Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasa kayak semua yang kamu lakuin itu nggak ada artinya? Nah, bayangin deh kalau satu tindakan kecil yang kamu anggap sepele bisa bikin perubahan besar! Di cerita ini, kita bakal ikutin Alaric dan Leina yang berjuang melawan kegelapan dengan kekuatan kebaikan dan rasa syukur. Siap-siap terinspirasi dan ngerasa pengen bikin dunia jadi lebih baik, ya!
Kekuatan Kebaikan
Cahaya Emas di Tengah Kegelapan
Sore itu, langit kota Aramas masih dipenuhi awan tebal, abu-abu dengan semburat kemerahan yang menyelimuti suasana muram. Di tepi sungai yang mengalir membelah kota, seorang pemuda bernama Alaric duduk termenung. Tempat itu sudah menjadi pelarian bagi Alaric setiap kali pikirannya penuh dengan kegelisahan. Sungai itu biasa saja, tak ada yang spesial, namun bagi Alaric, suara gemericik air membawa kedamaian yang sulit ia temukan di tempat lain.
Di sekelilingnya, orang-orang berjalan terburu-buru, sibuk dengan urusan masing-masing. Alaric melihatnya sebagai rutinitas yang tidak pernah berubah—semua orang sibuk, tapi tanpa tujuan yang jelas. Yang berbeda dari Alaric adalah kemampuannya untuk melihat cahaya yang memancar dari dalam diri setiap orang. Warna-warna itu bercerita tentang suasana hati mereka—bahagia berwarna kuning, sedih berwarna biru, marah menyala merah, dan yang paling sering ia lihat di kota ini, abu-abu. Warna itu menggambarkan kehampaan, seolah hidup mereka tidak lagi memiliki makna.
Namun, ada satu warna yang paling jarang muncul, hampir punah: cahaya emas. Cahaya syukur. Dalam kehidupan yang semakin materialistis dan penuh ketidakpuasan, rasa syukur terasa seperti hal langka yang telah lama dilupakan.
“Kamu selalu duduk di sini, ya?” Sebuah suara lembut tiba-tiba memecah lamunannya. Seorang gadis bernama Leina berdiri di dekat Alaric, tersenyum ramah.
Leina sering berada di sekitar sungai ini juga, meski keduanya belum pernah benar-benar bicara. Rambutnya yang cokelat selalu tergerai bebas, wajahnya penuh ketenangan, dan yang paling menarik bagi Alaric adalah cahaya emas yang memancar dari dirinya—cahaya yang selama ini ia cari-cari, tapi jarang sekali ditemui.
“Aku suka suasana di sini,” jawab Alaric singkat, menoleh ke arah Leina. “Kamu kenapa sering ke sini juga?”
Leina duduk di sampingnya tanpa ragu. “Aku suka tempat ini. Rasanya tenang, ya? Tapi aku penasaran kenapa kamu sering terlihat sendiri di sini. Ada yang kamu pikirkan?”
Alaric menatap sungai di depannya. “Cuma mikirin hal-hal yang kadang bikin aku pusing. Orang-orang sibuk mengejar sesuatu, tapi mereka nggak pernah benar-benar puas. Aku nggak ngerti kenapa. Semuanya serba cepat, serba sibuk, tapi nggak ada yang benar-benar bahagia.”
Leina tersenyum kecil, tatapannya penuh pengertian. “Mungkin karena mereka lupa bersyukur.”
Alaric mengernyit. Kata itu terdengar sederhana, tapi aneh rasanya mendengar ada yang bicara soal syukur di tempat seperti kota Aramas, yang penuh dengan hiruk-pikuk dan ambisi. “Syukur?” tanya Alaric ragu. “Apa sih yang bisa disyukuri di tengah hidup yang seperti ini?”
Leina menatap sungai di depannya, senyumnya semakin dalam. “Banyak hal kecil yang sering kita abaikan, tapi sebenarnya punya nilai besar. Aku dulu juga seperti mereka, selalu mengejar yang lebih besar, yang lebih baik. Tapi saat aku kehilangan banyak hal, baru aku sadar, ada begitu banyak hal kecil yang masih bisa aku syukuri. Udara yang bisa aku hirup, matahari yang terus terbit, bahkan air sungai ini yang terus mengalir. Semua itu adalah anugerah.”
