Kejujuran di Masyarakat: Perjuangan Raga dan Elara Melawan Korupsi

Posted on

Geng, pernah nggak sih kalian ngerasa dunia ini penuh dengan kebohongan? Nah, cerpen kali ini bakal bawa kalian ke dalam petualangan seru Raga dan Elara, dua orang yang berani melawan segala ketidakadilan demi satu kata: kejujuran. Siapin popcorn, karena ini bukan cuma cerita biasa. Ini adalah perjalanan mengungkap kebenaran yang bikin kamu bakal mikir dua kali sebelum percaya sama omongan orang lain!

 

Kejujuran di Masyarakat

Jejak yang Hilang

Di tengah hiruk-pikuk kota Arunika, ada satu kafe kecil bernama Café Hujan yang jadi tempat favorit para pemuda untuk ngumpul. Kafe ini punya suasana cozy dengan dinding berwarna kuning cerah dan kursi-kursi kayu yang nyaman. Di sinilah Raga, seorang jurnalis muda berusia dua puluh lima tahun, sering datang untuk menulis dan mencari inspirasi.

Suatu sore yang agak mendung, Raga duduk di pojok kafe dengan laptopnya terbuka, mencoba menyelesaikan artikel tentang kehidupan sehari-hari di Arunika. Dia menyeduh secangkir kopi hitam yang sudah jadi ritual setiap kali datang ke sini. Suara mesin kopi dan obrolan ringan para pengunjung membentuk simfoni yang akrab di telinganya.

Tiba-tiba, dua wanita di meja sebelahnya mulai berbincang dengan suara yang cukup keras. Raga yang awalnya fokus, mendengar potongan kata-kata yang menarik perhatiannya.

“Gue nggak percaya sama Pak Surya lagi. Dia itu cuma pahlawan di depan publik, tapi belakangnya… ada yang aneh!” ujar salah satu wanita, namanya sepertinya Elina.

“Gue juga denger sih. Katanya dia terlibat sama pengusaha nakal, tapi siapa yang berani ngomong?” sahut temannya, Mira.

Raga tersentak. Dia tahu betul siapa Pak Surya. Pria itu adalah tokoh masyarakat yang dihormati, dikenal karena membantu banyak orang dan selalu terlihat berada di sisi yang benar. Namun, apa yang mereka bicarakan bisa jadi lebih dari sekadar gosip.

“Lo denger itu?” Raga berbisik ke sahabatnya, Elara, yang baru saja datang membawa makanan ringan. “Gue rasa ada yang perlu kita cari tahu.”

Elara, yang dikenal sebagai cewek yang kritis dan selalu ingin tahu, mengerutkan dahi. “Serius? Gimana kalau ini cuma rumor doang? Kita butuh bukti.”

“Gue paham. Tapi kalau ini bener, kita harus ambil langkah, El. Masyarakat butuh tahu kebenarannya,” kata Raga, sambil mengingat kembali semua pencapaian Pak Surya yang pernah dia dengar.

Elara mengangguk. “Oke, kita harus cari tahu lebih lanjut. Kita bisa mulai dengan ngobrol sama Rudi, asisten pribadinya. Dia pasti tahu banyak.”

“Bagus, yuk kita atur pertemuan sama dia,” jawab Raga semangat. Dia merasa dorongan untuk mencari tahu lebih dalam tentang sosok yang selama ini dianggap sebagai panutan oleh banyak orang.

Malam itu, mereka berdua menyiapkan pertanyaan dan catatan. Raga tak bisa tidur nyenyak, pikirannya berputar tentang apa yang mungkin mereka temui. “Kalau semua ini benar, artinya kita bisa mengguncang Arunika,” batinnya.

Hari berikutnya, mereka sudah berdiri di depan gedung tua yang menjadi kantor Pak Surya. Rudi, si asisten pribadi, sudah menunggu mereka di dalam. Rudi tampak gugup, berusaha menyembunyikan sesuatu di balik senyumnya.

“Jadi, kalian mau tahu tentang Pak Surya?” tanya Rudi, menghindar dari tatapan Raga dan Elara.

“Ya, kita dengar beberapa isu dan… kita butuh penjelasan,” jawab Elara tegas.

