekerasan tanpa akhir.”
Dengan penuh keyakinan, Selka melangkah ke tengah ruangan, matanya menatap setiap pemimpin di sana. “Kalian yang memiliki kekuasaan di tangan kalian, sekarang adalah waktu kalian untuk memutuskan. Teruskan jalannya peperangan ini, atau kalian ambil langkah pertama untuk menyatukan semuanya. Pilihan ada di tangan kalian.”
Tiba-tiba, keheningan menyelimuti seluruh ruangan. Hanya ada suara detakan jantung yang terdengar nyaring di telinga Selka. Ia tahu ini adalah momen yang akan menentukan arah dari apa yang akan terjadi selanjutnya.
Namun, meskipun begitu, ada satu hal yang jelas dalam pikirannya: Tidak peduli apa yang terjadi setelah ini, ia sudah mengambil langkah pertama menuju perubahan.
Titik Temu
Hari-hari setelah pertemuan itu menjadi masa yang penuh ketegangan, namun juga penuh harapan. Selka merasa setiap langkah yang diambilnya seolah semakin mendekatkan mereka pada tujuan yang lebih besar. Namun, ia tahu, perubahan bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Begitu banyak orang yang telah terjebak dalam sistem lama, dengan kebanggaan dan ambisi yang telah mengakar dalam diri mereka begitu dalam.
Sementara itu, Raja Caelum, meski tampak ragu di awal, mulai melihat nilai dari kata-kata Selka. Proses itu tidak mudah, namun perlahan ia mulai membuka pikirannya terhadap kemungkinan baru, meski ia masih harus menjaga tradisi dan kekuasaan yang telah diwariskan kepadanya. Luthen, yang telah lama berjuang untuk perubahan, kini mendapati dirinya berada di tengah pertarungan yang lebih besar, dan ia tahu ia tak bisa berdiri sendirian.
Suatu malam, di luar gedung pertemuan, angin bertiup kencang, dan langit tampak lebih gelap dari biasanya. Selka berdiri di tepi sebuah jembatan kayu yang mengarah ke hutan. Pikirannya kembali terbang ke masa lalu—hari-hari ketika ia masih seorang gadis kecil yang melihat dunia dengan harapan besar, penuh dengan mimpi tentang dunia yang damai dan bersatu. Namun seiring berjalannya waktu, harapan itu diuji, dan kini ia berdiri di tengah-tengah konflik yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.
Luthen mendekat, langkahnya ringan dan penuh perhatian. Ia tahu, di tengah ketegangan yang melanda, Selka masih memikirkan banyak hal. Tanpa berkata apa-apa, ia berdiri di samping Selka, memandang langit yang penuh dengan awan gelap.
“Kau benar-benar yakin, kan?” tanya Luthen, suaranya tenang namun mengandung harapan.
Selka menatap Luthen, dan untuk pertama kalinya, ada rasa lelah di matanya. “Aku sudah yakin sejak aku melihat penderitaan orang-orang itu,” jawabnya, suara yang tegas namun penuh emosi. “Kita tidak bisa terus hidup dalam kebencian. Sudah saatnya kita bersatu, Luthen.”
Luthen mengangguk perlahan, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Selka. Namun, meski ia tahu bahwa perjalanannya akan penuh dengan rintangan, hatinya penuh dengan keyakinan. Mereka telah menempuh banyak jalan bersama, dan ini adalah jalan terakhir yang harus mereka lewati.
Keputusan itu datang tak lama setelah malam yang penuh dengan percakapan panjang antara Selka dan para pemimpin yang tersisa. Setelah banyak perdebatan, akhirnya mereka sepakat untuk mengadakan pertemuan besar, sebuah konvensi yang melibatkan semua wilayah yang ada. Akan ada kesempatan bagi setiap kerajaan untuk berbicara tentang masa depan mereka, untuk berbagi visi mereka, dan untuk menyepakati satu tujuan bersama.
Di tengah kesepakatan itu, muncul sebuah simbol yang sangat sederhana namun kuat: sebuah lingkaran yang menggambarkan persatuan. Tak ada lagi batasan antara kerajaan-kerajaan yang ada, hanya ada satu tujuan yang lebih besar, yang lebih penting—keberlangsungan hidup mereka semua sebagai satu kesatuan.
Pada hari yang telah ditentukan, pertemuan itu berlangsung. Selka berdiri di samping Raja Caelum, Luthen di sisi lainnya. Para pemimpin dari berbagai wilayah berkumpul, duduk berdampingan, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, mereka semua mengesampingkan perbedaan mereka demi satu tujuan yang lebih besar. Meski ada ketegangan, meski rasa cemas masih ada di udara, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ada harapan.
Raja Caelum berdiri dan mengangkat tangan, memberi tanda kepada semua yang hadir. “Kita semua hadir di sini, bukan sebagai musuh, tetapi sebagai satu bangsa. Kita memilih untuk berjalan bersama, demi masa depan yang lebih baik,” katanya, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Selka, yang berdiri di sampingnya, merasakan berat kata-kata itu. Ini bukan akhir, ia tahu. Ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang harus mereka jalani. Namun, melihat ekspresi di wajah para pemimpin itu—yang akhirnya menyadari pentingnya persatuan—memberikan sedikit ketenangan dalam hati Selka.
Ketika pertemuan itu berakhir, langit tampak lebih cerah dari sebelumnya. Ada angin yang lebih sejuk, ada cahaya yang lebih terang. Di luar gedung pertemuan, para rakyat berdiri, menyaksikan dengan harapan di mata mereka. Mereka tahu bahwa hari itu bukanlah hanya tentang para pemimpin yang duduk di meja perundingan, tetapi juga tentang mereka yang berdiri di luar sana, menunggu untuk merasakan dampaknya.
Selka melangkah keluar, mengikuti langkah Luthen yang berdiri menunggunya di luar. Bersama, mereka menatap ke depan, merasakan kekuatan persatuan yang baru terjalin. Tidak ada jalan yang mudah ke depan, tapi ada satu hal yang pasti: mereka telah menciptakan sebuah awal yang baru, sebuah titik temu yang mengarah pada harapan.
“Ini baru permulaan, kan?” tanya Luthen sambil tersenyum kecil.
Selka menatapnya, matanya penuh keyakinan. “Ya, ini baru permulaan. Tapi kita akan melaluinya bersama. Tidak ada yang bisa menghalangi kita sekarang.”
Mereka berjalan bersama, tidak lagi sebagai dua individu, tetapi sebagai bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar—sebuah bangsa yang akhirnya menemukan kekuatan dalam persatuan dan kesatuan mereka.
Gimana? Menarik kan perjalanan mereka? Ternyata, meski penuh rintangan, persatuan itu bisa jadi kekuatan yang nggak bisa dipatahkan. Mungkin cerpen ini bisa jadi pengingat kita semua, bahwa meskipun banyak perbedaan, kalau kita bersatu, nggak ada yang nggak mungkin.
Semoga cerita ini bisa ngasih inspirasi buat kita semua untuk selalu memilih bersama, bukan terpisah. Jangan lupa share cerpen ini ke temen-temen kamu, biar mereka juga tahu betapa pentingnya persatuan!