Alaric terdiam, mencoba mencerna kata-kata Leina. Bagi kebanyakan orang, syukur mungkin terdengar sepele. Tapi cahaya emas di sekitar Leina tidak bisa dipungkiri—sesuatu yang sederhana, namun penuh kekuatan. Alaric merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Leina memandang dunia. Sesuatu yang dalam, tapi sering dilupakan oleh banyak orang.
“Tapi…” Alaric berusaha mencari celah dalam penjelasan Leina. “Kalau kita cuma bersyukur, apa itu bisa merubah apa pun? Kota ini… orang-orangnya terlalu sibuk mengejar mimpi mereka sendiri. Nggak ada waktu untuk bersyukur.”
Leina menghela napas panjang, namun senyumnya tidak pudar. “Itu benar, orang-orang sibuk. Tapi syukur itu bukan tentang berhenti mengejar impian. Syukur adalah cara kita menghargai apa yang kita punya sekarang, di tengah perjalanan menuju yang lebih baik. Saat kita berhenti sejenak untuk menghargai hal-hal kecil, kita mulai melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Dan dari situlah perubahan bisa dimulai.”
Kata-kata Leina terasa sederhana tapi mendalam. Alaric belum pernah mendengar seseorang bicara soal syukur dengan cara seperti ini. Syukur bukan berarti pasrah, tapi lebih kepada kesadaran untuk menghargai yang sudah ada sebelum mengejar yang lebih besar. Alaric mulai merasakan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perkataan itu.
“Kamu benar-benar percaya kalau syukur bisa mengubah dunia?” tanya Alaric dengan nada penuh penasaran.
Leina mengangguk mantap. “Iya. Mungkin bukan dalam cara yang langsung kelihatan. Tapi rasa syukur bisa mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang lain, cara kita bekerja, dan bahkan cara kita berpikir. Jika lebih banyak orang bisa bersyukur, aku percaya dunia ini akan lebih damai.”
Alaric tidak langsung menjawab. Dia kembali menatap sungai yang mengalir dengan tenang, seolah-olah air itu tahu bahwa meskipun ia kecil dan tampak sepele, alirannya memiliki peran besar dalam ekosistem kota ini. Mungkin, syukur adalah seperti aliran sungai ini—sesuatu yang terlihat kecil, tapi bisa membawa perubahan besar jika mengalir dengan konsisten.
Setelah beberapa saat, Leina pamit. Alaric tetap duduk di tepi sungai, merenungkan percakapan mereka. Cahaya emas dari Leina masih membekas dalam pikirannya. Di tengah kegelapan kota yang penuh dengan cahaya abu-abu, Leina adalah satu-satunya orang yang ia lihat memancarkan warna emas yang begitu terang.
Malam itu, Alaric membuat keputusan. Esok hari, ia akan mencoba melakukan apa yang Leina katakan. Mungkin, hanya dengan sedikit rasa syukur, ia bisa memulai perubahan kecil. Perubahan yang mungkin tidak langsung terlihat, tapi bisa merembet, seperti aliran sungai ini.
Dan mungkin, suatu hari nanti, cahaya emas itu akan menyebar ke seluruh penjuru kota.
Percikan yang Menyebar
Pagi itu, Alaric bangun dengan perasaan yang berbeda. Biasanya, ia memulai hari dengan berat, seperti ada beban yang mengikutinya sejak ia membuka mata. Namun, setelah percakapannya dengan Leina, ada sesuatu yang terasa lebih ringan. Alaric mencoba mengingat apa yang Leina katakan tentang syukur dan bagaimana itu bisa menjadi titik awal perubahan. Walaupun belum sepenuhnya yakin, ia ingin mencobanya.
Langit cerah dengan warna biru yang tenang saat Alaric melangkah keluar dari apartemennya. Jalanan kota Aramas seperti biasa dipenuhi dengan orang-orang yang berjalan cepat, wajah-wajah tanpa senyum yang ia kenal baik. Sebelum ini, Alaric tak pernah terlalu memperhatikan mereka, tapi pagi ini, ia mulai melihat hal-hal kecil yang selama ini terabaikan. Seorang anak kecil yang memegang erat tangan ibunya di trotoar, seorang penjual roti yang menyapa pelanggan dengan suara ramah meskipun wajahnya lelah, dan sinar matahari yang menerobos celah gedung-gedung tinggi. Semua itu tampak lebih bermakna dari sebelumnya.