“Gue cuma bisa bilang, Pak Surya memang banyak membantu, tapi di balik itu, ada beberapa yang mencurigakan,” Rudi berusaha bicara perlahan, seakan takut kata-katanya terdengar oleh orang lain.

Raga dan Elara saling pandang. Ini adalah informasi yang mungkin menjadi kunci. “Maksud lo, dia terlibat bisnis gelap?” tanya Raga.

“Gue nggak bisa bilang itu. Tapi… banyak yang bilang, dia punya hubungan dengan pengusaha yang udah terlibat masalah hukum,” kata Rudi dengan nada rendah.

Elara mencatat setiap kata Rudi dengan serius. “Kalau itu bener, kita harus buktikan. Masyarakat berhak tahu siapa sebenarnya Pak Surya,” ujarnya.

Rudi terlihat semakin gelisah. “Gue nggak berani ngomong lebih jauh. Ini berbahaya, dan gue khawatir.”

“Risiko ada, Rudi. Tapi kalau kita nggak berani, siapa lagi yang bakal mengungkap kebenaran?” Raga menjawab, merasa semakin yakin akan langkah mereka.

Setelah berbincang cukup lama, Rudi akhirnya memberikan informasi lebih lanjut tentang beberapa nama pengusaha yang bisa mereka telusuri. Raga dan Elara berterima kasih, lalu melangkah keluar dengan pikiran yang berkecamuk.

Raga menghela napas panjang. “Ini baru permulaan, El. Kita harus siap menghadapi apapun yang datang.”

Elara menepuk bahunya. “Kita lakukan ini untuk Arunika. Semua orang berhak tahu kebenaran.”

Dengan semangat membara, mereka berdua melangkah pulang. Di benak Raga, satu hal pasti: kejujuran harus dijadikan prioritas, tak peduli seberapa sulit jalannya. Dan mereka berjanji, tidak akan berhenti sampai mereka menemukan jawaban yang sebenarnya.

 

Menggali Kebenaran

Beberapa hari berlalu sejak pertemuan dengan Rudi, dan semangat Raga serta Elara untuk menyelidiki Pak Surya semakin menggebu. Mereka memutuskan untuk menggali lebih dalam tentang pengusaha-pengusaha yang terkait dengan nama besar tersebut. Di benak mereka, setiap informasi adalah petunjuk menuju kebenaran yang lebih besar.

Malam itu, Raga duduk di ruang tamunya, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan catatan yang mereka kumpulkan. Lampu meja yang temaram memberikan suasana serius di ruangan itu. Elara datang dengan sebuah folder tebal di tangan.

“Gue nemuin beberapa laporan keuangan yang mencurigakan,” ujar Elara sambil membuka folder tersebut. “Ini dari perusahaan yang disebut-sebut dekat dengan Pak Surya.”

Raga mengerutkan dahi, tertarik dengan apa yang ditunjukkan Elara. “Coba tunjukin.”

Di dalam folder itu terdapat beberapa grafik dan catatan transaksi yang tidak biasa. “Lihat di sini,” Elara menunjuk ke salah satu halaman. “Ada transaksi besar yang dilakukan tepat sebelum proyek-proyek sosial Pak Surya dimulai. Ini bisa jadi ada sesuatu yang lebih dalam.”

Raga memandangi grafik itu dengan seksama. “Mungkin ini jalan menuju kebenaran. Kita harus mencari tahu lebih lanjut tentang perusahaan-perusahaan ini.”

“Gimana kalau kita coba hubungi beberapa mantan karyawan mereka?” usul Elara. “Mungkin mereka bisa memberi kita insight lebih dalam.”

“Bagus, kita bisa mulai dari sini. Kita butuh bukti konkret, bukan sekadar rumor,” jawab Raga, bersemangat.

Keesokan harinya, mereka melakukan pencarian di media sosial dan forum online. Setelah berjam-jam menggali informasi, mereka menemukan beberapa orang yang pernah bekerja di perusahaan-perusahaan itu. Raga dan Elara menghubungi mereka satu per satu.

Beberapa hari kemudian, mereka berhasil menjadwalkan pertemuan dengan seorang mantan karyawan bernama Andi, yang pernah bekerja di salah satu perusahaan yang terlibat. Andi setuju untuk bertemu di kafe di pusat kota.