Saat melewati sebuah kedai kopi di sudut jalan, Alaric memutuskan untuk berhenti sejenak. Ia memesan kopi hitam seperti biasa, namun kali ini, ia memberikan senyum kecil pada barista yang melayani. Hal sederhana, tapi sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
“Terima kasih ya, kopinya,” kata Alaric saat menerima cangkirnya.
Barista itu, seorang pria muda dengan rambut acak-acakan, tampak terkejut. Mungkin tidak sering ada pelanggan yang menyapa dengan ramah di pagi hari yang sibuk ini. “Sama-sama. Selamat pagi, ya!” jawabnya, dengan nada lebih ceria daripada sebelumnya.
Alaric keluar dari kedai itu dengan perasaan sedikit berbeda. Percakapan singkat tadi—sekecil apa pun—membuat suasana hati barista itu berubah. Itu adalah bukti kecil dari apa yang Leina bicarakan kemarin. Mungkin syukur bisa membawa perubahan, bukan hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang lain.
Hari-hari berikutnya, Alaric terus mencoba hal-hal kecil yang sebelumnya tak pernah ia pikirkan. Setiap pagi, ia berusaha untuk bangun dengan pikiran positif. Meskipun tantangan tetap ada—seperti tagihan yang menumpuk dan pekerjaan di kantornya yang membosankan—Alaric mulai mencari hal-hal kecil yang bisa ia syukuri. Bahkan di kantor, di antara tumpukan dokumen yang harus ia periksa, ia mulai melihat sisi positif dari rekan-rekannya, yang sebelumnya ia anggap biasa saja.
Suatu siang, ketika makan siang di kantin kantor, Alaric bertemu dengan Kian, rekan kerjanya yang terkenal muram dan jarang berbicara. Mereka biasanya hanya bertukar basa-basi, tak pernah benar-benar mengobrol. Namun, kali ini Alaric berusaha untuk sedikit membuka percakapan.
“Kian, kerjaan lagi berat, ya?” Alaric bertanya sambil menyantap makan siangnya. Ia bisa melihat jelas cahaya abu-abu yang melingkupi Kian. Terlihat lebih tebal dari biasanya, tanda bahwa Kian mungkin sedang dalam tekanan berat.
Kian mengangkat bahu, masih dengan ekspresi wajah datar. “Iya, biasa lah. Deadline nggak habis-habis.”
Alaric mengangguk sambil berpikir. “Aku tahu itu rasanya. Tapi, ya, aku coba inget hal-hal yang bikin aku masih bisa senyum. Bahkan hal kecil pun. Misal, makan siang enak kayak gini, kan nggak semua orang bisa nikmatin setiap hari.”
Kian melirik makanannya dan sejenak terdiam. Entah apa yang ia pikirkan, tapi perlahan bibirnya melengkungkan senyum tipis. “Iya juga, ya. Kadang kita lupa kalau yang sederhana juga penting.”
Percakapan itu sederhana, tapi bagi Alaric, itu adalah langkah maju. Ini bukan tentang mengubah dunia dalam semalam, tapi lebih kepada menyebarkan rasa syukur melalui interaksi sehari-hari. Dan mungkin, meski kecil, hal itu bisa membawa dampak.
Suatu sore, Alaric kembali ke sungai tempat ia biasa bertemu Leina. Kali ini, ia menunggu kedatangan gadis itu. Setelah seminggu menjalani hidup dengan cara yang berbeda, Alaric merasa ada sesuatu yang harus ia sampaikan.
Leina tiba dengan senyum seperti biasa. “Kamu kelihatan lebih cerah hari ini,” ucapnya sambil duduk di samping Alaric.
“Sejak kita ngobrol minggu lalu, aku mencoba menerapkan apa yang kamu bilang,” jawab Alaric sambil menatap sungai yang mengalir tenang. “Aku mulai dengan hal kecil, seperti mensyukuri makan siang atau menyapa orang. Dan… entah kenapa, aku merasa ada yang berubah. Bukan hanya di dalam diriku, tapi juga orang-orang di sekitarku.”
Leina tersenyum lebar. “Itu bagus. Kadang kita nggak sadar bahwa perubahan kecil bisa punya dampak besar. Kamu sudah lihat sendiri, kan?”
Alaric mengangguk. “Tapi, aku masih bingung. Ini semua masih terasa kecil. Kota ini, orang-orang di dalamnya… apa mungkin semua ini bisa benar-benar berubah hanya dengan syukur?”
Leina menatap jauh ke sungai, matanya penuh ketenangan. “Mungkin kita nggak bisa langsung lihat perubahan besar. Tapi perubahan itu seperti percikan air di sungai ini. Satu tetes mungkin nggak berarti, tapi kalau cukup banyak, aliran sungai bisa berubah. Hal yang sama terjadi pada manusia. Satu orang yang bersyukur bisa mempengaruhi orang lain, dan itu akan menyebar, meskipun pelan.”
Alaric terdiam, merenungkan kata-kata Leina. Ada kebenaran di balik filosofi sederhana itu. Mungkin perubahan besar memang tidak datang dengan cepat, tapi setiap langkah kecil memiliki potensinya sendiri. Dan yang paling penting, ia merasa lebih damai dengan dirinya sendiri.
Beberapa hari kemudian, di kantor, Alaric menerima sebuah email tak terduga dari Kian. Rupanya, setelah percakapan singkat mereka di kantin, Kian merasa lebih ringan menjalani pekerjaannya. Ia bahkan memutuskan untuk mengajak tim mereka keluar makan malam bersama untuk merayakan selesainya satu proyek besar. Sesuatu yang sebelumnya jarang terjadi, karena Kian dikenal sebagai sosok yang tertutup.
Saat Alaric membaca email itu, ia tersenyum. Mungkin ini hanya langkah kecil, tapi ia mulai melihat hasil dari apa yang ia pelajari. Rasa syukur, sekecil apa pun, bisa menyebar seperti gelombang.
Alaric berjalan keluar dari kantor, melewati trotoar yang biasa. Langit di atasnya berwarna keemasan oleh sinar matahari senja. Cahaya emas itu mengingatkannya pada Leina dan ajaran syukurnya. Di tengah kota yang penuh dengan orang-orang yang bergerak cepat tanpa arah, Alaric kini membawa percikan kecil yang mungkin suatu hari bisa mengubah arus.
Dan di sungai itu, di bawah langit yang mulai memudar, Alaric akhirnya mengerti. Perubahan, sekecil apa pun, adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Badai di Balik Langit Cerah
Alaric berdiri di balkon apartemennya, mengamati langit kota Aramas yang kini mulai beranjak gelap. Hujan turun dengan lembut, menutupi kota dalam kerudung tipis air yang menderu-deru di atap gedung-gedung tinggi. Udara dingin menyentuh kulitnya, tapi perasaan tenang masih memenuhi dadanya. Setelah beberapa minggu mencoba untuk lebih bersyukur, hidupnya mulai terasa lebih ringan. Orang-orang di sekitarnya mulai berubah, dan ia sendiri merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Namun, di balik kedamaian itu, ada sesuatu yang mengganjal. Perubahan kecil yang ia ciptakan mulai terasa seperti riak di permukaan, tapi jauh di dalam, kota ini masih gelap dan suram. Sebuah pertanyaan terus berputar di kepalanya: “Apa benar semua ini cukup?” Ada sesuatu yang ia rasa hilang, dan ia tak bisa menyingkirkan perasaan itu.
Di hari yang sama, ia mendapat pesan singkat dari Leina yang hanya berbunyi, “Temui aku di sungai sore ini.” Tanpa berpikir dua kali, Alaric bergegas keluar dari apartemennya, mengenakan jaket dan berjalan cepat menuju sungai yang selama ini menjadi tempat pertemuan mereka. Ada sesuatu yang mendesak dalam pesan itu, sesuatu yang membuatnya merasa bahwa ini bukan pertemuan biasa.
Saat ia tiba di sungai, Leina sudah menunggu di tempat biasa, berdiri di bawah pohon dengan daun-daunnya yang basah oleh hujan. Ia tampak berbeda hari ini—lebih serius dari biasanya. Alaric bisa merasakan hawa yang tak biasa dari gadis itu. Bukan ketenangan, melainkan ketegangan.
“Kamu datang,” kata Leina singkat tanpa senyuman. Matanya menatap jauh ke dalam sungai yang mengalir deras.
“Ada apa? Kamu baik-baik saja?” Alaric mendekatinya, merasakan rintik hujan yang semakin deras menyentuh kulitnya.
Leina menarik napas panjang sebelum menjawab. “Aku tahu kamu sudah mencoba menerapkan semua yang aku katakan. Kamu sudah mulai melihat perubahan di sekitarmu, kan?”