Di kafe yang ramai, Andi terlihat sedikit canggung. “Jadi, kalian ingin tahu tentang Pak Surya?” tanyanya setelah mereka berkenalan.

“Iya, kami dengar ada beberapa hal yang nggak beres. Kami butuh keterangan dari lo,” kata Raga, langsung to the point.

Andi menghela napas. “Gue rasa gue bisa kasih sedikit gambaran. Pak Surya itu memang baik di permukaan, tapi ada sisi lain yang orang-orang nggak tahu.”

“Misalnya?” Elara menambahkan, sudah tidak sabar.

Andi melanjutkan, “Dia selalu tampil sebagai pahlawan, tapi banyak proyek yang dia jalankan sebenarnya punya afiliasi dengan pengusaha yang terlibat dalam korupsi. Mereka saling menguntungkan satu sama lain.”

“Jadi, selama ini orang-orang menganggap dia benar-benar peduli, padahal ada motif lain?” Raga bertanya, semakin terfokus.

“Bisa dibilang begitu. Mereka beroperasi dalam bayang-bayang. Dan siapa pun yang mencoba mengungkap kebenaran akan terancam,” jawab Andi, suaranya mulai bergetar.

Elara mencatat semua informasi yang diberikan Andi. “Kenapa lo ingin memberitahu kami? Ini bisa berbahaya untuk lo sendiri.”

Andi menunduk. “Gue udah cukup melihat orang-orang yang terjebak dalam kebohongan ini. Mereka harus tahu, dan mungkin… mungkin bisa membawa perubahan.”

Setelah pertemuan tersebut, Raga dan Elara merasakan beban yang lebih berat di pundak mereka. Mereka tahu bahwa langkah selanjutnya adalah melanjutkan pencarian untuk mendapatkan bukti lebih lanjut.

Malam itu, Raga kembali duduk di ruang tamunya. Dia merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu untuk diungkap. “Elara, kita harus bersiap-siap untuk hal-hal yang mungkin bakal kita hadapi. Ini bisa jadi sangat berbahaya.”

“Gue tahu. Tapi kita udah terlanjur masuk ke dalamnya. Kita nggak bisa mundur sekarang,” jawab Elara tegas.

Raga mengangguk, merasa terikat pada misi yang lebih dari sekadar mengungkap kebenaran. Dia merasa bahwa apa yang mereka lakukan bisa mempengaruhi banyak orang.

Hari berikutnya, mereka memutuskan untuk menemui Rudi lagi, berharap bisa mendapatkan informasi lebih dalam. Mereka tidak hanya ingin mengungkap kebohongan, tetapi juga berusaha menemukan cara untuk membawa masyarakat Arunika kembali ke jalur kejujuran.

Ketika mereka tiba di kantor Pak Surya, suasana di sana tampak tegang. Rudi menyambut mereka dengan wajah cemas. “Kalian harus hati-hati. Ada orang-orang yang nggak suka kalau ada yang mencoba mengungkap kebenaran.”

“Gue paham. Tapi kami nggak bisa mundur. Ini tentang kejujuran,” jawab Raga dengan mantap.

Mereka memasuki ruangan, dan Rudi mulai berbagi informasi lebih lanjut tentang orang-orang yang berhubungan dengan Pak Surya. Raga dan Elara mencatat semua detailnya, merasakan detak jantung mereka bergetar dengan setiap kata yang diucapkan.

Ketika mereka keluar dari gedung, Raga tahu bahwa mereka semakin dekat dengan kebenaran, tetapi bahaya juga semakin mengintai. Raga dan Elara bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan datang, berkomitmen untuk menggali lebih dalam lagi demi kejujuran yang hakiki.

 

Terungkapnya Kebenaran

Hari-hari berlalu, dan setiap langkah yang diambil Raga dan Elara membawa mereka semakin dekat dengan kebenaran. Mereka terus menggali informasi tentang jaringan korupsi yang melibatkan Pak Surya dan pengusaha-pengusaha nakal. Ketegangan semakin terasa, tetapi semangat mereka tak surut.

Pagi itu, Raga dan Elara kembali berkumpul di Café Hujan. Suasana kafe yang hangat seolah mengingatkan mereka akan tujuan awal mereka: mengungkap kebenaran untuk masyarakat. Raga mengeluarkan laptopnya dan membuka email yang sudah ditunggu-tunggu.

“Gue baru dapat balasan dari Dimas, mantan auditor di perusahaan yang berafiliasi sama Pak Surya. Dia mau ketemu hari ini,” kata Raga sambil menunjuk layar.

“Bagus! Semoga dia bisa kasih kita informasi lebih,” Elara menjawab dengan bersemangat.

Mereka memutuskan untuk bertemu Dimas di sebuah taman dekat kafe, tempat yang lebih tenang dan tidak terlalu ramai. Ketika mereka tiba, Dimas sudah menunggu, tampak gugup dan terus melihat sekeliling.

“Dimas, terima kasih sudah mau ketemu,” kata Raga saat mendekatinya.

Dimas mengangguk, wajahnya terlihat cemas. “Gue tahu ini berbahaya, tapi gue merasa ini penting. Ada hal yang harus kalian tahu.”

Elara mengeluarkan catatan dan mempersilakan Dimas untuk berbicara. “Kita butuh semua informasi yang bisa lo berikan.”

Dimas menarik napas dalam-dalam. “Pak Surya itu tidak hanya terlibat dengan satu perusahaan. Dia punya banyak koneksi. Gue pernah menemukan dokumen yang menunjukkan hubungan dia dengan beberapa pengusaha yang sudah terjerat kasus hukum. Mereka berkolaborasi dalam proyek-proyek yang seharusnya membantu masyarakat, tapi sebenarnya tujuannya untuk mengeruk keuntungan pribadi.”

“Jadi, semua proyek itu hanya kedok?” Raga bertanya, berusaha memahami setiap detail.

“Persis. Mereka menjual citra baik untuk menutupi niat asli mereka. Dan semakin banyak orang yang terlibat, semakin sulit untuk mengungkap kebenaran,” jelas Dimas.

Raga dan Elara saling bertukar pandang. Ini adalah informasi berharga yang bisa menjadi bukti kuat. “Dokumen-dokumen itu di mana?” tanya Elara.

“Gue menyimpan beberapa di komputer gue, tapi ada satu berkas yang bisa jadi sangat penting. Gue bisa kasih tau lokasi file-nya, tapi kalian harus hati-hati,” Dimas menjawab, tampak khawatir.

Setelah berunding, mereka memutuskan untuk menyelidiki file yang dimaksud Dimas. “Kita harus segera ke tempat itu,” kata Raga.

Mereka berpisah dari Dimas dan menuju ke lokasi yang ditunjukkan. Sebuah gedung tua yang sudah tidak terpakai di pinggiran kota. Raga merasakan degup jantungnya meningkat saat mereka mendekati pintu masuk. “Lo siap, El?” tanyanya.

“Siap! Ayo kita lakukan ini,” jawab Elara, berusaha menenangkan dirinya.

Setelah memastikan tidak ada orang lain di sekitar, mereka memasuki gedung tersebut. Suasana di dalamnya gelap dan sedikit menyeramkan, namun rasa ingin tahu mereka lebih kuat. Raga menyalakan senter ponselnya dan menerangi ruangan yang penuh debu.

“Di mana seharusnya file itu?” tanya Elara, suaranya bergetar.

“Dimas bilang ada di ruang arsip, mungkin di lantai atas,” jawab Raga.

Mereka bergerak perlahan menuju tangga yang sudah berkarat. Ketika sampai di lantai atas, Raga dan Elara mencari-cari ruangan yang dimaksud. Akhirnya, mereka menemukan sebuah pintu yang terkatup. Raga membuka pintu dengan hati-hati, dan di dalamnya terlihat tumpukan berkas-berkas tua yang berantakan.

“Ini dia!” teriak Raga dengan semangat saat melihat komputer tua yang masih menyala.

Sementara Raga membuka komputer, Elara mulai merapikan berkas yang ada di sekelilingnya. “Coba lo buka file-file yang ada,” kata Elara.

Setelah beberapa menit mencari, Raga menemukan file yang mencurigakan. “Ini dia, berkas yang kita butuhkan!” teriaknya, sambil mengarahkan layar kepada Elara.

Namun, sebelum mereka bisa menyelidiki lebih jauh, terdengar suara langkah kaki mendekat. Raga dan Elara saling pandang, ketegangan menghimpit dada mereka. “Kita harus pergi sekarang!” kata Raga cepat.