Alaric mengangguk, meski ada kebingungan yang menyusup dalam hatinya. “Ya, aku merasa… semuanya sedikit berubah. Orang-orang lebih ramah, lebih terbuka. Aku sendiri merasa lebih damai. Tapi, kenapa aku merasa… ini nggak cukup?”
Leina tersenyum kecil, namun senyum itu tak mencapai matanya. “Itulah yang ingin aku bicarakan. Alaric, bersyukur itu penting, tapi bukan satu-satunya hal yang bisa mengubah dunia. Kamu harus tahu bahwa dunia ini lebih rumit daripada sekadar rasa syukur. Ada hal-hal yang tak bisa diubah hanya dengan pikiran positif.”
Alaric mengernyit, bingung dengan arah pembicaraan ini. “Maksudmu apa? Bukankah kamu bilang syukur bisa mengubah segalanya?”
Leina menatapnya tajam, seakan ingin memastikan bahwa Alaric benar-benar memahami apa yang akan ia katakan. “Ya, syukur bisa mengubah banyak hal. Tapi ada kekuatan lain yang bersembunyi di balik semua ini, sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap. Sesuatu yang selama ini kamu abaikan.”
Alaric merasa ada dingin yang merambat ke tulang punggungnya. Ia mencoba memproses apa yang dikatakan Leina, tapi pikirannya dipenuhi oleh rasa penasaran yang mencekam. “Kekuatan gelap? Kamu bicara tentang apa?”
Leina menghela napas lagi, lebih berat kali ini. “Kota Aramas ini… lebih dari sekadar tempat. Ada sesuatu yang mengendap di bawah permukaannya. Kegelapan yang mempengaruhi semua orang, membuat mereka terjebak dalam siklus tanpa akhir. Kamu mungkin sudah membuat perubahan kecil di hidupmu dan sekitarmu, tapi perubahan besar tak akan datang kalau kegelapan ini terus ada.”
Alaric terdiam, merasakan udara di sekelilingnya semakin berat. “Lalu… apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku bisa menghadapi sesuatu yang bahkan aku nggak tahu wujudnya?”
Leina melangkah mendekat, memandang langsung ke mata Alaric. “Kamu harus memilih, Alaric. Kegelapan ini bukan sesuatu yang bisa dilawan hanya dengan hati yang bersyukur. Kamu harus memahami bahwa untuk mengubah dunia, kamu harus siap menghadapi apa yang ada di baliknya. Ini bukan hanya tentang memperbaiki hal-hal kecil. Ini tentang melawan kekuatan yang lebih besar.”
“Apa maksudmu? Apa yang harus aku lakukan?” tanya Alaric, suaranya mulai bergetar dengan kegelisahan.
Leina tetap tenang, meski kata-katanya penuh beban. “Kegelapan ini bisa dilawan, tapi butuh lebih dari sekadar keinginan baik. Kamu harus menghadapi kenyataan bahwa di dunia ini, ada yang harus dikorbankan. Kamu harus siap mengorbankan sesuatu yang penting, bahkan dirimu sendiri, jika ingin membawa perubahan sejati.”
Alaric terdiam lama, merasakan denyut jantungnya berpacu cepat. Selama ini, ia berpikir bahwa dengan bersyukur dan menyebarkan kebaikan, segalanya akan berubah dengan sendirinya. Namun, apa yang Leina katakan kini mengguncang keyakinannya. Ia tak pernah membayangkan bahwa ada kekuatan gelap yang tersembunyi, menggerakkan roda-roda dunia di balik layar.
“Jadi, aku harus berkorban?” bisik Alaric akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hujan yang semakin deras.
Leina mengangguk pelan. “Setiap perubahan besar membutuhkan pengorbanan. Kamu harus bertanya pada dirimu sendiri, apakah kamu siap? Apakah kamu bersedia menempuh jalan ini, meski itu berarti meninggalkan banyak hal yang kamu kenal?”
Diam menyelimuti mereka, hanya suara derasnya hujan yang mengisi ruang di antara mereka. Alaric tahu, keputusan ini tak bisa diambil dengan enteng. Selama ini, ia hanya mencoba mengubah hidupnya sendiri, tapi sekarang, ia sadar bahwa dunia yang ia hadapi jauh lebih kompleks dari sekadar syukur dan kebaikan kecil. Ada kegelapan, dan ada harga yang harus dibayar.