Mereka berlari keluar dari ruangan itu, turun tangga secepat mungkin. Namun, di tengah jalan, mereka bertemu dengan seorang pria bertubuh besar yang menghalangi jalan mereka. “Mau ke mana kalian?” tanyanya dengan nada mengancam.

Raga dan Elara tidak punya pilihan lain. Mereka berbalik dan berlari menuju pintu keluar. Raga merasakan adrenalinnya memuncak. “Ayo, cepat!” teriaknya.

Ketika mereka akhirnya keluar dari gedung tua itu, mereka berlari sekuat tenaga, tak peduli arah yang mereka ambil. Di luar, udara segar terasa menampar wajah mereka, tetapi ketegangan masih menyelimuti.

“Di mana kita bisa aman?” tanya Elara, napasnya terengah-engah.

“Ke tempat aman dulu, kita harus merencanakan langkah selanjutnya,” jawab Raga, mencoba menenangkan diri.

Mereka menemukan sebuah kedai kecil di dekat situ, lalu masuk dan bersembunyi di dalamnya. Raga mengamati sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.

“Lo baik-baik aja, El?” tanya Raga, menatap Elara yang masih terlihat shock.

“Gue baik. Tapi kita perlu berpikir cepat. Kalau mereka tahu kita punya file itu, bahaya banget,” jawab Elara, masih berusaha menata pikirannya.

Raga mengangguk. “Kita harus segera merencanakan bagaimana mengungkap kebenaran ini tanpa membuat diri kita dalam bahaya. Kita sudah terlalu dekat untuk mundur sekarang.”

Di tengah suasana tenang kedai, Raga dan Elara menyusun strategi baru. Mereka tahu bahwa pertarungan ini belum berakhir, dan mereka harus berjuang lebih keras lagi untuk mengungkap semua kebohongan yang telah mengakar di masyarakat. Semangat kejujuran yang membara di dalam hati mereka semakin kuat, dan mereka berkomitmen untuk melanjutkan perjuangan ini, apapun risiko yang harus mereka hadapi.

 

Jalan Menuju Kebenaran

Setelah beberapa jam bersembunyi di kedai, Raga dan Elara akhirnya merasa cukup aman untuk melanjutkan rencana mereka. Mereka sudah mengumpulkan semua informasi yang Dimas berikan dan bertekad untuk memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

“Gue pikir kita harus menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi ini,” kata Raga, sambil menggerakkan jarinya di atas layar ponselnya. “Kalau kita bisa membuat publik sadar, mungkin kita bisa menekan Pak Surya dan jaringan dia.”

“Lo bener, tapi kita juga harus hati-hati. Mereka pasti akan mencari kita,” Elara menambahkan, wajahnya berkerut serius.

Raga mengangguk, memahami betapa berbahayanya situasi mereka. “Kita butuh dukungan dari orang-orang yang berani. Mungkin kita bisa menghubungi jurnalis yang pernah menulis tentang proyek-proyek Pak Surya.”

Mereka pun mulai merumuskan pesan yang ingin disampaikan. Elara menyiapkan dokumen dan bukti-bukti yang telah mereka kumpulkan, sementara Raga menyusun narasi yang jelas dan mudah dipahami. Setelah beberapa jam kerja keras, mereka merasa siap.

“Kita bisa gunakan akun media sosial anonim untuk menghindari ketahuan. Jadi, kalau ada yang bertanya, kita bisa menjawab tanpa mengungkap identitas kita,” saran Raga.

“Setuju! Mari kita buat akun baru dan mulai memposting!” jawab Elara, semangatnya kembali menyala.

Malam itu, mereka bekerja tanpa henti. Dengan setiap ketikan, rasa cemas mereka berkurang, digantikan oleh harapan. Akhirnya, mereka menekan tombol publish dan menyebarkan pesan mereka ke dunia maya. Dalam waktu singkat, pesan mereka mulai mendapatkan perhatian. Banyak orang mulai mer转windis serta komentar yang mengundang perhatian media.

Namun, tidak lama setelah itu, mereka menerima pesan mencurigakan. “Hati-hati. Mereka tahu kalian mengincar kebenaran,” demikian isi pesan tersebut, disertai dengan gambar gedung tempat mereka bersembunyi sebelumnya.