“Jadi, kamu sudah tahu semuanya dari awal?” Alaric akhirnya bertanya, menatap Leina dengan campuran perasaan marah dan bingung.
Leina menundukkan kepalanya, tampak ragu-ragu sebelum akhirnya mengangguk. “Iya, aku tahu. Tapi kamu harus menemukan jalannya sendiri. Aku hanya bisa menuntunmu sejauh ini.”
Alaric menghela napas panjang, merasakan beban di pundaknya semakin berat. Hujan terus mengguyur mereka tanpa henti, seakan menegaskan bahwa dunia ini tak pernah sederhana. Ia berdiri di antara keputusan yang sulit, di antara terang dan gelap, tanpa tahu apa yang akan ia hadapi di depan.
“Kalau begitu, aku siap. Aku akan melawan kegelapan ini,” kata Alaric akhirnya, suaranya penuh tekad, meski ia masih diliputi oleh ketakutan yang membara.
Leina tersenyum tipis, kali ini lebih tulus dari sebelumnya. “Baiklah. Tapi ingat, jalan ini akan penuh tantangan, dan kamu mungkin akan kehilangan lebih banyak dari yang kamu duga.”
Malam itu, di bawah hujan yang tak kunjung reda, Alaric memutuskan untuk melangkah ke dalam ketidakpastian. Bersama dengan Leina, ia akan menghadapi kegelapan yang selama ini tersembunyi di balik permukaan kota Aramas. Ini bukan lagi tentang syukur dan kedamaian kecil; ini tentang pertarungan melawan kekuatan yang jauh lebih besar, lebih gelap, dan lebih menakutkan dari yang pernah ia bayangkan.
Dan dengan setiap langkah yang ia ambil, Alaric tahu bahwa dunia yang ia kenal tak akan pernah sama lagi.
Langit yang Berubah
Alaric berdiri di tengah lingkaran kecil di pinggir sungai, bersiap untuk menjalani tantangan yang akan menguji keberaniannya. Hujan telah berhenti, namun suasana di sekitar mereka masih dipenuhi ketegangan. Leina, di sampingnya, memandang sungai dengan serius.
“Ingatan yang kuat dapat menjadi senjata, Alaric. Kegelapan ini mempengaruhi banyak orang, tetapi ingatanmu tentang kebaikan yang kamu temui selama ini akan membantu mengalahkannya,” kata Leina, suaranya tegas.
Alaric merasa angin dingin menyentuh wajahnya. “Tapi bagaimana aku bisa melawan sesuatu yang tak terlihat? Apa yang bisa kulakukan untuk mengubah segalanya?”
Leina menggenggam tangan Alaric dengan erat. “Ingat, kamu tidak sendiri. Kita bisa melakukan ini bersama. Kita akan memanggil ingatan-ingatan indah dari orang-orang yang pernah kamu bantu. Mereka semua akan bersatu dalam kekuatan kebaikan untuk melawan kegelapan.”
Mendengar kata-kata Leina, Alaric merasakan gelombang harapan mengalir dalam dirinya. Ia mulai memikirkan semua orang yang ia bantu, semua momen kecil yang mengubah hidup mereka. Dari Miko, teman yang selalu merasa tidak berarti, hingga Winda, gadis yang terjebak dalam kebiasaan buruknya. Alaric tahu bahwa setiap kebaikan yang ia lakukan menyisakan bekas, tak peduli seberapa kecilnya.
“Baiklah, mari kita mulai,” katanya, bersiap. Mereka melangkah lebih dekat ke pinggir sungai, tempat di mana arus air yang tenang mulai bergetar seolah merespons kehadiran mereka. Alaric menutup matanya dan mengingat semua orang yang pernah memberikan dukungan padanya. “Kalian yang bersinar dalam gelap, datanglah! Mari kita lawan!”
Leina ikut menutup matanya, memfokuskan pikirannya. Dalam sekejap, Alaric merasakan cahaya lembut yang mulai berkumpul di sekeliling mereka, membentuk lingkaran berkilau. Bukan cahaya biasa; ini adalah cahaya dari ingatan dan rasa syukur yang dikumpulkan dari setiap tindakan baik yang pernah ia lakukan. Dia merasakan energi itu mengalir dari dirinya dan ke arah Leina.