“Gue tahu kita berisiko, tapi kita tidak bisa mundur sekarang,” kata Raga, berusaha menenangkan Elara yang terlihat panik. “Kita harus terus bergerak.”

Sehari setelah pesan itu, mereka terbangun oleh suara berisik di luar. Raga segera melirik keluar jendela dan melihat mobil-mobil mencurigakan berhenti di dekat rumah mereka. “Kita harus pergi! Sekarang!” teriak Raga, mendorong Elara untuk segera bersiap.

Mereka bergegas mengambil barang-barang penting dan berlari keluar rumah. Raga memimpin jalan, memastikan Elara selalu di belakangnya. Keduanya berusaha menghindari perhatian, meskipun ketegangan terus meneror mereka.

“Ke mana kita harus pergi?” tanya Elara, napasnya terengah-engah saat mereka melaju melewati gang-gang sempit.

“Ke rumah teman gue, Ardi. Dia bisa membantu kita,” jawab Raga, tak henti-hentinya melirik ke belakang untuk memastikan tidak ada yang mengikuti.

Setelah berlari cukup jauh, mereka akhirnya tiba di rumah Ardi. Raga mengetuk pintu dengan cepat, dan Ardi membuka pintu, tampak terkejut melihat keadaan mereka. “Ada apa? Kenapa kalian buru-buru begini?” tanya Ardi, khawatir.

“Gue butuh tempat aman. Ada yang mencari kita,” jawab Raga sambil menarik Elara masuk.

Di dalam rumah, Raga menjelaskan situasi mereka. Ardi, yang merupakan seorang aktivis dan juga jurnalis, mengerti betul risiko yang mereka hadapi. “Kalian sudah melakukan hal yang luar biasa. Kita perlu memperluas jangkauan informasi ini. Biarkan gue bantu,” katanya dengan semangat.

Dalam beberapa hari berikutnya, Raga, Elara, dan Ardi bekerja sama. Mereka mengumpulkan lebih banyak bukti dan mendistribusikannya kepada jurnalis-jurnalis yang peduli pada isu tersebut. Berita tentang korupsi Pak Surya mulai menyebar ke media massa, dan dukungan publik semakin menguat.

Di tengah semua kekacauan ini, Raga dan Elara merasa ada semacam kekuatan baru yang mengalir dalam diri mereka. Mereka tidak hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk semua orang yang telah dirugikan oleh sistem yang korup. “Gue yakin kita bisa bikin perubahan,” kata Raga dengan tekad.

“Bukan hanya untuk kita, tapi untuk semua orang yang percaya bahwa kejujuran itu penting,” Elara menambahkan, senyumnya merekah.

Ketika berita mulai menarik perhatian pemerintah, mereka menerima panggilan dari seorang pejabat tinggi yang ingin membahas kasus tersebut lebih lanjut. Ini adalah langkah besar, dan mereka tahu bahwa ini adalah kesempatan emas untuk menegakkan keadilan.

Setelah beberapa minggu penuh ketegangan, Raga dan Elara akhirnya duduk di depan meja besar di sebuah ruangan yang dikelilingi oleh pejabat pemerintah dan jurnalis. Raga memandang Elara, dan mereka berdua tahu bahwa mereka telah sampai pada titik tak terduga ini bersama-sama.

“Bersama-sama, kita bisa mengubah cerita ini,” bisik Raga kepada Elara, dan mereka siap untuk melanjutkan perjuangan mereka demi kejujuran yang telah lama terpendam.

Dengan semangat baru, mereka memulai presentasi, bertekad untuk memperjuangkan kebenaran dan membuktikan bahwa kejujuran tetap memiliki tempat di masyarakat. Walau jalan masih panjang, mereka yakin bahwa setiap langkah yang diambil menuju kejujuran akan membawa mereka lebih dekat kepada keadilan yang diimpikan.

 

Jadi, gimana, guys? Sudah siap jadi bagian dari perubahan? Raga dan Elara udah nunjukin kalau satu suara bisa bikin gebrakan besar. Jangan ragu untuk berani jujur dan melawan kebohongan, karena siapa tahu, langkah kecil kamu bisa jadi langkah besar buat orang lain. Yuk, terus berjuang demi kejujuran dan keadilan, karena dunia ini butuh lebih banyak orang seperti kita!

Leave a Reply