Ketika Alaric membuka matanya, dia melihat bayangan samar-samar dari orang-orang yang pernah ia bantu mulai muncul di sekitar mereka. Wajah-wajah yang familiar tersenyum, memberi semangat kepada Alaric.
“Alaric!” teriak Miko, suaranya penuh keyakinan. “Kami di sini untuk membantumu! Bersama kita bisa mengubah dunia!”
Suara Winda bergema, “Kebaikanmu telah memberi kami kekuatan. Sekarang saatnya untuk membalas!”
Kekuatan dari ingatan-ingatan ini semakin menguatkan Alaric. Ia merasa bersatu dengan semua orang yang hadir di sampingnya. “Kita semua adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Mari kita lawan kegelapan ini dengan kebaikan!”
Mereka berdua, Alaric dan Leina, mengangkat tangan mereka ke langit. Cahaya dari ingatan-ingatan ini semakin terang, berpendar-pendar, membentuk gelombang yang menembus kegelapan di sekitar mereka. Alaric merasakan kekuatan baru, seolah setiap kebaikan yang pernah ia lakukan mengalir melalui dirinya, memberinya semangat untuk melawan apa pun yang ada di depan.
Namun, ketika gelombang cahaya itu mulai menyebar, muncul bayangan hitam yang menggerogoti dari jauh, merespons panggilan kebaikan itu. Kegelapan itu tampak ganas, menggulung seperti awan badai. Suara gemuruhnya memecah keheningan malam. “Kau kira kebaikan bisa mengalahkan aku?” suaranya menggetarkan bumi.
Alaric merasa ketakutan, tetapi kemudian, teringat kembali semua yang telah ia lalui. “Ya, kami akan melawanmu! Ini bukan hanya tentang aku—ini tentang semua orang yang ingin dunia ini lebih baik!”
Dengan kata-kata itu, energi dari semua orang yang ia bantu semakin kuat, semakin terang. Lingkaran cahaya di sekeliling mereka menyala semakin hebat. Alaric dan Leina saling menggenggam, bersatu dengan semua kenangan yang terbangun di sekeliling mereka. Dalam satu momen, mereka melangkah maju, menghadapi kegelapan yang melawan mereka.
Cahaya dan kegelapan bertabrakan, mengeluarkan suara dentuman yang memekakkan telinga. Alaric merasa setiap detakan jantungnya menjadi satu dengan semangat dari semua orang yang berdiri bersamanya. Dalam momen-momen itu, dia merasakan kebaikan yang pernah ia bagikan kembali kepadanya—mendukungnya, memberinya kekuatan untuk melawan.
“Ayo, kita bisa!” teriak Leina, semangatnya menyala.
Dengan satu ledakan cahaya, semua ingatan, kebaikan, dan harapan yang telah dibangun bersatu, menerangi kegelapan yang menyelimuti Aramas. Kekuatan itu meluncur ke arah bayangan hitam, menyapu bersih semua kekuatan gelap yang mencoba menggerogoti mereka.
Akhirnya, suara gemuruh itu menghilang, dan semua yang tersisa adalah cahaya lembut yang menyelimuti mereka. Kegelapan telah kalah, dan Aramas kembali terang, penuh harapan baru.
Alaric memandang Leina, merasakan air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. “Kita berhasil!”
Leina tersenyum, mengusap air matanya. “Ya, kita melakukannya bersama. Ingat, kebaikan tidak hanya mengubah diri kita, tetapi juga dunia di sekitar kita.”
Sekarang, di tengah cahaya pagi yang baru lahir, Alaric tahu bahwa dunia mungkin tidak sempurna, tetapi ia sudah menemukan kekuatan untuk membuat perubahan. Setiap langkah yang diambil, setiap tindakan kecil yang dilakukan, semuanya berkontribusi untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
Dan dengan senyuman di wajahnya, Alaric bertekad untuk terus berjuang. Dia akan membagikan kebaikan dan rasa syukurnya, karena sekarang ia tahu—kebaikan memiliki kekuatan untuk mengubah dunia.
Jadi, ingat ya, setiap tindakan baik, sekecil apa pun, bisa jadi cahaya di tengah kegelapan. Ketika kita bersyukur dan membagikan kebaikan, kita bukan hanya mengubah diri kita sendiri, tapi juga dunia di sekitar kita. Yuk, mulai hari ini, kita sebarkan kebaikan dan lihat bagaimana dunia bisa berubah jadi lebih cerah!